Pujilah Tuhan, Dicky!
KarenaNya lu bisa pergi ke Boti.
Yeah, 23 Agustus 2014
saya berkesempatan mengunjungi suku Boti, salah satu bagian dari suku Dawan di
TTS yang masih mempertahankan tradisi turun temurun dalam hidup keseharian
mereka. Boti sudah mendunia, dan saya agak terlambat jika menilik kembali bahwa
saya lahir dan besar di TTS. Eit, tapi coba Anda survey sudah berapa banyak
orang TTS yang sudah pernah ke Boti? Masih sedikiiiit. Saya yakini itu. Paling
tidak berdasarkan buku tamu yang sempat saya intip ketika tiba di Istana Raja
Boti, Nama Benu. Kebanyakan tamu memang dari luar NTT. Hal yang sama mungkin
berlaku, seperti ini: kamu anak NTT/Flobamora, sudah keliling semua kabupaten
di Flobamora? Hehe apapun itu jelas alasannya akan banyak, bukan berarti tak
cinta tanah sendiri. Kalau saya melihat, barangkali karena tidak banyak orang
NTT yang memasukan liburan dalam perencanaan hidup mereka. (Begitukah? Hahaha
ini asumni subyektif saya saja! Camkan...). Kalau kata om Oddy Messakh, salah
satu pelaku bisnis pariwisata di kota Kupang, “belum ada alokasi dana secara
khusus di masyarakat kita untuk membelanjakan sesuatu yang terkait dengan
kesenangan (liburan atau berswisata)”.
Kembali ke Boti.
Saya beruntung diajak kak
Audrey Jiwajenie (saudarinya komikus Ernest Prakasa), Nandita dan Nike Frans,
plus om sopir yang membawa kami ke sana, Om Salim yang super komunikatif itu.
(FYI, Om Salim itu sopir travel sekalugus tour guide lokal paling komunikatif
yang pernah saya temui. Beliau biasa nongkrong di Hotel On The Rock).
Kami berangkat dari
Kupang jam 4.30 dini hari dan mampir sarapan di Soe jam 06.30. Medan menuju
Boti terbilang sulit tapi ada untungnya di musim panas seperti sekarang ini
kita bisa terhindar dari jalanan licin, berlumpur dan longsor. Kami tiba di
Boti jam 9 pagi dan ternyata sudah disambut dua orang Boti dalam di gerbang
kampung. Dua sosok yang akhirnya kami ketahui sebagai adik dari almarhum Raja
Nune Benu (Raja Boti sebelumnya) dan ipar dari Raja Nama Benu (Raja Boti kini).
Mereka datang menyambut seperti sudah tahu akan ada tamu yang datang saat itu
juga. Ketika mobil kami parkir, eh dari dalam kampung sudah muncul Bapa Raja,
Nama Benu. Luar biasa. Agak ajaib memang kejadian itu. Siapapun yang pernah
datang ke Boti pasti mengalami keajaiban-keajaiban kecil. Sebenarnya bukan di
Boti saja. Waktu saya bertemu dengan Bapa Mateos Anin, seorang tokoh adat
paling kharismatik di Mollo, beliau pun berlaku seperti sudah tahu akan ada
tamu yang datang. Kala itu Bapa Anin bisik kepada saya, “biasanya akan ada
bisikan di telingan saya bahwa akan ada tamu yang datang.” Hah? Dibisiki? Jika
demikian lupakan kebiasaanmu berpikir logis. Bertemu tokoh-tokoh adat seperti
mereka, banyak hal bisa saja terjadi melampaui batas nalar kita.
Kesan pertama
saya memasuki kampung Boti;
- Keramahan
penguhinya. Kami disambut layaknya keluarga yang lama tak bersua. Kami diajak
bicara tidak sebagai orang asing, melainkan sebagai saudara lama yang telah
kembali. Untuk dicatat, mereka itu komunitas yang kita sebut sebagai ‘suku
tertinggal’, ‘suku tak beragama, suku kafir’, bla bla bla... tapi lihat
perilakunya. Mereka adalah manusia sederhana, manusia tulus, manusia baik,
manusia yang benar-benar manusia!
