(Press Release Launching Buku Cerpen Kanuku Leon, Alpi
Cafe 29 November 2013)*
Kanuku Leon adalah cara pandang seorang anak Timor kepada tanah kelahirannya dan cara ia memandang dunia juga manusia-manusia dalam aneka warna hidup. Buku ini penulis persembahkan untuk Bapatua dan Mamatua, para pencerita terbaik saya, sumber energi yang selama ini mengisi jiwa dan raga penulis. Kepada tanah Mollo, tanah kelahiran penulis yang setiap hari menunjukkan keajaibannya kepada saya dengan cara-cara yang amat rahasia.
Kanuku Leon adalah cara pandang seorang anak Timor kepada tanah kelahirannya dan cara ia memandang dunia juga manusia-manusia dalam aneka warna hidup. Buku ini penulis persembahkan untuk Bapatua dan Mamatua, para pencerita terbaik saya, sumber energi yang selama ini mengisi jiwa dan raga penulis. Kepada tanah Mollo, tanah kelahiran penulis yang setiap hari menunjukkan keajaibannya kepada saya dengan cara-cara yang amat rahasia.
Buku cerpen ini berisi 16 cerpen yang ditulis di Kupang,
Jogja, SoE dan Kapan. Di dalam kumpulan cerpen ini termuat juga 16 ilustrasi
terbaik hasil interpretasi dari dua orang teman baik saya, anak-anak muda NTT
kreatif: Rara Watupelit (@jamduapagi) dan Arystha Pello (@arystaa). Tak lupa
pula teman baik saya saat di Syuradikara, Gerald Louis Fori, yang membuat
sampul buku ini menjadi keren. Untuk melengkapi kesempurnaan saya bertutur,
saya dibantu sahabat baik saya, penyair Nasional, Mario F Lawi. Mereka semua
anak muda NTT, kebanggaan kita semua.
Keenambelas cerpen tersebut adalah Soleman, Sakura dari
Fujikawaguchiko, Menghapus Ilona, Menikahi Anjing, Suatu Malam yang Penuh Hujan
dan Aku Gila, Pohon Kersen dan Batman, Sifon, Dua Aktor Mamatua, Kabut Kota
Ini, Namaku Neontuaf, Suanggi, Klang-Klang, Gugur Sepe Usapi Sonbai,
Noorlientje, Ada Kisah Tentang Lukisan Ikan di Fetonai, dan Kanuku Leon.
Kanuku Leon
Cetakan Pertama
Oktober 2013
Editor: Mario F
Lawi
Ilustrator: Arystha Pello dan Rara Watupelit
Desain Sampul:
Gerald Louis Fori
Penerbit: Indie
Book Corner Jogjakarta
ISBN:
978-602-1599-27--3
Berbicara setting, sebagian besar setting dalam Kanuku
Leon adalah tanah Mollo, tanah kelahiran penulis, antara lain Soleman, Sifon,
Dua Aktor Mamatua, Kabut Kota Ini, Namaku Neontuaf, Suanggi, Noorlientje dan
Kanuku Leon. Soleman berkisah tentang keluarga tentara KNIL di masa perang
dunia ke-2 hingga awal kemerdekaan, dan Noorlientje juga mengambil sudut yang
sama, tentang keluarga pensiunan KNIL yang dipercaya untuk mengelola sebuah
pesanggerahan meski terkucil karena disangkakan terkait dengan komunis. Pada
cerpen Kabut Kota ini, penulis mencoba mengangkat kisah hidup dua tokoh asal
Mollo, seorang klerek dan anemer berdarah Tiongkok.Sedangkan isu-isu budaya seperti
suanggi, proses sunatan tradisional dan penjaga gunung keramat digambarkan
dalam cerpen Suangi, Sifon dan Namaku Neontuaf. Cerpen Suanggi sendiri mencoba
mengungkapkan perspektif para agamawan (suster, guru agama dan pastor terhadap
sosok suanggi itu sendiri). Dan yang terakhir, Kanuku Leon berkisah tentang
sosok-sosok yang dipercayakan oleh penguasa alam semesta untuk menjaga
lingkungan hidup Mollo: Ma’Leti (interpretasi langsung dari tokoh Aleta Baun, pejuang lingkungan
asal Mollo) dan raja bijak pelindung hutan, gunung dan air yang digambarkan
serupa dengan pohon beringin. Kanuku Leon sejatinya terinspirasi dari
perjuangan orang-orang Mollo dalam menjaga alam sebagai sumber dan kekuatan
hidup mereka. Kanuku Leon adalah seruan untuk kembali mengelola alam secara
bijaksana agar awet lestari.
