Tampilkan postingan dengan label Cerah Hati. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerah Hati. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 30 Desember 2017

Tentang Natal Zaman Now


Ada pro kontra atas status Facebook saya beberapa waktu lalu. Dan lewat tulisan berikut (ini murni pandangan pribadi saya, tidak mewakili pandangan bapa saya, kaka saya, frater TOP di paroki saya, romo di paroki saya, guru saya, kawan saya dst jadi jangan sampai mau protes salah alamat ya gaeeess), saya ingin mempertegas posisi dan dasar argumentasi saya, biar jelas. Sekelompok orang yang saya duga datang dari ruang lingkup yang sama kemudian melancarkan serangan ke inbox dan timeline saya meski di beberapa status sudah saya jelaskan dasar sikap saya. Rupanya itu belum cukup. Di tengah kesibukan bekerja mengurus lakoat.kujawas (tahu sendiri dengan laporan akhir tahun), dan desakan untuk memperjelas argumen sebelumnya, saya mencoba berefleksi, membaca kembali dokumen Evalengii Gaudium dan bertanya apakah pemikiran saya keliru? Ternyata….


Santo Nikolas dan Sinterklas

Suatu ketika seorang teman mengirimkan foto di atas ke whatsapp saya. Meski sedang masa adven, masih menanti (bukan saja sepe sudah berbunga menandakan Natal hampir tiba) tapi di toko-toko dan mall bahkan sudah meriah sebelum masa adven tiba. Pasar. Ini hanya soal pasar, batin saya. 

Foto ini memang sangat mengusik pribadi saya. Di saat yang sama sehari-hari saya melihat kenyataan yang begitu riuh di pusat perbelanjaan yang saya sebut di atas, di media sosial, di TV, dan bahkan di gereja! Iya di gereja. Saya tiba-tiba ingat di gereja saya lilin adven baru menyala dua batang, namun gereja yang saya lihat dari media sosial sudah nampak begitu meriah dengan dekorasi Natal, dengan warna-warna yang begitu memprovokasi indera. Mungkin ini juga bagian dari masa penantian Sang Juru Selamat, batin saya lagi. Jaga-jaga memang. 

Dari foto yang sukses memprovokasi, saya kemudian mencoba googling. Pikir saya, menjelang Natal biasanya akan ada beberapa catatan atau esai kritis terkait Natal. Saya suka menyimak sesuatu yang dilihat orang dari berbagai sudut pandang. Saya akhirnya dibawa ke dokumen gereja yang cukup penting barangkali juga kontroversial, evangelii gaudium (EG), sukacita injil yang ditulis oleh Paus idola saya Paus Fransiskus. Mungkin agak ngefans karena pemikirannya yang tidak biasa (baca: rada kiri), dengan aroma teologi pembebasan dan anasilis Marxian yang… hmm! Seingat saya, dokumen ini pernah saya dapatkan dari seseorang ketika ikut Indonesian Youth Day di Manado. Sempat saya baca sekilas dan lenyap entah ada di mana. Saya mencoba membaca ulang berbagai artikel terkait EG dan mencoba mengunduh dokumen di google (ada banyak free pdf dokumen ini versi bahasa Inggris. Silakan sedot, gaaaeees). Sonde lama berselang muncul juga tulisan bagus dari Silvano Keo Bhaghi, seorang alumnus STFK Ledalero di Indoprogres: Agama, Kapitalisme dan Solidaritas Natal. 

“Kalau kapitalisme bubar maka dengan sendirinya agama bubar! 


Tulisan Bhaghi membawa saya lebih jauh mencermati realitas yang ada di sekitar saya, ya yang paling dekat ya gereja saya, gereja Katolik. Keresahan kami sama, bagaimana melihat hubungan kapitalisme dengan agama, lalu membawanya ke konteks kemiskinan di NTT dan rasa solidaritas. 

“Sebanyak 1,150,080 orang (miskin) NTT pada tahun 2016 hidup dengan pengeluaran di bawah garis kemiskinan Rp. 322,947,00 per orang/bulan. Jika biaya sekali makan minimal Rp. 10,000 saja atau Rp. 30,000 per hari, maka 1 juta orang miskin NTT ini masih minus Rp. 600,000 untuk bisa makan tiga kali sehari. Dengan kata lain, 1 juta lebih orang NTT hanya makan sekali sehari. Jika kalkulasi kasar ini tepat, maka 1 juta lebih orang miskin ini tidak punya pendapatan lebih untuk membeli ornament Natal.” 

Silvano tidak saja menyinggung teori Marxis tapi juga membandingkan dengan konteks NTT terkini, data valid Badan Statistika. 

***
Lalu saya menulis empat status beruntun yang mencoba mengkritisi realitas kita di NTT, mengapa mayoritas Kristen namun angka kemiskinan tinggi, di tengah begitu banyaknya bangunan gereja yang megah. 

Saya mengutip beberapa statemen Paus Fransiskus di EG yang menurut saya sangat sangat sangat kontekstual. Beliau menulis ini dalam EG nomor 49:


“I prefer a church which is bruised, hurting and dirty because it has been out on the streets, rather than a church which is unhealthy from being confined and fromclinging to its own security”–

“Saya lebih bersimpati pada gereja yang rapuh, terluka dan kotor karena menceburkan diri ke jalan-jalan, ketimbang sebuah gereja yang sakit lantaran tertutup dan mapan mengurus dirinya sendiri.”
Ketimbang gereja yang sibuk membangun menara gading dan sibuk mengurus birokrasinya sendiri.
Nah! Tapi jangan maknai lurus-lurus gereja harus kumuh dan kotor kayak kandang kerbau juga keleeuuuss. Tidak, bukan itu poinnya. 

Btw, kita tentu saja boleh berbeda pendapat dengan beliau. Aku sih yes sama Paus!
Atau sikap beliau bahwa perubahan saat ini hanya mungkin terjadi lewat revolusi gaya hidup yang baik pada tataran individual maupun struktural. Bahwa gereja harus jadi gereja yang miskin dan untuk orang miskin (EG 198). Bisa dicek, ada 91 frasa orang miskin di anjuran apostolik ini. Dan ada beberapa statemen lain yang bisa kita baca secara kritis. 

Misalnya, sistem ekonomi kapitalis adalah mesin pembunuh umat manusia. Bagaimana bentuk-bentuk perbudakan baru seperti sindikat perdagangan manusia (NTT banget nih gaessss) untuk kepentingan tenaga kerja murah di pabrik-pabrik dan perkebunan, prostitusi dan pekerja anak dibawah umur terjadi di depan mata (bisa dicek di lampur merah terdekat). Apakah persoalan-persoalan ini sudah mengganggu hati nurani kemanusiaan setiap orang beriman?

Entahlah. 

Tapi saya mau balik lagi ke foto perbedaan santo Nikolaus dan Sinterklass. Sinterklass yang saban Natal ada di pusat perbelanjaan, mall, sampai ke rumah penduduk dan rumah ibadah. Supaya jelas pernyataan dan pertanyaan saya soal, ‘gereja rasa mall’, ‘lama-lama kita kabur aer karena Natal kita lebih banyak Sinterklass, kereta salju, rusa, boneka salju, dll ketimbang fokus ke pesan solidaritas dan kesederhanaan Natal yang terwujud dalam rupa kandang domba, gembala, para raja yang datang dengan rendah hati, dst”.