- Bersih
dan hijau. Ketika masuk ke kampung Boti, kak Nandita sontak berkomentar, nuansa
di sini kayak di resort ya? Saya sepakat. Rumah-rumah tertata rapi, pepohonan
rimbun, tanah yang bebas dari sampah plastik, tangga-tangga yang tersusun dari
bebatuan rapi. Luar biasa. Dan satu lagi, suasana di sini tenang bahkan super
tenang. Apa saya lebay? Sebagai penulis saya suka bekerja dengan lingkungan
demikian, lagian saya sudah merasa sensitif dengan keadaan demikian. Pengalaman
saya, setiap kali bersinggungan dengan lingkungan yang demikian, inspirasi dan
kenyamanan menulis sudah pasti melimpah ruah. Hehehe.
- Suguhan
serba organik (meski tidak semua). Saya yakin demikian. Ketika tiba kami
langsung disuguhi sirih pinang yang diambil dari pekarangan. Sepuluh menit
kemudian kami disuguhi kopi dan teh plus kripik pisang yang digoreng dengan minyak
kelapa. Setelah puas berkeliling kami ditawari makan siang lagi, ayam goreng,
telur ayam kampung rebus, jagung bose, sayur sawi hijau, dan lainnya. Nikmat
yang sederhana sebab aroma minyak kelapa kuat sekali dan lidah saya cukup mampu
membedakan mana makanan dengan vetsin/masako dan mana yang cuma dengan garam. Tentang
makanan tambahan seperti tepung terigu, gula, beras, dll mereka mendapatkannya
dari pasar tradisional mingguan di kampung Boti luar. Bahan pangan lainnya
diambil dari kebun dan kandang sendiri.
- Hidup
selaras dengan alam. Sangat mudah bagi saya untuk menemukan jawaban dari
pernyataan saya kali ini. di sudut dapur saya menemukan dua batang bambu bekas
pakai yang ujungnya terlilit kapas bercampur biji damar yang sudah dihaluskan.
Itulah lampu penerang malam mereka. Masih disudut dapur yang sama, saya temukan
dua lembar payung tradisional dari lembaran daun lontar atau gewang yang
dikeringkan dan dijadikan P A Y U N G! J terassering dan tangga
yang membatasi tanah datar satu dengan lainnya dibatasi oleh susunan batu-batu
ceper yang sangat rapi. Sonde perlu pakai semen lai. Sebagian besar atap rumah
memakai ilalang dan daun gewang, sebagian kecil lainnya sudah beratap dinding.
Berbicara lantai, di rumah tempat menjual cinderamata khas Boti bisa kita lihat
bagaimana lantai rumah yang berbahan tanah saja tapi entah bagaimana jadi padat,
licin, basah dan dingiiiin. Kok bisa? Silahkan ke Boti dan buktikan sendiri
hehehe. Lopo-lopo dibangun rapi dan open
air gitu. Sejuk oi... lebih dari itu, kapas dan aneka tanaman yang akan
digunakan untuk pewarna benang alami tumbuh subur di sekeliling rumah, dari
Kunyit, tarum, hingga pohon mengkudu. Ada banyak lagi bukti jika mereka memang
hidup selaras dengan alam.
Kesan selanjutnya banyak
dan tidak bisa saya tulis semuanya. Mungkin akan terwakili dengan semua foto
yang akan saya posting di bawah ini.
Ada catatan kritis saya
tentang suku ini. saya punya sebuah pembanding sederhana dengan suku Baduy di
Banten yang pernah saya kunjungi setahun lalu. Mereka jelas berbeda dan punya
masalah sendiri-sendiri tapi izinkanlah saya mengungkapkannya.
“Boti
rasanya sudah tak semurni dulu. Saya tak pernah kesana sebelumnya tapi saya
yakin kondisi mereka sebelumnya jauh lebih baik. Jika melihat mereka sekarang
makin tersentuh unsur-unsur modernitas, saya rasa kok mereka seperti mengalami
kemunduran bukan kemajuan. Oke, mereka punya sistem kepercayaan sendiri, punya
aturan hukum adat sendiri, punya struktur dan tatanan sosialnya. Mereka tidak
telanjang melainkan sudah punya kemampuan mengolah kapas, menenun dan
menjadikannya pakaian yang membungkus seluruh tubuh dengan indah dan elegan.
