Tampilkan postingan dengan label Kisah dari Dlingo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kisah dari Dlingo. Tampilkan semua postingan
Jumat, 06 November 2015
Andre dan Dongeng-Dongeng dari Banjarharjo
Di dukuh Banjarharjo, saya punya kawan baru. Namanya Andre. Sekolah di SDN Tingkil, kelas 6. Sehari-hari ke sekolah bawa motor sendiri (ini biasa di Dlingo, bahkan anak kelas 2 SD sudah hilir mudik dengan motor tiap sore). Supaya tidak ketahuan para guru, ia titipkan motor itu ke rumah warga dekat sekolah. "Ketika pulang sekolah, aku pulang terakhir. Tunggu semua guru dan siswa sudah pulang, sekolah sepi, baru aku pulang bareng Vega hehe," ujarnya sambil ketawa cengengesan. Di rumah ia tinggal bersama ayah ibunya dan kakak lelakinya, Awan, yang sudah menikah dan punya satu anak. Pak Jumar ayah Andre bekerja sebagai penjual pintu di Jakarta, sedangkan ibunya bekerja menganyam irig dan tampah di rumah. Sejak dua minggu terakhir, ia makin rajin main ke tempat residensi kami. Pernah ikut Kaysan, sang birder belia dari Jakarta mengamati burung di beberapa titik di Dlingo (Kay memberi banyak inspirasi kepada saya). Kini Andre ikut latihan teater bareng mbak Dina dari Teater Kalanari. Di awal latihan, mereka diajari yoga termasuk saya dan dua teman residen lainnya, Sita dan Asry. Kenichiro, residen asal Jepang, sedang sibuk berkolaborasi bikin kursi dengan bapak tukang kayu di seberang Bumi Pemuda Rahayu. Kaysan sudah meninggalkan residensi BPR sementara Andre makin menonjol diantara peserta latihan teater. Ia cerdas, pemberani dan aktif bicara, meski tubuhnya kurus dengan bentuk kepala yg tdk proporsional. Suatu ketika saya mengajaknya mengobrol lebih dalam (ia menyukai topik mitos dan dongeng, sama halnya dengan saya). Dalam kepala saya, Andre adalah karakter baru dalam project menulis yang saya lakukan di residensi ini. Bagaimana mitos dan dongeng itu hidup di kepala anak-anak kampung (mereka akan mementaskan dongeng rekaan mereka di kebun BPR), sementara anak-anak muda bisa bertahan di kampung jadi belajar jadi seniman anyaman bambu ketimbang pergi merantau. Ketika bertemu beberapa orang dewasa yang agak gagap menceritakan sejarah kampung, toh saya masih bisa menanyakan resep-resep ayam ingkung, sambal gepeng, gereh hingga lalapan daun uri dan godog dadap. Terima kasih bu Imah dan bu Lilik. Saya lantas menjadi Leon, yang menulis semua kisah itu. Barangkali akan jadi kumpulan cerita yang masih kasar, tapi saya menikmati proses berkesenian di residensi kali ini. Salam hangat. Imogiri belum hujan.
Rabu, 28 Oktober 2015
Di Tempat Diponegoro Bertemu Ratu Adil, Orang-Orang Datang Memaknai Perdamaian
#Catatan4 Kisah dari Dlingo
Malam itu seperti satu malam yang luar biasa, paling tidak dari pengalaman pertama itu saya menemukan beberapa hal menarik. Kadang, kita terlalu gampang percaya pada kata orang tanpa melihat atau merasakan sendiri kenyataanya. Ini tentang relasi antar manusia, tentang orang-orang yang rindu pada perubahan dan pada sisi yang sama mencoba untuk memulai kerinduan itu dari satu titik sejarah lampau seorang tokoh besar. Malam itu, mas Anam seorang ahli pertanian yang hadir di Bumi Pemuda Rahayu untuk membantu beberapa project pertanian, mengajak saya hadir ke sebuah acara penting (yang saya lupa namanya apa), tapi masih saya ingat betul kejadiannya.
"Ada acara penting di jkampung sebelah jelang 10 Suro, mau ikut?" Saya mengiyakan saja tanpa terlalu bertanya itu acara apa dan nanti bagaimana, dan seterusnya. Ketika pertama kali hadir di BPR ini untuk sebuah program residensi seni dan lingkungan yang diadakan Rujak, Kunci dan Arkom, saya berkali-kali meyakinkan diri saya untuk 'harus terlibat secara utuh dengan semua kegiatan masyarakat di sini.' Toh membangun komunikasi penting mengingat project seni saya adalah menulis sejarah, mitos, kuliner dan berbagai informasi baik dari kampung ini. Disamping rencana saya untuk mengajak beberapa anak muda untuk terlibat dalam proses menulis tentang kampung halaman mereka.
Kami akhirnya melaju melewati pinggir hutan pinus Becici, lewat kampung Terong. Di pinggir hutan pinus berikutnya segerombolan orang sedang menunggu di jalan. Mas Anam langsung mengenali beberapa diantaranya sebagai teman dekat yang mengundangnya. Saya diperkenalkan dan kami langsung masuk ke dalam hutan pinus di jam 8 malam. Melewati semak dengan bantuan senter, kami sempat kesasar tapi untungnya tak lama dan akhirnya segera menemukan titik pencarian. Apa sebenarnya yang ingin dilakukan di sini? Saya melihat para lelaki mengenakan ikat kepala batik dengan sarung dan beskap lurik. sementara kelompok yang lain mengenakan baju serba hitam dengan celana panjang tanggung. Ada 3 perempuan dewasa dan 1 anak-anak, sisanya, mayoritas laki-laki. Kira-kira ada 30an orang banyaknya.
