ilustrasi: Rara Watupelit dan Arystha Pello |
Aku
masih saja setia menjadi tetangga dari dua pasang muda-mudi yang terpaksa
menikah muda karena si perempuan sudah terlanjur hamil. Dihamili lelaki yang
tak sungkan memanggilnya anjing! Kami tak begitu akrab sebagai tetangga, karena
aku terlalu sibuk lagi cuek. Namun paling tidak, setahun lebih, telingaku sudah
cukup akrab dengan kosakata harian mereka. Mungkin hanya rentetan umpatan yang
menjadi tanda sayang antar mereka. Atau sebagai pasangan suami istri yang
terlampau muda, mereka hanya punya pola unik yang sudah disepakati: ‘Oke, kata sayang
kita ganti saja dengan kata anjing. Ya, anjing. Namamu aku ganti dengan si
bodoh dan kau boleh memanggilku puk*mai! (makian yang
sungguh menistakan perempuan-perempuan terkasih kita). Kita boleh bebas memaki sesuka hati.’
Aku
paling malas mengurusi urusan orang lain (meski akhirnya aku rajin menguping
juga), apalagi jika mereka sudah ‘dewasa’ atau terpaksa mendewasakan diri
karena perut sudah kadung membuncit (kalau mau bermain gila, jangan lupa pakai
kondom). Tapi, tentang mereka berdua, yang ada di benakku adalah sepasang
kekasih yang terlalu muda bahkan dengan ikhlas membiarkan si bayi diasuh sang
nenek. Lantas mereka bisa hidup bersama mengisi waktu dengan rajin berantem dan
saling memaki satu sama lain. Bahwa aku mencintaimu dan menghamilimu karena kau
perempuan bodoh sekaligus anjing betina.
Ya
karena aku suka menghamili anjing betina, bukan hidup berumah tangga dengan
gadis belia yang cantik rupawan. Mencoba melangsungkan hidup sebagai pasangan suami istri
muda belia. Sayangnya, aku hanya menikahi salah satu penghuni kebun binatang
tanpa sadar untuk belajar berlaku respek dengan pasangan, sadar bahwa ‘meski
kita muda, kita punya hak untuk saling belajar dan melengkapi diri satau sama
lain’. Entah apa pula yang ada di benak si lelaki atau si perempuan.
Kadang, kasihan juga. Kasihan si perempuan.
Suatu
sore yang sepi, di tempat jemuran ia pernah menyapaku. Tentu saja ia berani
melakukan ini jika tak ada suaminya.
“Asli
mana?”
“Eh,
Saya? Dari Kupang.” Aku agak kaget dan gelagapan menjawab.
“Sama
dong kita,” ia melanjutkan, “beta pung nama Nisa. Lu?”
“Adi.”
“Suka
menulis ko?” Ia bertanya dan aku suka tatapan yang mengiringi pertanyaan itu.
“Mmm,
kok lu tahu?”
“Iya,
beta pernah ketemu ini di tempat sampah sana. Sonde sengaja o, Adi.”
“Yang
mana?” Oh, Tuhaaaan, matanya indah. Aku masih
memerhatikan matanya.
Ia
menyodorkan selembar kertas, yang aku kenali sebab bentuknya khas. Kertas HVS
biasa yang aku tulisi puisi, tepatnya curahan hati saat aku sedang gila. Kertas
yang pinggirannya sengaja aku bakar. Pinggirannya tak beraturan. Coklat.
Hangus. Misterius. Biasanya kutempeli di dinding kamar namun tanpa sengaja
terbawa ke kotak sampah.
Ia
menyodorkan sambil berujar manis, “Lu pung tulisan bagus.”
“Terima
kasih,” kataku sambil memberi isyarat untuk pamit pergi. Aku pastinya sedang
malu, merasa ditangkap ekornya.
“Lain
kali, boleh beta baca lu pung tulisan yang lain ko?”
Aku
tak menjawab sepatah kata pun selain nyengir dan berlalu. Di kamar, aku membaca
ulang dan terkesiap dengan isi carikan kertas yang pernah aku tulis sendiri...
“Blok
Timur No. 9, pagi ini aku telat bangun, sebab semalam suntuk aku menguping.
