Tampilkan postingan dengan label Indonesia Jaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Indonesia Jaya. Tampilkan semua postingan

Minggu, 30 Oktober 2016

Sisi Lain


Ketika hati ingin memulai, lepaskanlah
Agar jiwa yang bebas mencari sisinya sendiri
Jembatan memang menghubungkan
Hanya siapa yang ingin memulainya duluan?
Setiap ziarah barangkali akan meneduhkan
Namun saudara dibutuhkan dalam perjalanan ini
Sejarah, atau apapun itu
Sekeping saja
Tersusun atas banyak warna
Karena memilih untuk memulai sebuah perjalanan menuju sukacita
Harusnya dimaknai sebagai terang dan garam
Jiwa-jiwa muda tahu betul di sebelah mana mimpi ini harus disimpan
Dijaga
Dan digelorakan
Kaukah kawan perjalanan?

***
            Jujur saja saya menolak ikut kegiatan ini ketika ditawarkan pastor paroki. Saya merasa diri ini sudah terlalu tua di OMK dan kesempatan baik seperti ini harusnya diberikan ke teman-teman yang lebih muda. Sayangnya rentang usia anggota OMK di paroki saya terlalu jauh. Sedikit saja OMK seperti saya yang sudah bekerja dan banyaaaak sekali OMK dengan status pelajar. Kegiatan seperti IYD yang memakan waktu lebih dari seminggu rasanya sulit untuk melibatkan mereka yang masih berstatus pelajar. Oke, akhirnya saya bersedia untuk ikut. Meski dengan sedikit motivasi apalagi ekspektasi.
            Sebagai penulis, saya punya beberapa pengalaman mengikuti festival sastra, residensi kesenian, atau forum-forum kepemudaan (youth leader forum) yang memakan waktu seminggu bahkan hingga dua atau tiga bulan. Persis dengan konsep IYD, bertemu banyak orang muda, dengan mimpi dan semangat besar, tinggal bersama dan diskusi, membuat project bersama yang punya dampak sosial. Kesadaran ini lantas mulai menumbuhkan motivasi ikut IYD dan punya beberapa ekspektasi terhadap kegiatan ini. Jika sebelumnya kegiatan yang saya ikuti terkait dengan literasi, kebudayaan, seni dan kewirausahaan sosial, maka kali ini sedikit spesial: berkegiatan bersama sesama orang muda seiman. Diam-diam saya merindukan itu.
            Saya teringat dua pesan kakak saya, katanya begini: "Kamu diberi lebih dari satu talenta, maka dari kamu juga akan dituntut lebih." Sebelumnya saya banyak aktif dibeberapa komunitas anak muda di Kupang. Ikut membangun komunitas anak muda dan mendukung setiap kerja kolaborasi kaum muda di NTT yang memilih untuk bergerak di jalan kesenian, ekonomi kreatif dan kewirausahaan sosial. Namun di sisi lain saya merasa belum punya pengalaman bagaimana talenta yang saya punya ini bisa berkontribusi bagi perkembangan iman gereja Katolik.
Pesan kedua dari kakak saya, "Kamu sudah terlalu banyak meminta Tuhan mendengarkanmu ketika berdoa. Tuhan saya mau ini, saya ingin begitu, kok saya begini ya Tuhan? Tapi pernahkah kau duduk diam dan mendengar Tuhan berbicara lewat Injilnya?"
Saya menulis buku dan membaca banyak literatur, tapi kitab suci jarang sekali saya baca. Saya terlalu banyak meminta kepada Tuhan, tetapi jarang sekali saya mendengarkan Tuhan berbicara lewat kitab suci. Maka, momen IYD dengan tema 'merayakan sukacita Injil', saya merasa ini saatnya saya mendekatkan diri dan mendengar sabdaNya dengan sukacita. Saatnya talenta yang sudah Ia berikan itu saya balas dengan tekun mendengar kabar sukacita dariNya dan ikut mengambil bagian dalam pewartaan dan pengembangan iman kaum saya, orang-orang muda Katolik. Saya semakin tidak sabar untuk tiba di Manado, bertemu dengan lebih banyak orang muda, yang punya semangat dan mimpi besar untuk jadi agen perubahan dalam Gereja dan bangsa ini. Sebab kata Paus Fransiskus, orang muda seperti saya ini bukan lagi masa depan Gereja, melainkan masa kini Gereja.
Sudah saatnya berbuat sesuatu.
            Saya bersyukur ini adalah kesempatan pertama saya menginjakkan kaki di tanah Minahasa. Di tanah yang kaya akan hasil laut dan pertanian, saya mendapati sukacita Injil dalam keberagaman itu sungguh menjelma nyata dalam keseharian saudara-saudara saya, umat Katolik di Minahasa. Sukacita injil bukan karena kebetulan ada acara besar Indonesian Youth Day 2016 yang mengusung tema yang sama. Orang Katolik Manado dalam pandangan pribadi saya, hidup dalam kelekatan sukacita injil. Hal itu mengakar kuat dalam tradisi atau kebudayaan mereka, bagaimana dalam persekutuan injil mereka bekerja keras untuk menghidupi diri sendiri dan orang lain. Pertama kali tiba di paroki tempat kami live in, paroki Maria Ratu Para Rasul di daerah Manembo-nembo, kota Bitung, saya mendapati orang-orang mengabdikan dirinya untuk Tuhan dan sesama dalam persatuan Gereja. Dengan antusias mereka datang berkumpul di aula paroki, saling bekerjasama, berdoa, menyiapkan perjamuan makan bersama, dengan hangat memeluk dan membukakan pintu rumah bagi tamu baru dari belahan selatan Indonesia: orang-orang muda Katolik dari Keuskupan Agung Kupang. Tak ada yang saling mengenal sebelumnya. Bahasanya jelas dan mempersatukan: kita adalah saudara dalam Kristus. Sungguh, saya tidak berlebihan menulis ini. Pada titik ini, saya berefleksi bahwa kebahagiaan dan sukacita itu bukan soal materi yang melimpah, atau bungkusan-bungkusan yang terlampau mewah dan mengilat. Tidak. Di aula bekas Gereja tua, udara panas tak menyurutkan orang-orang untuk tertawa, saling kelakar, melempar senyum tulus, berbagi tisu untuk menyeka keringat, bahkan menyanyi dan menari bersama yel-yel Keuskupan Agung Kupang yang.... oh Tuhan, apakah kita sudah pernah berkenalan seribu tahun lamanya sampai-sampai semua ini terjalin begitu cair?


