Kamis, 08 Mei 2014

Menikahi Anjing

ilustrasi: Rara Watupelit dan Arystha Pello

Aku masih saja setia menjadi tetangga dari dua pasang muda-mudi yang terpaksa menikah muda karena si perempuan sudah terlanjur hamil. Dihamili lelaki yang tak sungkan memanggilnya anjing! Kami tak begitu akrab sebagai tetangga, karena aku terlalu sibuk lagi cuek. Namun paling tidak, setahun lebih, telingaku sudah cukup akrab dengan kosakata harian mereka. Mungkin hanya rentetan umpatan yang menjadi tanda sayang antar mereka. Atau sebagai pasangan suami istri yang terlampau muda, mereka hanya punya pola unik yang sudah disepakati: ‘Oke, kata sayang kita ganti saja dengan kata anjing. Ya, anjing. Namamu aku ganti dengan si bodoh dan kau boleh memanggilku puk*mai! (makian yang sungguh menistakan perempuan-perempuan terkasih kita). Kita boleh bebas memaki sesuka hati.’
Aku paling malas mengurusi urusan orang lain (meski akhirnya aku rajin menguping juga), apalagi jika mereka sudah ‘dewasa’ atau terpaksa mendewasakan diri karena perut sudah kadung membuncit (kalau mau bermain gila, jangan lupa pakai kondom). Tapi, tentang mereka berdua, yang ada di benakku adalah sepasang kekasih yang terlalu muda bahkan dengan ikhlas membiarkan si bayi diasuh sang nenek. Lantas mereka bisa hidup bersama mengisi waktu dengan rajin berantem dan saling memaki satu sama lain. Bahwa aku mencintaimu dan menghamilimu karena kau perempuan bodoh sekaligus anjing betina.
Ya karena aku suka menghamili anjing betina, bukan hidup berumah tangga dengan gadis belia yang cantik rupawan. Mencoba melangsungkan hidup sebagai pasangan suami istri muda belia. Sayangnya, aku hanya menikahi salah satu penghuni kebun binatang tanpa sadar untuk belajar berlaku respek dengan pasangan, sadar bahwa ‘meski kita muda, kita punya hak untuk saling belajar dan melengkapi diri satau sama lain’. Entah apa pula yang ada di benak si lelaki atau si perempuan. Kadang, kasihan juga. Kasihan si perempuan.
Suatu sore yang sepi, di tempat jemuran ia pernah menyapaku. Tentu saja ia berani melakukan ini jika tak ada suaminya.
“Asli mana?”
“Eh, Saya? Dari Kupang.” Aku agak kaget dan gelagapan menjawab.
“Sama dong kita,” ia melanjutkan, “beta pung nama Nisa. Lu?”
 “Adi.”
“Suka menulis ko?” Ia bertanya dan aku suka tatapan yang mengiringi pertanyaan itu.
“Mmm, kok lu tahu?”
“Iya, beta pernah ketemu ini di tempat sampah sana. Sonde sengaja o, Adi.”
“Yang mana?” Oh, Tuhaaaan, matanya indah. Aku masih memerhatikan matanya.
Ia menyodorkan selembar kertas, yang aku kenali sebab bentuknya khas. Kertas HVS biasa yang aku tulisi puisi, tepatnya curahan hati saat aku sedang gila. Kertas yang pinggirannya sengaja aku bakar. Pinggirannya tak beraturan. Coklat. Hangus. Misterius. Biasanya kutempeli di dinding kamar namun tanpa sengaja terbawa ke kotak sampah.
Ia menyodorkan sambil berujar manis, “Lu pung tulisan bagus.”
“Terima kasih,” kataku sambil memberi isyarat untuk pamit pergi. Aku pastinya sedang malu, merasa ditangkap ekornya.
“Lain kali, boleh beta baca lu pung tulisan yang lain ko?”
Aku tak menjawab sepatah kata pun selain nyengir dan berlalu. Di kamar, aku membaca ulang dan terkesiap dengan isi carikan kertas yang pernah aku tulis sendiri...

