Sabtu, 30 Desember 2017

Tentang Natal Zaman Now


Ada pro kontra atas status Facebook saya beberapa waktu lalu. Dan lewat tulisan berikut (ini murni pandangan pribadi saya, tidak mewakili pandangan bapa saya, kaka saya, frater TOP di paroki saya, romo di paroki saya, guru saya, kawan saya dst jadi jangan sampai mau protes salah alamat ya gaeeess), saya ingin mempertegas posisi dan dasar argumentasi saya, biar jelas. Sekelompok orang yang saya duga datang dari ruang lingkup yang sama kemudian melancarkan serangan ke inbox dan timeline saya meski di beberapa status sudah saya jelaskan dasar sikap saya. Rupanya itu belum cukup. Di tengah kesibukan bekerja mengurus lakoat.kujawas (tahu sendiri dengan laporan akhir tahun), dan desakan untuk memperjelas argumen sebelumnya, saya mencoba berefleksi, membaca kembali dokumen Evalengii Gaudium dan bertanya apakah pemikiran saya keliru? Ternyata….


Santo Nikolas dan Sinterklas

Suatu ketika seorang teman mengirimkan foto di atas ke whatsapp saya. Meski sedang masa adven, masih menanti (bukan saja sepe sudah berbunga menandakan Natal hampir tiba) tapi di toko-toko dan mall bahkan sudah meriah sebelum masa adven tiba. Pasar. Ini hanya soal pasar, batin saya. 

Foto ini memang sangat mengusik pribadi saya. Di saat yang sama sehari-hari saya melihat kenyataan yang begitu riuh di pusat perbelanjaan yang saya sebut di atas, di media sosial, di TV, dan bahkan di gereja! Iya di gereja. Saya tiba-tiba ingat di gereja saya lilin adven baru menyala dua batang, namun gereja yang saya lihat dari media sosial sudah nampak begitu meriah dengan dekorasi Natal, dengan warna-warna yang begitu memprovokasi indera. Mungkin ini juga bagian dari masa penantian Sang Juru Selamat, batin saya lagi. Jaga-jaga memang. 

Dari foto yang sukses memprovokasi, saya kemudian mencoba googling. Pikir saya, menjelang Natal biasanya akan ada beberapa catatan atau esai kritis terkait Natal. Saya suka menyimak sesuatu yang dilihat orang dari berbagai sudut pandang. Saya akhirnya dibawa ke dokumen gereja yang cukup penting barangkali juga kontroversial, evangelii gaudium (EG), sukacita injil yang ditulis oleh Paus idola saya Paus Fransiskus. Mungkin agak ngefans karena pemikirannya yang tidak biasa (baca: rada kiri), dengan aroma teologi pembebasan dan anasilis Marxian yang… hmm! Seingat saya, dokumen ini pernah saya dapatkan dari seseorang ketika ikut Indonesian Youth Day di Manado. Sempat saya baca sekilas dan lenyap entah ada di mana. Saya mencoba membaca ulang berbagai artikel terkait EG dan mencoba mengunduh dokumen di google (ada banyak free pdf dokumen ini versi bahasa Inggris. Silakan sedot, gaaaeees). Sonde lama berselang muncul juga tulisan bagus dari Silvano Keo Bhaghi, seorang alumnus STFK Ledalero di Indoprogres: Agama, Kapitalisme dan Solidaritas Natal. 

“Kalau kapitalisme bubar maka dengan sendirinya agama bubar! 


Tulisan Bhaghi membawa saya lebih jauh mencermati realitas yang ada di sekitar saya, ya yang paling dekat ya gereja saya, gereja Katolik. Keresahan kami sama, bagaimana melihat hubungan kapitalisme dengan agama, lalu membawanya ke konteks kemiskinan di NTT dan rasa solidaritas. 

