Ada pro kontra atas
status Facebook saya beberapa waktu lalu. Dan lewat tulisan berikut (ini murni pandangan pribadi saya, tidak mewakili pandangan bapa saya, kaka saya, frater TOP di paroki saya, romo di paroki saya, guru saya, kawan saya dst jadi jangan sampai mau protes salah alamat ya gaeeess), saya ingin
mempertegas posisi dan dasar argumentasi saya, biar jelas. Sekelompok orang
yang saya duga datang dari ruang lingkup yang sama kemudian melancarkan
serangan ke inbox dan timeline saya meski di beberapa status sudah saya
jelaskan dasar sikap saya. Rupanya itu belum cukup. Di tengah kesibukan bekerja
mengurus lakoat.kujawas (tahu sendiri dengan laporan akhir tahun), dan desakan
untuk memperjelas argumen sebelumnya, saya mencoba berefleksi, membaca kembali
dokumen Evalengii Gaudium dan bertanya apakah pemikiran saya keliru? Ternyata….
Suatu ketika seorang
teman mengirimkan foto di atas ke whatsapp saya. Meski sedang masa adven, masih
menanti (bukan saja sepe sudah berbunga menandakan Natal hampir tiba) tapi di
toko-toko dan mall bahkan sudah meriah sebelum masa adven tiba. Pasar. Ini hanya
soal pasar, batin saya.
Foto ini memang sangat
mengusik pribadi saya. Di saat yang sama sehari-hari saya melihat kenyataan
yang begitu riuh di pusat perbelanjaan yang saya sebut di atas, di media sosial,
di TV, dan bahkan di gereja! Iya di gereja. Saya tiba-tiba ingat di gereja saya
lilin adven baru menyala dua batang, namun gereja yang saya lihat dari media
sosial sudah nampak begitu meriah dengan dekorasi Natal, dengan warna-warna
yang begitu memprovokasi indera. Mungkin ini juga bagian dari masa penantian
Sang Juru Selamat, batin saya lagi. Jaga-jaga memang.
Dari foto yang sukses
memprovokasi, saya kemudian mencoba googling. Pikir saya, menjelang Natal
biasanya akan ada beberapa catatan atau esai kritis terkait Natal. Saya suka
menyimak sesuatu yang dilihat orang dari berbagai sudut pandang. Saya akhirnya
dibawa ke dokumen gereja yang cukup penting barangkali juga kontroversial,
evangelii gaudium (EG), sukacita injil yang ditulis oleh Paus idola saya Paus
Fransiskus. Mungkin agak ngefans karena pemikirannya yang tidak biasa (baca:
rada kiri), dengan aroma teologi pembebasan dan anasilis Marxian yang… hmm! Seingat
saya, dokumen ini pernah saya dapatkan dari seseorang ketika ikut Indonesian
Youth Day di Manado. Sempat saya baca sekilas dan lenyap entah ada di mana. Saya
mencoba membaca ulang berbagai artikel terkait EG dan mencoba mengunduh dokumen
di google (ada banyak free pdf dokumen ini versi bahasa Inggris. Silakan sedot,
gaaaeees). Sonde lama berselang muncul juga tulisan bagus dari Silvano Keo
Bhaghi, seorang alumnus STFK Ledalero di Indoprogres: Agama, Kapitalisme dan
Solidaritas Natal.
“Kalau kapitalisme bubar maka dengan sendirinya agama bubar!
Wuiiih, cadaaaas. Lengkapnya kalian bica baca tulisannyadi sini.
Tulisan Bhaghi membawa
saya lebih jauh mencermati realitas yang ada di sekitar saya, ya yang paling
dekat ya gereja saya, gereja Katolik. Keresahan kami sama, bagaimana melihat
hubungan kapitalisme dengan agama, lalu membawanya ke konteks kemiskinan di NTT
dan rasa solidaritas.
