
Tampilkan postingan dengan label konselor remaja. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label konselor remaja. Tampilkan semua postingan
Jumat, 27 Maret 2015
Konselor Sebaya Speqsanter Dibentuk

Kamis, 05 Februari 2015
Kelompok Jurnalis Pelajar Speqsanter: Kembangkan Bakat Sekaligus Belajar Peduli Sesama
Lalu hubungannya dengan dunia konseling? Media dan segala potensi itu saya pakai sebagai salah satu jalan saya untuk melakukan bimbingan dan konseling. Amanat departemen pendidikan nasional kita mengamanatkan tugas guru BK sebagai pendorong minat dan bakat siswa. Klop sudah kan? Kami memulai project perdana dengan membuat film pendek, Proverbs 17:17. Film bagi saya sebagai media komunikasi. Menyampaikan ide, gagasan sekaligus media konseling. Film bisa jadi alat kampanye. Selanjutnya kami menangkap adanya isu-isu seputar disiplin, persahabatan, dan bully maka lahirlah beberapa film kampanye yang kami buat bersama, dan kami tampilkan dari kelas ke kelas. Ada diskusi yang menarik selanjutnya.
Sebagai bloger, saya juga membuat blog yang sekarang sudah menjadi www.smpktheresia.web.id. Segala hal yang terjadi disekolah saya upayakan terekam dan dimuat di blog tersebut. Sejauh ini sudah berjalan baik. Sabtu, 7 Februari 2015 rencananya saya akan memberikan pelatihan untuk 5 siswa yang saya pilih sebagai admin blog tersebut. Selain admin, kelompok siswa yang saya rekrut ada yang bertugas sebagai reporter, saya tugaskan menulis berita, menulis artikel dan mewawancarai narasumber. Saya ingin mereka belajar sensitif terhadap perubahan kecil di sekitar mereka. Perubahan, fenomena atau kejadian yang kapan saja terjadi di sekolah.
Seminggu sekali kami bertemu. Saya percayakan mereka berganti-gantian memimpin rapat. Saya ingin melatih kemampuan leadership mereka.
Oya, mereka yang saya pilih adalah perwakilan dari setiap kelas, dua hingga 4 siswa. Saya punya tujuan, mereka ini akan menjadi contoh di kelas. Kami akan melaksanakan pelatihan konselor sebaya bulan depan. Kelompok ini juga akan menjadi konselor sebaya. Banyak sekali ya tugas mereka. Lalu siswa yang lain tidak dilibatkan?
![]() |
Mewawancarai Suster Kepala Sekolah |
Semua siswa yang saya bimbing mendapat kesempatan yang sama untuk menampilkan minat dan bakat mereka. Saya mengawali program saya dengan asesmen seluruh siswa: potensi, minat dan bakat paling saya utamakan, termasuk juga kelemahan mereka di bagian mana. Mulai sekarang tugas majalah dinding saya serahkan ke setiap kelas untuk menerbitkan mading per minggu. Semua mendapat jatah. Seluruh siswa dari setiap kelas saya dorong untuk menampilkan setiap potensi mereka. Bikin puisi, cerpen, opini, sketsa? Bikin manga dan fotografi? Hasil terbaik dari majalah dinding biasanya saya masukan juga ke blog.
Sejak tahun lalu, komunitas tempat saya bergiat, Solidaritas Giovanni Paolo sedang merintis taman baca dan PAUD di Noehaen Amarasi Timur, Kabupaten Kupang. Lewat kelompok Jurnalis Pelajar Speqsanter, saya ajak seluruh siswa untuk peduli pada teman-teman mereka di pinggiran Kota Kupang. Saya katakan kepada mereka, saat ini kesenjangan pembangunan dan akses ke pendidikan amat kentara antara Kota Kupang dan area di sekitarnya. Noehaen tak seberapa jauhnya dari Kupang namun akses terhadap buku bacaan sangat minim. Sedangkan murid-murid saya di sekolah, orang tua mereka mudah sekali membelikan mereka buku di Gramedia, dll. Ketika saya tanya, apa punya buku bekas pelajaran SD, Majalah Bobo dan Komik di rumah? Mereka serempak menjawab, banyaaaak pak. Katong ju sonde baca lai, tatumpuk digudang. Baik sekali kalau itu dikirim ke taman baca di Noehaen kan? Maka lahirlah ide #BukuUntukNoehaen di media sosial. Kami memakai twitter @smp_theresiakpg dan Instagram untuk menggalang buku-buku tersebut dari siswa. Lumayan responnya.
Lalu apa saja agenda berikutnya? Tanggal 15 Februari 2015 kami berencana mengunjungi Klenteng Lay untuk liputan. Sebentar lagi akan ada Imlek. Ini momen yang pas untuk mereka belajar sejarah kota tua Kupang, tahun baru Cina sekaligus belajar bertoleransi terhadap segala perbedaan agama dan budaya di sekitar mereka. Doakan kami, segala kegiatan ini berjalan baik. Bagi kakak-kakak sekalian, jurnalis, fotografer dan praktisi mulitemdia di Kupang, boleh lho ya punya waktu mampir ke sekolah kami untuk bikin kegiatan workshop kecil untuk kami. Ayolah...hehehe....
