Senin, 09 Juli 2012

Dan Mereka Akan Tumbuh Menjadi Boneka dan Robot Orang Tuanya!


#seripsikologi

Saat bersama kakak perempuan saya nonton cacara Hitam Putih di Trans7, kebetulan ada bintang tamu seorang artis wanita Indonesia yang menikah dengan bule Aussie dan baru saja punya momongan. Si artis, suami dan babygirl-nya itu jadi bintang tamu acara Hitam Putih. Ketika si artis menyebutkan si anak belum genap 40 hari kakak saya langsung protes, “kok sudah dibawa keluar? Kasihan anaknya masih kecil, bla…bla…bla.” Ketika ada adegan si suami bule mengganti popok ‘hanya’ di atas meja, kakak saya protes lagi. “Duh, kasihan, bayinya masih kecil, belum 40 hari sudah dibuat macam-macam!”  Agak sengit pokoknya. Ha-ha-ha. Terang saja saya, (atau kami  sekeluarga) dan mungkin orang-orang Indonesia pada umumnya terlalu patuh dengan tradisi, misalnya belum 40 hari belum boleh keluar rumah, cara gendong harus yang begini begitu, bla…bla…
Saya langsung menjawab kekhawatiran kakak saya. Jelas saja suaminya bule. Dan orang Barat yah begitu. Gak hidup dengan tradisi kita, yang kadang kalo mikir ah ribet juga ya.  Mereka jelas berbeda. Karena gak ada sistem 40-harian, ya sudah tak masalah bayi dibawa keluar. Yang penting sehat, gizi tercukupi,  kasih sayang dan perhatian juga tercukupi dan vaksinya  sudah komplit mungkin bagi mereka sudah cukup.
Lihat saja cara gendong bayi pada orang bule. (mungkin) dibenak kita, kok kasar yah? Bagaimana ketika melihat ada bayi umur berapa bulan udah dipasangin ban karet di lehernya dan dibiarkan mengambang di bak plastik berisi air. Bahkan mungkin usia 12 bulan pun sudah diajak main di kolam renang (tentu dengan pengawasan ketat dan pelampung lengkap juga safety).
Teringat film Babies, sebuah dokumenter apik dari sineas Prancis (film yang layak Anda tonton!), yang memotret 4 bayi di Negara berbeda (Jepang, Namimbia, Mongol dan Amerika namun punya pola asuh yang hampir sama terlepas ada perbedaan budaya), bagaimana pola asuh dan kerelaan hati orang tua mempengaruhi kematangan fisik dan psikis mereka.
Nampak sekali orang-orang Barat (mungkin pada umumnya), lebih mengutamakan konsep ‘ketangguhan’ sejak dini pada anak-anak mereka. Bukan dengan paksaan juga. Dan bukan maksudnya untuk kasar. Tapi akhirnya terlihat juga bahwa anak sekecil itu bisa lebih kreatif dalam bertindak, lebih tangguh menghadapi tantangan kecil disekitar mereka (meskipun mereka masih balita). Itu jelas terlihat.
Setelah menonton Babies saya jadi mengerti bagaimana pola asuh demikian ‘membebaskan’ anak menjadi sebagaimana ia adalah anak-anak. Karena selalu ada banyak kesempatan baginya untuk melatih kekuatan fisik dan mentalnya sejak dini (selalu ada kesempatan bagi proses trial and error yang alamaiah). Dan orang tua tetap harus punya kendali untuk meminimalisir kejadian buruk, tapi untuk hal kecil biarkan si anak bergumul sesuai dengan kamampuannya sebagai bayi, sebagai seorang manusia yang sudah dibelaki akal sehat. Begitu pesan moral film Bebies.
Kadang kita orang tua, jadi egois, karena dia bayi atau balita, dipikir kita gak bisa ngapa-ngapain, ia makhluk lemah, ya sudah ujung-ujungnya segala sesuatu dilakukan sesuai dengan pemikiran dewasa kita. Padahal kalau dibiarkan pun, secara alamiah (naluri) si anak pastinya sudah punya kemampuan/ketangguhan untuk melewati itu kan?
sumber: http://sebuah-dongeng.blogspot.com
 Sejak kecil kita selalu menganggap (sekali lagi) bayi itu makhluk lemah yang gak bisa ngapa-ngapain dan selalu (harus) kita tolong, selalu membutuhkan bantuan kita. Iya gak? Efeknya keterusan ketika anak sudah gede, selalu saja dibantu. Ini itu ditolong. Akhirnya anak malas, anak manja, anak gak kreatif. Takut mencoba karena takut salah. Logika berpikirnya pendek-pendek, karena dibiasakan orang tua berpikir pendek!
Padahal dua jam sebelumnya, kakak perempuan saya masih mengeluh kejadian pagi tadi ketika bersama putranya yang sudah duduk di SMP kelas dua tetapi masih pemalu di luar, gak mau makan di warung yang ramai, misalnya. Saya tahu jawabannya, kenapa ponakan saya itu pemalu. Itu karena mamanya terlalu protektif. Selalu mengontrol jangkauan ruang bermain anak-anaknya. Main ke tetangga dikit langsung dilarang. Itu yang akhirnya menghambat si anak, karena tiadanya keleluasaan ruang bermain yang memungkinkan ia bersosialisasi dengan banyak anak sebaya, banyak kepala dan dengan banyak karakter yang tentu saja akan berguna untuk melatih kepekaan sosialnya, melatih ketangguhan fisik dan mentalnya.