Jadi baiklah saudara-saudari, tahukan kalian bahwa wajah Sinterklass yang ada di rumah kita, mall dan rumah ibadah kita sesungguhnya adalah interpretasi baru dari kapitalisme (dalam hal ini di-branding oleh perusahaan Coca-Cola tahun 1931) atas sosok santo Nikolaus yang budiman itu. Apa yang disebut sebagai komidifikasi (pertukaran nilai sosial). Komodifikasi juga merupakan proses menjual apa yang sekiranya bisa dijual (logika mereka, semua hal adalah komoditas, termasuk Natal), bukan menjual apa yang seharusnya dijual. Kita membeli bukan karena butuh tapi hanya karena ingin beli. Ingin beli karena banyak dijual. Ingin beli karena tetangga juga beli. Ingin beli karena di Facebook semua orang sudah beli, dst. Komodifikasi agama ini yang saya khawatirkan akan menimbulkan sesat pikir umat. Kabur aer, yang saya tulis. Jadi masih pikir kalau atribut Sinterklass adalah atribut keagamaan? Anda salah. Itu atribut kapitalisme. 

Kalau saya sih melihat komodifikasi sinterklas kayak sebuah bentuk kerakusan meraup materi dan ini bertentangan denga nilai Kristiani. 

Tapi kan, tapi kan yang penting pesan kebaikan hati dari Sinterklass sampai to? Kan sesuai dengan pesan Natal yang solider bla bla bla to?

Iya, tapi fokus saya bukan ke situ. Kalau soal berbuat baik, mengapa kita yang di gereja Katolik sonde sekalian saja mengangkat dan mempromosikan sosok Santo Nikolaus ASLI saban Natal? Karena kalau mau pakai logika kapitalisme, parsetan, omong kosong deng itu nilai, yang penting tiap tahun ini asesoris Natal laku, laku dan laku. Yang penting kan konsumsi. Karena tiap tahun ju model sinterklas, kereta, boneka saljut dkk berubah terus sesuai tren pasar, yang notabene akan mendorong orang untuk beli dan mengganti setiap tahun. Percaya deh, dekorasi Natal yang sonde murah itu, yang menumpuk di halaman dan dalam gedung gereja, tahun depan juga sonde akan terpakai lagi, karena model baru, tren baru sudah muncul di pasaran. Orang akan beli atau menyumbang lagi model dekorasi baru. 

Saya malah kangen dengan suasana di paroki beta di selatan Jogja dulu. (Ah, spiritualisme Yesuit beda sih ya..) Setiap Natal, yang dominan muncul justru dekorasi yang lekat dengan kesenian tradisi Jawa yang juga lekat dengan masyarakat pertanian, sehingga dekorasi Natalnya lekat dengan bahan alam, daur ulang dan tentu saja murah meriah. Sehingga sonde terlalu terjebak untuk konsumtif dengan dekorasi Natal yang semua orang tahu: pertama, MAHAL! Silakan pi cek harga satu bola berwarna untuk pohon Natal, lebih mahal dari sebungkus nasi campur. Kalau kami di Mollo, sudah jatah pake bunga eka’kao (bunga lidah buaya hutan) sebagai pohon Natal tahunan yang sonde tergantikan. Kedua, SALAH KONTEKS. Apa hubungannya kereta salju, boneka salju, rusa kutub, dst dengan kita di NTT sini yang kering dan fuanaaas, misalnya. Dicky, logika kapitalis sonde berpikir ke situ, yang penting barang laku. Titik. Etapi bisa jadi akan ada Sinterklass pake tiilangga dan pegang haik naek iris tuak? Bisaaaa…

***
Ketika membangun perspektif ini dan menuangkannya ke dalam sebentuk status pendek, ada pihak yang tersinggung, marah dan begitu reaktif menyerang bahkan via inbox, dan ada satu dua komentar yang sedikit menggelikan: “Bro ini baru satu kali terlibat dalam kegiatan gereja mengurus pesta emas paroki saja berlagak sekali.” 

Maksud beliau, saya memang tidak ada apa-apanya (tidak seperti beliau yang OMK super aktif) saya disebut sonde berkontibusi untuk gereja jadi sonde usah kritik gereja. Saya cuma ketawa dalam hati dan tidak merespon. Ya malas meladeni yang tidak substantif. Belum lagi respon-respon murahan yang tidak fokus ke pokok pemikiran. Lha bisa fokus bagaimana, saya pernah kasih dua bahan bacaan: Evangelii Gaudium dan esai dari kawan Silvano Bhaghi saja saja malah ribut-ribut ke hal lain. Sudah baca bro, sis?

Saya jadi berpikir, mohon maaf jika saya salah: Apa iya ini reaksi orang-orang muda dari gereja yang sudah mapan? Yang serba ada, yang serba bisa. 

Logika kampungan saya sederhana saja, mengapa musti terusik, marah, meneror dan berbicara di luar konteks (menyinggung hal pribadi saya, menautkan dengan paroki saya dan para pelayan di paroki saya?). Kalau tidak begitu ya, tinggal tunjukkan saja bahwa gereja kalian sudah bikin aksi sosial ini, bikin itu, bahwa gereja kalian solider kok. Atau kalau memang mau ambil jalan berbeda, tetap kukuh dengan pendirian mau mendekor gereja dengan asesoris mahal, silakan kasih argument yang mendasari, kan selesai. “Kami kan mampu, ya terserah kamilah,” misalnya. Ya itu pilihan. Sama seperti saya memilih untuk tidak terjebak di ritual Natal yang konsumtif. Ya kalau kalian mau terjun bebas ke ritual Natal kapitalis, silakan saja sampaikan dasar pemikiran kalian. Feel free, gaeesssss…. Apalah saya yang kecil ini di depan gereja Katolik yang begini besaaaar. 

Tapi saya ada di tim Paus Fransiskus, by the way.
 
Poin pentingnya yang lain: memangnya hanya gereja kalian saja satu-satunya di dunia ini yang pakai AC dan dekorasi Natal mentereng? Sehingga harus merasa kalianlah satu-satunya pihak yang menjadi sasaran tembak saya. 

Tapi baik juga, setelah saya bikin status, saya diserang dengan banyak kritik, saya lantas mengambil ruang hening untuk berefleksi, membaca lagi teks EG, membaca banyak artikel tentang pro kontra Natal dan segala bentuk komodifikasinya dan…. Eng ing eng!

Saya malah lebih yakin dengan dasar pemikiran saya di atas.

Masih tidak setuju? Silakan. Bukan urusan saya. Masih tersinggung? Hei, saya tidak menyebut nama kalian dan nama gereja kalian.'

Akhirnya saya mau menutup tulisan ini dengan satu pengalaman sederhana yang baru saja terjadi dua hari lalu di lingkungan tempat saya tinggal di desa Taiftob. Singkat cerita, ada sekelompok jemaat (rayon, setara KUB) dari gereja Protestan yang memutuskan tidak ikut lomba pohon Natal yang diselenggarakan gereja mereka. Apa yang mereka lakukan? Keputusan sederhana nan penting diambil: pohon Natal tidak dibuat. Uang untuk beli bahan dipakai untuk bantu para janda dan duda di rayon mereka.

