Senin, 25 Agustus 2014

Raja Boti: Apakah Jokowi Itu Orang Baik?


Pujilah Tuhan, Dicky! KarenaNya lu bisa pergi ke Boti.
Yeah, 23 Agustus 2014 saya berkesempatan mengunjungi suku Boti, salah satu bagian dari suku Dawan di TTS yang masih mempertahankan tradisi turun temurun dalam hidup keseharian mereka. Boti sudah mendunia, dan saya agak terlambat jika menilik kembali bahwa saya lahir dan besar di TTS. Eit, tapi coba Anda survey sudah berapa banyak orang TTS yang sudah pernah ke Boti? Masih sedikiiiit. Saya yakini itu. Paling tidak berdasarkan buku tamu yang sempat saya intip ketika tiba di Istana Raja Boti, Nama Benu. Kebanyakan tamu memang dari luar NTT. Hal yang sama mungkin berlaku, seperti ini: kamu anak NTT/Flobamora, sudah keliling semua kabupaten di Flobamora? Hehe apapun itu jelas alasannya akan banyak, bukan berarti tak cinta tanah sendiri. Kalau saya melihat, barangkali karena tidak banyak orang NTT yang memasukan liburan dalam perencanaan hidup mereka. (Begitukah? Hahaha ini asumni subyektif saya saja! Camkan...). Kalau kata om Oddy Messakh, salah satu pelaku bisnis pariwisata di kota Kupang, “belum ada alokasi dana secara khusus di masyarakat kita untuk membelanjakan sesuatu yang terkait dengan kesenangan (liburan atau berswisata)”. 

Kembali ke Boti. 