![]() |
Putry Kolfidus dan Anna Waso |
![]() |
Habel Rodja |
![]() |
Liputan Cooking Class |
![]() |
Latihan mewawancarai narasumber |
![]() |
dropbox #BukuUntukNoehaen |
![]() |
Charryn dan Angel |
![]() |
Grant |
![]() |
Misel Bell |
![]() |
Laura Kennenbudi Ketua Tim Jurnalis Pelajar Speqsanter |
![]() |
James Fanggidae mendapat tugas pimpin rapat |
![]() |
Rapat Mingguan |
Rabu, 21 Januari 2015
Catatan Harian Konselor: Saya Belajar Dari Siswa
(repost dari blog SMPK St Theresia Kupang)
Kemarin siang, 20 Januari 2015, saya kedatangan dua rombongan siswa yang hendak mewawancarai saya untuk tugas Bahasa Indonesia dari Ibu Sherly Jelamu. Dua kelompok siswa itu datang dari kelas 7A dan 7B. Kelompok pertama adalah Dino, cs dr kelas 7B yang mewawancarai saya dengan topik sepak terjang saya sebagai guru BK. Sedangkan kelompok Putri, cs dari kelas 7A mewawancarai saya dengan topik pandangan-padangan saya terhadap pergaulan remaja dan disiplin di sekolah. Menarik melihat mereka begitu bertanggungjawab dan mulai keliatan profesionalnya. Maksud saya bahwa mereka meminta izin untuk wawancara dengan sangat sopan, dan memulai wawancara dengan sebuah pengantar yang baik meski kelompoknya Dino harus dimulai dengan apa yang biasa orang Kupang bilang, 'batolak bahela." Tapi akhirnya berjalan baik. Andre dan Putri yang bertugas mewawancarai saya melempar 10-16 pertanyaan dengan lugas dan komunikatif. Kebetulan saya adalah guru bimbingan mereka, sering melakukan kegiatan bersama jadi tak ada rasa gugup atau sungkan. Semua proses berlangsung dengan cair dan menyenangkan. Saya punya kesan yang positif akan diri mereka. Sebagai guru, hal-hal kecil seperti ini kadang luput dari perhatian kita sebagai guru dan orang tua. Seberapa sering kita mengapresiasi pekerjaan siswa? Seberapa sering kita memuji? Lalu memberikan motivasi jika saja apa yang mereka lakukan masih kurang. Seberapa sering kita memuji dengan kata positif ketimbang penghinaan, atau kalimat yang menjatuhkan semangat mereka? Terima kasih Dino dan Putri, cs, kemarin kalian sudah melatih saya untuk introspeksi diri, untuk mawas diri dan mengevaluasi apa yang sudah saya lakukan untuk kalian sebagai seorang guru selama ini, terlebih saya adalah guru bimbingan dan konseling. Ini adalah pelajaran yang baik bagi mereka. Dari sini saja saya akhirnya tahu potensi Andre dan Putri dan saya sudah berpikir untuk segera merekrut mereka untuk saja berikan pelatihan sebagai 'konselor sebaya'.

Kemarin siang, 20 Januari 2015, saya kedatangan dua rombongan siswa yang hendak mewawancarai saya untuk tugas Bahasa Indonesia dari Ibu Sherly Jelamu. Dua kelompok siswa itu datang dari kelas 7A dan 7B. Kelompok pertama adalah Dino, cs dr kelas 7B yang mewawancarai saya dengan topik sepak terjang saya sebagai guru BK. Sedangkan kelompok Putri, cs dari kelas 7A mewawancarai saya dengan topik pandangan-padangan saya terhadap pergaulan remaja dan disiplin di sekolah. Menarik melihat mereka begitu bertanggungjawab dan mulai keliatan profesionalnya. Maksud saya bahwa mereka meminta izin untuk wawancara dengan sangat sopan, dan memulai wawancara dengan sebuah pengantar yang baik meski kelompoknya Dino harus dimulai dengan apa yang biasa orang Kupang bilang, 'batolak bahela." Tapi akhirnya berjalan baik. Andre dan Putri yang bertugas mewawancarai saya melempar 10-16 pertanyaan dengan lugas dan komunikatif. Kebetulan saya adalah guru bimbingan mereka, sering melakukan kegiatan bersama jadi tak ada rasa gugup atau sungkan. Semua proses berlangsung dengan cair dan menyenangkan. Saya punya kesan yang positif akan diri mereka. Sebagai guru, hal-hal kecil seperti ini kadang luput dari perhatian kita sebagai guru dan orang tua. Seberapa sering kita mengapresiasi pekerjaan siswa? Seberapa sering kita memuji? Lalu memberikan motivasi jika saja apa yang mereka lakukan masih kurang. Seberapa sering kita memuji dengan kata positif ketimbang penghinaan, atau kalimat yang menjatuhkan semangat mereka? Terima kasih Dino dan Putri, cs, kemarin kalian sudah melatih saya untuk introspeksi diri, untuk mawas diri dan mengevaluasi apa yang sudah saya lakukan untuk kalian sebagai seorang guru selama ini, terlebih saya adalah guru bimbingan dan konseling. Ini adalah pelajaran yang baik bagi mereka. Dari sini saja saya akhirnya tahu potensi Andre dan Putri dan saya sudah berpikir untuk segera merekrut mereka untuk saja berikan pelatihan sebagai 'konselor sebaya'.

