#seripsikologi
Saat bersama kakak
perempuan saya nonton cacara Hitam Putih di Trans7, kebetulan ada bintang tamu
seorang artis wanita Indonesia yang menikah dengan bule Aussie dan baru saja punya
momongan. Si artis, suami dan babygirl-nya itu jadi bintang tamu acara Hitam
Putih. Ketika si artis menyebutkan si anak belum genap 40 hari kakak saya
langsung protes, “kok sudah dibawa keluar? Kasihan anaknya masih kecil,
bla…bla…bla.” Ketika ada adegan si suami bule mengganti popok ‘hanya’ di atas
meja, kakak saya protes lagi. “Duh, kasihan, bayinya masih kecil, belum 40 hari
sudah dibuat macam-macam!” Agak sengit
pokoknya. Ha-ha-ha. Terang saja saya, (atau kami sekeluarga) dan mungkin orang-orang Indonesia
pada umumnya terlalu patuh dengan tradisi, misalnya belum 40 hari belum boleh
keluar rumah, cara gendong harus yang begini begitu, bla…bla…
Saya langsung
menjawab kekhawatiran kakak saya. Jelas saja suaminya bule. Dan orang Barat yah
begitu. Gak hidup dengan tradisi kita, yang kadang kalo mikir ah ribet juga ya.
Mereka jelas berbeda. Karena gak ada sistem
40-harian, ya sudah tak masalah bayi dibawa keluar. Yang penting sehat, gizi
tercukupi, kasih sayang dan perhatian juga
tercukupi dan vaksinya sudah komplit
mungkin bagi mereka sudah cukup.
Lihat saja cara
gendong bayi pada orang bule. (mungkin) dibenak kita, kok kasar yah? Bagaimana
ketika melihat ada bayi umur berapa bulan udah dipasangin ban karet di lehernya
dan dibiarkan mengambang di bak plastik berisi air. Bahkan mungkin usia 12
bulan pun sudah diajak main di kolam renang (tentu dengan pengawasan ketat dan
pelampung lengkap juga safety).
Teringat film
Babies, sebuah dokumenter apik dari sineas Prancis (film yang layak Anda
tonton!), yang memotret 4 bayi di Negara berbeda (Jepang, Namimbia, Mongol dan
Amerika namun punya pola asuh yang hampir sama terlepas ada perbedaan budaya),
bagaimana pola asuh dan kerelaan hati orang tua mempengaruhi kematangan fisik
dan psikis mereka.
Nampak sekali orang-orang
Barat (mungkin pada umumnya), lebih mengutamakan konsep ‘ketangguhan’ sejak
dini pada anak-anak mereka. Bukan dengan paksaan juga. Dan bukan maksudnya
untuk kasar. Tapi akhirnya terlihat juga bahwa anak sekecil itu bisa lebih
kreatif dalam bertindak, lebih tangguh menghadapi tantangan kecil disekitar
mereka (meskipun mereka masih balita). Itu jelas terlihat.
Setelah menonton
Babies saya jadi mengerti bagaimana pola asuh demikian ‘membebaskan’ anak
menjadi sebagaimana ia adalah anak-anak. Karena selalu ada banyak kesempatan baginya
untuk melatih kekuatan fisik dan mentalnya sejak dini (selalu ada kesempatan
bagi proses trial and error yang
alamaiah). Dan orang tua tetap harus punya kendali untuk meminimalisir kejadian
buruk, tapi untuk hal kecil biarkan si anak bergumul sesuai dengan kamampuannya
sebagai bayi, sebagai seorang manusia yang sudah dibelaki akal sehat. Begitu
pesan moral film Bebies.
Kadang kita orang
tua, jadi egois, karena dia bayi atau balita, dipikir kita gak bisa
ngapa-ngapain, ia makhluk lemah, ya sudah ujung-ujungnya segala sesuatu
dilakukan sesuai dengan pemikiran dewasa kita. Padahal kalau dibiarkan pun,
secara alamiah (naluri) si anak pastinya sudah punya kemampuan/ketangguhan
untuk melewati itu kan?
![]() |
sumber: http://sebuah-dongeng.blogspot.com |
Padahal dua jam
sebelumnya, kakak perempuan saya masih mengeluh kejadian pagi tadi ketika
bersama putranya yang sudah duduk di SMP kelas dua tetapi masih pemalu di luar,
gak mau makan di warung yang ramai, misalnya. Saya tahu jawabannya, kenapa
ponakan saya itu pemalu. Itu karena mamanya terlalu protektif. Selalu
mengontrol jangkauan ruang bermain anak-anaknya. Main ke tetangga dikit
langsung dilarang. Itu yang akhirnya menghambat si anak, karena tiadanya
keleluasaan ruang bermain yang memungkinkan ia bersosialisasi dengan banyak
anak sebaya, banyak kepala dan dengan banyak karakter yang tentu saja akan
berguna untuk melatih kepekaan sosialnya, melatih ketangguhan fisik dan
mentalnya.
