Minggu, 21 Oktober 2012

Masih Pentingkah Menulis Buku Harian? (Catatan Konselor Remaja)


Hari ini saya mengirim komentar di Twitter demikian:
 “beruntunglah saya pernah berada di generasi korespondensi dan buku harian, tidak seperti remaja sekarang yang cuma bisa me-retweet dan forward SMS bijak.”
Sontak komentar ini langsung direspon murid-murid saya. Rata-rata berkomentar, “Pak dooo, beking ketong tersinggung sa.”
Hahaha… asyik dong. Rupanya disambar juga umpan saya. Tentu ini juga bagian dari cara saya memprovokasi mereka untuk tidak menganggap sepele aktivitas menulis. Yah, dengan semakin dimudahkan teknologi orang sekarang lebih malas menulis. Akhirnya di media sosial semacam Twitter dan Facebook, Cuma bisa me-retweet atau mem-forward ulang, ide, gagasan, opini orang lain dengan sekali klik. Sebab sekali ‘klik’ belum tentu yang bersangkutan paham. Sekali klik itu instan, cepat nempel, cepat pula ia berlalu. Lenyap tanpa bekas.
Akan dianggap jadul dan gak gaul jika anak jaman sekarang berkorespondensi dengan surat, menulis buku harian, dsb. Tapi menurut saya masih bisa kok berkorespondensi via e-mail, bisa kok menulis catatan harian di blog, misalnya. Yang penting aktivitas menulis atau mengetik (karena jaman laptop dan PC) tetap dijalankan.
Misalnya, saya dulu saya bisa juga copy paste kalimat pamungkasnya Kahlil Gibran untuk sebuah curhatan kecil di buku harian atau di pembukaan surat untuk teman korespondensi saya, tapi ada proses yang panjang untuk menghayati kalimat itu dan menyambung-nyambungkan dengan perasaan atau ide saya. Kalo sekarang, kalimat yang sama misalnya dipake untuk sebuah SMS kepada kawan, atau untuk status Twitter atau Facebook dalam ‘sekali klik’ lalu akan di re-twit atau diforward juga dalam ‘sekali klik’. Maknanya mungkin akan terasa dangkal, sebab prosesnya instan. Kalo yang pertama tadi, prosesnya bisa semalam suntuk atau berhari-hari. Ya gak sih? Hahaha…
Secara pribadi, saya merasakan betul efeknya berkorespondensi atau menulis buku harian. Dua aktivitas itu sudah saya lakukan sejak kelas 5 SD! Lewat majalah Bobo dan Sahabat Pena (yang saya dapat gratis dari Om Praso (alm) di kantor Pos Giro Kapan), saya akhirnya punya beberapa orang sahabat, ada yang di Papua, Tana Toraja, di Bali dan yang paling dekat di Kupang.
Saya yang susah berekspresi verbal bisa menuangkan segala isi hati, ide dan gagasan ke tulisan (di surat dan buku harian saya). Kalo sekarang, ahli-ahli dalam dunia psikologi menyebutkan bahwa menulis ternyata punya efek pamungkas untuk melepaskan diri dari katarsis.
Intinya dengan terbiasa menulis, saya bisa mengembangkan potensi kognitif saya kala itu, yang oleh ilmuwan Perancis, Piaget, disebut tahap perkembangan pemikiran operasional kongkrit dan pemikiran operasional formal, dimana saya dari masa kanak ke masa remaja awal sedang mengalami perkembangan kognitif dalam hal pencapaian logika berpikir dan abstraksi, dan itu terasah dengan kebiasaan menulis saya. Ide, gagasan, argument yang tidak tersalurkan secara verbal bisa saya munculkan dalam format tulisan.
 Dari kebiasaan itu akhirnya berkembang ke aktivitas menulis puisi dan cerita pendek hingga ketika kuliah, dan menjadi blogger, saya bisa beropini dan beragumen secara bebas dan terbuka di media blog.
Pengalaman ini yang selalau saya bagi ke murid-murid saya sebagai salah satu altertanif untuk pengembangan diri/bakat juga untuk proses kematangan pola pikir. Syukur-syukur untuk pembebasan diri dari katarsis (jika memang ada).
Apalagi ketika sekarang ini, semua orang berbicara bahwa salah satu standar peradaban manusia adalah soal bagaimana tulis menulis dan membaca itu membudaya juga. Nah ini yang penting, melihat kondisi Flobamora yang lebih mengandalkan budaya bertutur ketimbang menulis. Dan karena semua hal yang diwariskan dengan bertutur, tak sedikit pula yang pada akhirnya lenyap atau berkurang maknanya gara-gara tak ada hitam di atas putih.
Bagaimana menurutmu?

-Pasir Panjang, Oktober 2012-

Christian Dicky Senda. Blogger di Komunitas Blogger NTT dan MudaersNTT. Penikmat sastra, psikologi, film dan kuliner. Kini menjadi konselor di SMPK St Theresia Kupang. Twitter @dickysenda.

1 komentar:

  1. Mudah-mudahan semangat pak Dicky bisa menular bahkan meracuni anak-anak Santa Theresia. HARUS!

    BalasHapus

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...