“Blok Timur No. 9, pagi ini aku telat bangun, sebab semalam suntuk aku menguping. Seperti hari kemarin, aku selalu melihat tetanggaku itu bertengkar. Saling memaki. Seolah itu bahasa ibu mereka. Mungkin juga semalam mereka bertengkar selanjutnya bercinta. Atau mungkin seseorang di antaranya sedang merasa diperkosa. Mereka berdua. Berbeda jenis. Satunya anjing, satunya babi.
Pagi ini aku telat bangun, Kawan. Sebab semalam suntuk aku menguping. Gak. Sebelum aku menguping, aku menjadi salib kecil yang tergantung di pintu kamar. Tak ada yang tahu sebab aku telah menjadi patung salib. Aku melihat mereka yang sedang lalu lalang, tapi mereka tak melihatku. Aku menguping dan kedua tetanggaku itu saling memaki. Selanjutnya mereka bercinta dan seorang dari antara mereka sedang merasa diperkosa.”
\
***
“Beta su telpon Mama, adek ada tidur. Lu kangen ko sonde deng adek? Nanti baru batelpon lai e, Sayang?”
“Ho, pi sana. Buat kasih beta mi rebus.”
 Agak terhenyak ia langsung melepas mouse. Padahal baru saja ia duduk di depan komputer dan ingin bermain game. Semenit yang lalu, ia baru saja menelepon mertuanya sebab ia sudah kadung kangen sama anaknya. Anak yang semestinya belum pantas ia lahirkan (ia selalu menyesali itu diam-diam.)
Diliriknya foto anaknya di layar ponsel kemudian tersenyum sendiri.
“Heh, lu gila ko? Senyum-senyum sendiri. Pi bikin kasih beta mi sudah. Anjing nih!”
Ia tersenyum kecut sambil bergegas keluar kamar. Semakin menjauhi pria setengah telanjang yang sedang berbaring di tempat tidur. Semakin terasa bahwa senyumnya hanya hiasan. Ia lebih ingin merutuki nasibnya, bahkan mulai memaki. Memaki suaminya yang malas sambil menuruni anak tangga menuju dapur di lantai bawah.
Dua puluh menit kemudian, ia masih betah di dapur. Sebentar saja memasak, selebihnya melamun. Suaminya sudah barang tentu bukanlah tipe penyabar. Ia segolongan dengan suami yang manja, bekas anak mami yang terbiasa memerintah segerombolan pembantu di rumahnya. Sang suami menyusul ke dapur dan terjadilah pertengkaran. Mendadak dapur berubah jadi kebun binatang lagi. Ah, bukan. Jadinya seperti kandang ternak. Jorok.
Di saat yang sama, semua penghuni kamar yang sedang tidur siang telah keluar, seperti sedang terjadi jeda iklan di antara sebuah sinetron penguras emosi. Mereka yang keluar akan mempersembahkan cara terbaik mereka melongo, atau yang lainnya hanya mampu mengintip dari balik gorden, mengernyitkan dahi dan membiarkan episode kebun binatang berlalu. Salah satu dari penghuni blok mungkin sedang menulis ulang babak sengit yang kesekian ini di atas kertas.
***
“Sayang, kasihan ya si Nisa. Barusan dimarahi lagi sama suaminya tuh di dapur. Dikatain anjing bego lagi. Kasihan dia. Kok tega ya?” Perempuan yang nampak kesulitan menegakkan posisi berdirinya setelah baru saja mengintip, mengeluhkan itu kepada suaminya.
“Biarlah, itu urusan mereka,” jawab si pria.
“Tapi kan kasihan istrinya. Dikatain seperti binatang, bego pula, didengar orang-orang sekos kan malu.”
Tak ada respon dari suaminya.
“Duh, tega banget tuh si Abe.” Wanita itu berusaha mengintip keluar.
“Sssst, Mamaaa. Sudah, gak usah ngintip lagi. Gak enak kalau ketahuan.”
Air muka wanita itu langsung berubah.

***
Ah, mungkin yang sedang kulihat sekarang ini adalah langit dan bumi. Atau, surga dan neraka. Jauh jaraknya. Yang satu mendamaikan, yang lain bikin dada sesak ingin marah. Tapi mau bagaimana lagi?