Saya beruntung diajak kak Audrey Jiwajenie (saudarinya komikus Ernest Prakasa), Nandita dan Nike Frans, plus om sopir yang membawa kami ke sana, Om Salim yang super komunikatif itu. (FYI, Om Salim itu sopir travel sekalugus tour guide lokal paling komunikatif yang pernah saya temui. Beliau biasa nongkrong di Hotel On The Rock).
Kami berangkat dari Kupang jam 4.30 dini hari dan mampir sarapan di Soe jam 06.30. Medan menuju Boti terbilang sulit tapi ada untungnya di musim panas seperti sekarang ini kita bisa terhindar dari jalanan licin, berlumpur dan longsor. Kami tiba di Boti jam 9 pagi dan ternyata sudah disambut dua orang Boti dalam di gerbang kampung. Dua sosok yang akhirnya kami ketahui sebagai adik dari almarhum Raja Nune Benu (Raja Boti sebelumnya) dan ipar dari Raja Nama Benu (Raja Boti kini). Mereka datang menyambut seperti sudah tahu akan ada tamu yang datang saat itu juga. Ketika mobil kami parkir, eh dari dalam kampung sudah muncul Bapa Raja, Nama Benu. Luar biasa. Agak ajaib memang kejadian itu. Siapapun yang pernah datang ke Boti pasti mengalami keajaiban-keajaiban kecil. Sebenarnya bukan di Boti saja. Waktu saya bertemu dengan Bapa Mateos Anin, seorang tokoh adat paling kharismatik di Mollo, beliau pun berlaku seperti sudah tahu akan ada tamu yang datang. Kala itu Bapa Anin bisik kepada saya, “biasanya akan ada bisikan di telingan saya bahwa akan ada tamu yang datang.” Hah? Dibisiki? Jika demikian lupakan kebiasaanmu berpikir logis. Bertemu tokoh-tokoh adat seperti mereka, banyak hal bisa saja terjadi melampaui batas nalar kita.
Kesan pertama saya memasuki kampung Boti;
  1. Keramahan penguhinya. Kami disambut layaknya keluarga yang lama tak bersua. Kami diajak bicara tidak sebagai orang asing, melainkan sebagai saudara lama yang telah kembali. Untuk dicatat, mereka itu komunitas yang kita sebut sebagai ‘suku tertinggal’, ‘suku tak beragama, suku kafir’, bla bla bla... tapi lihat perilakunya. Mereka adalah manusia sederhana, manusia tulus, manusia baik, manusia yang benar-benar manusia!
  2. Bersih dan hijau. Ketika masuk ke kampung Boti, kak Nandita sontak berkomentar, nuansa di sini kayak di resort ya? Saya sepakat. Rumah-rumah tertata rapi, pepohonan rimbun, tanah yang bebas dari sampah plastik, tangga-tangga yang tersusun dari bebatuan rapi. Luar biasa. Dan satu lagi, suasana di sini tenang bahkan super tenang. Apa saya lebay? Sebagai penulis saya suka bekerja dengan lingkungan demikian, lagian saya sudah merasa sensitif dengan keadaan demikian. Pengalaman saya, setiap kali bersinggungan dengan lingkungan yang demikian, inspirasi dan kenyamanan menulis sudah pasti melimpah ruah. Hehehe.
  3. Suguhan serba organik (meski tidak semua). Saya yakin demikian. Ketika tiba kami langsung disuguhi sirih pinang yang diambil dari pekarangan. Sepuluh menit kemudian kami disuguhi kopi dan teh plus kripik pisang yang digoreng dengan minyak kelapa. Setelah puas berkeliling kami ditawari makan siang lagi, ayam goreng, telur ayam kampung rebus, jagung bose, sayur sawi hijau, dan lainnya. Nikmat yang sederhana sebab aroma minyak kelapa kuat sekali dan lidah saya cukup mampu membedakan mana makanan dengan vetsin/masako dan mana yang cuma dengan garam. Tentang makanan tambahan seperti tepung terigu, gula, beras, dll mereka mendapatkannya dari pasar tradisional mingguan di kampung Boti luar. Bahan pangan lainnya diambil dari kebun dan kandang sendiri.
  4. Hidup selaras dengan alam. Sangat mudah bagi saya untuk menemukan jawaban dari pernyataan saya kali ini. di sudut dapur saya menemukan dua batang bambu bekas pakai yang ujungnya terlilit kapas bercampur biji damar yang sudah dihaluskan. Itulah lampu penerang malam mereka. Masih disudut dapur yang sama, saya temukan dua lembar payung tradisional dari lembaran daun lontar atau gewang yang dikeringkan dan dijadikan P A Y U N G! J terassering dan tangga yang membatasi tanah datar satu dengan lainnya dibatasi oleh susunan batu-batu ceper yang sangat rapi. Sonde perlu pakai semen lai. Sebagian besar atap rumah memakai ilalang dan daun gewang, sebagian kecil lainnya sudah beratap dinding. Berbicara lantai, di rumah tempat menjual cinderamata khas Boti bisa kita lihat bagaimana lantai rumah yang berbahan tanah saja tapi entah bagaimana jadi padat, licin, basah dan dingiiiin. Kok bisa? Silahkan ke Boti dan buktikan sendiri hehehe. Lopo-lopo dibangun rapi dan open air gitu. Sejuk oi... lebih dari itu, kapas dan aneka tanaman yang akan digunakan untuk pewarna benang alami tumbuh subur di sekeliling rumah, dari Kunyit, tarum, hingga pohon mengkudu. Ada banyak lagi bukti jika mereka memang hidup selaras dengan alam.

Kesan selanjutnya banyak dan tidak bisa saya tulis semuanya. Mungkin akan terwakili dengan semua foto yang akan saya posting di bawah ini.

Ada catatan kritis saya tentang suku ini. saya punya sebuah pembanding sederhana dengan suku Baduy di Banten yang pernah saya kunjungi setahun lalu. Mereka jelas berbeda dan punya masalah sendiri-sendiri tapi izinkanlah saya mengungkapkannya.

