Rabu, 20 Juni 2012

Ayu Utami: Menulis dalam Iman, Harapan, dan Kasih

(Artikel ini saya copy-paste dari situs Kepustakaan Populer Gramedia, menarik sebab ada beberapa poin penting tentang proses kreatif Ayu dalam menulis dan ada dua pertanyaan teman saya Sandra Olivia Frans. Beliau ini adalah salah satu inspirator saya dalam menulis, ketika pertama kali dikenalkan Saman oleh Pater Erno Beghu saat saya kelas 2 SMA (ketika itu beliau masih Frater di asrama putra Syuradikara, sekarang sudah bertugas di Argentina).

 

***


“Pengalaman menulis novel adalah suatu pengalaman yang sama sekali baru bagiku, dan tak terbayangkan sebelumnya. Sebab itu ia tidak sepenuhnya menurut padaku….”
(Ayu Utami, dalam suratnya kepada seorang teman setelah menulis Saman.) Ayu Utami menjalani latihan menulis rutin bagi publik mula-mula sebagai wartawan di majalah Humor, Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Pada 1998 terbit novel pertamanya, Saman, yang memenangi sayembara roman DKJ pada 1998. Berkat novel itu pula ia mendapat penghargaan Prince Claus Award dari Belanda (2000) dan Majelis Sastra Asia Tenggara (2008). Saman diikuti Larung (2001), Bilangan F u (2008), Manjali dan Cakrabirawa (2010), dan dua karya biografinya: Cerita Cinta Enrico (2012) dan Soegija 100% Indonesia (2012). Selain itu Ayu Utami juga menerbitkan kumpulan esai Si Parasit Lajang (2003). Saat ini dia sedang menyelesaikan lanjutan seri Bilangan Fu, Lalita. Bagaimana Ayu Utami menulis karya-karya tersebut? Ia berbagi proses kreatifnya di sini.

Bagaimana cara ‘menanggalkan diri’ dan menghindari subjektivitas dalam memperkuat karakter tokoh?
(Sandra Olivia Frans @sandrafrans)

Selalu mengamati dan memperhatikan orang lain. Dari situ kita bisa mengerti bahwa orang lain berbeda dari kita. Catat atau ingatlah perbedaan-perbedaan itu. Gunakan catatan/ingatan itu waktu menulis. Memang ada beda antara "mengamati" dan "memperhatikan". Jika kita mengamati orang lain, sebetulnya kita menjadikan mereka obyek pengamatan kita. Kita tidak terlibat dengan mereka. Itu memang agak tidak menyenangkan buat orang lain, sebab mereka dijadikan obyek. Karena itu, berhati-hatilah ketika mengamati. Jangan sampai berbuat tidak sopan. Nah, jika memperhatikan orang lain, kita menjadikan mereka subyek. Kita mencoba memahami mereka. Kita mencoba tahu apa kebutuhan mereka, posisi mereka, kebahagiaan ataupun penderitaan mereka. Sambil memperhatikan orang lain, kita terlibat, kita membuka diri dan menyediakan diri untuk orang lain itu. Latihan memperhatikan orang lain (menjadikan mereka subyek) membangun simpati kita pada orang lain dan juga pada karakter novel kita.

Gimana cara ngembaliin ke-pd-an kita untuk nulis lagi setelah naskah kita pernah ditolak penerbit?
(Amelia Kartika Widodo @ameliakartikaAW)

Zaman sekarang ada banyak penerbit. Bahkan bisa terbitkan sendiri. Banyak kok penerbit yang salah hitung dan menolak karya yang bagus. Ingat, naskah Harry Potter pun pernah ditolak penerbit.

Mbak, saya sudah baca ?#ceritacintaenrico?. Apa yang telah berubah dalam diri Mbak? Bagaimana Mbak memaknai perubahan itu? Baik itu idealisme, cara berpikir, dan perspektif, khususnya tentang perempuan dan laki-laki. Apakah cinta telah mengubah semuanya? :D Mbak Ayu jadi lebih lembut.
(Monica Harahap @Mon_Nyiet)

