Catatan Satellite
Event UWRF 2012, Bagian 3 (Habis)
Saya tidak menduga
sebelumnya bahwa pada akhirnya saya akan punya kesempatan berkenalan lebih
dekat dengan seorang novelis besar asal Australia, Jon Doust. Semua memang
gara-gara keikutsertaan Romo Amanche di Ubud Writers and Readers Festival 2-7
Oktober lalu. Efek dominonya, Kupang menjadi salah satu kota terpilih untuk
event lanjutan UWRF yakni Satellite Event.
Kepada saya Jon
bercerita, “ketika saya bilang ke teman-teman penulis asal Australia yang hadir
ke UWRF bahwa setelah acara di Ubud saya akan pergi ke Kupang, mereka semua
terkejut. Mereka menganggap itu pilihan aneh. Apa yang akan kau lakukan di
Kupang, Jon? Begitu kilah mereka. Tapi
saya santai saja. Dan terbukti ketika tiba di sini saya mendapat banyak
pengalaman baru yang hebat. Bertemu dengan kalian orang-orang luar biasa,
mengenal budaya kalian dan yang paling penting, menikmati kuah ikan yang,
wulalaaaa… lezat!” Jon mengisahkan kepada saya dengan bersemangat ketika saya
berkesempatan menemani rombongan tim Satellite makan siang di Twin’s Resto,
Rabu 10 Oktober 2012.
Mengapit Pion Ratulolly. Sumber foto: Patris Allegro |
Yah, Jon telah
menjadi teman baik saya.
Semua bermula
ketika tanggal 10 pagi itu, romo Amanche menelpon bahwa beliau harus menghadiri
misa bersama Bapa Uskup di Katedral jadi saya diminta untuk menemani Jon, mbak
Kadek dan mas Jun jalan-jalan ke Namosain. Saya bilang oke. Ini pengalaman
langka. Jam 9 saya menuju ke hotel. Rupanya Djo Izmail sudah menunggu saya di
Romyta Hotel. Setelah dijemput Kim, mobil kami langsung menuju ke Namosain.
Ketika mampir ke proyek perumahan mewah Imperial World untuk berfoto di kawasan
santarang (sabana, lontar, karang) yang indah itu, Jon mendadak jauh lebih
terbuka dan mengajak saya berbicara. Saya tentu bersemangat untuk meladeninya.
Meski dengan bahasa Inggris yang tidak begitu fasih, tapi saya pede saja untuk
terus berbicara dengannya.
Jon meminta saya untuk
mengajarkannya berbicara dalam bahasa Dawan-Timor. Misalnya, apa kabar, siapa
namamu, nama saya… dsb. Tapi Jon justru lebih suka mengulang-ulang kata, ‘saya
bodoh’ dalam bahasa Dawan. Ahh, Jon ini…
Ketika kami mampir
ke perkampungan nelayan Namosain, ia bertanya tentang pekerjaan saya. Ketika
saya bilang saya adalah seorang konselor remaja di sebuah SMP di Kupang, dia
begitu bersemangat untuk mengetahui profil remaja di Kupang seperti apa?
Bagaimana hubungannya dengan orang tua, perspektif remaja Kupang tentang
narkoba, dsb. Paling tidak sepengetahuan saya di SMP.
Satu kesan yang
dia utarakan kepada saya. “Di sini iklan rokok di mana-mana, semua orang
merokok, asap rokok ada di mana-mana, uuuuuhhh! Ini buruk sekali… tapi saya
suka ikan di sini!”
Hahaha begitulah Jon, ia selalu
mengagumi kelezatan ikan di Kupang. Ia memang terbiasa untuk bilang seperti itu
sebab menurutnya, dirinya adalah seorang yang tidak memakan daging merah (sapi,
babi) dan lebih suka makan ikan dan sayuran (yang ia tanam di kebun sendiri).
Kedua, ia datang dari sebuah daerah di pinggir pantai yang juga dikenal menghasilkan
banyak ikan segar, kota Albany, Western Australia.
Ketika acara Satellite berlangsung, saya kemudian bisa
melihat sendiri, bahwa sosok Jon sangat ramah kepada siapapun. Ia terlihat
melakukan segala sesuatu dengan jujur, bahkan terlihat dari gestur dan
mimiknya. Dari setiap ucapannya.
Selesai acara
dialog, saya dimintai Romo Amanche untuk menemani makan malam terakhir di Twin’s
bersama rombongan (terima kasih untuk Aci Twin’s-mamanya Keryn, Cesy dan Clara.
Dua nama terakhir ini adalah murid-murid saya di SMP Theresia. Mereka berdua
kembar).
Selesai makan, saya menghantar
rombongan menuju Hotel. Dan langsung berpamitan karena esoknya saya tidak bisa
mengantar rombongan ke Bandara.
Ada dialog menarik
antara saya dan Jon, yang terakhir di depan loby Hotel. Katanya, “Deeekyy,
terima kasih. Jadilah konselor hebat. Jika mendapat beasiswa ke Australia,
pastikan mampir ke Albany. Rumah saya terbuka untukmu.” Ia memberikan saya
kartu namanya.
Esoknya saya tak bisa mengantar ke
bandara. Hanya Romo Amanche yang bisa. Dan seperti biasa, Romo kita yang
tercinta ini memang gampang terbawa suasana hati, begitu emosional, dan
tangisnya pecah di Bandara. Rupanya bukan ‘adik menangsi 1 malam’ tetapi ‘adik
menangis 1 siang’ hahaha bercanda romooo….
Delapan hari
kemudian, diluar dugaan, Jon meng-add
saya di Facebook. Setelah mengkonfirmasi, kami langsung chatting di Facebook. Hal pertama yang ia tanyakan, apa nama dan
makna kain selimut Timor (Bete) yang romo berikan untuknya. Bertanya tentang
kopiah bermotif kain tenun Manggarai yang ia beli di toko souvenir C&A
Oeba. Kami berbicara banyak. Ia lantas mengenalkan saya dengan temannya seorang
nelayan perempuan di Albany, namanya Marie Ott seorang penulis dan blogger
juga. Wow.
Di akhir chatting, Jon pamitan. Katanya, “Dicky,
saya akan masak makan malam buat isteri saya. Beberapa kali saya mencoba
memasak sup ikan seperti di Twin’s tapi gagal. He-he-he… kita bisa chatting lagi di lain waktu.”
Yah, itulah Jon.
Ia selalu bangga dengan kehidupan perkawinannya yang telah menginjak tahun
ke-34!
“Suatu saat saya
akan kembali ke Kupang” katanya
Dan saya
menbalasnya,
“Saya juga, pasti
akan ke Albany…”
Kupang,
18 Oktober 2012.
NB:
Chatting dan dialog sepenuhnya menggunakan
bahasa Inggris. Meski dengan keterbatasan yang saya miliki. Tapi Jon, mampu
mengimbanginya dengan berbicara tidak terlalu cepat dan menggunakan
kalimat-kalimat pendek dan sederhana. Dan saya terbantu. Saya bisa mengerti
semua yang ia ucapkan. Memang Bahasa Inggris itu penting, Dicky! Ayo terus
belajar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...