“Sebanyak 1,150,080 orang (miskin) NTT pada tahun 2016 hidup dengan pengeluaran di bawah garis kemiskinan Rp. 322,947,00 per orang/bulan. Jika biaya sekali makan minimal Rp. 10,000 saja atau Rp. 30,000 per hari, maka 1 juta orang miskin NTT ini masih minus Rp. 600,000 untuk bisa makan tiga kali sehari. Dengan kata lain, 1 juta lebih orang NTT hanya makan sekali sehari. Jika kalkulasi kasar ini tepat, maka 1 juta lebih orang miskin ini tidak punya pendapatan lebih untuk membeli ornament Natal.”
Silvano tidak saja menyinggung teori Marxis tapi juga membandingkan
dengan konteks NTT terkini, data valid Badan Statistika.
***
Lalu saya menulis empat
status beruntun yang mencoba mengkritisi realitas kita di NTT, mengapa
mayoritas Kristen namun angka kemiskinan tinggi, di tengah begitu banyaknya
bangunan gereja yang megah.
Saya mengutip beberapa
statemen Paus Fransiskus di EG yang menurut saya sangat sangat sangat
kontekstual. Beliau menulis ini dalam EG nomor 49:
“I prefer a church
which is bruised, hurting and dirty because it has been out on the streets,
rather than a church which is unhealthy from being confined and fromclinging to
its own security”–
“Saya lebih bersimpati
pada gereja yang rapuh, terluka dan kotor karena menceburkan diri ke
jalan-jalan, ketimbang sebuah gereja yang sakit lantaran tertutup dan mapan
mengurus dirinya sendiri.”
Ketimbang
gereja yang sibuk membangun menara gading dan sibuk mengurus birokrasinya
sendiri.
Nah! Tapi jangan maknai
lurus-lurus gereja harus kumuh dan kotor kayak kandang kerbau juga keleeuuuss.
Tidak, bukan itu poinnya.
Btw, kita tentu saja
boleh berbeda pendapat dengan beliau. Aku sih yes sama Paus!
Atau sikap beliau bahwa
perubahan saat ini hanya mungkin terjadi lewat revolusi gaya hidup yang baik
pada tataran individual maupun struktural. Bahwa gereja harus jadi gereja yang
miskin dan untuk orang miskin (EG 198). Bisa dicek, ada 91 frasa orang miskin
di anjuran apostolik ini. Dan ada beberapa statemen lain yang bisa kita baca
secara kritis.
Misalnya, sistem ekonomi
kapitalis adalah mesin pembunuh umat manusia. Bagaimana bentuk-bentuk
perbudakan baru seperti sindikat perdagangan manusia (NTT banget nih gaessss)
untuk kepentingan tenaga kerja murah di pabrik-pabrik dan perkebunan,
prostitusi dan pekerja anak dibawah umur terjadi di depan mata (bisa dicek di
lampur merah terdekat). Apakah persoalan-persoalan ini sudah mengganggu hati
nurani kemanusiaan setiap orang beriman?
Entahlah.
Tapi saya mau balik
lagi ke foto perbedaan santo Nikolaus dan Sinterklass. Sinterklass yang saban
Natal ada di pusat perbelanjaan, mall, sampai ke rumah penduduk dan rumah
ibadah. Supaya jelas pernyataan dan pertanyaan saya soal, ‘gereja rasa mall’, ‘lama-lama
kita kabur aer karena Natal kita lebih banyak Sinterklass, kereta salju, rusa,
boneka salju, dll ketimbang fokus ke pesan solidaritas dan kesederhanaan Natal
yang terwujud dalam rupa kandang domba, gembala, para raja yang datang dengan
rendah hati, dst”.
Jadi baiklah
saudara-saudari, tahukan kalian bahwa wajah Sinterklass yang ada di rumah kita,
mall dan rumah ibadah kita sesungguhnya adalah interpretasi baru dari
kapitalisme (dalam hal ini di-branding
oleh perusahaan Coca-Cola tahun 1931) atas sosok santo Nikolaus yang budiman
itu. Apa yang disebut sebagai komidifikasi (pertukaran nilai sosial).