Ia berhenti sejenak, mengambil gelas berisi air putih langsung diteguknya habis. Lalu mulai menulis lagi.

Aku jadi patung salib lagi malam ini setelah peristiwa tadi sore, saat terdengar piring pecah dilanjutkan dengan beberapa umpatan yang bikin panas telinga. Aku memilih tak keluar memamerkan wajah melongoku. Aku juga memilih tak mengintip memamerkan wajah dongoku. Aku memilih untuk tidur saja, sampai bermimpi bahwa semua penghuni kos mendoakan pasangan itu sehingga tak terjadi lagi pelemparan gelas dan sejumlah caci maki.
Tapi sungguh, pertengkaran mereka sore tadi menyadarkanku untuk juga mengamati penghuni kamar nomor 7 di sebelah Selatan sana. Pengantin baru, katanya. Baru saja pindah ke sini sebulan lalu. Aku kenal suaminya dari bajunya. Seorang sekuriti, bernama Euginius. Sedangkan istrinya, Patricia, kutahu nama mereka dari lembaran merah muda yang tertera di pintu kamar.
Di sini kusebutkan saja namanya si wanita hamil dengan suara indah. Mungkin seorang eks penyanyi kafe? Sumpah. Aku menikmati suara indahnya beberapa kali saat sedang mencuci pakaian, dekat jemuran, bersebelahan dengan kamar mereka. Ia menyanyikan beberapa lagi Whitney Houston dengan apik. Dengan teknik yang tak sembarang, seratus delapan puluh derajat berbeda dengan penyanyi karbitan yang bisanya lip-sync, seperti yang sering kulihat di acara televisi bernama Dahsyat.
Aku menjadi patung lagi malam ini, sebab aku penasaran, bukan lagi dengan pasangan pemaki itu. Bukan. Aku menghormati keramahan Eugenius. Aku menyukai suara indah si wanita yang sedang hamil, Patricia. Aku menyukai perempuan hamil. Wajah mereka cenderung bening, bersih auranya. Sebersih ruh orok yang menggelinjang di perut mereka.

Ia berhenti lagi. Menatap sekeliling kamar yang penuh poster film. Blue Valentine. Ryan Gosling. Michelle Williams.

Apakah sejatinya kehidupan pernikahan itu? Mencintai sepenuh jiwa dan raga yang telah tertampung cinta dariNya.
Aku mengenang wajah ramah Euginius, aku mengenang suara indah istrinya. Aku respek terhadap interaksi mereka, cara mereka berkomunikasi. Aku suka cara mereka merawat Bertie, anjing ras berbulu coklat tebal (yang sering aku kasih makan juga).
Aku suka cara wanita yang sedang hamil itu: ia menaruh sebuah foto, kukira itu foto pra nikah mereka. Nampak mesra, dibungkus pita dan ukiran huruf yang menarik. Merangsang setiap mata yang lewat lantas menghangatkan perasaan, mengungkit memori purba: cinta. Memanggil setiap degup tak terduga dari lembah hati terdalam—cinta dan rahasia Tuhan. Foto yang ia tempel di pintu kamar. Ada tulisan, ‘Bahagia Selamanya… Euginius & Patricia. 28 Desember 2010.’ Kukira itu tanggal pernikahan mereka.
Kudoakan kalian bahagia selamanya…

Ia berhenti menulis dan mulai menyalakan sebatang lilin. Dibakarnya pinggiran kertas, menimbulkan kesan hangus. Kecoklatan dan bergerigi. Misteri. Sebuah kesan.