Smokol bukan Pamokol
Saya menutup hari itu di rumah nan sederhana milik keluarga Albakir, di wilayah rohani (sebutan lain untuk Kelompok Umat Basis-KUB) Santa Elisabeth, stasi Hati Kudus Yesus Watudambo. Inez, sang koordinator OMK setempat yang masih berdarah Sumba mengatur semuanya dengan sangat baik.
            Bapa Albakir berasal dari Gorontalo, masuk Katolik ketika menikah dengan Mama Lenci Rotty. Di Watudambo, keluarga besar Rotty adalah umat Katolik perdana. Saya berkesempatan mendengar kisah tentang Bapa Yefta Rotty sang perintis Gereja Katolik di Watudambo berpuluh-puluh tahun lalu. Ketika beliau berhasil mengumpulkan 5 orang Katolik dan berniat melaporkannya ke Bapa Uskup di Manado supaya mendapat pelayanan dari Gereja, toh beliau masih ditantang Bapa Uskup, “kau harus mencari dua orang lagi.” Tujuh pada akhirnya bukan lagi soal angka ganjil tapi genaplah ia sebagai sebuah persekutuan iman yang baru. Bapa Rotty mendirikan sekolah dasar Katolik yang mengingatkan saya akan apa yang juga dilakukan bapa AFK Oematan (Ba’i Klerek) di awal paroki Santa Maria Immaculata Kapan berdiri. Kini umat Katolik di Watudambo telah mencapai angka 200 lebih kepala keluarga. Seorang menantu bapa Yefta Rotty menceritakan kisah ini kepada saya dengan rasa haru dan bangga yang menyala-nyala dalam sebuah kesempatan smokol bubur Manado (tinutuan) di kediamannya.
Smokol perdana di rumah mama Lenci waktu itu adalah nasi kuning dengan abon ikan tuna yang sangat pedas. Bukan orang Manado namanya kalau dalam setiap masakan mereka tidak diberi cabai. Saat itu untuk pertama kalinya saya tahu apa itu smokol ketika sedang makan bersama di teras rumah dan beberapa tetangga mampir karena mendengar ada tamu jauh di lingkungan mereka. Dan saya baru sadar bahwa kebiasaan menikmati sarapan (smokol) di teras rumah adalah sebuah tradisi yang hidup. Hampir di setiap rumah, meja dan kursi ditempatkan di teras rumah untuk acara smokol atau sekadar mengobrol santai dengan tamu sambil minum teh. Dan uniknya, setiap orang yang lewat akan ditegur/diajak. “Mari smokol jo.” Begitu sapaan yang akan kita jumpai ketika pagi hari melewati rumah tetangga. Pengalaman ini akhirnya memperkuat persepsi awal saya di hari sebelumnya ketika ikut perjamuan bersama umat di Manembo-nembo. Orang Manado adalah pribadi yang terbuka dan bersahabat. Dan bahwa peristiwa makan bersama adalah bagian tak terpisahkan dari sebuah upaya membangi sukacita kepada sesama. Dengan begitu meriahnya peristiwa makan bersama, meja dengan berpuluh-puluh menu pada akhirnya tak lagi terlihat sebagai “makan porsi gunung Mutis” namun sudah menjadi “hidup untuk berbagi, hidup untuk dinikmati bersama”. Perjamuan makan bersama bukan lagi soal kuantitas tapi soal kualitas. Tolong koreksi jika persepsi saya tentang kebudayaan orang Minahasa ini barangkali masih keliru.
Dari peristiwa smokol itu, keluarga Albakir mengenal saya lebih jauh dan sebaliknya saya pun dibukakan pintu untuk masuk ke dalam ruang pribadi mereka.
“Kami orang Manado begini, Dicky. Apa adanya, tidak suka tutup-tutupi. Baik dan buruk dari diri kami, ya beginilah kami. Jadi jangan kaget ya...” Elvan anak ketiga mama Lenci mengingatkan saya. Keluarga ini hebat. Mama Lenci cerita tentang masa lalu yang sangat sulit. Bekerja keras adalah pilihan yang mau tidak mau harus diambil. Bapa Albakir yang pendiam mengisi harinya sebagai buruh tani di perkebunan milik orang lain.
“Tanam milu (jagung) sehari dibayar Rp.100.000.” Jelas mama Lenci. “Saya sendiri dulu sempat kerja di rumah orang. Ya bagaimana, saya harus dukung suami besarkan lima orang anak. Apa saja kami kerjakan yang penting halal dan bisa tambah-tambah untuk sambung hidup.” Beliau lantas menumpahkan rasa bangga setelah kini mulai memetik buah dari kerja keras dan devosinya kepada Bunda Maria selama ini. Dua anak sudah menikah dan membangun kehidupannya masing-masing. Elvan dan adiknya Alicia menempuh kuliah sembari bekerja. Elvan yang cerdas dan pekerja keras bahkan didaulat sebagai asisten dosen sekaligus staf di kampus tempat ia kuliah. Ia kini mulai banyak mengambil peran baru sebagai penopang ekonomi keluarga. Membantu membiayai kuliah Alicia dan Jonatan adik bungsunya yang masih SMP. Tinggal di Watudambo, mata saya dibukakan untuk melihat kondisi yang menurut saya luar biasa. Kebanyakan orang muda Katolik di Watudambo sudah aktif bekerja saat duduk di bangku sekolah atau kuliah. Sejak belia orang-orang sudah dibentuk untuk bekerja keras, untuk menghidupi diri sendiri dan orang-orang di sekitar.
Seluruh pengalaman hidup bersama keluarga Albakir membawa saya pada satu pepatah orang Manado, Si Tou Timou Tumou Tou. Hidup untuk menghidupi orang lain. Keluarga Albakir hidup untuk saling mendukung satu sama lain, hidup untuk membuka diri dengan tetangga bahkan untuk hal paling sederhana, “mari smokol jo,” kepada siapa saja yang lewat. Bekerja keras pada akhirnya bukan untuk memegahkan diri sendiri. Bekerja keras pada intinya untuk bersukacita bersama, hidup dan menghidupi sesama.
Ketika selesai smokol, saya tiba-tiba ingat kata pamokol. Kata yang amat kasar sebenanrya bagi orang Timor. Kata yang sama sekali jauh dari kesan dan persepsi yang sudah ditulis panjang lebar di atas.