Saya tidak berubah sebenarnya. Kalau bahasa saya lebih lembut, mungkin karena karakter dalam novel biografi Cerita Cinta Enrico itu sendiri. Cerita dimulai dalam masa kanak-kanak Enrico. Tentu saja masa itu adalah masa yang lembut. Itu membutuhkan bahasa yang lembut pula. Lagipula, sisi yang ditonjolkan dalam sosok Enrico adalah bagian rentan dia. Hubungan dia dengan ibunya. Maka keseluruhan novel berkarakter rentan dan lembut. Nanti, kalau karakter utamanya kasar, saya akan menulis dengan cara kasar pula.
sumber foto: www.wajahfemina.co.id
Sekali lagi, saya tidak merasa ada yang berubah pada diri saya. Sebaliknya, saya merasa ada yang menjadi makin jelas dalam diri saya. Dari dulu saya percaya bahwa hubungan antar pria dan wanita itu harus setara, tidak hirarkis di mana yang satu memimpin yang lain mengikut. Karena itu, dulu di usia 20-an saya tidak mau beragama. Sebab, saya  kira semua agama mengajarkan bahwa suami adalah selalu pemimpin istri. Saya juga tidak mau menikah karena itu. Setelah saya membaca kembali Kanon (kitab hukum) Gereja Katolik, saya baru tahu bahwa dalam kitab hukum itu tidak ada pernyataan bahwa suami menjadi pemimpin istri.
Ini artinya, jika pasangan yang bersangkutan ingin suami jadi pemimpin, itu boleh saja. Jika pasangan menginginkan istri yang jadi pemimpin, juga boleh. Jika pasangan yang bersangkutan berpikir bahwa tidak perlu ada yang memimpin, demikian pun juga boleh. Silakan si pengantin sama-sama memutuskan. Ini hukum yang sangat egaliter sambil  tetap memberi hak bagi manusia/individu untuk menentukan pilihan sendiri. Hukum yang adil memberi kesempatan bagi individu untuk mengembangkan diri sesuai talentanya. Karena itu, pandangan saya terhadap perkawinan Katolik berubah. Itu satu-satunya yang berubah pada diri saya.
Saya tidak pernah anti atau benci laki-laki. Saya tidak pernah anti perkawinan. Dalam Si Parasit Lajang, saya menulis bahwa perkawinan itu bagus buat orang lain tapi tidak buat saya. Dan perkawinan itu seharusnya merupakan institusi yang melindungi pihak yang lemah, bukan paksaan.

Dalam menulis novel Bilangan Fu, adakah kesulitan-kesulitan yang Mbak Ayu jumpai? Kalau ada, apa sajakah itu?
(Cosmas Kopong Beda @CosmasKopong47)

Sejauh ini, Bilangan Fu adalah novel yang paling sulit saya tulis. Setelah Bilangan Fu, menulis jadi gampang buat saya. Maka saya bisa menulis Cerita Cinta Enrico dalam dua setengah bulan, dan Soegija 100% IIndonesia dalam dua minggu. Kesulitan itu demikian besarnya, sehingga sulit diceritakan lagi. Saya ingin menulis tentang pemanjat tebing  yang mempunyai hubungan segitiga yang unik. Tapi saya juga ingin bercerita tentang situasi Indonesia dalam proses Reformasi: di mana alam hancur dan intoleransi merebak. Saya ingin menulis tentang pengalaman fisik pemanjat tebing, tetapi juga pengalaman religius dan spiritual. Mengawinkan semua itu adalah hal yang rumit. Tapi, masih  ada lagi satu novel yang sudah saya pikirkan sejak tahun 1998 dan sampai hari ini belum jadi. Mungkin itu akan jadi novel tersulit bagi saya, atau bisa-bisa tidak jadi sama sekali. Judulnya Monolog Dua Agnes. Tapi, sambil mencoba menuliskan yang sulit, saya juga menulis yang lebih gampang.

Riset apa yang Ayu lakukan hingga begitu mendalam dan membuat pembaca seakan berada dalam masa yang ada di novel Ayu?
(Pritta Lora Damanik @prittadamanik)

Paling mudah adalah riset pustaka dan wawancara. Ini yang saya lakukan dalam menulis Saman. Saya tidak pergi ke Prabumulih, tetapi melakukan riset media dan wawancara. Saya tidak pergi ke rig pengeboran minyak di tengah laut, tetapi membaca (termasuk membaca buku panduan teknis rig/pengeboran minyak lepas pantai). Ketika itu saya tidak punya cukup waktu dan dana untuk pergi ke tempat yang saya akan ceritakan. Dalam  Larung, saya mulai melakukan perjalanan ke pulau-pulau kecil di Riau Kepulauan. Dalam Bilangan Fu, untuk bisa menceritakan pemanjat tebing, saya ikut kursus pemanjatan tebing dan penelusuran gua. Untuk bisa menceritakan seorang mahasiswa geologi, saya membaca beberapa buku dan juga pergi ke Karang Sambung, tempat mahasiswa geologi biasa praktik lapangan. Untuk serial Bilangan Fu (Manjali dan Cakrabirawa, Lalita, dst), yang akan menulis tentang candi-candi, saya pergi ke candi-candi tersebut.

