ilustrasi oleh Rara Watupelit dan Arystha Pello |
“Beta ini siapa?”
Ia
menulis pertanyaan itu pada selembar kertas karton berwarna hijau lalu memandang ke luar jendela menuju ke
pohon kersen yang rimbun di halaman. Pohon yang ia tanam duabelas tahun yang
lalu.
Ia
mengalihkan perhatiannya pada lembaran kertas di tangannya. Ia mengambil
gunting lalu memotong kertas itu menyerupai seekor kelelawar. Tulisan
pertanyaan itu sengaja dibiarkan tetap ada di tengah kelelawar kertas itu. Lalu
ia mengambil seutas benang dan diikatkannya
pada moncong kelelawar kertas tersebut. Sedangkan ujung benang satunya ia ikat
pada sebatang kayu sebesar ibujarinya.
Kelelawar kertas yang malang dengan mulut terikat benang, tanpa rumah dan sanak
famili. Ia memikirkan hal itu dan tersenyum kecut lantas melempar padangannya ke luar jendela menuju
titik yang sama, pohon kersen yang pernah ditanaminya.
Ia
mengamati lebih lekat, menembus gelap dan temaram lampu teras. Seolah menunggu
sesuatu. Lama sekali ia mengamati pucuk pohon kersen dan yang dinanti belum juga
tiba.
Ia
mengalihkan perhatiannya ke atas meja. Netbook
kuning dengan teriakan mesin yang memecah kesunyian. Semakin sunyi, semakin
garang ia meraung. Ia mendekat dan menarikan kesepuluh jarinya di atas
tombol-tombol netbook. Yang ia
nantikan belum muncul juga. Ia menulis sesuatu.
***
Aku benci rumah ini. Rumah
tua yang ditinggalkan almarhum Mamatua dan Bapatua untuk aku, anak bungsu yang... doyan menganggur—kata orang sih begitu.
Tunggu dulu, tolong kau garis bawahi kata menganggur itu, ya?
Aku terlalu membenci segala
sesuatu yang ada di sekitar. Mungkin karena aku
lajang
yang hampir lapuk. Betah menyepi, menulis, menikmati keanehan yang diberikan
semesta dan bertanya mengapa dalam diam semut dan nyamuk penghuni rumah ini
mendadak bermutasi menjadi setengah zombie?!
Ini gila. Aku bangun
pagi dan menemukan mereka telah tumbuh meraksasa di dapur juga kolong tempat
tidur dan hal itu adalah kabar buruk bagi sarapan pagiku.
Keanehan
berikutnya terjadi pada pohon kersen di halaman rumah. Seratus daunnya merangas
hari ini bersamaan dengan seratus tunas baru yang muncul. Aku lelah menyapu halaman
tetapi tak sudi pula memotongnya karena akan membawa malapetaka baru. Kota ini
dulunya terkenal sejuk, namun kini terlampau panas, jangan-jangan giliranku yang akan meranggas dan mati kepanasan
sebab tiada pohon peneduh di halaman.
Tetanggaku pernah berujar sinis
ketika melihat aku kesusahan
menyapu halaman. Katanya, “Makanya cepat cari bini su, biar ada yang urus
ini rumah ko jang sama ke rumah hantu sa!” Aku
diam
seolah tak mendengar. Ia pergi
begitu saja sambil menelan ludahnya sendiri sebab selalu kumentahkan semua omongan
basinya dengan hanya diam sambil
menyimpan bergumpal-gumpal rasa cuek.
Dasar perempuan tua
sial! Sibuk mengurus orang lain dan tak sadar jika suaminya, Pak PH itu, raja selingkuh di kota
S—aku mengetahuinya dari PSK
langgananku.
***
Ah,
akhirnya kau datang
juga. Ia melirik ke arah jam dinding. Satu jam sudah, batinnya.
Ia
melihat segerombolan kelelawar beterbangan mengerubuti dedaunan kersen. Ia
segera keluar memegang kelelawar kertas
yang terikat mulutnya dan berdiri di bawah pohon kersen. Ia mengawasi ke kiri dan
ke kanan, dan—kurang
ajar!—perempuan tua itu
sedang melemparkan padangan sinis ke arahnya.