Senin, 19 Januari 2015
Sonde Bisa Tutup Mata. Ini Berita Menyedihkan!
Kemarin pagi saya baru saja membicarakan topik Perdagangan Anak bersama sekelompok
murid di kelas 7G dan C SMPK St Theresia Kupang dan topik ini masuk dalam
program training untuk mereka yang akan saya jadikan peer counsellor. Tak bisa
dipungkiri, perdagangan anak untuk dijadikan pekerja seks sudah terjadi di
sekitar kita, di Kupang terutama. Seperti kasus ini siswi SMP di Kupang dijual dan dijadikan pekerja seks di Kefa. Kabar ini sudah pernah saya dengar ketika baru saja jadi guru BK di Kupang. Konon kabarnya ada bisnis itu di Kupang :( Bujukan-bujukan biasanya
datang dari teman sebaya (selain langsung oleh germo). Anak tentu saja akan luluh ketika diimingi uang dan benda berharga. Saya teringat kasus sejenis yang dimuat di Majalah Tempo 5 Januari 2015. Seorang remaja putri di Palembang dibujuk bahwa ada pekerjaan sampingan yang bisa mendatangkan banyak uang, meski nyatanya si remaja dijual, dijadikan pekerja seks dan sakaw karena diberi narkoba juga. Salah satu pelakunya bahkan diketahui adalah seorang polisi.
Sebagai guru dan konselor di sekolah, salah satu upaya yang bisa dilakukan adalah dengan mengoptimalkan peran konselor sebaya. Sesama teman biasanya mudah didengarkan dan mudah mendengarkan, tentu saja akan jadi pintu masuk yang baik. Terlebih jika teman diberi pelatihan secara khusus. Mereka tentu saja orang-orang terpilih (misalnya komunikatif, percaya diri, cukup populer di sekolah, dan mudah masuk ke dalam berbagai kelompok pergaulan). Konselor sebaya
saya rasa bisa jadi langkah preventif yang baik. Ayolah para org tua, jangan melulu sibuk bekerja di kantor dan abai mengontrol. Kalau dalam pengalaman saya sebagai guru, kami di sekolah hanya punya 8 jam bersama anak selebihnya berada di bawah pengawasan orang tua.
Hendaknya ini menjadi perhatian kita semua. Apalagi NTT sudah berada di posisi pertama soal Human Trafficking.
![]() |
sumber: www.ourstoriesuntold.com |
Hendaknya ini menjadi perhatian kita semua. Apalagi NTT sudah berada di posisi pertama soal Human Trafficking.
Minggu, 28 September 2014
Sehari Bersama Siswa Bikin Video Klip 'Happy'
Senang rasanya hari ini menyempatkan 1 sesi konseling kelompok bersama murid-murid saya: Nanda Oematan, Laura Kennenbudi, Dinto Menek, Thobias Helly, Edo Neloe, Carol Bangu, Echa, Ceri Lianto, Thara Siwomole, Juan, Graha, Pearly Feonale, Fritz Kleden, Anggie, dan Ivanna. Saya memang sedang berusaha memberi persepsi baru bagi mereka soal penggunaan teknologi informasi/media sosial. Kehidupan sehari-hari mereka memang lekat dengan internet.
![]() |
bersama Laura Kennenbudi dan Dinto (Ketua Osis) |
Melihat kasus penyalahgunaan media sosial yang masih terjadi, saya akhirnya memutuskan untuk melakukan teknik konseling yang sedikit berbeda. Tidak harus di ruangan tertutup, dengan sofa dan pembicaraan serius. Saya memasukannya dalam kegiatan-kegiatan kreatif kelompok. Tahun 2012 saya memakai metode membuat video/film pendek. Siswa diajak berdiskusi tentang sebuah masalah yang sedang tren dan terjadi di sekitar kita, misalnya maki-maki di facebook, bully, dll. Sharing pengalaman dan diskusi terjadi dengan sangat cair. Sampai pada problem solving, kami menyimpulkannya dalam sebuah rencana, sebuah skenario, wah bagusnya bikin kegiatan apa nih. Bikin aksi damai dr kantin sekolah ke kantin Unika dengan poster-poster ajakan untuk berinternet secara sehat sudah pernah kami lakukan. Rangkaian kegiatan itu bahkan kami buat dalam sebuah dokumenter. Lantas film pendek itu diputar dalam sesi konseling kelompok berikutnya di kelas. Ketika tahun 2012, isu bully ada di sekolah saya, saya mengajak beberapa siswa kelas 9 (Ivanna Fulbertus, Ria Ludoni dkk) untuk bikin sebuah aksi. Muncullah ide dari kitab Amsal 17:17. Saat itu bulan kitab suci nasional dan kami menemukan perikop yang indah itu. tentang sebuah ungkapan cinta dan persaudaraan yang tulus satu sama lain sebagai umat manusia. Saya lega. Mereka dengan inisiatifnya mencari kaliamat-kalimat positif, membuat semacam poster berantai dan itu disebarkan ke setiap kelas dari satu siswa ke siswa lain, dari satu guru ke guru lain bahkan ke kepala sekolah hingga akhirnya terekamlah video Proverbs 17:17. Memvideokan sebuah topik konseling kelompok pun berlanjut setahun kemudian dengan film pendek Sang Pengelana. Masih dengan isu persahabatan dan persaudaraan tulus. Klise memang sebab sejatinya itulah problem anak-anak jaman sekarang.