“Sebanyak 1,150,080 orang (miskin) NTT pada tahun 2016 hidup dengan pengeluaran di bawah garis kemiskinan Rp. 322,947,00 per orang/bulan. Jika biaya sekali makan minimal Rp. 10,000 saja atau Rp. 30,000 per hari, maka 1 juta orang miskin NTT ini masih minus Rp. 600,000 untuk bisa makan tiga kali sehari. Dengan kata lain, 1 juta lebih orang NTT hanya makan sekali sehari. Jika kalkulasi kasar ini tepat, maka 1 juta lebih orang miskin ini tidak punya pendapatan lebih untuk membeli ornament Natal.” 

Silvano tidak saja menyinggung teori Marxis tapi juga membandingkan dengan konteks NTT terkini, data valid Badan Statistika. 

***
Lalu saya menulis empat status beruntun yang mencoba mengkritisi realitas kita di NTT, mengapa mayoritas Kristen namun angka kemiskinan tinggi, di tengah begitu banyaknya bangunan gereja yang megah. 

Saya mengutip beberapa statemen Paus Fransiskus di EG yang menurut saya sangat sangat sangat kontekstual. Beliau menulis ini dalam EG nomor 49:


“I prefer a church which is bruised, hurting and dirty because it has been out on the streets, rather than a church which is unhealthy from being confined and fromclinging to its own security”–

“Saya lebih bersimpati pada gereja yang rapuh, terluka dan kotor karena menceburkan diri ke jalan-jalan, ketimbang sebuah gereja yang sakit lantaran tertutup dan mapan mengurus dirinya sendiri.”
Ketimbang gereja yang sibuk membangun menara gading dan sibuk mengurus birokrasinya sendiri.
Nah! Tapi jangan maknai lurus-lurus gereja harus kumuh dan kotor kayak kandang kerbau juga keleeuuuss. Tidak, bukan itu poinnya. 

Btw, kita tentu saja boleh berbeda pendapat dengan beliau. Aku sih yes sama Paus!
Atau sikap beliau bahwa perubahan saat ini hanya mungkin terjadi lewat revolusi gaya hidup yang baik pada tataran individual maupun struktural. Bahwa gereja harus jadi gereja yang miskin dan untuk orang miskin (EG 198). Bisa dicek, ada 91 frasa orang miskin di anjuran apostolik ini. Dan ada beberapa statemen lain yang bisa kita baca secara kritis. 

Misalnya, sistem ekonomi kapitalis adalah mesin pembunuh umat manusia. Bagaimana bentuk-bentuk perbudakan baru seperti sindikat perdagangan manusia (NTT banget nih gaessss) untuk kepentingan tenaga kerja murah di pabrik-pabrik dan perkebunan, prostitusi dan pekerja anak dibawah umur terjadi di depan mata (bisa dicek di lampur merah terdekat). Apakah persoalan-persoalan ini sudah mengganggu hati nurani kemanusiaan setiap orang beriman?

Entahlah. 

Tapi saya mau balik lagi ke foto perbedaan santo Nikolaus dan Sinterklass. Sinterklass yang saban Natal ada di pusat perbelanjaan, mall, sampai ke rumah penduduk dan rumah ibadah. Supaya jelas pernyataan dan pertanyaan saya soal, ‘gereja rasa mall’, ‘lama-lama kita kabur aer karena Natal kita lebih banyak Sinterklass, kereta salju, rusa, boneka salju, dll ketimbang fokus ke pesan solidaritas dan kesederhanaan Natal yang terwujud dalam rupa kandang domba, gembala, para raja yang datang dengan rendah hati, dst”.

Jadi baiklah saudara-saudari, tahukan kalian bahwa wajah Sinterklass yang ada di rumah kita, mall dan rumah ibadah kita sesungguhnya adalah interpretasi baru dari kapitalisme (dalam hal ini di-branding oleh perusahaan Coca-Cola tahun 1931) atas sosok santo Nikolaus yang budiman itu. Apa yang disebut sebagai komidifikasi (pertukaran nilai sosial). Komodifikasi juga merupakan proses menjual apa yang sekiranya bisa dijual (logika mereka, semua hal adalah komoditas, termasuk Natal), bukan menjual apa yang seharusnya dijual. Kita membeli bukan karena butuh tapi hanya karena ingin beli. Ingin beli karena banyak dijual. Ingin beli karena tetangga juga beli. Ingin beli karena di Facebook semua orang sudah beli, dst. Komodifikasi agama ini yang saya khawatirkan akan menimbulkan sesat pikir umat. Kabur aer, yang saya tulis. Jadi masih pikir kalau atribut Sinterklass adalah atribut keagamaan? Anda salah. Itu atribut kapitalisme. 

