Sabtu, 20 Oktober 2012

“Jon Doust: Suatu Saat Saya Akan Kembali ke Kupang”


 Catatan Satellite Event UWRF 2012, Bagian 3 (Habis)

Saya tidak menduga sebelumnya bahwa pada akhirnya saya akan punya kesempatan berkenalan lebih dekat dengan seorang novelis besar asal Australia, Jon Doust. Semua memang gara-gara keikutsertaan Romo Amanche di Ubud Writers and Readers Festival 2-7 Oktober lalu. Efek dominonya, Kupang menjadi salah satu kota terpilih untuk event lanjutan UWRF yakni Satellite Event.
Kepada saya Jon bercerita, “ketika saya bilang ke teman-teman penulis asal Australia yang hadir ke UWRF bahwa setelah acara di Ubud saya akan pergi ke Kupang, mereka semua terkejut. Mereka menganggap itu pilihan aneh. Apa yang akan kau lakukan di Kupang, Jon? Begitu kilah mereka.  Tapi saya santai saja. Dan terbukti ketika tiba di sini saya mendapat banyak pengalaman baru yang hebat. Bertemu dengan kalian orang-orang luar biasa, mengenal budaya kalian dan yang paling penting, menikmati kuah ikan yang, wulalaaaa… lezat!” Jon mengisahkan kepada saya dengan bersemangat ketika saya berkesempatan menemani rombongan tim Satellite makan siang di Twin’s Resto, Rabu 10 Oktober 2012. 

Mengapit Pion Ratulolly. Sumber foto: Patris Allegro
Yah, Jon telah menjadi teman baik saya.
Semua bermula ketika tanggal 10 pagi itu, romo Amanche menelpon bahwa beliau harus menghadiri misa bersama Bapa Uskup di Katedral jadi saya diminta untuk menemani Jon, mbak Kadek dan mas Jun jalan-jalan ke Namosain. Saya bilang oke. Ini pengalaman langka. Jam 9 saya menuju ke hotel. Rupanya Djo Izmail sudah menunggu saya di Romyta Hotel. Setelah dijemput Kim, mobil kami langsung menuju ke Namosain. Ketika mampir ke proyek perumahan mewah Imperial World untuk berfoto di kawasan santarang (sabana, lontar, karang) yang indah itu, Jon mendadak jauh lebih terbuka dan mengajak saya berbicara. Saya tentu bersemangat untuk meladeninya. Meski dengan bahasa Inggris yang tidak begitu fasih, tapi saya pede saja untuk terus berbicara dengannya.
Jon meminta saya untuk mengajarkannya berbicara dalam bahasa Dawan-Timor. Misalnya, apa kabar, siapa namamu, nama saya… dsb. Tapi Jon justru lebih suka mengulang-ulang kata, ‘saya bodoh’ dalam bahasa Dawan. Ahh, Jon ini…
Ketika kami mampir ke perkampungan nelayan Namosain, ia bertanya tentang pekerjaan saya. Ketika saya bilang saya adalah seorang konselor remaja di sebuah SMP di Kupang, dia begitu bersemangat untuk mengetahui profil remaja di Kupang seperti apa? Bagaimana hubungannya dengan orang tua, perspektif remaja Kupang tentang narkoba, dsb. Paling tidak sepengetahuan saya di SMP.
Satu kesan yang dia utarakan kepada saya. “Di sini iklan rokok di mana-mana, semua orang merokok, asap rokok ada di mana-mana, uuuuuhhh! Ini buruk sekali… tapi saya suka ikan di sini!”
Hahaha begitulah Jon, ia selalu mengagumi kelezatan ikan di Kupang. Ia memang terbiasa untuk bilang seperti itu sebab menurutnya, dirinya adalah seorang yang tidak memakan daging merah (sapi, babi) dan lebih suka makan ikan dan sayuran (yang ia tanam di kebun sendiri). Kedua, ia datang dari sebuah daerah di pinggir pantai yang juga dikenal menghasilkan banyak ikan segar, kota Albany, Western Australia.
Ketika acara  Satellite berlangsung, saya kemudian bisa melihat sendiri, bahwa sosok Jon sangat ramah kepada siapapun. Ia terlihat melakukan segala sesuatu dengan jujur, bahkan terlihat dari gestur dan mimiknya. Dari setiap ucapannya.
Selesai acara dialog, saya dimintai Romo Amanche untuk menemani makan malam terakhir di Twin’s bersama rombongan (terima kasih untuk Aci Twin’s-mamanya Keryn, Cesy dan Clara. Dua nama terakhir ini adalah murid-murid saya di SMP Theresia. Mereka berdua kembar).
Selesai makan, saya menghantar rombongan menuju Hotel. Dan langsung berpamitan karena esoknya saya tidak bisa mengantar rombongan ke Bandara.
Ada dialog menarik antara saya dan Jon, yang terakhir di depan loby Hotel. Katanya, “Deeekyy, terima kasih. Jadilah konselor hebat. Jika mendapat beasiswa ke Australia, pastikan mampir ke Albany. Rumah saya terbuka untukmu.” Ia memberikan saya kartu namanya.
Esoknya saya tak bisa mengantar ke bandara. Hanya Romo Amanche yang bisa. Dan seperti biasa, Romo kita yang tercinta ini memang gampang terbawa suasana hati, begitu emosional, dan tangisnya pecah di Bandara. Rupanya bukan ‘adik menangsi 1 malam’ tetapi ‘adik menangis 1 siang’ hahaha bercanda romooo….

Delapan hari kemudian, diluar dugaan, Jon meng-add saya di Facebook. Setelah mengkonfirmasi, kami langsung chatting di Facebook. Hal pertama yang ia tanyakan, apa nama dan makna kain selimut Timor (Bete) yang romo berikan untuknya. Bertanya tentang kopiah bermotif kain tenun Manggarai yang ia beli di toko souvenir C&A Oeba. Kami berbicara banyak. Ia lantas mengenalkan saya dengan temannya seorang nelayan perempuan di Albany, namanya Marie Ott seorang penulis dan blogger juga. Wow.
Di akhir chatting, Jon pamitan. Katanya, “Dicky, saya akan masak makan malam buat isteri saya. Beberapa kali saya mencoba memasak sup ikan seperti di Twin’s tapi gagal. He-he-he… kita bisa chatting lagi di lain waktu.”
Yah, itulah Jon. Ia selalu bangga dengan kehidupan perkawinannya yang telah menginjak tahun ke-34!
“Suatu saat saya akan kembali ke Kupang” katanya
Dan saya menbalasnya,
“Saya juga, pasti akan ke Albany…”

Kupang, 18 Oktober 2012.

NB:
Chatting dan dialog sepenuhnya menggunakan bahasa Inggris. Meski dengan keterbatasan yang saya miliki. Tapi Jon, mampu mengimbanginya dengan berbicara tidak terlalu cepat dan menggunakan kalimat-kalimat pendek dan sederhana. Dan saya terbantu. Saya bisa mengerti semua yang ia ucapkan. Memang Bahasa Inggris itu penting, Dicky! Ayo terus belajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...