Hari ini kami berkumpul di sekolah merekam beberapa kegiatan dilanjutkan ke hotel la hasienda (miliknya mantan murid saya, yang pernah bergabung dalam kelompok jurnalistik di sekolah). Energi murid-murid saya terlalu besar dan mereka sudah tak bisa dilepaskan dari gadget! Sebagai guru saya harus up to date juga, tak boleh ketinggalan informasi dari mereka. Guru sekarang pun harus lebih fleksibel. Saya dengan gaya dan cara saya, bahkan merasa bisa mengetahui secara detail persoalan mereka hanya karena sering berkegiatan bersama mereka mengurus mading, website sekolah, bikin film pendek bareng, atau sekedar jalan-jalan ke mall atau makan bersama.
Ah, tak ada habisnya jika berbicara tentang mereka. Sekali lagi, mereka ini kreatif! Energi mereka terlalu besar, sayang jika dihabiskan untuk hal-hal negatif. Mereka hanya butuh pengayom, pendamping, kakak sekaligus guru mereka yang bisa mengingatkan, memberi tahu sekaligus bisa mengerti kondisi mereka. Itu saja.
![]() |
bikin video klip happy by pharrel william untuk ultah sekolah |
![]() |
narsis sudah pasti. |
![]() |
Menunggu teman lain, diskusi ringan hingga berat bisa terjadi dengan santai |
Senin, 09 September 2013
Pelajar SMP Kelas VIII Berbicara Masa Pubertas
Oleh
Christian Dicky Senda, S.Psi*
Dalam sebuah
sesi konseling, beberapa siswa kelas VIII menuliskan pengalaman-pengalaman
mereka seputar masa pubertas mereka. Ada banyak hal yang mereka ungkapkan,
tentu sesuai dengan pemahaman mereka. Ini penting. Sebab sebagai remaja, mereka
harus tahu perubahan fisik dan psikis yang sudah, sedang atau belum terjadi
pada diri mereka. Dengan demikian mereka bisa lebih mempersiapkan diri (mental)
secara baik. Syukurlah ada keterbukaan tentang perubahan tersebut. Di sini
orang tua sangat berperan penting untuk mendukung dan menemani masa pubertas
anak-anak remaja mereka. Ya, mereka butuh informasi yang tepat dan tidak ambigu
terkait masa pubertas. Dan mereka juga butuh dukungan positif orang dewasa di
sekitar mereka. Sebagai konselor, saya
sengaja tidak menulis nama narasumber, demi menjaga privasi mereka. Namun
informasi ini saya rasa perlu untuk diketahui oleh remaja di manapun. Bahwa
semua remaja mengalami hal ini, dan semua akan baik-baik saja.
Minggu, 21 Oktober 2012
Masih Pentingkah Menulis Buku Harian? (Catatan Konselor Remaja)
Hari ini saya
mengirim komentar di Twitter demikian:
“beruntunglah saya pernah berada di generasi
korespondensi dan buku harian, tidak seperti remaja sekarang yang cuma bisa
me-retweet dan forward SMS bijak.”
Sontak komentar
ini langsung direspon murid-murid saya. Rata-rata berkomentar, “Pak dooo,
beking ketong tersinggung sa.”
Hahaha… asyik
dong. Rupanya disambar juga umpan saya. Tentu ini juga bagian dari cara saya
memprovokasi mereka untuk tidak menganggap sepele aktivitas menulis. Yah,
dengan semakin dimudahkan teknologi orang sekarang lebih malas menulis.
Akhirnya di media sosial semacam Twitter dan Facebook, Cuma bisa me-retweet
atau mem-forward ulang, ide, gagasan, opini orang lain dengan sekali klik. Sebab
sekali ‘klik’ belum tentu yang bersangkutan paham. Sekali klik itu instan,
cepat nempel, cepat pula ia berlalu. Lenyap tanpa bekas.
Akan dianggap jadul dan gak gaul
jika anak jaman sekarang berkorespondensi dengan surat, menulis buku harian,
dsb. Tapi menurut saya masih bisa kok berkorespondensi via e-mail, bisa kok
menulis catatan harian di blog, misalnya. Yang penting aktivitas menulis atau
mengetik (karena jaman laptop dan PC) tetap dijalankan.