Kalau saya sih melihat komodifikasi sinterklas kayak sebuah bentuk kerakusan meraup materi dan ini bertentangan denga nilai Kristiani. 

Tapi kan, tapi kan yang penting pesan kebaikan hati dari Sinterklass sampai to? Kan sesuai dengan pesan Natal yang solider bla bla bla to?

Iya, tapi fokus saya bukan ke situ. Kalau soal berbuat baik, mengapa kita yang di gereja Katolik sonde sekalian saja mengangkat dan mempromosikan sosok Santo Nikolaus ASLI saban Natal? Karena kalau mau pakai logika kapitalisme, parsetan, omong kosong deng itu nilai, yang penting tiap tahun ini asesoris Natal laku, laku dan laku. Yang penting kan konsumsi. Karena tiap tahun ju model sinterklas, kereta, boneka saljut dkk berubah terus sesuai tren pasar, yang notabene akan mendorong orang untuk beli dan mengganti setiap tahun. Percaya deh, dekorasi Natal yang sonde murah itu, yang menumpuk di halaman dan dalam gedung gereja, tahun depan juga sonde akan terpakai lagi, karena model baru, tren baru sudah muncul di pasaran. Orang akan beli atau menyumbang lagi model dekorasi baru. 

Saya malah kangen dengan suasana di paroki beta di selatan Jogja dulu. (Ah, spiritualisme Yesuit beda sih ya..) Setiap Natal, yang dominan muncul justru dekorasi yang lekat dengan kesenian tradisi Jawa yang juga lekat dengan masyarakat pertanian, sehingga dekorasi Natalnya lekat dengan bahan alam, daur ulang dan tentu saja murah meriah. Sehingga sonde terlalu terjebak untuk konsumtif dengan dekorasi Natal yang semua orang tahu: pertama, MAHAL! Silakan pi cek harga satu bola berwarna untuk pohon Natal, lebih mahal dari sebungkus nasi campur. Kalau kami di Mollo, sudah jatah pake bunga eka’kao (bunga lidah buaya hutan) sebagai pohon Natal tahunan yang sonde tergantikan. Kedua, SALAH KONTEKS. Apa hubungannya kereta salju, boneka salju, rusa kutub, dst dengan kita di NTT sini yang kering dan fuanaaas, misalnya. Dicky, logika kapitalis sonde berpikir ke situ, yang penting barang laku. Titik. Etapi bisa jadi akan ada Sinterklass pake tiilangga dan pegang haik naek iris tuak? Bisaaaa…

***
Ketika membangun perspektif ini dan menuangkannya ke dalam sebentuk status pendek, ada pihak yang tersinggung, marah dan begitu reaktif menyerang bahkan via inbox, dan ada satu dua komentar yang sedikit menggelikan: “Bro ini baru satu kali terlibat dalam kegiatan gereja mengurus pesta emas paroki saja berlagak sekali.” 

Maksud beliau, saya memang tidak ada apa-apanya (tidak seperti beliau yang OMK super aktif) saya disebut sonde berkontibusi untuk gereja jadi sonde usah kritik gereja. Saya cuma ketawa dalam hati dan tidak merespon. Ya malas meladeni yang tidak substantif. Belum lagi respon-respon murahan yang tidak fokus ke pokok pemikiran. Lha bisa fokus bagaimana, saya pernah kasih dua bahan bacaan: Evangelii Gaudium dan esai dari kawan Silvano Bhaghi saja saja malah ribut-ribut ke hal lain. Sudah baca bro, sis?

