Senin, 24 Mei 2010

Istri Yang Cakap, Siapa Yang Punya?

Aku baru saja datang dan mengenal pasangan muda ini
Mereka tetangga baruku. Kio anjing kesayangan mereka (yang sering kencing sembarangan di depan pintu kamarku aaaargggghhh@#$%^!!!!*&^!!!)
Kami saling mengenal tapi jarang bertegur sapa, bahkan ketika kami harus
memakai tempat cucian secara bersama-sama.
Dia, seumuran denganku. Wanita muda belia, ketika sembilan belas tahun
usianya dia harus pindah ke tempat ini, mengikuti pacarnya tinggal.
Karena sudah terlanjur memiliki anak diluar nikah.
Sekian waktu hidup bertetangga, kami memang jarang sekali bertatap mata.
Pintu tertutup berlawanan dengan pintu terbuka. Atau syahdu
berlawanan dengan erangan atau cacian: dari banyak malam dan
siang aku mendengar kata-kata ini,
‘hei, anjing’
‘dasar bodoh’
‘gila lu’
Itulah kosakata-kosakata liar dari mulut suaminya. Mereka bisa
bertengkar kecil. Saling mengejek. Lalu bisa juga tertawa cekikan hingga pagi.

Entah kenapa aku selalu berpikir tentang keadaan mereka tapi aku juga makin
Merasa asing diantara mereka.

Sampai suatu malam yang rintik, tak sengaja aku berpapasan dengan dia yang mungil
Itu. ‘hei, nama kamu Adi kan? Namaku Marsya tetangga kamarmu.’ Kami berjalan dan banyak bercerita, meski nyatanya dia lebih cepat memutuskan untuk mendahuluiku pulang. ‘maaf yah, lain kali kita ngobrol lagi. Aku buru-buru nih’ katanya salah tingkah dan bisa kuartikan lain: tak ada yang salah dengan tingkahnya, dia jujur. Suaminya pemarah dan pencemburu.

Aku diam dan pulang ke kamarku. Lama sekali kami bisa saling menyapa. Hanya kami berdua saja. aku hanya merasa iba saja karena kata-kata kotor itu masih aku dengar setiap hari.

Jogja, 25 April 2010

Pelajaran moral: saya heran ada orang yang mau menikah dengan binatang atau suka menganggap istrinya seperti binatang ketimbang memperlakukan dia sebagai manusia, menyesuaikan fakta bahwa istrinya muda dan cantik. Sama halnya ketika dia mau juga menikah dengan orang yang bodoh dan gila. Atau mungkin benar perasaan saya, jika si pria mungkin dibesarkan dengan tiga kata tersebut di keluarganya. Begitulah akhirnya dia mengkonsepkan dirinya lalu memproyeksikan itu ke orang-orang terdekatnya. Ahhh.

Saya teringat sekali bacaan dari Kitab Amsal 31: 10-31, isteri yang cakap siapa akan mendapatkannya? Ia lebih berharga dari pada permata. Kisah yang pertama kali saya dengar dan saya pahami saat duduk di kelas 1 SMP saat saya didampuk untuk menjadi pembaca kitab suci di gereja (lektor). Dari keseluruhan isinya saya lantas teringat ibu saya, beliau yang samaaaaa miripnya dengan kisah dalam kitab Amsal itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...