Ini tentu berisiko dan serba salah. 

Tapi saya salut pada keputusan itu. Natal yang sesungguhnya ya itu. Sonde terjebak di urusan fisik, tampilan luar, yang kerlap-kerlip dan mewah, yang warna dan nyala lampunya memprovokasi indera. Yang Facebook-able dan Instagram-able. Yang wow kalau muncul di instastory.
Natal di kepala orang-orang serayon telah melampaui itu. 

P.S:Apakah spiritualitas Natal sekarang sudah berubah, bukan seperti isi kotbah para pastor yang saya dengar dari kecil bahwa Natal adalah wujud solidaritas Allah pada manusia yang kecil, lemah dan terpinggirkan?
P.S.S: Sudah baca pesan Natal Sri Paus? Kalau dada sonde kuat, mudah tersinggung jangan baca. Status facebook saya sonde ada apa-apanya. Dalaaaaam maknanya, soalnya.
P.S.S.S: Kalau jadi OMK itu harus banyak baca buku juga, supaya kalau mau bereaksi pun kelihatan ada isinya. Kalau saya memang su bukan OMK lagi, umur sudah di luar tor. Su tua.

Salam dari Mollo
Dicky Senda―yang memang masih sedikit berbuat untuk gereja, ketimbang klean pada aktivis gereja…



Minggu, 09 April 2017

Dicky Senda , Sang Pencerah Desa Taiftob

(Artikel ini pernah dimuat di Koran Victory News tanggal 1 Maret 2017. Ditulis oleh Beverly Rambu)



Christianto Dicky Senda merupakan pendiri Lakoat.Kujawas asal DesaTaiftob, Mollo Utara, Timor Tengah Selatan (TTS). Meski sempat mengenyam pendidikan untuk menjadi psikolog dan pernah bekerja sebagai konselor pendidikan, namun pria yang akrab disapa Dicky ini akhirnya memutuskan untuk pulang kampung, membangun tanah kelahirannya dan menjadi penulis. Ia tidak tertarik menjadi PNS atau orang kantoran. Ia sadar mengambil jalur di luar PNS pun tidak semudah membalik telapak tangan. Kecintaannya pada seni dan kerja kreatif mengantarnya pada proses panjang menemukan pekerjaan paling tepat yang tidak hanya ia nikmati secara pribadi  tapi juga berguna bagi masyarakat sekitar. Dicky bukan sosok yang gampang menyerah. Butuh 6 tahun baginya mencari konsep tepat untuk mimpi bagi desanya. Diskusi dengan para dosen, tim LSM, dan rekan-rekan relawan ia lewati dan semakin meyakinkannya bahwa keputusan pulang kampung adalah keputusan yang tepat.
Juni 2016, Lakoat.Kujawas lahir. Nama Lakoat.Kujawas terinspirasi dari nama buah yang lekat dengan masa kecil anak-anak Mollo: buah lakoat (loquat) dan kujawas (jambu biji). Lakoat.Kujawas adalah kewirausahaan sosial, integrasi antara komunitas orang muda dengan ruang kerja kolaborasi (co-working space) dan ruang produksi oleh-oleh khas Mollo berkolaborasi dengan petani dan penenun setempat. Bersama beberapa sahabat dekat seperti Danny Wetangterah, Sipri Senda, Sandra Frans dan Thomas Benmetan mereka mulai mendata potensi di Mollo. Beberapa teman komunitas di Kupang dan Soe ikut membantu melakukan survey, program, desain logo dan stiker untuk kemasan produk lokal. Terkait relawan, Dicky mengatakan, Lakoat.Kujawas memprioritaskan orang muda TTS dari berbagai latar belakang, seperti perawat, guru, pegawai kantoran, mahasiswa, fresh graduate dan pekerja LSM.
“Sejauh ini ada 15 orang muda kreatif dalam tim,”jelas Dicky.
Dicky mengungkapkan misi utama Lakoat.Kujawas adalah mempersiapkan generasi muda Mollo untuk tidak sekadar bangga dengan kekayaan alam dan budayanya tapi secara aktif terlibat dalam usaha mengelola dan memanfaatkan semua potensi untuk kebaikan dirinya dan sesama. Pendekatan kewirausahaan sosial dana ekonomi kreatif rasanya paling tepat dengan konteks lokal di Mollo Utara. Miris bila banyak orang Mollo meninggalkan surganya yang kaya lalu rela jadi buruh di negri seberang padahal mereka bisa sejahtera dengan memanfaatkan potensi daerah yang ada.
“Orang Mollo harus berdaulat atas kekayaan alam dan budayanya,” tegas Dicky.
Narasumber di Asean Literary Festival untuk sesi ‘Mother Nature Stories’ dan ‘Religion, Ideology and Radicalism’ ini mengaku beberapa ide kreatif Lakoat.Kujawas muncul dari pengalaman pribadinya setiap kali pulang kampung saat masih bertugas di Kupang.  Paling tidak di rumahnya ada rak buku dan ratusan koleksi buku bacaan yang tak tersentuh. Ada kebun kopi sang Ayah yang sebenarnya potensial tapi tak terurus dengan baik. Di sisi lain, ada banyak sekolah dan asrama di sekitar rumah orangtua dengan banyak siswa yang jauh dari akses informasi kecuali perpustakaan sekolah. Belum lagi beberapa rekan dari Jawa selalu rindu untuk berwisata ke Mollo namun cukup kesulitan dengan akses akomodasi. Kenyataan ini membuat Dicky bersama relawan berpikir keras mencari jalan keluar terbaik melalui program pemberdayaan di Mollo.
Di Lakoat.Kujawas, Dicky dan teman-teman relawan mencoba mengemas produk unggulan dan khas dari Mollo ke dalam bentuk dan pendekatan promosi yang kekinian, seperti madu hutan, sambal lu'at, selai nanas, dan kopi Mollo. Lakoat.Kujawas juga berkolaborasi dengan merk fashion Moris Diak dari Jogja sehingga kain tenun dari para mama di Mollo bisa diproduksi menjadi totebag, slingbag, tas punggung, dsb. Semua produk dijual online melalui Instagram @lakoat.kujawas. Lakoat.Kujawas juga membangun perpustakaan warga di desa Taiftob dan dalam proses membangun perpustakaan lain di Desa Oelbubuk. Selain membaca dan meminjam buku, ada kelas menulis kreatif, kelas Bahasa Inggris, pemutaran dan diskusi film, latihan teater di perpustakaan Lakoat.Kujawas.
“Saudara dan adik-adik kami bisa dapat akses pengetahuan lewat perpustakaan supaya kelak mereka siap jadi tuan rumah di negeri sendiri, bukan jadi pentonton atau babu. Mereka jadi manusia merdeka,” harap Dicky.