Boleh tahu Mbak @BilanganFu, siapa initial "A" dalam ?#Cerita? Cinta Enrico? Btw, saya terkesan dengan semua buku Mbak.?
(Robert Sinuhaji @robertsinuhaji)
Terimakasih. A adalah Justina A, tentu saja.

Apakah Ayu rutin menulis selama beberapa jam tiap hari atau hanya menulis saat sedang ‘kesurupan’ ide?
(Della Firayama @NyonyaMofimail)

Saya tidak percaya ada kesurupan lagi. Paling tidak bagi saya, saya tidak mau menunggu ilham. Saya adalah orang yang punya pikiran bebas seniman dan punya disiplin militer. Saya menulis setiap hari. Buat saya, energi itu paling besar di pagi hari dan di malam hari. Paling lemah adalah antara jam 3 sampai dengan jam 5 sore. Jika saya tidak  harus keluar rumah, saya bisa menulis terus sepanjang hari, hanya istirahat untuk makan dan peregangan otot sedikit. Tapi, jika saya menulis terus selama tiga hari berturut-turut atau lebih, biasanya akan terjadi penat. Jika penat, ide tidak bisa dieksekusi. Tulisan jadi terasa kering dan mengulang-ulang. Saya perlu olahraga rutin dan penyegaran dengan melakukan hal lain (menonton, mendengar musik, membaca, naik gunung, dll) untuk menghindari atau menghapuskan penat itu.

Gimana sih ngatasin bad mood pas nulis? Atau ketika ada ide tapi putus tengah jalan?
(R Aditya Rahman @ra_adira)
Bad mood biasanya datang karena kita kecewa atau merasa sia-sia. Kekecewaan dan rasa sia-sia itu datang karena kita berharap sesuatu. Nah, yang perlu diperiksa adalah harapan itu. Apa harapan kita dalam menulis? Apakah kita berharap jadi terkenal? Berharap tulisan dibaca dan dipuji orang? Berharap sukses? Saya diajar dan belajar untuk tidak  mengharapkan itu semua. Harapan demikian itulah yang paling banyak mendatangkan kekecewaan pada banyak orang.  Sekarang, iman dan harapan saya ketika menulis adalah ini: 1) tugas seni adalah mencari bentuk estetik bagi kejujuran (dan, dalam masyarakat yang munafik ini dibutuhkan lebih banyak lagi kejujuran); 2) ingin menyumbang agar sastra Indonesia bermutu tinggi. Setelah iman dan harapan itu, saya mencoba menulis dengan cinta, setidaknya cinta pada sastra. Dan cinta itu "panjang sabar... dst."  Iman, harapan, dan cinta (kasih), akhirnya itulah yang diajarkan pada saya dan ternyata  memang jadi pegangan buat saya.

Untuk ending, apakah sudah ditentukan dari awal saat kerangka tulisan  dibuat? Atau bagaimana? ?
(Afris Imanuel @afreeze & Watiasna @watiwatiii)
Ya. Umumnya saya sudah merencanakan akhir. Saya membuat outline/garis besar beserta tujuan akhirnya. Menulis novel adalah pekerjaan panjang. Buat saya itu seperti ekspedisi (mendaki gunung atau memanjat tebing atau mengarungi sungai dan lautan). Kita harus tahu tujuannya. Kita harus tahu mau pergi ke mana. Nah, improvisasi bisa dilakukan di lapangan, berdasarkan kontur dan tantangan yang dihadapi. Kalau kita tidak tahu mau ke mana, kemungkinan tersesat akan jadi lebih besar lagi. Saya juga merancang karakter tokoh dengan sangat rinci. Karakter ini ibarat perlengkapan yang kita bawa dalam ekspedisi. Kalau peralatan dan perbekalan kita tidak memadai, ekspedisi kita berhenti di tengah jalan. Demikian.

Lebih sulit mana, menceritakan tokoh yg sudah ada (CCE, Soegija) dan  membuat tokoh fiktif?
(Sandra Olivia Frans @sandrafrans)
Lebih sulit yang tidak ada. Karena itu, semua novel fiksi saya membutuhkan masa penulisan yang lebih panjang dari yang nonfiksi. Saman serta Manjali dan Cakrabirawa saya tulis masing-masing delapan bulan. Larung tiga tahun. Bilangan Fu empat setengah tahun. Tapi, Cerita Cinta Enrico dua setengah bulan dan Soegija 100% Indonesia dua  minggu. Memang, dengan syarat tokoh yang sudah ada itu sudah saya ketahui materi ceritanya. Sehingga, tinggal menyusun ulang dengan struktur dan pola yang saya tentukan setelah melihat bahan-bahannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...