Misalnya, saya
dulu saya bisa juga copy paste kalimat pamungkasnya Kahlil Gibran untuk sebuah
curhatan kecil di buku harian atau di pembukaan surat untuk teman korespondensi
saya, tapi ada proses yang panjang untuk menghayati kalimat itu dan
menyambung-nyambungkan dengan perasaan atau ide saya. Kalo sekarang, kalimat
yang sama misalnya dipake untuk sebuah SMS kepada kawan, atau untuk status
Twitter atau Facebook dalam ‘sekali klik’ lalu akan di re-twit atau diforward
juga dalam ‘sekali klik’. Maknanya mungkin akan terasa dangkal, sebab prosesnya
instan. Kalo yang pertama tadi, prosesnya bisa semalam suntuk atau
berhari-hari. Ya gak sih? Hahaha…
Secara pribadi,
saya merasakan betul efeknya berkorespondensi atau menulis buku harian. Dua
aktivitas itu sudah saya lakukan sejak kelas 5 SD! Lewat majalah Bobo dan
Sahabat Pena (yang saya dapat gratis dari Om Praso (alm) di kantor Pos Giro
Kapan), saya akhirnya punya beberapa orang sahabat, ada yang di Papua, Tana
Toraja, di Bali dan yang paling dekat di Kupang.
Saya yang susah berekspresi verbal
bisa menuangkan segala isi hati, ide dan gagasan ke tulisan (di surat dan buku
harian saya). Kalo sekarang, ahli-ahli dalam dunia psikologi menyebutkan bahwa
menulis ternyata punya efek pamungkas untuk melepaskan diri dari katarsis.
Intinya dengan
terbiasa menulis, saya bisa mengembangkan potensi kognitif saya kala itu, yang
oleh ilmuwan Perancis, Piaget, disebut tahap perkembangan pemikiran operasional kongkrit
dan pemikiran operasional formal, dimana saya dari masa kanak ke masa remaja awal sedang mengalami
perkembangan kognitif dalam hal pencapaian logika berpikir dan abstraksi, dan
itu terasah dengan kebiasaan menulis saya. Ide, gagasan, argument yang tidak
tersalurkan secara verbal bisa saya munculkan dalam format tulisan.
Dari kebiasaan itu akhirnya berkembang ke
aktivitas menulis puisi dan cerita pendek hingga ketika kuliah, dan menjadi
blogger, saya bisa beropini dan beragumen secara bebas dan terbuka di media
blog.
Pengalaman ini
yang selalau saya bagi ke murid-murid saya sebagai salah satu altertanif untuk
pengembangan diri/bakat juga untuk proses kematangan pola pikir. Syukur-syukur
untuk pembebasan diri dari katarsis (jika memang ada).
Apalagi ketika
sekarang ini, semua orang berbicara bahwa salah satu standar peradaban manusia
adalah soal bagaimana tulis menulis dan membaca itu membudaya juga. Nah ini
yang penting, melihat kondisi Flobamora yang lebih mengandalkan budaya bertutur
ketimbang menulis. Dan karena semua hal yang diwariskan dengan bertutur, tak
sedikit pula yang pada akhirnya lenyap atau berkurang maknanya gara-gara tak
ada hitam di atas putih.
Bagaimana
menurutmu?
-Pasir Panjang, Oktober 2012-
Christian
Dicky Senda. Blogger di Komunitas
Blogger NTT dan MudaersNTT. Penikmat sastra, psikologi, film dan kuliner. Kini
menjadi konselor di SMPK St Theresia Kupang. Twitter @dickysenda.
Senin, 20 Agustus 2012
Remaja Itu Penganggu, Betulkah? (Seri Konseling Remaja)
Saya adalah orang yang paling tidak
setuju dengan stereotype yang berkembang di masyarakat (dianut oleh orang tua
dan guru) bahwa remaja itu adalah masa-masa pembangkang, pemberontak, pengacau,
tidak rapi, tidak dapat dipercaya, cenderung merusak, berperilaku tidak sopan,
sehingga perlu bimbingan dan pengawasan orang tua.
Penyebabnya sebenarnya di kita kok,
orang-orang dewasa disekitarnya. Orang tua, guru, kurikulum pendidikan, harus
bertanggungjawab atas kegagalan ‘produk remaja’ tersebut. Kembali lagi ketika
remaja itu mengalami masa kanak-kanak.
Orang tua harus tahu dan
mempersiapkan sejak dini, bahwa:
1. Ketika
remaja awal (12-15 tahun, usia SMP) mereka mulai mengembangkan pikiran baru,
tertarik kepada lawan jenis, terjadi kematangan organ seksual sehingga ada
dampak rangsangan-rangsangan tertentu. Mereka menjadi peka, tetapi sulit
mengendalikan ego. Sehingga yang terjadi mereka sulit mengerti dan dimengerti
ortu mereka.