Saat ini Lakoat.Kujawas juga sedang membangun homestay di desa Taiftob dan berkolaborasi dengan warga desa Fatumnasi yang sudah lebih dulu mengelola homestay bernama Lopo Mutis. Pendekatan ecotourism dan usaha pariwisata yang dikelola oleh komunitas atau masyarakat lokal lintas desa di Mollo juga menjadi salah satu proyek sosial ini. Beberapa paket wisata ke Mollo bahkan sudah mulai dijual di blog dan Instagram Lakoat.Kujawas.
Dua festival tahunan yang sudah dan sedang diselenggarakan Lakoat.Kujawas, Elaf Dame (Festival Seni Untuk Perdamaian) dan Mnahat Fe’u (Festival Panen) juga menarik banyak peminat. Pemutaran film secara regular, memperkenalkan keanekaragaman sumber pangan lokal dan resep kuliner lewat media sosial, serta berbagai rencana kegiatan lain dilaksanakan dengan komitment tinggi oleh Lakuat.Kujawas.
Kemajuan Lakoat.Kujawas bukan tanpa tantangan. Untuk mewujudkan misi ini, awalnya Dicky menggunakan tabungan sendiri plus kredit dari koperasi untuk mulai memproduksi oleh-oleh khas Mollo dan membangun dua unit homestay berbentuk rumah tradisional Mollo. Sementara untuk membiayai program pemberdayaan anak-anak dan orang muda, aksi galang dana di media sosial terus digalakan secara regular. Beberapa LSM seperti Pikul dan British Council Indonesia juga berperan mendukung berbagai kegiatan Lakoat.Kujawas. Ruang kolaborasi di Lakoat.Kujawas menjadi salah satu kekuatan bagi Dicky dan teman-teman relawan untuk tetap menumbuhkan semangat berbagi orang muda dan mewujudkan misi Lakoat.Kujawas.
Dicky menjelaskan, dampak positif dari Lakoat.Kujawas yang paling kelihatan adalah antusias anak desa Taiftob untuk bergiat di perpustakaan. Dari pengakuan teman-teman fasilitator kelas Bahasa Inggris, misalnya, tingkat kepercayaan diri, inisiatif dan motivasi mereka juga jauh lebih baik dari sebelumnya. Antusiasme juga datang dari orang-orang muda TTS yang berniat jadi relawan di tempat kami. Kampanye Lakoat.Kujawas di media sosial seperti Instagram juga cukup menggugah orang, paling tidak dari banyak komentar yang muncul, banyak pengguna media sosial lebih mengenal Mollo secara menyeluruh mulai dari kuliner, tempat wisata, kain tenun, hingga cerita-cerita tentang tokoh inspiratif dari Mollo.
“Cara framing kami tentang Mollo bahkan akan diteliti oleh teman kami seorang dosen komunikasi. Senang bahwa kami direspon secara positif,” ujar Dicky dengan senyum khasnya.
Penulis buku Kanuku Leon serta Hau Kamelin dan Tuan Kamlasi ini punya harapan besar agar orang muda Mollo, orang muda Timor Tengah Selatan selalu bangga dengan diri mereka. Tidak perlu malu atau risih karena kondisi rumah kita dari ilalang dan makan jagung bose karena identitas kita adalah kekayaan kita.
“Beta pernah pakai tas tenun (alkosu) dan beta diolok orang dari kampung sendiri. Ada yang salah dengan konsep diri kita. Bagaimana kita bisa berdaulat atas tanah dan kampung halaman kita kalau kita sendiri pesimis, malu, dan merasa rendah diri dengan apa yang kita punya?,” ungkapnya penuh makna.
Sejauh ini, Dicky masih optimis bahwa pelan tapi pasti Lakoat.Kujawas bisa mewujudkan banyak misi lewat berbagai kegiatan positif bagi anak-anak, orang muda, dan masyarakat Mollo pada umumnya. Lakoat.Kujawas hanya harus selalu ingat agar tetap konsisten sehingga kepercayaan masyarakat tetap terawat baik. Menurutnya, Lakoat.Kujawas masih terus tertantang untuk mengembangkan konsep community based tourism menjadi lebih baik.
Ia menantang kaum muda yang punya ide kreatif untuk tak ragu mewujudkan mimpi, berani belajar dan mencari tahu, membuka diri untuk setiap cara pandang yang beragam, dan memanfaatkan jejaring sosial yang ada, termasuk media sosial serta konsisten mewujudkan mimpi.

Dicky memang masih muda, namun ia berani mengambil keputusan tak biasa dan bertanggung jawab atas segala konsekuensi bahkan dengan tantangan berat sekalipun. Hasilnya, ia tetap berbangga bukan karena ia merasa diri hebat mendirikan Lakoat.Kujawas namun merasa menjadi manusia merdeka yang bebas menentukan pilihan dan menggunakan kesempatan itu untuk ikut serta memerdekakan orang lain di sekitar kampung halamannya yang selama ini masih terkungkung cara berpikir sempit dan minim pengetahuan. Dicky mengerahkan semua pengalaman lintas komunitasnya, jaringan kerja dan persahabatan, media sosial, dan dukungan semangat para relawan untuk mewujudkan Mollo yang sejahtera. Lakoat.Kujawas tanda kehadiran orang muda kreatif di Mollo dan menjadi bibit perubaha sosial yang signifikan di Kabupaten TTS. Siapkan Anda menjadi social entrepreneur berikutnya?  (Beverly Rambu)

Baca juga artikel terkait: Membayangkan Lakoat.Kujawas, Membayangkan Generasi Muda TTS Tanpa Kotak-Kotak

Kamis, 21 Juli 2016

Kontol Kuda, Bulu Puki dan Kisah Singkat Lainnya


Yang selalu beta ingat tentang masa kecil adalah selalu ada kue setiap hari di lemari di dapur. Mamatua dan aktivitas memasak memang sonde terpisahkan. Beliau punya 7 anak, jadi sepertinya sudah punya seribu satu akal di dapur, mengolah bahan apa saja menjadi makanan untuk kami semua. Pisang, jagung, ubi jalar atau ubi kayu (singkong) dari kebun dibelakang rumah bisa diolah jadi kue babika (campuran singkong parut, kelapa, gula dibungkus daun pisang dan dioven), dodol jagung (dari sari jagung muda dimasak dengan santan dan gula), nagasari hingga lamet (dua kue ini sudah umum sekali). Sejak dulu, kue solo (cucur) mamatua sudah punya pangsa pasar tersendiri di Kapan. Banyak pelanggan setia bertahan hingga kini. Seingat beta, tepung beras pun masih ditumbuk sendiri, sonde ada rose brand dalam kamus mamatua kala itu. Setiap pulang sekolah, kakak perempuan saya dan mamatua sudah 'puku-paka' dengan lesung dan aluk, tumbuk beras jadi tepung untuk bikin cucur. Sementara beta, si anak bungsu yang cengeng namun super kreatif, berlaku usil pada kakak perempuan yang bersusah payah menumbuk beras. Mamatua terlalu keras padanya kala itu. Sementara beta terus manja. Huh!

Kembali ke kue-kue di dapur mamatua.