Saya tergolong  beruntung ketika kecil (SD hingga SMP, meski di kampung) saya diberi keleluasaan oleh ayah ibu saya untuk punya area bermain yang luas, hingga ke kampung/ desa tetangga (saya adalah anak kecamatan di Mollo). Bermain ke hutan sambil cari kayu bakar, mandi di kali (yang jaraknya berkilometer dari rumah) dan bersosialisasi dengan banyak orang. Efeknya jadi gak penakut, berani jalan di malam hari (kelas 4 SD saya sudah berani lewat sebuah kebun kopi dekat rumah saya yang dulu dikenal angker, jam 7 malam!).
Sayang sekali. Orang-orang di perkotaan kini jadi lebih protektif (oke karena untuk alasan keamanan anak) tapi kemudian abai untuk mengganti proses alamiah anak itu dengan memfasilitasi kegiatan lain yang punya efek yang sama. Misalnya, anak dilarang bermain sepak bola dan bersosialisasi dengan anak-anak sebaya di kompleks sebelah (karena khawatir anak-anak di kompleks sebelah ‘nakal’ dan suka maki), yah sudah ketika anak minta ikut kelompok taekwondo atau sepak takraw di tempat yang jelas dengan pelatih oke (bisa dikontrol), kenapa harus kita tolak? Ini contohnya. Kita terbiasa melarang anak untuk ini itu karena alasan ini itu, tapi tidak mefasilitasi hal lain, yang ini itu tapi tidak ini itu. Nah lho…
Kayak di kelas, anak aktif dicap nakal oleh guru lalu dihukum pula, tanpa si guru memikirkan apa hal positif yang bisa si anak lakukan dengan energi berlebihannya itu? *Nik-nok!!* Itu sih tergantung kreativitas gurunya. Karena guru yang kreatif biasanya solutif (btw, punishment bukan solusi akhir lho masih harus ada lanjutannya…).
Pada akhirnya saya ketemu jawabannya, kenapa si artis (apalagi suaminya yang bule itu) nampak ‘cuek’ menggendong bayinya, belum 40 hari sudah keluar rumah dan syuting, di luar sana mungkin juga sudah dibawa ke park, dll. Atau kenapa ibu-ibu di film Babies begitu memperlakukan bayi mereka seperti bayi itu yah bayi manusia bukan robot atau boneka. Ya, karena memang (sering tanpa kita duga) punya banyak kekuatan-ketangguhan fisik-psikis yang akan terus-terus terasah jika orang tuanya memfasilitasi itu.
Anda yang sudah nonton tentu ingat dengan adegan pembuka film Babies, ketika sutradara meminta seorang ibu asal Namimbia untuk membiarkan kedua anaknya bermain bersama, meski awalnya si ibu sudah ragu, pasti mereka akan berantem. Tapi apa yang terjadi? Mereka bermain, tertawa dan tiba-tiba yang satu lebih tertarik dengan mainan saudaranya, dan langsung mendaratkan giginya ke kuping saudaranya. Si ibu langsung berteriak “Oh my God!” namun ditahan sang sutradara dengan suara, ‘It’s oke, stay there!…”
Jelas bukan karena sutradara jahat dan gak manusiawi. Baginya, sejauh mereka dalam kondisi aman dipandang, biarkan mereka dengan kemampuan fisik dan psikis sebagai balita melewati dan melampaui itu. Hasil akhirnya, gak mengecewakan kok. Tidak ada lagi gigit-gigitan. Karena si saudara (dengan kejadian tak mengenakan itu) jadi belajar untuk bagaimana bereaksi, bagaimana menyikapi jika saudaranya akan usil, tentu saja dengan kemampuan koginitif yang ia punya. Sekali lagi, kita jangan melihat dengan kacamata dan kognitif kita sebagai orang dewasa!
Coba bayangkan jika saat itu sang sutradara tidak menahan ibunya. Bayangkan ketika si ibu berhasil melerai keduanya sebelum terjadi gigit menggigit telinga, apa yang terjadi?
Kedua anak itu pastinya tidak akan tahu dan belajar bagaimana harus tangguh sebagai seorang balita! Ketika besar mungkin saja mereka akan mengindar orang banyak karena takut disakiti. Mereka akan jadi pemalu, mungkin terlalu curiga dan membatasi diri dengan orang lain. Sebab mereka tak tahu cara bersikap, sebab belum punya pengalaman berhadapan dengan beragam orang/beragam karakter. Mereka akan tumbuh menjadi boneka atau robot orang tua mereka.
Mau anaknya cuma jadi boneka?


NB; tradisi sih boleh, yang positif kita ambil, tapi kita perlu juga jadi orang tua yang kritis dan cerdas kan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...