Hari ini saya
mengirim komentar di Twitter demikian:
“beruntunglah saya pernah berada di generasi
korespondensi dan buku harian, tidak seperti remaja sekarang yang cuma bisa
me-retweet dan forward SMS bijak.”
Sontak komentar
ini langsung direspon murid-murid saya. Rata-rata berkomentar, “Pak dooo,
beking ketong tersinggung sa.”
Hahaha… asyik
dong. Rupanya disambar juga umpan saya. Tentu ini juga bagian dari cara saya
memprovokasi mereka untuk tidak menganggap sepele aktivitas menulis. Yah,
dengan semakin dimudahkan teknologi orang sekarang lebih malas menulis.
Akhirnya di media sosial semacam Twitter dan Facebook, Cuma bisa me-retweet
atau mem-forward ulang, ide, gagasan, opini orang lain dengan sekali klik. Sebab
sekali ‘klik’ belum tentu yang bersangkutan paham. Sekali klik itu instan,
cepat nempel, cepat pula ia berlalu. Lenyap tanpa bekas.
Akan dianggap jadul dan gak gaul
jika anak jaman sekarang berkorespondensi dengan surat, menulis buku harian,
dsb. Tapi menurut saya masih bisa kok berkorespondensi via e-mail, bisa kok
menulis catatan harian di blog, misalnya. Yang penting aktivitas menulis atau
mengetik (karena jaman laptop dan PC) tetap dijalankan.
Misalnya, saya
dulu saya bisa juga copy paste kalimat pamungkasnya Kahlil Gibran untuk sebuah
curhatan kecil di buku harian atau di pembukaan surat untuk teman korespondensi
saya, tapi ada proses yang panjang untuk menghayati kalimat itu dan
menyambung-nyambungkan dengan perasaan atau ide saya. Kalo sekarang, kalimat
yang sama misalnya dipake untuk sebuah SMS kepada kawan, atau untuk status
Twitter atau Facebook dalam ‘sekali klik’ lalu akan di re-twit atau diforward
juga dalam ‘sekali klik’. Maknanya mungkin akan terasa dangkal, sebab prosesnya
instan. Kalo yang pertama tadi, prosesnya bisa semalam suntuk atau
berhari-hari. Ya gak sih? Hahaha…
Secara pribadi,
saya merasakan betul efeknya berkorespondensi atau menulis buku harian. Dua
aktivitas itu sudah saya lakukan sejak kelas 5 SD! Lewat majalah Bobo dan
Sahabat Pena (yang saya dapat gratis dari Om Praso (alm) di kantor Pos Giro
Kapan), saya akhirnya punya beberapa orang sahabat, ada yang di Papua, Tana
Toraja, di Bali dan yang paling dekat di Kupang.
Saya yang susah berekspresi verbal
bisa menuangkan segala isi hati, ide dan gagasan ke tulisan (di surat dan buku
harian saya). Kalo sekarang, ahli-ahli dalam dunia psikologi menyebutkan bahwa
menulis ternyata punya efek pamungkas untuk melepaskan diri dari katarsis.
Intinya dengan
terbiasa menulis, saya bisa mengembangkan potensi kognitif saya kala itu, yang
oleh ilmuwan Perancis, Piaget, disebut tahap perkembangan pemikiran operasional kongkrit
dan pemikiran operasional formal, dimana saya dari masa kanak ke masa remaja awal sedang mengalami
perkembangan kognitif dalam hal pencapaian logika berpikir dan abstraksi, dan
itu terasah dengan kebiasaan menulis saya. Ide, gagasan, argument yang tidak
tersalurkan secara verbal bisa saya munculkan dalam format tulisan.
Dari kebiasaan itu akhirnya berkembang ke
aktivitas menulis puisi dan cerita pendek hingga ketika kuliah, dan menjadi
blogger, saya bisa beropini dan beragumen secara bebas dan terbuka di media
blog.
Pengalaman ini
yang selalau saya bagi ke murid-murid saya sebagai salah satu altertanif untuk
pengembangan diri/bakat juga untuk proses kematangan pola pikir. Syukur-syukur
untuk pembebasan diri dari katarsis (jika memang ada).
Apalagi ketika
sekarang ini, semua orang berbicara bahwa salah satu standar peradaban manusia
adalah soal bagaimana tulis menulis dan membaca itu membudaya juga. Nah ini
yang penting, melihat kondisi Flobamora yang lebih mengandalkan budaya bertutur
ketimbang menulis. Dan karena semua hal yang diwariskan dengan bertutur, tak
sedikit pula yang pada akhirnya lenyap atau berkurang maknanya gara-gara tak
ada hitam di atas putih.
Bagaimana
menurutmu?
-Pasir Panjang, Oktober 2012-
Christian
Dicky Senda. Blogger di Komunitas
Blogger NTT dan MudaersNTT. Penikmat sastra, psikologi, film dan kuliner. Kini
menjadi konselor di SMPK St Theresia Kupang. Twitter @dickysenda.
Mudah-mudahan semangat pak Dicky bisa menular bahkan meracuni anak-anak Santa Theresia. HARUS!
BalasHapus