2. Ketika
masa remaja tengah (15-18 tahun, usia SMA) kecenderungan narsistik berkembang
pesat, menyukai teman yang punya sifat yang sama dengan dirinya, dan sangat
membutuhkan teman-temannya. Mulai terjadi kebingungan, karena ragu memilih yang mana, peka atau peduli, ramai-ramai atau
sendiri, optimis atau pesimis, dll.
3. Remaja
akhir (usia 18-21 tahun), sudah mendekati dewasa, minat semakin mantap terhadap
fungsi intelek. Ego untuk mendapatkan banyak pengalaman baru dan memperluas
jaringan pergaulan muncul. Identitas seksual terbentuk dan permanen.
Egosentrisme mulai seimbang dengan kepentingan orang lain. Mulai ada privasi/
pemisah antara dirinya dengan masyarakat umum.
Nah ketiga poin
penting ini yang harusnya diketahui oleh orang tua, guru dan pembuat kurikulum,
sehingga dalam menyiapkan kanak-kanak untuk masuk ke tahap remaja bisa lebih
proporsional dan punya efek positif untuk mereka. Artinya ketika remaja SMP
mulai tertarik dengan lawan jenis, bukannya dilarang dengan orotiter ala
ortu/guru, harusnya bisa dengan pendekatan dialog layaknya teman, demokratis,
karena yang mereka butuhkan adalah bimbingan kita agar proses mereka berjalan
alamiah dan POSITIF bukan dengan MELARANG kan?
Guru SD sekarang
sibuk dengan les tambahan untuk anak. Ortu menuntut siswa SD punya nilai bagus,
tapi bagaimana dengan bimbingan psikologisnya? Ketika ada masalah pada siswa SD
ortu atau guru cenderung menyelesaikan sendiri masalah itu secara DEWASA, tanpa
melibatkan anak. Anak tidak pernah belajar untuk menyelesaikan masalah.
Ketika remaja,
kita lalu melabeli mereka sebagai anak nakal, tidak sopan, penganggu, pencari
perhatian, dll.
Soal guru SD
sekarang yang tidak kayak dulu-dulu. Guru SD sekarang mah taunya terima jadi,
maksudnya siswa TK yang akan masuk SD sudah diharuskan bias baca tulis hitung
(calistung). Akhirnya anak TK sekarang jadi kurang bermain, karena masih umur
5-6 tahun sudah mengenal les calistung (tambahan) di luar jam sekolah! Beda ketika
saya TK dulu. Anak SD sekarang sudah stress duluan karena harus melewati ‘tes
masuk’ SD. Yah tes calistung tadi. Kalo siswa kelas 1 SD belumbisa calistung,
yang kena adalah guru TK, yang dianggap gagal megajar anak-anak. Akhirnya guru
TK lupa mengelola emosi dan psikomotorik anak. Ketika berlanjut ke SD, siswa
sibuk belajar dan belajar. Yang otaknya dianggap ‘lemah’ diberi ultimatum untuk
les tambahan diluar jam sekolah (jam 1 -2 siang). Itu yang terjadi dengan
keponakan saya. Guru lantas abai bagaimana caranya membantu tumbuh kembang anak
dalam bidang psikologis. Boro-boro mengajarkan pendidikan karakter atau budi
pekerti ke anak SD. Padahal itu intinya.
![]() |
sumber: dreamstime.com |
Ketika anak punya masalah, guru-guru
SD selalu yang menyelesaikan masalah tersebut karena anak dianggap ‘anak kecil’
yang tidak tahu apa-apa, tidak bisa menyelesaikan masalahnya. Padahal itu
masalahnya anak-anak, bukan masalahnya guru. Kenapa guru yang sendirian
menyelesaikan? Karena guru kita itu guru yang tak sabaran mendidik anak-anak. Maunya
cepat selesai, yah berarti diselesaikan orang tua. Akibatnya apa? Secara kognitif
anak okelah, tapi secara mental?
Jawabannya baru
terasa ketika anak SMP. Mereka menjadi remaja yang tidak mengenal diri mereka
sendiri. Kurang peka dengan reaksi emosi mereka. Punya masalah, karena tidak
punya bekal kemampuan menyelesaikan masalahnya sendiri (problem solving),
akhirnya yang stigma ‘remaja pembangkan, remaja labil, remaja nakal’ itu yang
muncul.
Kalo sejak SD
guru sudah terbiasa menyelesaikan ‘masalah’ anak dengan pukul, cubit,
tempeleng, berbicara kasar, menyinggung anak, dan segala jenis punishment maka
ketika SMP guru-guru yang kewalahan (dan tidak tahu atau krn tidak mau tahu)
akhirnya juga ikut meneruskan tradisi guru SD untuk menyelesaikan ‘masalah’
anak…
Oalaaaaaahhh…..
sistemik yah?
(Christianto Senda, S.Psi, konselor di SMPK St. Theresia Kupang)
Sabtu, 18 Agustus 2012
Pentingnya Problem Solving (edisi Konseling Remaja)
(Catatan harian konselor SMP St. Theresia Kupang)
Ada yang bilang
bahwa masa remaja sebagai usia bermasalah. Mereka mulai ‘berkonflik’ dengan
orang tua atau ada yang bilang lebih percaya teman ketimbang orang tua.