Seingat beta (lagi), jenis kue juga bergantung waktu gajian. Di awal gajian kue bolu, biskuit asin atau lemonade dibuat. Kue-kue yang memerlukan banyak telur dan butter. Semakin tanggal jelang tanggal tua, kue yang dibuat ya pisang atau ubi goreng. Paling puncak tanggal tua ya... kue kontol kuda! Iya, serius, namanya kontol kuda. Kue dari terigu, sedikit gula dan garam, dibubuhi soda kue dan sedikit air. Campur adonan jadi super kental mendekati padat (nah untuk bikin kue kontol kuda, proses ini rada susah sebab harus mendapatkan tekstur yang pas untuk mendapatkan bentuk bulat padat ketika digoreng). Kue ini selalu jadi favorit di rumah. Paling pas memang dinikmati dengan kopi panas. Bapatua menanam kopi Kartika (salah satu varian Arabika) di kebun samping rumah, selalu cukup untuk kebutuhan kopi jahe sekeluarga.

Ketika hari ini beta mengirim foto ke Facebook, rupa dari kue kontol kuda, banyak respon ternyata. Antara kaget dengan nama itu hingga yang sudah terbiasa, sebab kue ini juga ada di masa kecil mereka dengan nama berbeda-beda. Ada yang bilang 'kue taro-taro', kue yang asal saja dibuat. Ada yang menyebut 'kue kontol kambing'. Tapi beta pung mamatua dengan tegas bilang nama kue ini kontol kuda! Sejak beta belajar bicara barangkali, kue ini sudah ada di rumah dan mamatua mengajarkan beta bahwa nama kue ini, (sekali lagi) kontol kuda.

Setahun lalu ketika mengisahkan cerita ini kepada tiga orang teman baik beta, kak Rosna, kak Rara dan kak Adi, kami tertawa keras sekali bahwa masing-masing juga punya ingatan akan kue di masa lalu mereka yang namanya tak jauh beda. Misalnya, kak Rosna dengan semangat bilang ada kue namanya bulu puki! Orang NTT tentu saja tahu betul jenis makian seperti itu. Di internet, beta cek, kue itu juga merakyat untuk sebagian wilayah di Indonesia.

Kue kontol kuda, bulu puki dll, senorak atau setercela apapun namanya, mereka tetaplah kue yang merakyat, sederhana dan dekat dengan warga kelas bawah seperti keluarga beta. Masih terbayang ekspresi semua orang rumah ketika mamatua membuat kontol kuda, ketika kami memakannya dengan lahap dan terus meminta mamatua untuk membuat kontol kuda. Sementara ketika beta menyebut nama itu dan menyertakan fotonya di Facebook, reaksinya macam-macam. Kebanyakan pada heboh.


Hei, kontol kuda itu enak. Maksudnya kue kontol kuda itu endes! Yakin... Sonde percaya, mainlah ke lakoat.kujawas.Kopi Mollo dan kue kontol kuda bisa kalian nikmati.




Christian Senda, tinggal di Mollo, Timor Tengah Selatan dan bergiat di lakoat.kujawas

Sabtu, 16 Juli 2016

NKRI Harga Mati Atau NKRI Kasih Mati?

Namanya Ronny Muyapa, asal Nabire Papua, tetangga beta di kosan daerah Klebengan, CT 8 Jogjakarta tahun 2005. Seumur hidup beta, dialah orang Papua pertama yang beta kenal secara dekat dan jadi kawan baik. Sejak menghabiskan masa kecil di Timor dan masa remaja di Flores, orang Papua hanya beta lihat di TV. Kami sama-sama penghuni kos tunggal di rumah yang kamar-kamarnya disewakan, bukan tipikal kamar kos kebanyakan yang berderet panjang. Kami bertetangga sekaligus sekelas di D3 Komunikasi UGM. Di angkatan kami hanya Ronny seorang yang Papua. Setiap hari Minggu kami misa bersama di Paroki Pringwulung dan ikut organisasi Keluarga Mahasiswa Katolik Fisipol UGM. Kepada beta dia selalu bilang, "Dicky sa ni malas ke Gereja tapi sa senang ada ko yang bisa ingatkan dan ajak sa ke Gereja." Di Jogja beta tak punya motor, terbiasa jalan kaki atau naik bus ke mana-mana. Berteman dengan Ronny yang punya motor membantu beta juga ketika harus mengerjakan tugas praktikum di tempat yang jauh. Kami jadi cepat akrab, barangkali karena sama-sama dari timur sehingga gampang memahami, misalnya hal kecil seperti logat dan selera humor.

Karena Ronny teman Papua pertama beta, banyak hal baru tentang orang Papua akhirnya beta tahu. Termasuk tahu bagaimana lingkungan kami berdua yang baru ini memperlakukan orang Papua seperti Ronny. Yang beta temui, indikasi bercandaan berbau ras dengan sederet stigma sudah sonde terpisahkan lagi. Seolah dengan kehadiran Ronny, semua hal negatif tentang Papua dalam kepala mereka langsung melekat ke diri kawan beta ini. Ronny jadi bahan olokan di lingkungan kos. Kerap beta melihat sendiri bagaimana ibu kos beta berkomunikasi dengan ibu kos Ronny (bukan pemilik kos, hanya penjaga rumah) atau tetangga lainnya dengan kesan yang seolah itu ada di semua orang Papua. Pernah sekali beta langsung nyeletuk, "Ah bu, beta juga kalau sonde mandi badan bau, ibu juga. Siapa saja bisa bau badan, sonde hanya orang Papua." Ibu kos beta masih terus berkelit. Beta tinggalkan. Bahkan diam-diam ada usaha untuk mengeluarkan Ronny dengan alasan rumahnya mau dikontrakkan ke pihak lain. Tapi informasi dari ibu kos beta, kabarnya warga sekeliling keberatan. Jadi labeling menahun begitu kuatnya sampai semua yang terlihat berciri sama, asal berkulit hitam dan keriting, baiknya ditolak saja karena pasti perilakunya sama. Setahun kemudian beta pindah kos, Ronny juga pindah. Kami jadi semakin jarang bertemu.

Pindah ke tempat lain, ketemu ketemu kawan Papua yang lain dan bersahabat baik dengan mereka. Di Jogja beta memang sengaja membatasi diri untuk bergaul dengan sesama anak NTT karena berpikir, sudah jauh-jauh merantau ke Jogja masak bergaulnya hanya itu-itu saja. Beta berkawan baik dengan anak Kalimantan, Palembang dan ikut kelompok pemuda Ambon di GPIB Marga Mulya bahkan. Sampai titik ini, beta ketemu hal yang sama saja, bahkan lebih luas. Perilaku negatif segelintir orang dengan mudahnya melekat ke semua orang dari tempat yang sama. Ekspresinya dari yang bicara di belakang, dikiaskan, dijadikan bahan olokan hingga yang esktrim seperti memasang plang/poster secara gamblang di depan rumah kos atau di gang-gang perkampungan. Belakangan beta tahu Ronny sudah bikin band dan main film (tentang isu yang sama. Karya Nindi Raras, judulnya Katong Semua Basudara). Ronny hijrah ke Jakarta, kerap masuk TV dengan nama Ronny Lau. Tahun lalu pas beta ikut program Residensi di Bumi Pemuda Rahayu, Imogiri, kawan beta ini inbox di Facebook, mengundang beta untuk hadir dalam screening filmnya di Jogja Netpac Film Festival di Taman Budaya Yogyakarta. Pemutaran filmnya malam dan bukan weekend, beta sonde dapat izin dari tempat residensi. Seingat beta, Ronny selalu menanggapi dengan santai olokan rasis yang dialamatkan padanya. Beta tahu itu berat dan melukai, tapi dia bisa menyembunyikan itu dengan selera humornya. Dengan pribadi easy going-nya. Atau mungkin bagi teman Papua yang lain, berbagai tuduhan prematur itu kemudian jadi semacam sebuah resistensi dan menimbulkan perilaku cuek atau terkesan berjarak dengan lingkungan. Kalau bahasa orang Kupang, “terserah kalian saja mau cap apa, toh yang beta bikin baek pun dianggap jelek semua na.” Barangkali begitu.