Klik!
Ketika berusaha untuk memulai tulisan ini, saya sengaja mengambil tempat duduk di teras dapur yang menghadap ke kebun kopi. Saya membayangkan kebun pala dan jagung di Watudambo. Saya coba buka lagi foto-foto dan video selama IYD berlangsung di Manado. Saya ingin meresapi setiap momen yang berhasil saya bidik dari kamera handpone atau berusaha menyerap energi yang mungkin masih tersisa dari video klip theme song ‘Sukacita Injil’. Barangkali pengalaman yang saya dapat ini agak melenceng dari espektasi saya sebelumnya yang ingin ketemu dengan banyak orang muda Katolik dengan passion atau mimpi yang sama di bidang kesenian, literasi atau social enterprise. Saya memang tidak menemukan itu di IYD kali ini. Di sesi seminar, saya dimasukkan ke sesi diskusi tentang OMK dan Politik. Tapi sungguh saya mau bilang bahwa pengalaman live in jauh lebih kaya dan itu membanggakan. Lantas bagaimana mungkin pengalaman live in yang hanya 4 hari bisa meninggalkan kesan yang begitu kuat? Alasannya mirip, kliknya satu: bahasa kita sama yakni bahasa kasih. Roh dan jiwa kita satu yakni iman Katolik. Pelengkapnya, barangkali soal kesamaan budaya. Mulai dari bahasa Melayu Manado dan Melayu Kupang yang rada mirip, selera lidah yang sama (meski Timor harus akui kalah di takaran cabai :D) dan satu lagi yang saya rasa penting... lagu!
Indonesian Youth Day memahami betapa pentingnya sebuah lagu sebagai jembatan pemersatu maka lahirlah theme song Sukacita Injil lengkap dengan tariannya yang sukses bikin baper, bikin jiwa muda bergelora ingin menyanyi dan menari seheboh-hebohnya. Dan bagi OMK Keuskupan Agung Kupang dan OMK Paroki Maria Ratu Para Rasul Manembo-nembo lagu jualah yang pertama kali memecah kebisuan, gerah dan bingung harus mau bicara apa saat pertemuan perdana di aula paroki. Inisiatif  menyanyikan theme song dilanjutkan yel-yel OMK Keuskupan Agung Kupang yang meminjam aransemen lagu pop daerah ‘Bae Sonde Bae’ jelas-jelas sukses bikin saling akrab, selanjutnya terserah Tuhan sebab ada cinta lokasi. Sampai detik ini saya melihat teman-teman banyak masih gagal move on. Reaksi kimia masih terus terjadi melampaui ruang dan waktu. Waaarbiyasaah.
Perjumpaan dengan Bapa Tedy
Saat malam rekreasi bersama sebelum esoknya pulang kembali ke Kupang, saya yang sedang terserang kantuk hebat di pojok Gereja tiba-tiba didatangi seorang bapak. Ia menyapa dan bertanya mengapa saya tidak ikut menari bersama teman-teman. Percakapan kami kemudian menjadi sangat menarik ketika ia mulai bercerita tentang petualangannya keliling Indonesia, tentang relasi antar umat Katolik dan Protestan di Manembo-nembo serta rasa kagumnya pada kebiasaan dansa-dansi orang Timor. “Kalian itu kalau badansa deng manari so paleng asik sudah.” Kehadiran OMK Keuskupan Agung Kupang baginya menyenangkan sebab ketika melihat orang muda Kupang berdansa waltz, jeven, chachacha, ia tiba-tiba mengingat masa kecilnya. Rumah beliau persis di sebelah paroki Manembo-nembo. Secara khusus beliau mengapresiasi kerukunan dan komunikasi yang baik antar umat Protestan dan Katolik di wilayah kediamannya. Saya ikut gembira mendengarnya.
Obrolan kami terhenti sejenak ketika ia tiba-tiba berinisiatif pulang ke rumah untuk mengambil ‘sesuatu’ buat saya. Sepuluh menit kemudian beliau hadir lagi dengan sekantong pala, kayu manis dan cengkeh. Dari sinilah dongeng tentang orang Minahasa dimulai. Saya selalu kagum dengan orang-orang yang begitu mencintai tanah kelahirannya tanpa syarat. Orang-orang yang dengan begitu rendah hati merasa punya hutang budi terhadap alam semesta yang dianggap sudah memberi banyak kelimpahan berkat.
“Minahasa punya tanah kaya dan orang-orang dengan hati seluas samudera. Di sini yang penting kerja keras kau akan hidup bahagia sejahtera. Tapi kalau mau jadi preman, silakan ke Jakarta.”
Hari tua pak Teddy masih diisi dengan traveling. Ia menyebut dirinya ‘sang pengelana’. “Sejak dulu, saya hanya punya prinsip bahwa saya tidak ingin nanti di hari tua, saya cuma tahu keindahan Indonesia dari cerita orang lain, buat apa? Saya sendiri harus mengalaminya langsung.” Ungkapan  paripurna ini keluar begitu saja dari mulutnya. Saya terdiam cukup lama, mencoba untuk meresapi kalimatnya. Namun ia mengira saya sudah terlalu lelah. Ia berdiri dan menepuk pundak saya sembari berbisik, “sampai  ketemu di Timor, kawan.” Ia menghilang di tikungan jalan, dengan secarik kertas berisi nomor hape dan alamat lengkap saya di Mollo. Ketika tiba di Kupang, beliau menelpon saya. “Dicky, simpan nomor saya.” Pesannya singkat.
Di Manado, saya menemukan sisi yang berbeda dari sebuah bangunan bernama kemanusiaan. Orang-orang yang ruhnya berselimutkan falsafah hidup, Si Tou Timou Tumou Tou. Hidup untuk menghidupi, mendidik, dan menjadi berkat bagi orang lain.
***
Kelak ketika benih pala yang kau beri
Tumbuh berseri di tanahku
Kau kuingat sebagai saudara seiman
Menari dalam pakaian Kabasaran
Kau kuingat sebagai sukacita saat smokol bersama
Kau kueja sebagai gelora yang tak habis-habis
Setelah pesta di Lotta usai
Setelah empat tempayan raksasa itu mengisi penuh memori dan nurani kita
Kau bahkan masih meminta lagu Mogi diputar kembali
Karena tangan yang tergenggam enggan menerima takdir rindu
Lepaskanlah, saudara
Lagu rindu...memang menyesakkan dada,
tapi ingatlah Mogi itu juga mengandung sukacita
Apalagi Gemu Famire
Pada akhirnya kita sendiri yang harus menulis di dada:
Dalam sukacita injil dan cerita