Ditatapnya
burung kertas itu. “Beta ni siapa?”
secepat kilat ia langsung melempar kelelawar kertas dan kayu sebesar ibujari yang terikat
dengan benang ke atas pohon kersen. Tergantunglah kelelawar kertas itu,
berputar 360 derajat ditiup angin malam. Ia tersenyum puas dan melemparkan
senyum sinis berikutnya untuk perempuan tua di ujung sana. Tapi perempuan tua
itu malah sudah menghilang.
Ia
kembali ke teras dan mengambil posisi di atas kursi goyang milik almarhum Bapatuanya
lalu menatap ke arah
kelelawar kertas beserta kawanan kelelawar sebenarnya. Sepuluh ekor jumlahnya,
ia menduga-duga. Beberapa buah kersen jatuh. Rerimbun daun kersen bergoyang terkibas sayap kelelawar.
Ada yang rapuh dan terjatuh. Angin malam musim Timur menerpa wajahnya. Ia
melamun dan tenggelam dalam jurang yang menenangkan. Melayang semakin ke dalam, semakin bobot tubuhnya
terasa seberat kapas.
***
Ingin
sekali aku memilih untuk melupakan
identitas asliku.
Hidup tanpa KTP, Kartu Keluarga, rapat RT hingga sensus penduduk. Tanpa listrik
dan tanpa berinteraksi dengan tetangga cerewet. Mungkin menjual rumah ini dan
menyepi di hutan. Tapi ada satu yang menahanku:
pohon kersen ini. Oke, aku mengambil
jalan tengah saja. Misalnya tetap menempati rumah tua ini sambil sesekali
mengobrol dengan satu dua orang yang kupercayai saja. Termasuk suami perempuan
tua itu, Pak PH, sorang polisi yang doyan selingkuh. (Ia selalu menghampiriku dan meminta kondom).
Aneh, aku seolah lebih membela si
peselingkuh sebab membenci istrinya yang cerewet. Orang berikutnya, penjual
sayur keliling. Selebihnya aku tidak peduli.
Toh tak ada untungnya. Lebih
untung aku menyepi dalam buih-buih
bir dan menulis untuk menyambung hidup. Titik.
Aku aneh? Mungkin iya.
Supaya tak merasa aneh, gampang; tinggalkan saja aku. Atau
akan aku tinggalkan
kalian, terbang jauh seperti Batman.
***
Ia
ingin menjadi Batman. Mencari makan di pohon kersen itu lalu terbang menuju Gotham City idamannya. Radar minta
pertolongan mungkin akan ia terima dan ia menyukai perannya memberi selamat
bagi jiwa-jiwa.
Namun
rupanya keinginannya sulit tercapai. Entah sampai kapan ia akan menjadi Batman
dan mencapai kota Gotham impiannya. Kulit buah kersen berjatuhan. Bayu masih
meliukkan kelelawar kertas 360 derajat, menarikan pertanyaan itu: “Beta ni siapa?”
Ia
sepenuhnya masih melayang bebas, semakin ke dalam semakin ia kehilangan bobot
tubuhnya. Di kedalaman jurang yang menenangkan itu, pelan-pelan ia melihat
penggalan-penggalan film tentang dirinya diputar oleh seseorang, entah siapa.
Samar dan berganti rupa dengan cepat.
“Beta ni siapa?” ia berteriak
meski tiada yang mendengar. Teriakan yang sesungguhnya selembut kapas.
“Beta ni siapa?”
“Kau
tak akan menemukan jawabannya.” Sebuah bisikan lembut sayup-sayup dibuai angin.
Ia
bertanya dan bisikan itu memberinya jawaban yang sama.
“Anak,
lu pulang sa.” Sebuah saran dari pembisik.
Ia
mendadak terbangun dan menggetarkan kursi goyang. Dilihatnya gerombolan
kelelawar itu telah menghilang. Tak ada kulit kersen yang jatuh. Angin masih
setia memutar burung kertas itu 360 derajat. “Beta ni siapa?” ia meraba tubuhnya yang telah
basah oleh keringat.