Komodifikasi juga merupakan proses menjual apa yang sekiranya bisa
dijual (logika mereka, semua hal adalah komoditas, termasuk Natal), bukan
menjual apa yang seharusnya dijual. Kita membeli bukan karena butuh tapi
hanya karena ingin beli. Ingin beli karena banyak dijual. Ingin beli karena
tetangga juga beli. Ingin beli karena di Facebook semua orang sudah beli, dst. Komodifikasi
agama ini yang saya khawatirkan akan menimbulkan sesat pikir umat. Kabur aer,
yang saya tulis. Jadi masih pikir kalau atribut Sinterklass adalah atribut
keagamaan? Anda salah. Itu atribut kapitalisme.
Kalau saya sih melihat
komodifikasi sinterklas kayak sebuah bentuk kerakusan meraup materi dan ini
bertentangan denga nilai Kristiani.
Tapi
kan, tapi kan yang penting pesan kebaikan hati dari Sinterklass sampai to? Kan sesuai
dengan pesan Natal yang solider bla bla bla to?
Iya, tapi fokus saya
bukan ke situ. Kalau soal berbuat baik, mengapa kita yang di gereja Katolik
sonde sekalian saja mengangkat dan mempromosikan sosok Santo Nikolaus ASLI
saban Natal? Karena kalau mau pakai logika kapitalisme, parsetan, omong kosong
deng itu nilai, yang penting tiap tahun ini asesoris Natal laku, laku dan laku.
Yang penting kan konsumsi. Karena tiap tahun ju model sinterklas, kereta,
boneka saljut dkk berubah terus sesuai tren pasar, yang notabene akan mendorong
orang untuk beli dan mengganti setiap tahun. Percaya deh, dekorasi Natal yang
sonde murah itu, yang menumpuk di halaman dan dalam gedung gereja, tahun depan
juga sonde akan terpakai lagi, karena model baru, tren baru sudah muncul di
pasaran. Orang akan beli atau menyumbang lagi model dekorasi baru.
Saya malah kangen
dengan suasana di paroki beta di selatan Jogja dulu. (Ah, spiritualisme Yesuit
beda sih ya..) Setiap Natal, yang dominan muncul justru dekorasi yang lekat
dengan kesenian tradisi Jawa yang juga lekat dengan masyarakat pertanian, sehingga
dekorasi Natalnya lekat dengan bahan alam, daur ulang dan tentu saja murah
meriah. Sehingga sonde terlalu terjebak untuk konsumtif dengan dekorasi Natal
yang semua orang tahu: pertama, MAHAL! Silakan pi cek harga satu bola berwarna
untuk pohon Natal, lebih mahal dari sebungkus nasi campur. Kalau kami di Mollo,
sudah jatah pake bunga eka’kao (bunga lidah buaya hutan) sebagai pohon Natal
tahunan yang sonde tergantikan. Kedua, SALAH KONTEKS. Apa hubungannya kereta
salju, boneka salju, rusa kutub, dst dengan kita di NTT sini yang kering dan
fuanaaas, misalnya. Dicky, logika
kapitalis sonde berpikir ke situ, yang penting barang laku. Titik. Etapi bisa
jadi akan ada Sinterklass pake tiilangga dan pegang haik naek iris tuak?
Bisaaaa…
***
Ketika membangun
perspektif ini dan menuangkannya ke dalam sebentuk status pendek, ada pihak
yang tersinggung, marah dan begitu reaktif menyerang bahkan via inbox, dan ada satu
dua komentar yang sedikit menggelikan: “Bro ini baru satu kali terlibat dalam
kegiatan gereja mengurus pesta emas paroki saja berlagak sekali.”
Maksud beliau, saya
memang tidak ada apa-apanya (tidak seperti beliau yang OMK super aktif) saya
disebut sonde berkontibusi untuk gereja jadi sonde usah kritik gereja. Saya cuma
ketawa dalam hati dan tidak merespon. Ya malas meladeni yang tidak substantif. Belum
lagi respon-respon murahan yang tidak fokus ke pokok pemikiran. Lha bisa fokus
bagaimana, saya pernah kasih dua bahan bacaan: Evangelii Gaudium dan esai dari
kawan Silvano Bhaghi saja saja malah ribut-ribut ke hal lain. Sudah baca bro,
sis?