“Boti rasanya sudah tak semurni dulu. Saya tak pernah kesana sebelumnya tapi saya yakin kondisi mereka sebelumnya jauh lebih baik. Jika melihat mereka sekarang makin tersentuh unsur-unsur modernitas, saya rasa kok mereka seperti mengalami kemunduran bukan kemajuan. Oke, mereka punya sistem kepercayaan sendiri, punya aturan hukum adat sendiri, punya struktur dan tatanan sosialnya. Mereka tidak telanjang melainkan sudah punya kemampuan mengolah kapas, menenun dan menjadikannya pakaian yang membungkus seluruh tubuh dengan indah dan elegan. Tanpa aturan hukum beragama dan bernegara seperti warga luar Boti, toh mereka sudah terbukti eksis dengan aturan-aturan yang ada. Tiada tindakan kriminal di sana, tak ada pertengkaran karena beda agama, tak ada teroris, tak ada korupsi, tak ada. Artinya sebelum bangsa ini merdeka pun saya yakin komunitas mereka sudah eksis dan teratur laksana sebuah kerajaan tumbuh. Tapi kok jadi merasa gimanaaa gitu ketika melihat simbol-simbol modernitas sudah masuk ke sana. Baju kaos, semen, keramik, seng, genset, kabel-kabel listrik, hingga ke simbol-simbol agama dan pemerintahan (tanda survey kependudukan dan KPU, kursi berukir salib dan jam dinding dengan wajah Yesus dan Maria. Kayaknya semua itu dibawa ke dalam oleh entah siapa tamunya, entah apa maksudnya. Tetapi ketika menerima simbol modernitas atau perilaku lain di luar kebiasaan yang sudah mengakar di kampung Boti, saya rasa kok mereka menjadi mundur, menjadi tak unik, menjadi biasa saja. Ah, entah bagaimana saya mendeskripsikan lebih jauh dan jelas kekhawatiran ini. saya percaya, tanpa menjadi modern seperti kita yang lain, mereka toh sudah luar biasa kok. Karena saya melihat sendiri bagaimana suku Baduy Dalam menjaga kemurnian tradisinya dari pengaruh luar.”
Apapun itu saya jatuh cinta sama kampung ini. Kita manusia-manusia modern adakalanya harus kembali ke Boti, untuk belajar segala kearifan yang mereka miliki.

            NB: Ketika saya berkesempatan mengobrol dengan raja Boti, Nama Benu dengan bahasa Dawan saya yang serba terbatas, beliau bertanya, “Siapa yang menang di MK?”. Saya yang setengah kaget setengah takjub menjawab, bahwa yang menang Jokowi. Beliau jawab, oh yang nomor 2 itu. Lalu ia melanjutkan pertanyaan, ‘apakah dia orang baik?”. Saya jawab saja, iya beliau baik. Hingga detik ini masih tergiang-ngiang percakapan singkat kami itu. 


Kupang, Agustus 2014
selamat datang di Boti
secara tiba-tiba kami sudah disambut tuan rumah
oleh-oleh yang bisa kita beli di Boti

disuguhi makan siang ayam goreng dan telur rebus plus jagung bose

bapak ini masih presiden di kampung boti! :D

di rumah ini segala jenis kerajinan tangan dijual



segala buah ini dibiarkan begitu saja tanpa ada yg curi

juga kepala dan tebu ini


buku tamu

kapas ditumbuk bersama buah damar utk penerangan

tempat ayam bertelur

Skubi anjing Boti sudah lengket aja sama kak Audrey

rumah yang dikeramatkan, milik alm raja nune benu dan isteri

anak tertua alm nune benu yg memilih keluar dr Boti. anaknya ini diambil kembali sbg calon raja berikutnya

atap dari ilalang yang dianyam dengan sangat rapi

sendok makan dari tempurung

pohon kapas di mana-mana


gelang perak putih dan kuning yg dikenakan anak bungsu raja nune benu

putri raja nune benu bersama nike frans

payung dari daun gewang/lontar

saudara dari almarhum nune benu

beliau ini senang difoto lho

bergaya bersama raja nama beny yg bersahaja ini

selfie diantara mama-mama penenun

onme-onme nunu, gimana-gimana POHON BERINGIN!

keponakan bapa Raja yg mengantar kami hingga pintu gerbang

2 komentar:

  1. keren bro, setelah baca ini..beta kepengen ewww kesana..

    BalasHapus
  2. I like your articles. Salam hormat: Donald Tick(also facebook)Holland

    BalasHapus

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...