Saya jadi berpikir, mohon maaf jika saya salah: Apa iya ini reaksi orang-orang muda dari gereja yang sudah mapan? Yang serba ada, yang serba bisa. 

Logika kampungan saya sederhana saja, mengapa musti terusik, marah, meneror dan berbicara di luar konteks (menyinggung hal pribadi saya, menautkan dengan paroki saya dan para pelayan di paroki saya?). Kalau tidak begitu ya, tinggal tunjukkan saja bahwa gereja kalian sudah bikin aksi sosial ini, bikin itu, bahwa gereja kalian solider kok. Atau kalau memang mau ambil jalan berbeda, tetap kukuh dengan pendirian mau mendekor gereja dengan asesoris mahal, silakan kasih argument yang mendasari, kan selesai. “Kami kan mampu, ya terserah kamilah,” misalnya. Ya itu pilihan. Sama seperti saya memilih untuk tidak terjebak di ritual Natal yang konsumtif. Ya kalau kalian mau terjun bebas ke ritual Natal kapitalis, silakan saja sampaikan dasar pemikiran kalian. Feel free, gaeesssss…. Apalah saya yang kecil ini di depan gereja Katolik yang begini besaaaar. 

Tapi saya ada di tim Paus Fransiskus, by the way.
 
Poin pentingnya yang lain: memangnya hanya gereja kalian saja satu-satunya di dunia ini yang pakai AC dan dekorasi Natal mentereng? Sehingga harus merasa kalianlah satu-satunya pihak yang menjadi sasaran tembak saya. 

Tapi baik juga, setelah saya bikin status, saya diserang dengan banyak kritik, saya lantas mengambil ruang hening untuk berefleksi, membaca lagi teks EG, membaca banyak artikel tentang pro kontra Natal dan segala bentuk komodifikasinya dan…. Eng ing eng!

Saya malah lebih yakin dengan dasar pemikiran saya di atas.

Masih tidak setuju? Silakan. Bukan urusan saya. Masih tersinggung? Hei, saya tidak menyebut nama kalian dan nama gereja kalian.'

Akhirnya saya mau menutup tulisan ini dengan satu pengalaman sederhana yang baru saja terjadi dua hari lalu di lingkungan tempat saya tinggal di desa Taiftob. Singkat cerita, ada sekelompok jemaat (rayon, setara KUB) dari gereja Protestan yang memutuskan tidak ikut lomba pohon Natal yang diselenggarakan gereja mereka. Apa yang mereka lakukan? Keputusan sederhana nan penting diambil: pohon Natal tidak dibuat. Uang untuk beli bahan dipakai untuk bantu para janda dan duda di rayon mereka.

Ini tentu berisiko dan serba salah. 

Tapi saya salut pada keputusan itu. Natal yang sesungguhnya ya itu. Sonde terjebak di urusan fisik, tampilan luar, yang kerlap-kerlip dan mewah, yang warna dan nyala lampunya memprovokasi indera. Yang Facebook-able dan Instagram-able. Yang wow kalau muncul di instastory.
Natal di kepala orang-orang serayon telah melampaui itu. 

P.S:Apakah spiritualitas Natal sekarang sudah berubah, bukan seperti isi kotbah para pastor yang saya dengar dari kecil bahwa Natal adalah wujud solidaritas Allah pada manusia yang kecil, lemah dan terpinggirkan?
P.S.S: Sudah baca pesan Natal Sri Paus? Kalau dada sonde kuat, mudah tersinggung jangan baca. Status facebook saya sonde ada apa-apanya. Dalaaaaam maknanya, soalnya.
P.S.S.S: Kalau jadi OMK itu harus banyak baca buku juga, supaya kalau mau bereaksi pun kelihatan ada isinya. Kalau saya memang su bukan OMK lagi, umur sudah di luar tor. Su tua.

Salam dari Mollo
Dicky Senda―yang memang masih sedikit berbuat untuk gereja, ketimbang klean pada aktivis gereja…



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...