Jumat, 06 Juli 2012

Kampung Kiumina, Kampung Marga Kamlasi di Mollo

Perjalanan ke kampung Mama saya di Kiumina (kiu: asam, mina: manis), Manesat Anin, di Mollo dimulai.
Sejarahnya, kampung ini didirikan oleh leluhur bermarga Kamlasi, yang kala itu datang ke Mollo dari Amanatun untuk mengantar seorang warga kerajaan Mollo. Tefa Kamlasi namanya, seorang 'Meo' atau semacam panglima perang kerajaan. Ketika sampai di Mollo, (oleh raja Mollo kala itu) Tefa Kamlasi dinikahkan dengan seorang wanita asli Mollo, bermarga Toto. Maka sejak itu berkembanglah marga Kamlasi dari Amanatun di wilayah Mollo. Oleh Toto, Tefa Kamlasi dan keturunannya diberi sebuah kampung di lembah Manesat Anin. Sayang sekali hingga saat ini, populasi marga Kamlasi di Mollo kian berkurang, misalnya karena semakin sedikit keluarga Kamlasi yang mempunyai anak lelaki, yang notabene adalah sebagai pewaris fam/marga.
Beberapa waktu lalu, ketika saudara sepupu Mama saya, Tobias Kamlasi, mengalami kedukaan (istrinya meninggal dunia), saya, kakak-kakak saya dan para keponakan berkesempatan untuk mengunjungi kampung leluhur Mama saya di Kiumina.
Berikut ini adalah foto-foto hasil perjalanan ke Kiumina yang berhasil saya potret. Tentu gambar-gambar ini sengaja saya buat sebagai upaya untuk merekam ulang jejak-jejak peradaban orang Mollo, yang sudah mulai saya kerjakan sejak setahun lalu dan masih terus berlangsung. Proses perekaman ulang itu antara lain, memotret, video recording, memawancarai, menulis cerpen dan artikel yang terkait dengan Mollo.

Baca juga:  Silsilah Marga Kamlasi di Mollo

Dua motor ini yang bakal mengantar kami ke Kiumina

Pamitan sama Miska, penjaga rumah

di perjalanan, melewati Kuale'u, saya berkenalan dengan dua bocah Mollo ini yang malu-malu ketika diajak ngobrol. Nixon dan Marsel. Mereka masa depan Mollo!

Nixon, bermain di pagar rumah

Ini namanya Suf Muti. Tergolong gulma.

Berhubung antar kampung dipisahkan dengan pagar, maka kami harus melewati tahap 'bongkar-pasang' pagar untuk bisa lewat

Menyebrangi kali, mampu dilakukan 'Opa' motor GL Max kakak saya

Disambut warga Kiumina, yang kini kebanyakan perempuan.
Halo kaka deng Om, selamat datan di kaim pung kampung...

Bongkar pagar lagi, biar bisa masuk kampung Kiumina

Sepupu mama saya, Om Tobias Kamlasi yang sedang berduka

 Om Obed Kamlasi (sepupu Mama saya) dan Noh Kamlasi (Keponakan mama saya)

Berfoto bersama di rumah adik bungsu Opa saya, Bernadus Kamlasi (alm)



wellcome drink: Kopi dan pisang luang rebus. (seperti biasa adat Timor, wanita dan anak-anak duduk di tanah, para lelaki di kursi. Masih sulit dihapus!)

Uhuiii, Pato!!! Ini Giovanni, keponakan saya paling bersemangat ke Kiumina.

Memasak air masih menggunakan tembikar.

Ini dia Essy Kamlasi, keturunan ke-6 Kamlasi di Mollo. Mewarisi ciri khas Kamlasi, yakni beramput pirang. Beberapa keturunan kamlasi bahkan berkulit putih dan bermata biru, sebab sejarahnya orang pertama yang bernama Kamalasifa (gak ada perkara dalam bahasa Dawan) adalah seorang Kaukasoid (entah Belanda, entah Australia) yang pernah terdampar di laut selatan kerajaan Amanatun.

Ume kbubu, rumah bulat khas Dawan

another ume kbubu

Penjaga pintu

Ini dulunya sawah, namun aliran sungai Mnesat Anin telah berpindah jalur sehingga air kini tak mampu lagi menjangkau Kiumina

Makam istri dari Om saya

Kampung ini dinamai Kiumina sebab banyak sekali ditemui pohon-pohon asam

Pohon Asam

Pohon asam lagi

dan pohon asam lagi. Ada ratusan pohon asam masih tersisa di Kiumina, kampung yang hampir mati

Seperti halnya sawah yang mengering, kampung Kiumina kini semakin menyusut populasinya, dalam hal ini penduduk dengan fam Kamlasi yang semakin sedikit.

rumah adik Opa saya, Ba'i Bernadus Kamlasi. Ketika SD dulu (saat Bapak saya masih menggarap sawah di Kiumina, setiap kali panen padi, pasti kesini, menginap berhari-hari

Mengobrol, melihat kembali kampung yang kian sepi

Akar-akar tambaring (asam) di Kiumina

Mengunjungi makan leluhur

Makam Mikhael Kamlasi, salah satu sepupu Mama saya

sebagian makam telah hancur

Simbol ini  saya temukan di makam saudara Opa saya, ba'i Mesakh Kamlasi. Kemungkinan besar ini adalah simbol yang menandakan marga/fam, yakni Kamlasi.

Batu ini (yang kian tenggelam) di pelataran rumah tua Kamlasi, dulu dipakai sebagai tempat berpijak oleh sang 'kepala' kampung ketika hendak mengumumkan sesuatu. Ia akan berdiri diatas batu ini, dan berteriak untuk memanggil warganya berkumpul

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...