Seperti hari kemarin, aku selalu melihat tetanggaku itu bertengkar. Saling
memaki. Seolah itu bahasa ibu mereka. Mungkin juga semalam mereka bertengkar
selanjutnya bercinta. Atau mungkin seseorang di antaranya
sedang merasa diperkosa. Mereka berdua. Berbeda jenis. Satunya anjing, satunya babi.
Pagi
ini aku telat bangun, Kawan. Sebab semalam suntuk aku menguping. Gak. Sebelum
aku menguping, aku menjadi salib kecil yang tergantung di pintu kamar. Tak ada
yang tahu sebab aku telah menjadi patung salib. Aku melihat mereka yang sedang lalu lalang, tapi mereka tak
melihatku. Aku menguping dan kedua tetanggaku itu saling memaki. Selanjutnya mereka
bercinta dan seorang dari antara mereka sedang merasa diperkosa.”
\
***
“Beta
su telpon Mama, adek ada tidur. Lu kangen ko sonde deng adek? Nanti baru
batelpon lai e, Sayang?”
“Ho,
pi sana. Buat kasih beta mi rebus.”
Agak terhenyak ia langsung melepas mouse. Padahal baru saja ia duduk di
depan komputer dan ingin bermain game.
Semenit yang lalu, ia baru saja menelepon mertuanya sebab ia sudah kadung
kangen sama anaknya. Anak yang semestinya belum pantas ia lahirkan (ia selalu
menyesali itu diam-diam.)
Diliriknya
foto anaknya di layar ponsel kemudian tersenyum sendiri.
“Heh,
lu gila ko? Senyum-senyum sendiri. Pi bikin kasih beta mi sudah. Anjing nih!”
Ia
tersenyum kecut sambil bergegas keluar kamar. Semakin menjauhi pria setengah
telanjang yang sedang berbaring di tempat tidur. Semakin terasa bahwa senyumnya
hanya hiasan. Ia lebih ingin merutuki nasibnya, bahkan mulai memaki. Memaki
suaminya yang malas sambil menuruni anak tangga menuju dapur di lantai bawah.
Dua
puluh menit kemudian, ia masih betah di dapur. Sebentar saja memasak,
selebihnya melamun. Suaminya sudah barang tentu bukanlah tipe penyabar. Ia
segolongan dengan suami yang manja, bekas anak mami yang terbiasa memerintah
segerombolan pembantu di rumahnya. Sang suami menyusul ke dapur dan terjadilah
pertengkaran. Mendadak dapur berubah jadi kebun binatang lagi. Ah, bukan.
Jadinya seperti kandang ternak. Jorok.
Di
saat yang sama, semua penghuni kamar yang sedang tidur siang telah keluar, seperti sedang terjadi jeda
iklan di antara sebuah sinetron penguras emosi. Mereka yang keluar akan
mempersembahkan cara terbaik mereka melongo, atau yang lainnya hanya mampu
mengintip dari balik gorden, mengernyitkan dahi dan membiarkan episode kebun
binatang berlalu. Salah satu dari penghuni blok mungkin sedang menulis ulang
babak sengit yang kesekian ini di atas kertas.
***
“Sayang,
kasihan ya si Nisa. Barusan dimarahi lagi sama suaminya tuh di dapur. Dikatain
anjing bego lagi. Kasihan dia. Kok tega ya?”
Perempuan yang nampak kesulitan menegakkan posisi berdirinya setelah baru
saja mengintip, mengeluhkan itu kepada suaminya.
“Biarlah,
itu urusan mereka,” jawab si pria.
“Tapi
kan kasihan istrinya. Dikatain seperti binatang, bego pula, didengar
orang-orang sekos kan malu.”
Tak
ada respon dari suaminya.
“Duh,
tega banget tuh si Abe.” Wanita itu berusaha mengintip keluar.
“Sssst,
Mamaaa. Sudah, gak usah ngintip lagi. Gak enak kalau ketahuan.”
Air
muka wanita itu langsung berubah.
***
Ah,
mungkin yang sedang kulihat sekarang ini adalah langit dan bumi. Atau, surga
dan neraka. Jauh jaraknya. Yang satu mendamaikan, yang lain bikin dada sesak ingin marah. Tapi mau bagaimana
lagi?
Ia
berhenti sejenak, mengambil gelas berisi air putih langsung diteguknya habis.
