(catatan nostalgia lagu-lagu masa kanak
untuk MuDAersNTT)
Malam ini
tiba-tiba saja saya teringat beberapa lagu dari masa kanak saya dulu di Kapan
(FYI, sebuah kota kecil di TTS). Lagu-lagu tersebut biasanya dinyanyikan dalam
permainan kekerabatan. Misalnya tiga buah lagu berikut. Mirip-mirip lagu Potong
Bebek Angsa dan Anak Kambing saya (yang dalam banyak buku dan referensi seni
budaya, disebutkan lagu-lagu tersebut berasal dari Propinsi NTT).
Saya tidak tahu
persis sejarah lahirnya lagu-lagu tersebut. Tapi menarik jika kita menilik
lirik-lirik yang terbentuk (apa ada yang tahu? Ayo share di sini). Sebuah
bentuk puisi ‘parodi’ yang patut diapresiasi. Yah, lihat lirik-liriknya, saya
jadi merasakan bahwa ada kekayaan bahasa yang tiada taranya, dan jarang ditemui
penggunaanya saat ini. Dugaan saya lagu-lagu tersebut banyak mendapat influence
dari kebudayaan penjajah dulu, baik itu Belanda maupun Portugis di Timor.
Mungkin…
“Tumbuk-tumbuk belalang,
Belalang minyak rom
Rom kacang Deli tom-tom-tom
Sembayang kaki tangan,
buka satu dari bawa”
(lagu ini dinyanyikan dalam
permainan menumpuk kepalan tangan peserta, dan kepalan tangan paling atas
melakukan tugas ‘menumbuk’ hingga lagu usai, maka kepalan tangan paling bawah
harus dibuka, dst…dst.)
“cinci boncu, boncu laka boncu
tanam sayur, pancing kea
malu-malu udang dek…”
Saya agak lupa
lupa ingat rupa dari permainan ‘cinci boncu’ ini. Tapi seingat saya, seluruh
peserta permaian duduk membentuk lingkaran, membuka telapan di atas lantai dan
seorang pemimpin menyentuh telapak tangan masing-masing dengan telunjuknya
sambil lagu ‘cinci boncu’ terus dinyanyikan. Hingga lagu usai dan posisi
telunjuk leader berada di telapak tanngan siapa, maka dialah yang keluar dari permaian.
Begitu seterusnya hingga orang yang keluar terakhir, dialah yang mendapat
sanksi, misalnya ia menutup matanya dan seluruh peserta lainnya mengumpet.
“(Kelompok kaya) Kami kaya, kaya, kaya mari
yeti mari yo
(kelompok miskin) Kami miskin, miskin,
miskin, mari yeti mari yo…
(kelompok miskin) kamu mau, ambil siapa,
mari yeti mari yo
(kelompok kaya) kami mau, ambil si Merry, mari yeti mari yo
(kelompok miskin) silahkan ambil tuan dan
nyonya, mari yeti mari yo..”
Lagu terakhir di
atas, biasanya dimainkan oleh dua kelompok anak-anak, yang satunya kelompok
‘kaya’ dan satunya lagi kelompok ‘miskin’. (Atau bisa diartikan juga satunya
kelompok para tuan dan nyonya Belanda kaya dan satunya kelompok orang pribumi
miskin.). prosesnya seperti saling berbalas pantun dengan gerakan maju dan
mundur. Misalnya ketika melagukan, ‘kami kaya, kaya, kaya’ maka posisi kelompok
kaya bergerak maju, dan ketika melagukan, ‘mari yeti, mari yoo..’ peserta mulai
bergerak mundur. Dst, dst..
Masih ada banyak
lagu yang saya ingat tapi samar-samar. Anda punya referensi lain, silahkan
dibagi di sini. Ini juga kekayaan budaya kita yang patut dilestarikan. Jika di
Jawa banyak kalangan sudah mengakifkan lagi permaian tradisional dalam festival
khusus permainan tradisional, rasanya NTT juga perlu untuk menghidupkan kembali
tradisi tersebut lewat pensi atau festival permainan tradisional. Atau
mahasiswa jurusan Komunikasi Lintas Budaya Undana meneliti lagu-lagu ini? Poke
Mario F Lawi. He-he-he…
Ayoo kita bikin.
Christian Dicky Senda. Blogger di Komunitas Blogger NTT, founder
MuDAersNTT (kelompok menulis). Penikmat sastra, psikologi, film dan kuliner.
Kini bekerja sebagai konselor di SMPK St. Theresia Kupang.
Syukur, ada yang menulis tentang permainan anak-anak ini. Di masa kecil saya yang ternyata lebih "udik" dibanding Kapan (Dicky pasti juga ga tahu oekiu itu di mana?)kami bermain "petik kelapa". Kami berbaris memanjang ke belakang saling memegang pundak orang di depan. Yang terkuatlah yang mesti berdiri paling depan. Salah seorang anak menjadi "pembeli kelapa" datang dan menawar buah kelapa (yakni kepala anak-anak di belakang pemimpin). Kemudian calon pembeli itu mengetes buah kelapa dengan mengetuk kepala kami dan menamakan dengan jenis-jenis buah kelapa [mis oemahenu, punu mnine dsb]. Kemudian si pembeli lantas menyodorkan sejumput kerakal sebagai uang. Namun sang penjual akan menepis uang itu dengan mengatakan uang itu berbau tahi ayam. Karena tidak puas diledek sang pembeli pun berusaha merampas buah kelapa. Si penjual [pemimpin barisan tadi akan mati-matian mempertahankan buah kelapanya. Kami yang menjadi kelapanya harus berusaha menghindar dari si pembeli tapi harus tetap memegang pundak teman dan dalam barisan. Ini adegan paling seru sampe teriak-teriak segala. yang kepalanya kena sentuh dari pembeli dia yang mesti gantian jadi pembeli. Cape deh.. Nah kalau Marieti mariyo dan tumbuk belalang lebih mengandalkan lagu, kayaknya yang ini lebih mengandalkan akting. Teater anak gitu lho :)
BalasHapusgreat
BalasHapus