***
“Lu
tahu ko sonde, lu siapa?” Ia menarik
tanganku dan menunjukkan tato
kelelawar kecil di lengan kiriku.
Aku keheranan.
“Ini
kelelawar. Tapi memangnya beta ni siapa?”
Aku menjawab dengan nada
kebingungan.
“Lu
tu anak kelelawar. Anak
suanggi.” Ia bergegas pergi meninggalkan aku
yang
nyaris kaku di bawah pohon kersen. Pertemuan yang aneh baru saja terjadi. Aku baru memikirkannya
sekarang dan lelaki tua itu telah menghilang di kelokan jalan. Kemisteriusannya
sesaat mematikan semua sistem syarafku.
Aneh.
Lelaki itu tiba-tiba hadir di saat aku
ingin
meninggalkan identitas asli. Dan tato...
aku terhenyak! Tato itu telah lenyap dari lengan kiriku. Aku merasakan badan ini kaku untuk kedua
kalinya. Air mataku
berurai seketika. Sekelebat bayangan hitam menghampiri pikiran: tali-temali
itu.
Dari
kejauhan, perempuan tua itu melihat keanehan yang terjadi padaku dan menertawakannya
dengan keras, seperti setan beludak.
“Lu
gila? Suanggi gila! Ha-ha-ha-ha.”
Bayangan
hitam menghampiri pikiranku:
lu harus duluan!
***
Ia
adalah Batman kesepian yang sesungguhnya. Tanpa sayap. Tanpa pernah menjajaki Gotham City. Tanpa pernah merasa telah
menolong orang-orang jelata. Ia adalah Batman yang tak pernah dikenal dan
dicatat generasi manapun dalam sejarah dunia.
Ia
selalu tercenung dan merasa gagal.
Ia
menyeberangi kota dan lembah
yang meringankan lalu kembali tanpa menemukan kenyataan yang sebenarnya. Sebab
pertanyaan yang sama masih ia genggam dengan kepalan tangan yang basah oleh
keringat dingin. Kepahitan yang tak wajar.
“Kau tak akan menemukan
jawabannya!”
***
Seorang pemuda lajang, HD, berusia 35 tahun ditemukan tewas terjerat tali plastik di atas dahan pohon kersen di halaman rumahnya sendiri di kelurahan EM, kota K. Korban pertama kali ditemukan pada Kamis (19/4) pukul 4 dinihari oleh tetangganya sendiri, yakni seorang polisi bernama PH yang baru pulang dari kota S. Dan yang tidak kalah menghebohkan adalah beberapa saat kemudian polisi yang sama juga menemukan istrinya, bernama NH telah tewas di kamar rumahnya dengan luka sabetan parang di bagian leher. Lokasi penemuan mayat pertama dan kedua hanya berjarak sekitar 30 meter.Korban HD dikabarkan telah hidup sendiri selama 6 tahun semenjak kematian kedua orang tuanya dan delapan orang saudaranya sekaligus dalam peristiwa kecelakaan maut di kota S. Menurut saksi mata yang kebetulan lewat sekitar pukul 20.00, sempat melihat HD dan NH sedang beradu mulut dan saksi mata itu mendengar NH meneriakan kata-kata ‘lu suanggi’ kepada HD sembari mengungkit-ungkit bahwa kematian sepuluh anggota keluarga HD sebagai tumbal dari kebiasaan mereka memelihara setan.
Kuat dugaan, HD yang adalah seorang penulis cerita misteri di majalah F dan sejumlah koran lokal dengan nama pena Ficus Benjamina, terlebih dahulu menghabisi nyawa NH lalu mengakhiri hidupnya dengan menggantung diri. (dus)
***
Kelelawar
kertas itu terus berputar diterpa angin sepanjang malam. Ia memang tak akan
menemukan jawabannya. Tapi ia masih ingin menjadi Batman.
Pasir Panjang, 2 Mei 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...