Jumat, 26 Oktober 2012

Tumbuk Belalang Deng Cinci Boncu, Mari Yeti Mari Yooo…


(catatan nostalgia lagu-lagu masa kanak untuk MuDAersNTT)

Malam ini tiba-tiba saja saya teringat beberapa lagu dari masa kanak saya dulu di Kapan (FYI, sebuah kota kecil di TTS). Lagu-lagu tersebut biasanya dinyanyikan dalam permainan kekerabatan. Misalnya tiga buah lagu berikut. Mirip-mirip lagu Potong Bebek Angsa dan Anak Kambing saya (yang dalam banyak buku dan referensi seni budaya, disebutkan lagu-lagu tersebut berasal dari Propinsi NTT).
Saya tidak tahu persis sejarah lahirnya lagu-lagu tersebut. Tapi menarik jika kita menilik lirik-lirik yang terbentuk (apa ada yang tahu? Ayo share di sini). Sebuah bentuk puisi ‘parodi’ yang patut diapresiasi. Yah, lihat lirik-liriknya, saya jadi merasakan bahwa ada kekayaan bahasa yang tiada taranya, dan jarang ditemui penggunaanya saat ini. Dugaan saya lagu-lagu tersebut banyak mendapat influence dari kebudayaan penjajah dulu, baik itu Belanda maupun Portugis di Timor. Mungkin…

“Tumbuk-tumbuk belalang,
Belalang minyak rom
Rom kacang Deli tom-tom-tom
Sembayang kaki tangan,
buka satu dari bawa”

(lagu ini dinyanyikan dalam permainan menumpuk kepalan tangan peserta, dan kepalan tangan paling atas melakukan tugas ‘menumbuk’ hingga lagu usai, maka kepalan tangan paling bawah harus dibuka, dst…dst.)

“cinci boncu, boncu laka boncu
tanam sayur, pancing kea
malu-malu udang dek…”

Saya agak lupa lupa ingat rupa dari permainan ‘cinci boncu’ ini. Tapi seingat saya, seluruh peserta permaian duduk membentuk lingkaran, membuka telapan di atas lantai dan seorang pemimpin menyentuh telapak tangan masing-masing dengan telunjuknya sambil lagu ‘cinci boncu’ terus dinyanyikan. Hingga lagu usai dan posisi telunjuk leader berada di telapak tanngan siapa, maka dialah yang keluar dari permaian. Begitu seterusnya hingga orang yang keluar terakhir, dialah yang mendapat sanksi, misalnya ia menutup matanya dan seluruh peserta lainnya mengumpet.

“(Kelompok kaya) Kami kaya, kaya, kaya mari yeti mari yo
(kelompok miskin) Kami miskin, miskin, miskin, mari yeti mari yo…
(kelompok miskin) kamu mau, ambil siapa, mari yeti mari yo
(kelompok kaya) kami  mau, ambil si Merry, mari yeti mari yo
(kelompok miskin) silahkan ambil tuan dan nyonya, mari yeti mari yo..”

Lagu terakhir di atas, biasanya dimainkan oleh dua kelompok anak-anak, yang satunya kelompok ‘kaya’ dan satunya lagi kelompok ‘miskin’. (Atau bisa diartikan juga satunya kelompok para tuan dan nyonya Belanda kaya dan satunya kelompok orang pribumi miskin.). prosesnya seperti saling berbalas pantun dengan gerakan maju dan mundur. Misalnya ketika melagukan, ‘kami kaya, kaya, kaya’ maka posisi kelompok kaya bergerak maju, dan ketika melagukan, ‘mari yeti, mari yoo..’ peserta mulai bergerak mundur. Dst, dst..

Masih ada banyak lagu yang saya ingat tapi samar-samar. Anda punya referensi lain, silahkan dibagi di sini. Ini juga kekayaan budaya kita yang patut dilestarikan. Jika di Jawa banyak kalangan sudah mengakifkan lagi permaian tradisional dalam festival khusus permainan tradisional, rasanya NTT juga perlu untuk menghidupkan kembali tradisi tersebut lewat pensi atau festival permainan tradisional. Atau mahasiswa jurusan Komunikasi Lintas Budaya Undana meneliti lagu-lagu ini? Poke Mario F Lawi. He-he-he…

Ayoo kita bikin. 

Christian Dicky Senda. Blogger di Komunitas Blogger NTT, founder MuDAersNTT (kelompok menulis). Penikmat sastra, psikologi, film dan kuliner. Kini bekerja sebagai konselor di SMPK St. Theresia Kupang.

2 komentar:

  1. Syukur, ada yang menulis tentang permainan anak-anak ini. Di masa kecil saya yang ternyata lebih "udik" dibanding Kapan (Dicky pasti juga ga tahu oekiu itu di mana?)kami bermain "petik kelapa". Kami berbaris memanjang ke belakang saling memegang pundak orang di depan. Yang terkuatlah yang mesti berdiri paling depan. Salah seorang anak menjadi "pembeli kelapa" datang dan menawar buah kelapa (yakni kepala anak-anak di belakang pemimpin). Kemudian calon pembeli itu mengetes buah kelapa dengan mengetuk kepala kami dan menamakan dengan jenis-jenis buah kelapa [mis oemahenu, punu mnine dsb]. Kemudian si pembeli lantas menyodorkan sejumput kerakal sebagai uang. Namun sang penjual akan menepis uang itu dengan mengatakan uang itu berbau tahi ayam. Karena tidak puas diledek sang pembeli pun berusaha merampas buah kelapa. Si penjual [pemimpin barisan tadi akan mati-matian mempertahankan buah kelapanya. Kami yang menjadi kelapanya harus berusaha menghindar dari si pembeli tapi harus tetap memegang pundak teman dan dalam barisan. Ini adegan paling seru sampe teriak-teriak segala. yang kepalanya kena sentuh dari pembeli dia yang mesti gantian jadi pembeli. Cape deh.. Nah kalau Marieti mariyo dan tumbuk belalang lebih mengandalkan lagu, kayaknya yang ini lebih mengandalkan akting. Teater anak gitu lho :)

    BalasHapus

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...