Saya tergolong beruntung ketika kecil (SD hingga SMP, meski
di kampung) saya diberi keleluasaan oleh ayah ibu saya untuk punya area bermain
yang luas, hingga ke kampung/ desa tetangga (saya adalah anak kecamatan di
Mollo). Bermain ke hutan sambil cari kayu bakar, mandi di kali (yang jaraknya
berkilometer dari rumah) dan bersosialisasi dengan banyak orang. Efeknya jadi
gak penakut, berani jalan di malam hari (kelas 4 SD saya sudah berani lewat
sebuah kebun kopi dekat rumah saya yang dulu dikenal angker, jam 7 malam!).
Sayang sekali.
Orang-orang di perkotaan kini jadi lebih protektif (oke karena untuk alasan keamanan
anak) tapi kemudian abai untuk mengganti proses alamiah anak itu dengan memfasilitasi
kegiatan lain yang punya efek yang sama. Misalnya, anak dilarang bermain sepak
bola dan bersosialisasi dengan anak-anak sebaya di kompleks sebelah (karena
khawatir anak-anak di kompleks sebelah ‘nakal’ dan suka maki), yah sudah ketika
anak minta ikut kelompok taekwondo atau sepak takraw di tempat yang jelas
dengan pelatih oke (bisa dikontrol), kenapa harus kita tolak? Ini contohnya.
Kita terbiasa melarang anak untuk ini itu karena alasan ini itu, tapi tidak
mefasilitasi hal lain, yang ini itu tapi tidak ini itu. Nah lho…
Kayak di kelas,
anak aktif dicap nakal oleh guru lalu dihukum pula, tanpa si guru memikirkan
apa hal positif yang bisa si anak lakukan dengan energi berlebihannya itu? *Nik-nok!!*
Itu sih tergantung kreativitas gurunya. Karena guru yang kreatif biasanya
solutif (btw, punishment bukan solusi
akhir lho masih harus ada lanjutannya…).
Pada akhirnya saya
ketemu jawabannya, kenapa si artis (apalagi suaminya yang bule itu) nampak
‘cuek’ menggendong bayinya, belum 40 hari sudah keluar rumah dan syuting, di
luar sana mungkin juga sudah dibawa ke park, dll. Atau kenapa ibu-ibu di film
Babies begitu memperlakukan bayi mereka seperti bayi itu yah bayi manusia bukan
robot atau boneka. Ya, karena memang (sering tanpa kita duga) punya banyak
kekuatan-ketangguhan fisik-psikis yang akan terus-terus terasah jika orang
tuanya memfasilitasi itu.
Anda yang sudah
nonton tentu ingat dengan adegan pembuka film Babies, ketika sutradara meminta
seorang ibu asal Namimbia untuk membiarkan kedua anaknya bermain bersama, meski
awalnya si ibu sudah ragu, pasti mereka akan berantem. Tapi apa yang terjadi?
Mereka bermain, tertawa dan tiba-tiba yang satu lebih tertarik dengan mainan
saudaranya, dan langsung mendaratkan giginya ke kuping saudaranya. Si ibu
langsung berteriak “Oh my God!” namun
ditahan sang sutradara dengan suara, ‘It’s
oke, stay there!…”
Jelas bukan karena
sutradara jahat dan gak manusiawi. Baginya, sejauh mereka dalam kondisi aman
dipandang, biarkan mereka dengan kemampuan fisik dan psikis sebagai balita
melewati dan melampaui itu. Hasil akhirnya, gak mengecewakan kok. Tidak ada
lagi gigit-gigitan. Karena si saudara (dengan kejadian tak mengenakan itu) jadi
belajar untuk bagaimana bereaksi, bagaimana menyikapi jika saudaranya akan
usil, tentu saja dengan kemampuan koginitif yang ia punya. Sekali lagi, kita
jangan melihat dengan kacamata dan kognitif kita sebagai orang dewasa!
Coba bayangkan
jika saat itu sang sutradara tidak menahan ibunya. Bayangkan ketika si ibu
berhasil melerai keduanya sebelum terjadi gigit menggigit telinga, apa yang
terjadi?
Kedua anak itu
pastinya tidak akan tahu dan belajar bagaimana harus tangguh sebagai seorang
balita! Ketika besar mungkin saja mereka akan mengindar orang banyak karena
takut disakiti. Mereka akan jadi pemalu, mungkin terlalu curiga dan membatasi
diri dengan orang lain. Sebab mereka tak tahu cara bersikap, sebab belum punya
pengalaman berhadapan dengan beragam orang/beragam karakter. Mereka akan tumbuh
menjadi boneka atau robot orang tua mereka.
Mau anaknya cuma
jadi boneka?
NB; tradisi sih
boleh, yang positif kita ambil, tapi kita perlu juga jadi orang tua yang kritis
dan cerdas kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...