Bagi saya setiap
periode perkembangan manusia punya masalah sendiri-sendiri, entah itu masa
kanak, masa remaja, dewasa atau tua. Masalah yang terjadi pada remaja umumnya
karena tidak bisa mereka selesaikan sendiri. Kenapa? Sebab pola asuh di
sepanjang periode sebelum remaja (baca: masa kanak-kanak) masalah anak-anak
sebagian besar DISELESAIKAN oleh orang tua dan guru-guru sendiri. Tanpa melatih
anak untuk ikut menyelesaikan masalahnya atau menemukan yang namanya problem
solvingnya sendiri. Sehingga pada saat remaja, umumnya mereka tidak punya keterampilan
atau pengalaman untuk menyelesaikan masalah.
![]() |
sumber: behavioradvisor.com |
Disaat yang
bersamaan terjadi perubaan pola pikir remaja yang sudah merasa mandiri,
sehingga mereka ingin menyelesaikan masalahnya sendiri dan menolak bantuan
orang tua dan guru.
Saya jadi ingat
dengan perkataan Bu Eunike Tarigan, seorang psikolog di Jogja ketika saya
menjadi asistennya saat mendampingi konseling orang tua murid sebuah sekolah
(PG, TK dan SD).
Menurut Bu
Eunike, “Kuncinya memang ada di masa kanak-kanak. Kalau sudah berhasil membentuk
dan mematangkan emosi, kognisi dan psikomotorik di masa kanak, maka saat remaja
nanti orang tua tidak akan kesulitan lagi. Jadi jangan ada istilah ortu abai
atau lalai mendampingi masa kanak-kanak putra-putrinya karena alasan pekerjaan!
Karena uang yang kita peroleh tak akan membayar atau menggantikan apapun,
apalagi ketika anak telah remaja.”
Dan ketika kini
saya akhirnya berkesempatan bekerja di lingkungan remaja, akhirnya saya
menemukan sendiri logika-logika yang saling berkaitan antara situasi saat saya
bekerja dulu dengan situasi sekarang. Saya menemukan jawaban atas apa yang
pernah saya, Bu Eunike, Bu Wahyu dari Anak Prima atau kawan-kawan guru Anak
Prima di Jogja buat dulu ketika menjadi guru PAUD, TK atau SD Alam.
Ini yang
kemudian menjadi dasar saya ketika menjadi konselor remaja SMP, melatih apa
yang belum atau pernah tapi sedikit tentang bagaimana mereka menyelesaikan
setiap masalahnya dengan bijaksana. Mereka perlu mengenal diri mereka,
gejolak-gejolak atau reaksi-reaksi psikologis yang umumnya timbul di rentang
usia mereka, remaja awal, 12-15 tahun. Bagaimana mereka mengelola/ merespon
setiap gejolak atau reaksi tadi. Kemampuan problem solving! Ahaa….
Selasa, 14 Agustus 2012
Rumpu Rampe Pengalaman Pertama Konselor di SMP (#1)
Sebulan
bekerja sebagai konselor di sebuah SMP swasta yang dikenal punya reputasi bagus
di Kota Kupang, saya menemukan beberapa fakta menarik di sana.
1. Kebanyakan mereka berasal dari
keluarga kalangan menengah ke atas. Mereka adalah remaja dari keluarga dengan
ekonomi mampu. Serba ada, serba dilayani di rumah. Dibekali uang jajan yang….
Wow, jika dibandingkan dengan saat saya SMP dulu hahaha….
2.
Beberapa
persoalan sama yang saya temukan, banyak remaja dengan kecenderungan perilaku
sejenis, misalnya agresif verbal dan fisik, dianggap temannya ‘suka cari
perhatian’, cuek tapi menuntut (egosentrisme tinggi), mudah tersinggung dan
labil. Ketika saya cek ke wali kelas, wawancara dan melakukan banyak dialog
dengan mereka (yang satu persatu saya dekati), jawabannya sama, kurang lebihnya
begini:
![]() |
sumber; zazzle.com |
“Saya
kesal di rumah. Sepi. Bapak dan Mama sibuk melulu, kerja inilah, kerja itulah.
Jarang di rumah. Tapi bapak itu suka manjain saya. Mauuu apa saja dituruti,
tapi memang sih jarang ketemu Bapak. Abis kerjanya diluar kota terus. Ibu juga
sibuk. Seringnya saya di rumah sama adik (atau kakak), tapi berantem terus sama
mereka. Saya benci adik saya (atau kakak saya), dia usil. Kakak saya egois. Kalau
bosan di rumah, saya suka kabur (keluyuran) tanpa izin, ke rumah teman, ke
mall. Suka bohongin sih, karena kalau jujur mau ke mana, pasti dilarang.”
Poin penting: anak kurang
perhatian, ortu sibuk (tapi permisif. Ini tidak bagus. Karena ingin ‘membalas’
waktu yang terlewatkan tanpa berada di sisi anak, karena pekerjaan, akhirnya
memanjakan anak, menuruti semua kemauan anak). Anak akhirnya ‘kabur’ dari rumah
mencari teman ngobrol. Anak akhirnya berbuat ulah di sekolah, supaya
diperhatikan, dianggap ada, dianggap eksistensinya.