Saya jadi berpikir,
mohon maaf jika saya salah: Apa iya ini reaksi orang-orang muda dari gereja
yang sudah mapan? Yang serba ada, yang serba bisa.
Logika kampungan saya
sederhana saja, mengapa musti terusik, marah, meneror dan berbicara di luar
konteks (menyinggung hal pribadi saya, menautkan dengan paroki saya dan para
pelayan di paroki saya?). Kalau tidak begitu ya, tinggal tunjukkan saja bahwa
gereja kalian sudah bikin aksi sosial ini, bikin itu, bahwa gereja kalian
solider kok. Atau kalau memang mau ambil jalan berbeda, tetap kukuh dengan
pendirian mau mendekor gereja dengan asesoris mahal, silakan kasih argument yang
mendasari, kan selesai. “Kami kan mampu, ya terserah kamilah,” misalnya. Ya itu
pilihan. Sama seperti saya memilih untuk tidak terjebak di ritual Natal yang
konsumtif. Ya kalau kalian mau terjun bebas ke ritual Natal kapitalis, silakan
saja sampaikan dasar pemikiran kalian. Feel
free, gaeesssss…. Apalah saya yang kecil ini di depan gereja Katolik yang
begini besaaaar.
Tapi saya ada di tim Paus
Fransiskus, by the way.
Poin pentingnya yang
lain: memangnya hanya gereja kalian saja satu-satunya di dunia ini yang pakai
AC dan dekorasi Natal mentereng? Sehingga harus merasa kalianlah satu-satunya
pihak yang menjadi sasaran tembak saya.
Tapi baik juga,
setelah saya bikin status, saya diserang dengan banyak kritik, saya lantas
mengambil ruang hening untuk berefleksi, membaca lagi teks EG, membaca banyak
artikel tentang pro kontra Natal dan segala bentuk komodifikasinya dan…. Eng ing
eng!
Saya malah lebih yakin
dengan dasar pemikiran saya di atas.
Masih tidak setuju?
Silakan. Bukan urusan saya. Masih tersinggung? Hei, saya tidak menyebut nama
kalian dan nama gereja kalian.'
Akhirnya saya mau menutup
tulisan ini dengan satu pengalaman sederhana yang baru saja terjadi dua hari
lalu di lingkungan tempat saya tinggal di desa Taiftob. Singkat cerita, ada
sekelompok jemaat (rayon, setara KUB) dari gereja Protestan yang memutuskan
tidak ikut lomba pohon Natal yang diselenggarakan gereja mereka. Apa yang
mereka lakukan? Keputusan sederhana nan penting diambil: pohon Natal tidak
dibuat. Uang untuk beli bahan dipakai untuk bantu para janda dan duda di rayon
mereka.
Ini tentu berisiko dan
serba salah.
Tapi saya salut pada
keputusan itu. Natal yang sesungguhnya ya itu. Sonde terjebak di urusan fisik,
tampilan luar, yang kerlap-kerlip dan mewah, yang warna dan nyala lampunya
memprovokasi indera. Yang Facebook-able dan Instagram-able. Yang wow kalau
muncul di instastory.
Natal di kepala
orang-orang serayon telah melampaui itu.
P.S:Apakah spiritualitas Natal sekarang sudah berubah, bukan seperti isi kotbah para pastor yang saya dengar dari kecil bahwa Natal adalah wujud solidaritas Allah pada manusia yang kecil, lemah dan terpinggirkan?
P.S.S: Sudah baca pesan
Natal Sri Paus? Kalau dada sonde kuat, mudah tersinggung jangan baca. Status
facebook saya sonde ada apa-apanya. Dalaaaaam maknanya, soalnya.
P.S.S.S: Kalau jadi OMK
itu harus banyak baca buku juga, supaya kalau mau bereaksi pun kelihatan ada
isinya. Kalau saya memang su bukan OMK lagi, umur sudah di luar tor. Su tua.
Salam dari Mollo
Dicky Senda―yang memang
masih sedikit berbuat untuk gereja, ketimbang klean pada aktivis gereja…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...