Tapi pengalaman beta, kawan orang Papua itu loyal dan polos (genuine/apa adanya). Percayalah pada diri sendiri, beta belajar itu dari Ronny. Beta belum nonton filmnya, tapi pernah baca sinopsinya. Film itu semacam kisah nyata dari Ronny yang memang pernah ditolak sana-sini, diolok dan ditertawakan hanya karena dia.... (tarik napas panjang), orang Papua!

***
Hampir 5 tahun meninggalkan Jogja, banyak perubahan terjadi signifikan. Kelompok intoleran dan extrimis seperti punya banyak ruang dan kesempatan untuk mengadili sesama warga sipil sesuka hati. Paling tidak sejak kasus tembak mati oleh Kopassus kepada beberapa warga NTT di penjara Cebongan. Banyak ungkapan rasis mengemuka, sonde lagi jadi kasak-kusuk di belakang, tapi hadir di ruang publik dalam bentuk spanduk besar di mulut gang dan umpatan. Apa iya yang mabuk, sonde pake helm, bikin onar dan jadi preman di Jogja hanya dilakukan orang timur Indonesia? Apa iya yang separatis itu hanya orang Papua? Persis ketika saya 6 tahun tinggal dan bekerja di Jogja, selalu saja ada pertanyaan seperti ini, "Yakin kamu dari Timor. Kok sonde hitam, sonde keriting? bla bla bla..." Jadi di sini jelas, ada cara pandang yang keliru, ada generalisir. Sampai sekarang beta terus berpikir dan tertawa, yakin nih yang preman dan kriminalis di Jogja hanya orang timur saja? Jangan mudah lupa dan tutup mata. Jangan lempar batu sembunyi tangan.

Tentang tuduhan separatis, ini juga lucu. Simak saja postingan Facebook pak Made Supriatna yang semoga saja sonde bikin kita lupa. Kok selalu saja aksi damai anak muda Papua dikaitkan dengan separatis sedangkan demo besar-besaran menuntut keistimewaan daerahnya dengan berbagai ancaman 'merdeka saja', 'bikin negara sendiri', 'pisah dari NKRI', sampai beredar desain paspor Jogjakarta, sonde pernah kita anggap sebagai upaya separatisme juga? (Beritanya di sini). Lalu bagaimana dengan ormas intoleran yang kerap mengobok-obok Pancasila dan NKRI, kok malah didiamkan polisi. Kalau semua punya hak untuk berpendapat, kok pendapat orang Papua selalu dibungkam dengan kekerasan dan kekerasan, pembunuhan dan makian rasis?
sumber:www.facebook.com/m.supriatma

Jadi stop sudah dengan kalian pung tipu-tipu. Dulu katong semua dijajah Belanda lama, disiksa, dibunuh, dihujani makian rasis, lalu katong berupaya mencari keadilan dan merdekalah. Salah? Sonde salah, sebab katanya "kemerdekaan adalah hak segala bangsa, hak setiap orang maka segala bentuk penjajahan di atas muka bumi ini harus dihapuskan karena sonde sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan." Lalu katong rebut Papua jadi katong pung milik dan katong berubah jadi bangsa penjajah yang baru. Apa salah kemudian orang Papua minta keadilan bahkan minta untuk menentukan nasib mereka sendiri. Apa salah orang Timor Leste kemudian memilih untuk merdeka.

Hari ini katong masih asyik cari Pokemon ada di mana, sedangkan kawan-kawan muda Papua masih setia berusaha keras mencari keadilan bahkan harus berdarah-darah. Cek sendiri berapa orang Papua yang mati setahun terakhir, 5 tahun terakhir, 10 atau 20 tahun terakhir karena kekerasan dan pelanggaran HAM. Cek sendiri berapa banyak orang Papua yang tersingkir dari tanah, kebun, hutan dan gunung mereka sendiri. Lalu katong masih teriak NKRI harga mati? Atau NKRI Kasih Mati. Preet to the moon and back.
Selamanya katong akan dikenang sebagai bangsa penjajah baru, selain Belanda dan Jepang.



Christian Senda, tinggal di Mollo, Timor Tengah Selatan. Petani di www.lakoatkujawas.blogspot.co.id

Minggu, 03 Juli 2016

Mereka yang Merisak dan Berteriak: Makan Tuh HAM!

Beta menulis ini karena beta juga pernah jadi guru selama 6 tahun, sejak 2009 masih mahasiswa semester 6 sudah nyambi kerja di sekolah alam di Jogja supaya punya uang jajan sendiri. Beta juga punya pengalaman traumatis saat SD ketika berhadapan dengan pelajaran Matematika, kemudian beta jadi suka gelisah ketika berada di kelas Matematika di jenjang pendidikan selanjutnya. Karena beta terlambat menghafal perkalian di kelas 4 SD, maka beta harus mendapat hukuman berlutut sepanjang pelajaran di depan kelas atau di ruangan guru, lengan dan daun telinga biru karena dicubit. Beberapa kali betis harus rela disambar dahan pohon asam yang aduhai itu. Itu terjadi berbulan-bulan. Efek jangka penjang, beta benci pelajaran Matematika. Tapi beta sudah memaafkan guru tersebut sejak beta sadar akan hal ini pas kuliah Psikologi.

Ini terkait dengan pro kontra dari publik di Indonesia terkait kasus guru diadili karena telah melakukan kekerasan fisik kedapa siswa.

Posisi beta di sini adalah sonde setuju dengan kekerasan oleh guru di sekolah. Sonde munafik, dulu saat jadi guru SMP, beta sempat melakukan kekerasan fisik (cubit dan tempeleng) juga verbal (berkata kasar) kepada siswa dan itu menjadi penyesalan terbesar beta. Apa karena siswa terlalu nakal? Atau beta yang terlalu mudah naik pitam. Keduanya barangkali benar hanya saja harusnya sonde menjadi alasan untuk beta melakukan kekerasan. Beta beruntung cepat sadar, cepat koreksi diri: minta maaf ke siswa. Dan didukung juga dengan lingkungan (komunitas) yang turut memacu beta untuk jadi guru kreatif.