torang samua basudara

Sabtu, 16 Juli 2016

NKRI Harga Mati Atau NKRI Kasih Mati?

Namanya Ronny Muyapa, asal Nabire Papua, tetangga beta di kosan daerah Klebengan, CT 8 Jogjakarta tahun 2005. Seumur hidup beta, dialah orang Papua pertama yang beta kenal secara dekat dan jadi kawan baik. Sejak menghabiskan masa kecil di Timor dan masa remaja di Flores, orang Papua hanya beta lihat di TV. Kami sama-sama penghuni kos tunggal di rumah yang kamar-kamarnya disewakan, bukan tipikal kamar kos kebanyakan yang berderet panjang. Kami bertetangga sekaligus sekelas di D3 Komunikasi UGM. Di angkatan kami hanya Ronny seorang yang Papua. Setiap hari Minggu kami misa bersama di Paroki Pringwulung dan ikut organisasi Keluarga Mahasiswa Katolik Fisipol UGM. Kepada beta dia selalu bilang, "Dicky sa ni malas ke Gereja tapi sa senang ada ko yang bisa ingatkan dan ajak sa ke Gereja." Di Jogja beta tak punya motor, terbiasa jalan kaki atau naik bus ke mana-mana. Berteman dengan Ronny yang punya motor membantu beta juga ketika harus mengerjakan tugas praktikum di tempat yang jauh. Kami jadi cepat akrab, barangkali karena sama-sama dari timur sehingga gampang memahami, misalnya hal kecil seperti logat dan selera humor.

Karena Ronny teman Papua pertama beta, banyak hal baru tentang orang Papua akhirnya beta tahu. Termasuk tahu bagaimana lingkungan kami berdua yang baru ini memperlakukan orang Papua seperti Ronny. Yang beta temui, indikasi bercandaan berbau ras dengan sederet stigma sudah sonde terpisahkan lagi. Seolah dengan kehadiran Ronny, semua hal negatif tentang Papua dalam kepala mereka langsung melekat ke diri kawan beta ini. Ronny jadi bahan olokan di lingkungan kos. Kerap beta melihat sendiri bagaimana ibu kos beta berkomunikasi dengan ibu kos Ronny (bukan pemilik kos, hanya penjaga rumah) atau tetangga lainnya dengan kesan yang seolah itu ada di semua orang Papua. Pernah sekali beta langsung nyeletuk, "Ah bu, beta juga kalau sonde mandi badan bau, ibu juga. Siapa saja bisa bau badan, sonde hanya orang Papua." Ibu kos beta masih terus berkelit. Beta tinggalkan. Bahkan diam-diam ada usaha untuk mengeluarkan Ronny dengan alasan rumahnya mau dikontrakkan ke pihak lain. Tapi informasi dari ibu kos beta, kabarnya warga sekeliling keberatan. Jadi labeling menahun begitu kuatnya sampai semua yang terlihat berciri sama, asal berkulit hitam dan keriting, baiknya ditolak saja karena pasti perilakunya sama. Setahun kemudian beta pindah kos, Ronny juga pindah. Kami jadi semakin jarang bertemu.

Pindah ke tempat lain, ketemu ketemu kawan Papua yang lain dan bersahabat baik dengan mereka. Di Jogja beta memang sengaja membatasi diri untuk bergaul dengan sesama anak NTT karena berpikir, sudah jauh-jauh merantau ke Jogja masak bergaulnya hanya itu-itu saja. Beta berkawan baik dengan anak Kalimantan, Palembang dan ikut kelompok pemuda Ambon di GPIB Marga Mulya bahkan. Sampai titik ini, beta ketemu hal yang sama saja, bahkan lebih luas. Perilaku negatif segelintir orang dengan mudahnya melekat ke semua orang dari tempat yang sama. Ekspresinya dari yang bicara di belakang, dikiaskan, dijadikan bahan olokan hingga yang esktrim seperti memasang plang/poster secara gamblang di depan rumah kos atau di gang-gang perkampungan. Belakangan beta tahu Ronny sudah bikin band dan main film (tentang isu yang sama. Karya Nindi Raras, judulnya Katong Semua Basudara). Ronny hijrah ke Jakarta, kerap masuk TV dengan nama Ronny Lau. Tahun lalu pas beta ikut program Residensi di Bumi Pemuda Rahayu, Imogiri, kawan beta ini inbox di Facebook, mengundang beta untuk hadir dalam screening filmnya di Jogja Netpac Film Festival di Taman Budaya Yogyakarta. Pemutaran filmnya malam dan bukan weekend, beta sonde dapat izin dari tempat residensi. Seingat beta, Ronny selalu menanggapi dengan santai olokan rasis yang dialamatkan padanya. Beta tahu itu berat dan melukai, tapi dia bisa menyembunyikan itu dengan selera humornya. Dengan pribadi easy going-nya. Atau mungkin bagi teman Papua yang lain, berbagai tuduhan prematur itu kemudian jadi semacam sebuah resistensi dan menimbulkan perilaku cuek atau terkesan berjarak dengan lingkungan. Kalau bahasa orang Kupang, “terserah kalian saja mau cap apa, toh yang beta bikin baek pun dianggap jelek semua na.” Barangkali begitu.