Lalu mulai menulis lagi.
Aku
jadi patung salib lagi malam ini setelah peristiwa tadi sore, saat terdengar
piring pecah dilanjutkan dengan beberapa umpatan yang bikin panas telinga. Aku memilih tak keluar memamerkan wajah melongoku. Aku juga
memilih tak mengintip memamerkan wajah dongoku. Aku memilih untuk tidur saja, sampai
bermimpi bahwa semua penghuni kos mendoakan pasangan itu sehingga tak terjadi
lagi pelemparan gelas dan sejumlah caci maki.
Tapi
sungguh, pertengkaran mereka sore tadi menyadarkanku untuk juga mengamati
penghuni kamar nomor 7 di sebelah Selatan sana. Pengantin baru, katanya. Baru saja pindah ke sini sebulan lalu. Aku kenal
suaminya dari bajunya. Seorang sekuriti, bernama Euginius. Sedangkan istrinya,
Patricia, kutahu nama mereka
dari lembaran merah muda yang tertera di pintu kamar.
Di sini kusebutkan saja namanya si
wanita hamil dengan suara indah. Mungkin seorang eks penyanyi kafe? Sumpah. Aku
menikmati suara indahnya beberapa kali saat sedang mencuci pakaian, dekat jemuran,
bersebelahan dengan kamar mereka. Ia menyanyikan beberapa lagi Whitney Houston
dengan apik. Dengan teknik yang tak sembarang, seratus delapan puluh derajat
berbeda dengan penyanyi karbitan yang bisanya lip-sync, seperti yang sering kulihat di acara televisi bernama
Dahsyat.
Aku
menjadi patung lagi malam ini, sebab aku penasaran, bukan lagi dengan pasangan
pemaki itu. Bukan. Aku menghormati keramahan Eugenius. Aku menyukai suara indah
si wanita yang sedang hamil, Patricia. Aku menyukai perempuan hamil. Wajah
mereka cenderung bening, bersih auranya. Sebersih ruh orok yang menggelinjang
di perut mereka.
Ia
berhenti lagi. Menatap sekeliling kamar yang penuh poster film. Blue Valentine.
Ryan Gosling. Michelle Williams.
Apakah
sejatinya kehidupan pernikahan itu? Mencintai sepenuh jiwa dan raga yang telah
tertampung cinta dariNya.
Aku
mengenang wajah ramah Euginius, aku mengenang suara indah istrinya. Aku respek terhadap
interaksi mereka, cara mereka berkomunikasi. Aku suka cara mereka merawat
Bertie, anjing ras berbulu coklat tebal (yang sering aku kasih makan juga).
Aku
suka cara wanita yang sedang hamil itu: ia menaruh sebuah foto, kukira itu foto
pra nikah mereka. Nampak mesra, dibungkus pita dan ukiran huruf yang menarik. Merangsang setiap
mata yang lewat lantas menghangatkan perasaan, mengungkit memori purba: cinta.
Memanggil setiap degup tak terduga dari lembah hati terdalam—cinta dan rahasia
Tuhan. Foto yang ia tempel di pintu kamar. Ada tulisan, ‘Bahagia Selamanya… Euginius
& Patricia. 28 Desember 2010.’ Kukira itu tanggal pernikahan mereka.
Kudoakan
kalian bahagia selamanya…
Ia
berhenti menulis dan mulai menyalakan sebatang lilin. Dibakarnya pinggiran kertas,
menimbulkan kesan hangus. Kecoklatan dan bergerigi. Misteri. Sebuah kesan.
***
“Sayang,
Mas misterius di kamar sebelah nomor 9 itu kok gak kelihatan lagi?”
“Yang
mana?”
“Itu
yang di pintunya tergantung salib kecil.”
“Kata
ibu kos, sudah pindah.”
“Pindah?
Sejak kapan?”
“Gak
tahu. Katanya sudah pulang kampung. Pulang ke Kupang. Mau menikah.”
“Kok
tahu? Padahal salibnya masih ada lho, Mas.”
“Iya,
kata ibu kos juga begitu.”
“Kamu
sudah makan belum? Aku beliin nasi goreng, ya?”
“Jangan.
Kasihan kamunya. Biar nanti aku beli sendiri.”