Di divisi Bimbingan dan Konseling Sekolah, untungnya beta dan kawan-kawan guru masih diberi pikiran jernih untuk tidak memilih larut cara kekerasan sebagai sebuah hukuman untuk siswa yang dicap nakal (umumnya kekerasan dipakai dan dianggap sebagai cara cepat untuk mendisiplinkan siswa). Di ruang konseling, dengan para siswa SMP kala itu yang dianggap bermasalah oleh wali kelas atau guru mata pelajaran, beta membuat beberapa klub misalnya kelompok jurnalis pelajar yang mengelola blog sekolah dan mading, klub yang bikin film pendek dengan mengangkat isu-isu di seputar sekolah ke dalam film lalu memutarnya dari kelas ke kelas. Juga bikin klub relawan yang tugasnya berziarah sekaligus membersihkan tempat ziarah, berkoordinasi dengan setiap ketua kelas untuk kumpul buku bekas dan disumbang ke gereja di pedalaman, dsb (bisa dicek jejaknya di sini) Waktu itu cara ini beta pakai karena kewalahan dengan menumpuknya jumlah siswa yang dikirim oleh wali kelas ke ruang konseling. Mereka datang dengan riwayat keluarga yang berbeda-beda, kebanyakan memang remaja butuh perhatian yang orang tuanya sibuk bekerja atau remaja yang dengan energi melimpah yang ingin eksis dan diakui keberadaanya. Satu lagi alasan mereka: kami bosan dengan pelajaran di kelas! Kurikulum kita memang padat sekali.

Karena di luar sekolah beta bertumbuh juga di lingkaran komunitas kesenian (sastra dan film) maka coba beta adopsi model kegiatan di komunitas seni ke dalam sekolah. Lumayan. Beta sonde harus punya energi besar untuk teriak dan marah-marah di ruang konseling atau di kelas seperti guru lain. Ternyata para siswa beta hanya rindu diakui keberadaanya. Energi mereka yang meluap bisa tersalurkan dengan kegiatan kreatif. Namanya remaja, ketika wajah mereka muncul di youtub dan diputar di kelas, senangnya minta ampun. Beta tinggal mengarahkan mereka untuk fokus dengan pelajaran. Untuk siswa yang seminggu sonde melakukan pelanggaran, beta kasih reward jadi tim leader untuk produksi mading mingguan atau pemimpin rapat redaksi, dsb. Tapi punya program seperti ini bukan berarti sonde ada hambatan. Banyak rekan guru yang melihat dengan mata sebelah. Progam beta dianggap menyita waktu siswa. Buang waktu saja dan terlalu hura-hura. Beta mengerti. Kurikulum pendidikan di negara kita memang begitu padatnya sampai sonde ada ruang untuk kegiatan kreatif. Dan satu lagi, pelajaran kesenian, olahraga dan pengembangan diri masih anak tiri ketimbang Fisika, Matematika, Biologi, Bahasa Inggris. Itu dulu di sekolah tempat beta mengajar. Ketika beta resign, program itu berhenti. Sonde ada guru lain yang siap lanjutkan. Ada banyak hal bisa terjadi di sekolah. Tapi kalau guru kreatif dan mengerti dengan psikologi manusia (semoga ilmu psikologi benar-benar diajarkan untuk mahasiswa keguruan), beta rasa ada banyak cara kreatif untuk memberikan punishment kepada siswa. Sonde harus dengan kekerasan fisik dan verbal.  

Dan kerena melakukan ini, ada juga rekan guru yang ketawain di belakang beta. Ya sudahlah.

***
Sampai detik ini beta masih heran sama kalian yang mati-matian membela kekerasan. Kalau merasa cara mendidik gurumu dulu sudah baik meski dengan kekerasan sehingga kamu jadi seperti sekarang apakah artinya cara itu juga baik untuk orang lain? Tidak. Kalau merasa sistem pendidikan dengan kekerasan itu baik kok mutu pendidikan negara kita jeblok terus? Kok penuh koruptor, teroris, ormas radikal, Jonru dkk, juga kita semua yang rajin merisak (bully) orang di media sosial? Coba dicek dan kasih tahu beta kalau negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia macam Finlandia, Korea Selatan atau Kanada menerapkan kekerasan juga? Singapura deh yang paling dekat.

Nanti ketika siswa lihat guru pukul siswa itu biasa, lalu saat MOS atau Ospek, gantian siswa senior yang belajar dari guru memukul siswa yunior dan itu juga dianggap biasa. Halal. Pantas saja ketika keponakan beta masuk kuliah, ia senang karena ada larangan Ospek di kampus. Eh, 4 bulan kemudian dapatlah udangan kegiatan temu ilmiah bagi mahasiswa baru. Rupanya itu cuma modus, tetap diospek juga mereka. Trus lu masih bangga dengan cara kekerasan begituan dan masih mau bilang “karena dulu beta pernah ditampar, disiksa, beta belajar artinya hidup. Akhirnya beta sukses.” Preet. Merasa harus jadi contoh buat semua orang ko?

Lalu supaya apa kalian ramai-ramai bully si anak yang orang tuanya melaporkan sang guru. Harus ya ikut share foto si anak dan bully ramai-ramai. Sudah merasa paling benar jadi manusia? Kenapa anak, bukan orang tua yang bertanggungjawab. Beta percaya setiap orang terlahir baik, seperti kertas putih, akan jadi lukisan indah atau coretan ya tergantung keluarga, lingkungan rumah, sekolah, dst. Tapi dengan ikut-ikut merisak si anak, beta rasa bukan sebuah tindakan bijaksana, dari orang baik seperti kita yang merasa telah menjadi baik karena mengalami pendidikan dengan kekerasan dari guru-guru dulu. Kita yang merisak dan gigih berteriak: makan tuh HAM! Kita yang diam-diam suka dikerasin, suka dipaksa, suka bekerja dibawah tekanan, suka dijajah. Kita yang bermental inlander. Iya sih dijajah 350 tahun, efeknya hidup sampai sekarang.



Christian Senda, tinggal dan merintis lakoat.kujawas, sebuah coworking space di Mollo, Timor Tengah Selatan. 

Selasa, 28 Juni 2016

Mimpi dari Mollo



Setelah tinggal hampir 6 tahun di Kupang, beta akhirnya memutuskan untuk pulang kampung, kembali ke Kapan, sebuah kota kecamatan kecil di lereng pegunungan Mollo (gunung Mollo, Fatumnasi, hingga Mutis). Beta lahir di Kapan dan tinggal hingga SMP, selanjutnya sudah merantau ke Ende dan Jogja untuk sekolah dan kemudian tinggal dan bekerja di Kupang. Sungguh menyenangkan bisa berkarya di kota yang sedang bertumbuh seperti Kupang. Orang-orang mudanya begitu luar biasa energinya untuk berkumpul dan melakukan banyak kerja kolaboratif. Komunitas Sastra Dusun Flobamora, Kelompok Solidaritas Giovanni Paolo II dan Kupang Bagarak adalah tiga komunitas besar di Kupang yang beta ikuti, belajar dan ikut berkembang bersama. Terakhir beta juga bergabung dengan Komunitas Film Kupang. Bukan seorang sutradara, beta cuma punya mimpi, paling tidak saat ini beta sudah mulai pede untuk mengadaptasikan cerpen-cerpen beta ke dalam medium skenario film secara otodidak tentu saja dengan bimbingan kawan-kawan seperti Abe Maia di KFK. 