Tapi pengalaman beta, kawan orang Papua itu loyal dan polos (genuine/apa adanya). Percayalah pada diri sendiri, beta belajar itu dari Ronny. Beta belum nonton filmnya, tapi pernah baca sinopsinya. Film itu semacam kisah nyata dari Ronny yang memang pernah ditolak sana-sini, diolok dan ditertawakan hanya karena dia.... (tarik napas panjang), orang Papua!

***
Hampir 5 tahun meninggalkan Jogja, banyak perubahan terjadi signifikan. Kelompok intoleran dan extrimis seperti punya banyak ruang dan kesempatan untuk mengadili sesama warga sipil sesuka hati. Paling tidak sejak kasus tembak mati oleh Kopassus kepada beberapa warga NTT di penjara Cebongan. Banyak ungkapan rasis mengemuka, sonde lagi jadi kasak-kusuk di belakang, tapi hadir di ruang publik dalam bentuk spanduk besar di mulut gang dan umpatan. Apa iya yang mabuk, sonde pake helm, bikin onar dan jadi preman di Jogja hanya dilakukan orang timur Indonesia? Apa iya yang separatis itu hanya orang Papua? Persis ketika saya 6 tahun tinggal dan bekerja di Jogja, selalu saja ada pertanyaan seperti ini, "Yakin kamu dari Timor. Kok sonde hitam, sonde keriting? bla bla bla..." Jadi di sini jelas, ada cara pandang yang keliru, ada generalisir. Sampai sekarang beta terus berpikir dan tertawa, yakin nih yang preman dan kriminalis di Jogja hanya orang timur saja? Jangan mudah lupa dan tutup mata. Jangan lempar batu sembunyi tangan.

Tentang tuduhan separatis, ini juga lucu. Simak saja postingan Facebook pak Made Supriatna yang semoga saja sonde bikin kita lupa. Kok selalu saja aksi damai anak muda Papua dikaitkan dengan separatis sedangkan demo besar-besaran menuntut keistimewaan daerahnya dengan berbagai ancaman 'merdeka saja', 'bikin negara sendiri', 'pisah dari NKRI', sampai beredar desain paspor Jogjakarta, sonde pernah kita anggap sebagai upaya separatisme juga? (Beritanya di sini). Lalu bagaimana dengan ormas intoleran yang kerap mengobok-obok Pancasila dan NKRI, kok malah didiamkan polisi. Kalau semua punya hak untuk berpendapat, kok pendapat orang Papua selalu dibungkam dengan kekerasan dan kekerasan, pembunuhan dan makian rasis?
sumber:www.facebook.com/m.supriatma

Jadi stop sudah dengan kalian pung tipu-tipu. Dulu katong semua dijajah Belanda lama, disiksa, dibunuh, dihujani makian rasis, lalu katong berupaya mencari keadilan dan merdekalah. Salah? Sonde salah, sebab katanya "kemerdekaan adalah hak segala bangsa, hak setiap orang maka segala bentuk penjajahan di atas muka bumi ini harus dihapuskan karena sonde sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan." Lalu katong rebut Papua jadi katong pung milik dan katong berubah jadi bangsa penjajah yang baru. Apa salah kemudian orang Papua minta keadilan bahkan minta untuk menentukan nasib mereka sendiri. Apa salah orang Timor Leste kemudian memilih untuk merdeka.

Hari ini katong masih asyik cari Pokemon ada di mana, sedangkan kawan-kawan muda Papua masih setia berusaha keras mencari keadilan bahkan harus berdarah-darah. Cek sendiri berapa orang Papua yang mati setahun terakhir, 5 tahun terakhir, 10 atau 20 tahun terakhir karena kekerasan dan pelanggaran HAM. Cek sendiri berapa banyak orang Papua yang tersingkir dari tanah, kebun, hutan dan gunung mereka sendiri. Lalu katong masih teriak NKRI harga mati? Atau NKRI Kasih Mati. Preet to the moon and back.
Selamanya katong akan dikenang sebagai bangsa penjajah baru, selain Belanda dan Jepang.



Christian Senda, tinggal di Mollo, Timor Tengah Selatan. Petani di www.lakoatkujawas.blogspot.co.id

Rabu, 31 Juli 2013

Seorang Guru Luar Biasa Itu Bernama Asnat


“Dan seorang guru yang tetap bertahan 10 tahun mengajar dengan gaji rendah saya rasa bukan sembarang orang. Pastinya orang dengan mental, cinta dan semangat mengabdi yang luar biasa. Pastinya. Dialah Asnat.”
*****
Kurang lebih dua bulan lalu, akun twitter @1000_guru menyampaikan informasi yang cukup mengagetkan saya. Menurut 100 Guru ada seorang guru di pedalaman Timor, tepatnya di Desa Telukh kecamatan Amanuban Timur, kabupaten TTS, bernama Ibu Asnat Bell yang sudah bekerja sebagai guru honorer mendapat gaji bulanan hanya Rp.50.000,-. Oya, 100 Guru sebenarnya adalah sebuah organisasi yang peduli pada dunia pendidikan terutama di daerah yang terpencil (bisa simak profil mereka di www.seribuguru.org).

Rabu, 20 Juni 2012

Ayu Utami: Menulis dalam Iman, Harapan, dan Kasih

(Artikel ini saya copy-paste dari situs Kepustakaan Populer Gramedia, menarik sebab ada beberapa poin penting tentang proses kreatif Ayu dalam menulis dan ada dua pertanyaan teman saya Sandra Olivia Frans. Beliau ini adalah salah satu inspirator saya dalam menulis, ketika pertama kali dikenalkan Saman oleh Pater Erno Beghu saat saya kelas 2 SMA (ketika itu beliau masih Frater di asrama putra Syuradikara, sekarang sudah bertugas di Argentina).