“Mas,
kata pak dokter gak apa-apa, akunya yang harus sering-sering bergerak.”
“Iya
sayang, tapi kan udah maghrib.”
“Oke
deh, bilangin Mang Ubay, nasinya dibanyakin biar bisa dibagi sama Bertie.”
“Ya.”
“Eh,
tunggu dulu, Mas. Aku pernah nemu sesuatu di kotak sampah dekat kamarnya Mas misterius
itu. Nih, masih aku simpan.”
Wanita
itu menyodorkan kertas sambil tangannya yang satu mengelus-elus perut
buncitnya. Sedang si anjing mulai juga menjilat kaki nyonyanya.
Sang
suami berbalik dan menerima kertas dari tangan istrinya. Mereka membaca dengan
kening mengernyit.
“Malam
ini aku ingin menjadi patung salib yang bergantung di pintu kamar. Agar
dengannya aku bisa mengamati setiap manusia yang lewat. Tapi aku ingin
mengamati dua manusia di ujung sana.
(keduanya bersitatap, keheranan).
Aku suka caranya menyanyi. Aku respek sama
cara suaminya menegur atau menyapa. Aku mendoakan bayi mereka sehat. Sebentar
lagi aku harus pergi. Entah akan jadi apakah aku kelak. Menjadi patung salib
lagi? Berat. Aku bisa jatuh. Dosaku banyak. Atau jadi anjing saja. Seperti Ber…
Praaaak!!!
Mereka
berhenti membaca. Terdengar bunyi pintu kamar yang seperti ditutup paksa. Ada
yang berteriak, meraung, seperti berlari mendekati kamar mereka…
“Mbak
Petris…tolong….toloooong!”
Mereka
membuka pintu kamar dan sesosok wanita muda sudah bersimbah darah di hadapan
mereka. Pelipisnya robek. Ia hampir pingsan. Ya, dia sudah pingsan sepuluh
detik kemudian. Di pangkuan wanita yang sedang hamil tua.
Seperti
Bertie. Aku suka Bertie. Ia setia, seperti tuannya. Aku benci pria manja dan
kasar di depanku, juga istrinya yang kelewat lemah tapi gampang memaafkan.
Kukira, pengamatanku segera berakhir. Tidak. Mungkin saja akan berlanjut, selama
salib yang tergantung di pintu ini tak dicuri orang, atau jatuh dan patah
karena kaget sama ulah dua manusia di depannya. Aku memang sengaja akan
meninggalkan patung salib itu. Sebab, masih ada selubung imaji di sana. Salib itu dan aku, akan
terpisah jarak. Akan tetapi memori
dan selubungnya
masih menyala dan menyatu
meskipun jauh.
Aku
tahu. Seperti pengetahuanku pada cerita: wanita belia yang matanya indah. Suatu
saat mungkin akan menangis, meraung menumpahkan derita di atas pangkuan
siapapun, mungkin mbak Patricia, mungkin pula Eugenius yang santun. Ada Bertie
di situ, menggonggong, sebab ada darah yang mengotori lantai kamarnya.
Amis, mengandung roh dendam kesumat. Lelaki bengis itu, dikiranya sedang
menikahi anjing. Barangkali…
Kertas
yang pinggirannya kecoklatan itu pun ikut ternoda. Terkena darah yang tumpah di
atas lantai. Amis. Dan tak habis dibaca wanita hamil itu.
Kompleks
kos Memoria heboh. Salah satu penghuni kamar nomor 9 di kos khusus pria
ternyata seorang skizofrenia. Isi kamarnya ditemukan seperti sebuah gua penuh
kertas berisi labirin cerita yang janggal. Banyak berita dan gambar kekerasan
dalam rumah tangga serta para wanita hamil. Seperti tebaran ribuan puzzle yang
kacau dan aneh. Kini, pria yang disebut-sebut bernama Adibu asal Kupang ini
sudah dibawa ke RSJ Pakem setelah mantan pacarnya, Nisa, melaporkan ke keluarga
dan polisi. Tak ada yang menyangka, sebab ia sendiri jarang bergaul.
-Jogja -
SoE, Februari 2012
Keterangan:
Cerpen ini dimuat dalam Jurnal Sastra Santarang edisi Mei
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...