***
“Sayang, Mas misterius di kamar sebelah nomor 9 itu kok gak kelihatan lagi?”
“Yang mana?”
“Itu yang di pintunya tergantung salib kecil.”
“Kata ibu kos, sudah pindah.”
“Pindah? Sejak kapan?”
“Gak tahu. Katanya sudah pulang kampung. Pulang ke Kupang. Mau menikah.”
“Kok tahu? Padahal salibnya masih ada lho, Mas.”
“Iya, kata ibu kos juga begitu.”
“Kamu sudah makan belum? Aku beliin nasi goreng, ya?”
“Jangan. Kasihan kamunya. Biar nanti aku beli sendiri.”
“Mas, kata pak dokter gak apa-apa, akunya yang harus sering-sering bergerak.”
“Iya sayang, tapi kan udah maghrib.”
“Oke deh, bilangin Mang Ubay, nasinya dibanyakin biar bisa dibagi sama Bertie.”
“Ya.”
“Eh, tunggu dulu, Mas. Aku pernah nemu sesuatu di kotak sampah dekat kamarnya Mas misterius itu. Nih, masih aku simpan.”
Wanita itu menyodorkan kertas sambil tangannya yang satu mengelus-elus perut buncitnya. Sedang si anjing mulai juga menjilat kaki nyonyanya.
Sang suami berbalik dan menerima kertas dari tangan istrinya. Mereka membaca dengan kening mengernyit.

“Malam ini aku ingin menjadi patung salib yang bergantung di pintu kamar. Agar dengannya aku bisa mengamati setiap manusia yang lewat. Tapi aku ingin mengamati dua manusia di ujung sana.

(keduanya bersitatap, keheranan).

 Aku suka caranya menyanyi. Aku respek sama cara suaminya menegur atau menyapa. Aku mendoakan bayi mereka sehat. Sebentar lagi aku harus pergi. Entah akan jadi apakah aku kelak. Menjadi patung salib lagi? Berat. Aku bisa jatuh. Dosaku banyak. Atau jadi anjing saja. Seperti Ber…

Praaaak!!!
Mereka berhenti membaca. Terdengar bunyi pintu kamar yang seperti ditutup paksa. Ada yang berteriak, meraung, seperti berlari mendekati kamar mereka…
“Mbak Petris…tolong….toloooong!”
Mereka membuka pintu kamar dan sesosok wanita muda sudah bersimbah darah di hadapan mereka. Pelipisnya robek. Ia hampir pingsan. Ya, dia sudah pingsan sepuluh detik kemudian. Di pangkuan wanita yang sedang hamil tua. 

Seperti Bertie. Aku suka Bertie. Ia setia, seperti tuannya. Aku benci pria manja dan kasar di depanku, juga istrinya yang kelewat lemah tapi gampang memaafkan. Kukira, pengamatanku segera berakhir. Tidak. Mungkin saja akan berlanjut, selama salib yang tergantung di pintu ini tak dicuri orang, atau jatuh dan patah karena kaget sama ulah dua manusia di depannya. Aku memang sengaja akan meninggalkan patung salib itu. Sebab, masih ada selubung imaji di sana. Salib itu dan aku, akan terpisah jarak. Akan tetapi memori dan selubungnya masih menyala dan menyatu meskipun jauh.  
Aku tahu. Seperti pengetahuanku pada cerita: wanita belia yang matanya indah. Suatu saat mungkin akan menangis, meraung menumpahkan derita di atas pangkuan siapapun, mungkin mbak Patricia, mungkin pula Eugenius yang santun. Ada Bertie di situ, menggonggong, sebab ada darah yang mengotori lantai kamarnya. Amis, mengandung roh dendam kesumat. Lelaki bengis itu, dikiranya sedang menikahi anjing. Barangkali…

Kertas yang pinggirannya kecoklatan itu pun ikut ternoda. Terkena darah yang tumpah di atas lantai. Amis. Dan tak habis dibaca wanita hamil itu.

Kompleks kos Memoria heboh. Salah satu penghuni kamar nomor 9 di kos khusus pria ternyata seorang skizofrenia. Isi kamarnya ditemukan seperti sebuah gua penuh kertas berisi labirin cerita yang janggal. Banyak berita dan gambar kekerasan dalam rumah tangga serta para wanita hamil. Seperti tebaran ribuan puzzle yang kacau dan aneh. Kini, pria yang disebut-sebut bernama Adibu asal Kupang ini sudah dibawa ke RSJ Pakem setelah mantan pacarnya, Nisa, melaporkan ke keluarga dan polisi. Tak ada yang menyangka, sebab ia sendiri jarang bergaul.

            -Jogja - SoE, Februari 2012


        

    Keterangan: Cerpen ini dimuat dalam Jurnal Sastra Santarang edisi Mei 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...