 

***


“Pengalaman menulis novel adalah suatu pengalaman yang sama sekali baru bagiku, dan tak terbayangkan sebelumnya. Sebab itu ia tidak sepenuhnya menurut padaku….”
(Ayu Utami, dalam suratnya kepada seorang teman setelah menulis Saman.) Ayu Utami menjalani latihan menulis rutin bagi publik mula-mula sebagai wartawan di majalah Humor, Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Pada 1998 terbit novel pertamanya, Saman, yang memenangi sayembara roman DKJ pada 1998. Berkat novel itu pula ia mendapat penghargaan Prince Claus Award dari Belanda (2000) dan Majelis Sastra Asia Tenggara (2008). Saman diikuti Larung (2001), Bilangan F u (2008), Manjali dan Cakrabirawa (2010), dan dua karya biografinya: Cerita Cinta Enrico (2012) dan Soegija 100% Indonesia (2012). Selain itu Ayu Utami juga menerbitkan kumpulan esai Si Parasit Lajang (2003). Saat ini dia sedang menyelesaikan lanjutan seri Bilangan Fu, Lalita. Bagaimana Ayu Utami menulis karya-karya tersebut? Ia berbagi proses kreatifnya di sini.

Bagaimana cara ‘menanggalkan diri’ dan menghindari subjektivitas dalam memperkuat karakter tokoh?
(Sandra Olivia Frans @sandrafrans)

Selalu mengamati dan memperhatikan orang lain. Dari situ kita bisa mengerti bahwa orang lain berbeda dari kita. Catat atau ingatlah perbedaan-perbedaan itu. Gunakan catatan/ingatan itu waktu menulis. Memang ada beda antara "mengamati" dan "memperhatikan". Jika kita mengamati orang lain, sebetulnya kita menjadikan mereka obyek pengamatan kita. Kita tidak terlibat dengan mereka. Itu memang agak tidak menyenangkan buat orang lain, sebab mereka dijadikan obyek. Karena itu, berhati-hatilah ketika mengamati. Jangan sampai berbuat tidak sopan. Nah, jika memperhatikan orang lain, kita menjadikan mereka subyek. Kita mencoba memahami mereka. Kita mencoba tahu apa kebutuhan mereka, posisi mereka, kebahagiaan ataupun penderitaan mereka. Sambil memperhatikan orang lain, kita terlibat, kita membuka diri dan menyediakan diri untuk orang lain itu. Latihan memperhatikan orang lain (menjadikan mereka subyek) membangun simpati kita pada orang lain dan juga pada karakter novel kita.

Gimana cara ngembaliin ke-pd-an kita untuk nulis lagi setelah naskah kita pernah ditolak penerbit?
(Amelia Kartika Widodo @ameliakartikaAW)

Zaman sekarang ada banyak penerbit. Bahkan bisa terbitkan sendiri. Banyak kok penerbit yang salah hitung dan menolak karya yang bagus. Ingat, naskah Harry Potter pun pernah ditolak penerbit.

Mbak, saya sudah baca ?#ceritacintaenrico?. Apa yang telah berubah dalam diri Mbak? Bagaimana Mbak memaknai perubahan itu? Baik itu idealisme, cara berpikir, dan perspektif, khususnya tentang perempuan dan laki-laki. Apakah cinta telah mengubah semuanya? :D Mbak Ayu jadi lebih lembut.
(Monica Harahap @Mon_Nyiet)

Saya tidak berubah sebenarnya. Kalau bahasa saya lebih lembut, mungkin karena karakter dalam novel biografi Cerita Cinta Enrico itu sendiri. Cerita dimulai dalam masa kanak-kanak Enrico. Tentu saja masa itu adalah masa yang lembut. Itu membutuhkan bahasa yang lembut pula. Lagipula, sisi yang ditonjolkan dalam sosok Enrico adalah bagian rentan dia. Hubungan dia dengan ibunya. Maka keseluruhan novel berkarakter rentan dan lembut. Nanti, kalau karakter utamanya kasar, saya akan menulis dengan cara kasar pula.
sumber foto: www.wajahfemina.co.id
Sekali lagi, saya tidak merasa ada yang berubah pada diri saya. Sebaliknya, saya merasa ada yang menjadi makin jelas dalam diri saya. Dari dulu saya percaya bahwa hubungan antar pria dan wanita itu harus setara, tidak hirarkis di mana yang satu memimpin yang lain mengikut. Karena itu, dulu di usia 20-an saya tidak mau beragama. Sebab, saya  kira semua agama mengajarkan bahwa suami adalah selalu pemimpin istri. Saya juga tidak mau menikah karena itu. Setelah saya membaca kembali Kanon (kitab hukum) Gereja Katolik, saya baru tahu bahwa dalam kitab hukum itu tidak ada pernyataan bahwa suami menjadi pemimpin istri.
Ini artinya, jika pasangan yang bersangkutan ingin suami jadi pemimpin, itu boleh saja. Jika pasangan menginginkan istri yang jadi pemimpin, juga boleh. Jika pasangan yang bersangkutan berpikir bahwa tidak perlu ada yang memimpin, demikian pun juga boleh. Silakan si pengantin sama-sama memutuskan. Ini hukum yang sangat egaliter sambil  tetap memberi hak bagi manusia/individu untuk menentukan pilihan sendiri. Hukum yang adil memberi kesempatan bagi individu untuk mengembangkan diri sesuai talentanya. Karena itu, pandangan saya terhadap perkawinan Katolik berubah. Itu satu-satunya yang berubah pada diri saya.
Saya tidak pernah anti atau benci laki-laki. Saya tidak pernah anti perkawinan. Dalam Si Parasit Lajang, saya menulis bahwa perkawinan itu bagus buat orang lain tapi tidak buat saya. Dan perkawinan itu seharusnya merupakan institusi yang melindungi pihak yang lemah, bukan paksaan.

Dalam menulis novel Bilangan Fu, adakah kesulitan-kesulitan yang Mbak Ayu jumpai? Kalau ada, apa sajakah itu?
(Cosmas Kopong Beda @CosmasKopong47)

Sejauh ini, Bilangan Fu adalah novel yang paling sulit saya tulis. Setelah Bilangan Fu, menulis jadi gampang buat saya. Maka saya bisa menulis Cerita Cinta Enrico dalam dua setengah bulan, dan Soegija 100% IIndonesia dalam dua minggu. Kesulitan itu demikian besarnya, sehingga sulit diceritakan lagi. Saya ingin menulis tentang pemanjat tebing  yang mempunyai hubungan segitiga yang unik. Tapi saya juga ingin bercerita tentang situasi Indonesia dalam proses Reformasi: di mana alam hancur dan intoleransi merebak. Saya ingin menulis tentang pengalaman fisik pemanjat tebing, tetapi juga pengalaman religius dan spiritual. Mengawinkan semua itu adalah hal yang rumit. Tapi, masih  ada lagi satu novel yang sudah saya pikirkan sejak tahun 1998 dan sampai hari ini belum jadi. Mungkin itu akan jadi novel tersulit bagi saya, atau bisa-bisa tidak jadi sama sekali. Judulnya Monolog Dua Agnes. Tapi, sambil mencoba menuliskan yang sulit, saya juga menulis yang lebih gampang.