Dari kiri ke kanan: Amanche Frank, Christian Dicky Senda, Mario F Lawi dan Gusti Brewon |
Sedangkan pada cerpen lainnya, seperti Menghapus Ilona,
Pohon Kersen dan Batman dan Suatu Malam yang Penuh Hujan dan Aku Gila, penulis
secara lugas menggali sisi psikologis (mental dan alam bawah sadar) dari setiap
situasi dan tokoh yang terlibat. Ketiganya berbicara tentang cinta dan
pengkhianatan sekaligus keinginan untuk meniadakan yang nyata (membuat menjadi
absurd). Tentu gaya menulis seperti ini karena penulis sangat menggemari
karya-karya besar dari Ayu Utami, Seno Gumira Ajidarma dan Albert Camus.
Kisah
Crowd-Funding Kanuku Leon
Kanuku Leon adalah buku sastra NTT yang diterbitkan
secara independen dan diupayakan dalam bentuk penggalangan dana dari masyarakat
luas (crowd-funding) lewat media sosial seperti blog, twitter dan facebook.
Selama kurang lebih 3 bulan penulis melakukan upaya crowd-funding dan pre order
dan terkumpulan sejumlah dana yang kemudian dipakai untuk mencetak buku Kanuku
Leon.
Kanuku Leon adalah buku yang ditulis, didesain, diedit
dan disempurnakan dalam berbagai ilustrasi menarik yang seluruhnya dilakukan
secara bersama-sama oleh anak-anak muda NTT. Dan kebanyakan donatur yang
terlibat dalam crowd-funding adalah orang-orang muda NTT. Luar biasa. Ini bukti
nyata kekuatan media sosial di kalangan anak muda NTT dewasa ini. Ini bukti
nyata dari solidaritas dan kreativitas yang bertumbuh di kalangan anak muda NTT
untuk saling mendukung dan mengapresiasi.
Ketika menawarkan proposal crowd-funding Kanuku Leon, penulis menawarkan kepada donatur sebuah
bentuk kerjasama: sebagian dari hasil penjualan Kanuku Leon akan dipakai untuk
membeli buku-buku sastra penulis asal NTT dan akan disebar ke beberapa rumah baca
dan perpus sekolah di NTT. Kedua, Kanuku Leon dijual dengan harga bersahabat
untuk kalangan pelajar dan mahasiswa di NTT. Gerakan ini sebagai wujud
kepedulian generasi muda NTT terhadap perkembangan kesusasteraan NTT. Kita
ingin agar sastra NTT dikenal dan diapresiasi di kampung sendiri. Rumah Baca
dan perpustakaan yang akan mendapatkan bantuan adalah Namu Angu (Sumba), Pelangi
(Alor dan Manggarai), LC Corner (Ruteng), Komunitas Sandal Jepit (Maumeri),
Rumah Kreatif (Pulau Ende), Kamu Rote Ndao (Rote), Lentera Alam (Kupang), Taman
Baca Noehaen (Amarasi), dan SMAN 1 Mollo Utara. Penyaluran buku-buku sastra NTT
akan dilakukan Januari 2014.
Christian Dicky Senda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...