Tanpa aturan hukum beragama dan bernegara seperti warga luar Boti, toh mereka
sudah terbukti eksis dengan aturan-aturan yang ada. Tiada tindakan kriminal di
sana, tak ada pertengkaran karena beda agama, tak ada teroris, tak ada korupsi,
tak ada. Artinya sebelum bangsa ini merdeka pun saya yakin komunitas mereka
sudah eksis dan teratur laksana sebuah kerajaan tumbuh. Tapi kok jadi merasa
gimanaaa gitu ketika melihat simbol-simbol modernitas sudah masuk ke sana. Baju
kaos, semen, keramik, seng, genset, kabel-kabel listrik, hingga ke
simbol-simbol agama dan pemerintahan (tanda survey kependudukan dan KPU, kursi
berukir salib dan jam dinding dengan wajah Yesus dan Maria. Kayaknya semua itu
dibawa ke dalam oleh entah siapa tamunya, entah apa maksudnya. Tetapi ketika
menerima simbol modernitas atau perilaku lain di luar kebiasaan yang sudah
mengakar di kampung Boti, saya rasa kok mereka menjadi mundur, menjadi tak
unik, menjadi biasa saja. Ah, entah bagaimana saya mendeskripsikan lebih jauh
dan jelas kekhawatiran ini. saya percaya, tanpa menjadi modern seperti kita
yang lain, mereka toh sudah luar biasa kok. Karena saya melihat sendiri
bagaimana suku Baduy Dalam menjaga kemurnian tradisinya dari pengaruh luar.”
Apapun
itu saya jatuh cinta sama kampung ini. Kita manusia-manusia modern adakalanya
harus kembali ke Boti, untuk belajar segala kearifan yang mereka miliki.
NB: Ketika saya berkesempatan
mengobrol dengan raja Boti, Nama Benu dengan bahasa Dawan saya yang serba
terbatas, beliau bertanya, “Siapa yang menang di MK?”. Saya yang setengah kaget
setengah takjub menjawab, bahwa yang menang Jokowi. Beliau jawab, oh yang nomor
2 itu. Lalu ia melanjutkan pertanyaan, ‘apakah dia orang baik?”. Saya jawab
saja, iya beliau baik. Hingga detik ini masih tergiang-ngiang percakapan
singkat kami itu.
Kupang,
Agustus 2014
|
selamat datang di Boti |
|
secara tiba-tiba kami sudah disambut tuan rumah |
|
oleh-oleh yang bisa kita beli di Boti |
|
disuguhi makan siang ayam goreng dan telur rebus plus jagung bose |
|
bapak ini masih presiden di kampung boti! :D |
|
di rumah ini segala jenis kerajinan tangan dijual |
|
segala buah ini dibiarkan begitu saja tanpa ada yg curi |
|
juga kepala dan tebu ini |
|
buku tamu |
|
kapas ditumbuk bersama buah damar utk penerangan |
|
tempat ayam bertelur |
|
Skubi anjing Boti sudah lengket aja sama kak Audrey |
|
rumah yang dikeramatkan, milik alm raja nune benu dan isteri |
|
anak tertua alm nune benu yg memilih keluar dr Boti. anaknya ini diambil kembali sbg calon raja berikutnya |
|
atap dari ilalang yang dianyam dengan sangat rapi |
|
sendok makan dari tempurung |
|
pohon kapas di mana-mana |
|
gelang perak putih dan kuning yg dikenakan anak bungsu raja nune benu |
|
putri raja nune benu bersama nike frans |
|
payung dari daun gewang/lontar |
|
saudara dari almarhum nune benu |
|
beliau ini senang difoto lho |
|
bergaya bersama raja nama beny yg bersahaja ini |
|
selfie diantara mama-mama penenun |
|
onme-onme nunu, gimana-gimana POHON BERINGIN! |
|
keponakan bapa Raja yg mengantar kami hingga pintu gerbang |
keren bro, setelah baca ini..beta kepengen ewww kesana..
BalasHapusI like your articles. Salam hormat: Donald Tick(also facebook)Holland
BalasHapus