Riset apa yang Ayu lakukan hingga begitu mendalam dan membuat pembaca seakan berada dalam masa yang ada di novel Ayu?
(Pritta Lora Damanik @prittadamanik)

Paling mudah adalah riset pustaka dan wawancara. Ini yang saya lakukan dalam menulis Saman. Saya tidak pergi ke Prabumulih, tetapi melakukan riset media dan wawancara. Saya tidak pergi ke rig pengeboran minyak di tengah laut, tetapi membaca (termasuk membaca buku panduan teknis rig/pengeboran minyak lepas pantai). Ketika itu saya tidak punya cukup waktu dan dana untuk pergi ke tempat yang saya akan ceritakan. Dalam  Larung, saya mulai melakukan perjalanan ke pulau-pulau kecil di Riau Kepulauan. Dalam Bilangan Fu, untuk bisa menceritakan pemanjat tebing, saya ikut kursus pemanjatan tebing dan penelusuran gua. Untuk bisa menceritakan seorang mahasiswa geologi, saya membaca beberapa buku dan juga pergi ke Karang Sambung, tempat mahasiswa geologi biasa praktik lapangan. Untuk serial Bilangan Fu (Manjali dan Cakrabirawa, Lalita, dst), yang akan menulis tentang candi-candi, saya pergi ke candi-candi tersebut.

Boleh tahu Mbak @BilanganFu, siapa initial "A" dalam ?#Cerita? Cinta Enrico? Btw, saya terkesan dengan semua buku Mbak.?
(Robert Sinuhaji @robertsinuhaji)
Terimakasih. A adalah Justina A, tentu saja.

Apakah Ayu rutin menulis selama beberapa jam tiap hari atau hanya menulis saat sedang ‘kesurupan’ ide?
(Della Firayama @NyonyaMofimail)

Saya tidak percaya ada kesurupan lagi. Paling tidak bagi saya, saya tidak mau menunggu ilham. Saya adalah orang yang punya pikiran bebas seniman dan punya disiplin militer. Saya menulis setiap hari. Buat saya, energi itu paling besar di pagi hari dan di malam hari. Paling lemah adalah antara jam 3 sampai dengan jam 5 sore. Jika saya tidak  harus keluar rumah, saya bisa menulis terus sepanjang hari, hanya istirahat untuk makan dan peregangan otot sedikit. Tapi, jika saya menulis terus selama tiga hari berturut-turut atau lebih, biasanya akan terjadi penat. Jika penat, ide tidak bisa dieksekusi. Tulisan jadi terasa kering dan mengulang-ulang. Saya perlu olahraga rutin dan penyegaran dengan melakukan hal lain (menonton, mendengar musik, membaca, naik gunung, dll) untuk menghindari atau menghapuskan penat itu.

Gimana sih ngatasin bad mood pas nulis? Atau ketika ada ide tapi putus tengah jalan?
(R Aditya Rahman @ra_adira)
Bad mood biasanya datang karena kita kecewa atau merasa sia-sia. Kekecewaan dan rasa sia-sia itu datang karena kita berharap sesuatu. Nah, yang perlu diperiksa adalah harapan itu. Apa harapan kita dalam menulis? Apakah kita berharap jadi terkenal? Berharap tulisan dibaca dan dipuji orang? Berharap sukses? Saya diajar dan belajar untuk tidak  mengharapkan itu semua. Harapan demikian itulah yang paling banyak mendatangkan kekecewaan pada banyak orang.  Sekarang, iman dan harapan saya ketika menulis adalah ini: 1) tugas seni adalah mencari bentuk estetik bagi kejujuran (dan, dalam masyarakat yang munafik ini dibutuhkan lebih banyak lagi kejujuran); 2) ingin menyumbang agar sastra Indonesia bermutu tinggi. Setelah iman dan harapan itu, saya mencoba menulis dengan cinta, setidaknya cinta pada sastra. Dan cinta itu "panjang sabar... dst."  Iman, harapan, dan cinta (kasih), akhirnya itulah yang diajarkan pada saya dan ternyata  memang jadi pegangan buat saya.

Untuk ending, apakah sudah ditentukan dari awal saat kerangka tulisan  dibuat? Atau bagaimana? ?
(Afris Imanuel @afreeze & Watiasna @watiwatiii)
Ya. Umumnya saya sudah merencanakan akhir. Saya membuat outline/garis besar beserta tujuan akhirnya. Menulis novel adalah pekerjaan panjang. Buat saya itu seperti ekspedisi (mendaki gunung atau memanjat tebing atau mengarungi sungai dan lautan). Kita harus tahu tujuannya. Kita harus tahu mau pergi ke mana. Nah, improvisasi bisa dilakukan di lapangan, berdasarkan kontur dan tantangan yang dihadapi. Kalau kita tidak tahu mau ke mana, kemungkinan tersesat akan jadi lebih besar lagi. Saya juga merancang karakter tokoh dengan sangat rinci. Karakter ini ibarat perlengkapan yang kita bawa dalam ekspedisi. Kalau peralatan dan perbekalan kita tidak memadai, ekspedisi kita berhenti di tengah jalan. Demikian.