Di Kupang beta tergolong pribadi 4L, lu lagi lu lagi (menurut om Gusti Brewon yang notabene 4L juga) artinya sejenis orang yang hampir ada di setiap komunitas dan event kreatif yang dibuat orang muda. Hahaha. Selain sebab aktualisasi diri yang rasanya setiap orang punya itu, besarnya energi beta, ya karena ingin belajar. Beta suka mengamati, mendengar kalau dibolehkan ikut berbicara dan berkarya dalam sebuah social movement wah dengan senang hati. Sebenanrya bukan juga melulu karena keinginan beta, sikap terbuka kawan-kawan di Kupang juga luar biasa justru yang membuat beta dan siapa saja yang terlibat di dalamnya akan merasa betah, ingin berkontribusi dan mau bekerja kolaborasi. Semangat kerja kolaborasi dan volunteerism beta rasa adalah kekuatan baru, modal sosial baru anak-anak muda Kupang. Kuncinya sebenarnya sederhana saja: buka diri, percaya diri, dan... temuilah simpul-simpul seperti om Gusti Brewon, Amanche Frank, Danny Wetangterah, Elen Bataona, Abe Maia, Mario F Lawi, Inda Wohangara, Noya Letuna, om Oddy Messakh, Marinuz Kevin, LSM seperti IRGSC dan Pikul, Gerry Pratama atau dokter Sahadewa. Ada banyak nama sebenarnya. Mereka adalah orang yang jaringannya lebih luas dan kuat ketimbang jaringan Telkomsel di NTT. Beta sungguh merasa beruntung bisa kenal dengan mereka. Ketemu mereka dijamin sonde akan dibikin PHP, laiknya Telkomsel kasih bonus Wifi dan 4G melimpah tapi sonde bisa pakai juga karena aksesnya belum ada. Bajingan kan? Oya, Elen sepertinya sedang jomblo. Kalau Abe, maybe yes, maybe no.

Ketika sudah ada di tahap atau posisi enak, rasanya kita perlu naik kelas, perlu suasana baru, tantangan baru. Dengan melihat potensi yang ada di kampung beta di desa Taeftob, rasanya beta harus pulang dan bikin sesuatu. Dari beberapa pengalaman misalnya mengikuti residensi di Bumi Pemuda Rahayu Jogja dan Asean Japan Residency di Kampung Muara, belajar dan berdiskusi dengan kawan-kawan di Katakerja atau Rumah Sanur, pernah juga berdiskusi dengan Jok pendiri Little Tokyo di Brisbane, melihat semangat berwirausaha dari kawan-kawan Sekolah Musa  dan Geng Motor Imut di Kupang hingga belajar langsung dari Opa Matheos Anin di lereng Fatumnasi beta kemudian terinspirasi untuk membuat Lakoat.Kujawas. Tentu saja ada banyak hal menarik beta temui ketika hampir 10 tahun aktif di media sosial seperti blog, Facebook atau Twitter lantas terhubung dengan begitu banyak orang hebat, kalian semua. Oke, ide ini harus beta wujudkan. Dimulai dari kampung beta sendiri, Desa Taeftob di Mollo, Timor Tengah Selatan. Tak disangkat, ketika berdiskusi dengan kawan-kawan di Kapan, ternyata mimpi kita sama. Mereka bahkan sudah lebih dulu memulainya. Bukankah ini kerja kolaborasi yang nyata? Di kampung seperti Mollo, bukan sonde mungkin apapun bisa terwujud. Kita toh sudah ada dalam pergaulan generasi Y, generasi internet.

Apa itu Lakoat.Kujawas? Beta membayangkan sejak beberapa tahun terakhir sebuah platform di dunia maya yang bisa menghubungkan siapa saja untuk bekerjasama dengan warga Taeftob, warga Mollo. Lakoat.Kujawas adalah semacam co-working space, antara sesama orang Mollo maupun dengan orang dari luar Mollo. Untuk mengawali ide ini, melihat juga dengan potensi SDM dan SDA yang ada, kami sengaja membatasi untuk berkaya di bidang pendidikan (literasi), ekonomi kreatif (ekowisata, homestay dan toko online produk-produk lokal) dan tentu saja sebuah ruang diskusi, apresiasi, workshop dan pementasan di jalan Kampung Baru, No. 2, Desa Taeftob Mollo Utara. Ini pekerjaan-pekerjaan jangka pendek dan menengah yang sudah mulai kami garap. Ke depan, Lakoat.Kujawas bisa menjadi pusat informasi dan riset mengenai sejarah, kesenian dan kebudayaan Mollo. Beta senang ketika ide ini beta kemas dalam sebuah proposal sederhana dan beta coba tawarkan ke beberapa kawan dan kerabat dekat, misalnya Romo Sipri Senda kakak beta, Sandra Frans dan Angel Nalle dari Forum SoE Peduli, Yustin Liarian dari Sumba, om Danny Wetangterah dari Sekolah Musa yang kemudian ternyata diteruskan om DW ke om Oddy Mesakh, om Torry Kuswardono dan om Fritz Nggili. Sebuah jejaring yang beta juga om DW bisa bayangkan efeknya. Kita semua. Omong-omong terima kasih untuk koreksi, masukan, kritikan dan sebagainya terkait proyek social enterprise ini. Lengkap mengenai Lakota.Kujawas bisa dibaca di www.lakoatkujawas.blogspot.co.id atau sesekali mampirlah ke akun Instagram kami: @lakoar.kujawas. Sstt, ada bocoran nih, mulai bulan depan kalian sudah bisa membeli sambal lu’at dan biskuit asin khas Mollo di Instagram kami.

Beta sudah mulai mengumpulkan simpul-simpul penting di Kapan dan sekitarnya, beberapa pemuda gereja, perempuan penenun, guru, dan... membuka perpustakaan (dari bekas gudang) yang bisa diakses oleh siapa saja. Terima kasih Elen dan jaringan Buku Bagi NTT yang siap support buku-buku. Koleksi novel, buku cerpen dan puisi sih banyak. Masih kurang buku bacaan anak-anak dan buku terkait pertanian dan peternakan. Ruang ini diharapkan akan menjadi tempat bertemu, berdiskusi dan melakukan banyak hal kreatif. Putar film, pementasan juga sangat representatif. Punya ide apa yang bisa ditampilkan atau diimplementasikan di Mollo, mari sudah, saling support. Yang ingin jalan-jalan, menikmati pangan lokal (bisa beta masakin hehe), di rumah beta dan rumah warga lainnya siap menampung.

Mungkin hanya ini saja dulu kabar baik dari beta. Untuk diskusi lanjut bisa hubungi beta di 081 338 037 075 atau email: dickysenda@gmail.com. Btw, terima kasih untuk Gerald Louis Fori, yang sudah mendesain logo Lakoat.Kujawas ini. Diambil dari salah satu motif kain tenun Mollo, yang bermakna ruang sosial, ruang yang mempererat dan menghubungkan satu dengan lain. Mimpi dari Mollo.


Salam
Christian Dicky Senda