3.
Mungkin
ini sangat terkait dengan poin 1, respek ke orang atau barang (miliknya
sendiri, teman atau fasilitas sekolah) minim. Karena mungkin di rumah, pola
didiknya langsung ke hasil, bukan prosesnya. Mau Blackberry seri terbaru
langsung dibelikan, tanpa ada proses belajar menabung dulu, berprestasi dulu,
misalnya.
Anak yang dididik dalam pola asuh yang indulgent,
highly privilege (orang tua sangat memanjakan anak dan memmenuhi semua
keinginan remaja), tumbuh dengan lack of internal control and lack of sense
of responsibility. Mengapa? Dengan memenuhi semua keinginan dan tuntutan
mereka, remaja tidak belajar mengendalikan impulse, menyeleksi dan
menyusun skala prioritas kebutuhan, dan bahkan tidak belajar mengelola emosi.
Ini jadi bahaya karena remaja merasa jadi raja dan bisa melakukan apa saja yang
ia inginkan dan bahkan menuntut orang lain melakukan keinginannya. Jadi remaja
akan memaksa orang lain untuk memenuhi kebutuhannya, dengan cara apapun juga
asalkan tujuannya tercapai. Remaja juga tak memiliki sense of responsibility
karena kemudahan yang ia dapatkan, membuat remaja tidak berpikir action-consequences,
aksi reaksi, kalau mau sesuatu ya harus berusaha. Remaja di sekolah
ingin dapat nilai bagus tapi tidak mau belajar, akhirnya mencontek, atau
memaksa siswa lain memberi contekan dengan ancaman.
4.
Tapi
sebenarnya mereka cerdas, pede, antusias tinggi dan aktif verbalnya. Cuma sense of responsibility yang mesti dikelola.
5.
Mereka
sangat memperhatikan penampilan dan suka diperhatikan.
6.
Umumnya
sedang mengalami cinta monyet, mulai tertarik dan naksir dengan lawan jenis,
sehingga ruang konseling selalu ramai karena ada 1 orang atau sekelompok remaja
datang untuk curhat tentang cinta monyet mereka (kebanyakan yang berani terbuka
soal ini adalah kelompok perempuan, yang laki-laki lebih pemalu dan suka
mengelak ketika disinggung topik ini).
7.
Mereka
sensitif dengan guru yang berkata tegas, cenderung otoriter, gampang memberi
punishment. Karena mereka datang dari rumah yang polanya permisif, segalanya
serba BOLEH. Dan mereka sangat menggemari guru yang demokratis dan
memperlalukan mereka seperti sahabat. Tapi pintar-pintarnya guru untuk siaga
dan tegas, karena mereka juga cepat terlena dengan guru yang demokratis dan
bersahabat. Kadang sudah dikasih jantung minta hati pula, begitu istilahnya.
8. Mereka butuh kejelasan aturan
main, tapi tidak menyukai guru yang suka mengungkit-ungkit permasalahan mereka
di masa lalu atau kejadian yang tidak ada kaitannya dengan permasalahan mereka
sata ini.
- Pada periode Operasi formal (period of formal operations) idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak. Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya. Kapasitas berpikir secara logis dan abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu berpikir multi-dimensi seperti ilmuwan. Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya, tetapi mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya dengan pemikiran mereka sendiri. Mereka juga mampu mengintegrasikan pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan. Dengan kemampuan operasional formal ini, para remaja mampu mengadaptasikan diri dengan lingkungan sekitar mereka.
Pada kenyataan, di negara-negara berkembang (termasuk
Indonesia) masih sangat banyak remaja (bahkan orang dewasa) yang belum mampu
sepenuhnya mencapai tahap perkembangan kognitif operasional formal ini.
Sebagian masih tertinggal pada tahap perkembangan sebelumnya, yaitu operasional
konkrit, dimana pola pikir yang digunakan masih sangat sederhana dan belum
mampu melihat masalah dari berbagai dimensi. Hal ini bisa saja diakibatkan
sistem pendidikan di Indonesia yang tidak banyak menggunakan metode
belajar-mengajar satu arah (ceramah) dan kurangnya perhatian pada pengembangan
cara berpikir anak. penyebab lainnya bisa juga diakibatkan oleh pola asuh
orangtua yang cenderung masih memperlakukan remaja sebagai anak-anak, sehingga
anak tidak memiliki keleluasan dalam memenuhi tugas perkembangan sesuai dengan
usia dan mentalnya. Semestinya, seorang remaja sudah harus mampu mencapai tahap
pemikiran abstrak supaya saat mereka lulus sekolah menengah, sudah
terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk menganalisis masalah dan mencari
solusi terbaik.
(Christianto Senda,
S.Psi, konselor, pegiat sastra dan blogger di Komunitas Blogger NTT. Menetap di
Kupang)
Langganan:
Postingan (Atom)