Lebih sulit mana, menceritakan tokoh yg sudah ada (CCE, Soegija) dan  membuat tokoh fiktif?
(Sandra Olivia Frans @sandrafrans)
Lebih sulit yang tidak ada. Karena itu, semua novel fiksi saya membutuhkan masa penulisan yang lebih panjang dari yang nonfiksi. Saman serta Manjali dan Cakrabirawa saya tulis masing-masing delapan bulan. Larung tiga tahun. Bilangan Fu empat setengah tahun. Tapi, Cerita Cinta Enrico dua setengah bulan dan Soegija 100% Indonesia dua  minggu. Memang, dengan syarat tokoh yang sudah ada itu sudah saya ketahui materi ceritanya. Sehingga, tinggal menyusun ulang dengan struktur dan pola yang saya tentukan setelah melihat bahan-bahannya.

Rabu, 23 Mei 2012

Ketika Atambua Sedang Tidak 39 Derajat Celcius (Gallery Trip To Atambua)

Hari Jumat tanggal 18 Mei kami sekeluarga melakukan perjalanan ke Atambua. Di awali sehari sebelumnya ketika ide yang sudah lama ada ini tiba-tiba dipikirkan lagi, sebab bukan kebetulan juga ada teman kakak saya yang bersedia menyewakan mobilnya dengan harga yang sangat murah (btw, terima kasih). Rp. 350 ribu untuk biaya sewa mobil selama 30 jam dari Soe menuju Atambua. Tujuannya selain untuk traveling sekalian mengunjungi salah satu kakak saya yang bekerja di sebuah tempat penginapan milik keuskupan Atambua di Emaus. Perjalanan ini bukan tanpa kendala sebab banyak juga yang mabuk, sehingga harus banyak berhenti. Seperti Bintang, keponakan saya yang mabuknya paling parah tapi ketika berhenti dan kamera on, langsung deh dia bergaya seperti lupa dengan kondisinya beberapa menit lalu. Waduuuh.
Perjalanan ini makin lengkap ketika kami mampir juga untuk makan siang sekalian ziarah di gua Maria Siti Bitauni di daerah Insana, TTU. Ini kali pertama saya mampir ke gua Maria ini, kebetulan juga pas momennya di bulan Mei, bulan Maria.
Di Atambua, kami sempat melakukan perjalanan keliling kota, mampir ke kompleks perkantoran Bupati Belu di atas perbukitan, keren. Lantas mampir makan bakso yang enak lho di depan Polres Belu. Ketemu sahabat baik saya, Gaudenz Seran yang bertugas di Polres Belu. Malamnya kami rela berhimpitan tidur di kamar kos kakak saya yang kecil, sebagiannya tidur di mobil.
Esoknya, kami pulang kembali ke Soe. Tapi mampir dulu foto-foto di Emaus, lalu singgah berenang di Oe Luan (dekat Noemuti, TTU). Perjalanan yang mengasyikan.
Btw, ternyata saat itu Atambua sedang tidak dalam kondisi suhu 39 Derajat Celcius. LOL. Dingin juga.

Perjalanan dimulai dari Soe

dengan dua keponakan, Richard (yang tingginya sudah melebihi omnya) dan Valentino
Berhenti untuk makan siang sekalian ziarah di Gua Maria Siti Bitauni, Insana, TTU

Sebelum makan, ziarah dulu. Saatnya mendaki menuju gua
semangat

Karena masih ada rombongan anak SMP di dalam, kita nunggu dulu sekalian foto
Saatnya memasuki gua Maria

Saatnya bakar lilin dan siap doa rosario 1 peristiwa
Selesai berdoa, foto-foto dulu

Patung Yesus yang mendapat sebuah piala dari Malaikat, di pelataran Gua Maria Bitauni
Ini dia Kanuku Leon!

Kanuku Leon dari sudut yang lain. Banyak sekali kuburan di sekitar sini.
Kapel

makam Luis Manek, mungkin seorang raja? Coba saya gugling dulu
Halena Natu Sokbanae

Jangan liat saya, tapi lihatlah betapa tangga-tangga menuju puncak gua disusun dengan bebatuan yang rapi sekali!
Kakak saya, Alfred Hengky Senda, bersama istrinya Emmy Selan dan anaknya Flora Mentari

Ramai-ramai menyerbu nasi kuning, telur bumbu dan mie goreng

peserta trip Soe-Atambua termuda dan tertua: Flora Mentari dan Mamatua

Melanjutkan perjalanan ke Atambua

Kaka Mace, Giovanni dan Valentino bergaya di patung Komodo, depan kantor Bupate Belu
Kantor Bupati Belu

Rekomen nih, bakso terenak di kota Atambua. Letaknya di depan Polres Atambua
Mamatua, Nona Maria, kaka Mace dan Valentino

Makannya lahap dibawah pimpinan om Hengky
Saatnya pulang kembali ke Soe

Mampir di Emaus, tempat kerja kakak
Bintang, keponakan saya yang paling fotogenic
Keluarga Karibera: om Maxi, kakak saya Evalina Senda, Richard, Giovanni dan Maria Prilia.
Ini aula baru milik keuskupan Atambua
Berkenalan dengan karyawan-karyawan di Emaus
Bintang Clarissa Senda, meski mabuk di perjalanan tapi diminta bergaya mukanya langsung cerah
Giovanni Karibera dan Bintang Clarissa Senda
Kaka Mace, Mentari, Giovanni, Bintang, Terang, Nona Maria dan Valentino di depan Aula Emaus
Kakak saya, Derly Vinelda (kedua dari kanan) bersama teman-temannya, karyawan Emaus Atambua
di Perjalanan antara Atambua-Kefa, ketemu danau ini, entah namanya apa. Bersama Terang, Bintang dan Maria Prilia
Happy Together

Add caption
Richard di kolam Oe Luan, TTU
Kolam Oe Luan, (dekat Noemuti TTU). Tiket masuknya Rp. 2000, lumayan terawat dan bersih airnya.
Semuanya gak bisa berenang! Cuma bisanya melompat gaya bebas di kolam yang dalamnya seperut, byuurrr, sudah. Hahahaha
Ciri-ciri orang Kapan, sonde bisa berenang, tapi heboh di kolam!
Kolam Oe Luan. Tenang, bersih...keren
Si kurus yang sama sekali gak bisa renang!
Mampir di danau Supul Niki-Niki
Danau Supul, Niki-Niki
Valentino, kecapean

Soe-Atambua-Soe, tapi tetap narsis dan semangat

Sampe Soe, sudah layu: Flora Mentari