"Batunya di sini!" Pekik seseorang dari balik semak, ketika kami masih sibuk mencari-cari jalan masuk. Ah, rasanya seperti sedang mencari sebuah harta karun saja. Foilaaaah, mata saya terpaku pada sebuah tanah datar seukuran setengah lapanga bola voli, berlantai tanah dan batu coklat hitam seperti granis sisa erupsi. Tiada semak, hanyalah sehamparan kosong berujung jurang dan kota Jogja di bawah sana seperti milyaran kunang-kunang yang berserakan. Selama beberapa hari di Imogiri dan mencoba mampir ke banyak titik hutan pinus di bukti dengan gardu pandang, tempat ini menawarkan pemadangan yang sepertinya spesial. Kota Jogja membentang luas utuh tanpa terhalang bukit atau pohon.
"Di bawah situ, ada batu tempat Pangeran Diponegoro dulu bertemu Ratu Adil!" jelas seorang pria berumur sekitar 40an tahun yang selanjutnya saya ketahui bernama Romo Sinu. Beliau adalah salah satu yang aktif menggeluti sejarah Jawa dan menganut aliran Kejawen.
Benar saja, persis di mulut jurang ada sebongkah batu besar berbentuk bulat kira-kira berdiameter 7-10 meter, nangkring dengan kokohnya. Sedangkan di bawah sana, ada perkampungan penduduk. Dari penjelasan Romo Sinu, dulunya batu itu berwarna merah namun sekarang sudah berubah warna jadi hitam. Yah, dari bentuknya yang menyerupai kerikil bercampur tar hitam, sepertinya ini batu hasil erupsi gunung Merapi entah berapa ratus atau ribu tahun silam.
Saya diperkenalkan mas Anam ke beberapa paguyuban Kejawen lainnya sambil menyimak kisah mereka. Ini semacam sebuah ritual budaya, agama dan sejarah yang saling berpadu dengan harmonis. Ya, harmonis. Saya belum punya pengalaman berinteraksi langsung dengan paguyuban kejawen apalagi sama kelompok pesantren. Ada seorang Habib dari Solo dengan kawan-kawannya hadir juga di acara ini. Aha, saya mulai sadar dengan kondisi ini. Ada komunikasi yang intens antara kejawen dan islam arab.
Kabarnya, dulu di Gua Secang yang berjarak 200 meter dari tempat kami berdiri adalah tempat semadi Pangeran Diponegoro. Pada suatu ketika, datanglah seorang asing dengan selimut cahaya putih yang terangnya melebihi terang matahari (silau pasti). Kepada sang Pangeran, orang asing tersebut bilang bahwa ada seorang yang lain ingin bertemu dengannya di atas batu di pinggir jurang. Singkatnya sang Pangeran pergi dan menemui orang tersebut yang disebut-sebut sebagai Ratu Adil atau Imam Mahdi. Kepada Diponegoro, sang Ratu meminta agar ada perlawanan kepada Belanda. Kisah tersebut ditembangkan oleh seorang teman Romo Sinu yang mengaku pernah tinggal 2 tahun di Tuak Daun Merah Kupang (bekerja di PNP). Ia menyanyikan kisah sejarah itu dalam bahasa Jawa kuno. Lalu Romo Sinu menerjemahkan secara garis besar ke dalam bahasa Indonesia.
Setelah menembang dalam bahasa Jawa, acara selanjutnyaa dipimpin oleh sang Habib dengan serangkaian doa panjang berbahasa Arab. Mereka bahkan menangis dan bersuara lirih dalam doa tersebut. Saya ingat diakhir doa, sang Habib secara khusus mendoakan kondisi krisis kemanusiaan di dunia. Ia memohon kepada Tuhan agar menolong semua umat manusia yang menjadi korban peperangan atas dasar agama. Secara spesifik ia menyebut "mereka yang mengaku beragama Islam namun ikut membunuh sesama orang Islam."
Saya berdiri paling belakang, awalnya sudah hampir kalah melawan kantuk namun doa-doa sang Habib, saya malah makin sadar dan memaknai peristiwa yang saya hadiri itu sebagai sesuatu yang spesial. Dua kelompok yang sama-sama beragama Islam namun dengan sedikit perbedaan aliran dan kebudayaan, bisa duduk bersama, mengadakan sebuah ritual sejarah dan agama sembari bertukar informasi apa saja. Ini sebuah pola baru yang menarik menurut saya. Kita tahu ada perbedaan, cara pandang juga cara hidup, tapi kita punya cara sendiri juga untuk bisa hidup berdampingan dan saling hormat. Damai itu indah!
Acara malam itu belum selesai sebenarnya tapi saya dan mas Anam sudah pamit duluan. Mereka biasanya akan mengobrol hingga matahari naik. Ah tentu saja dengan ikut berdoa bersama dan mendengar mereka menerjemahkan sepenggal kisah Diponegoro saja saya sudah senang. Lain waktu semoga bisa bertemu lagi.
#KisahdariDlingo #60HaridiDlingo
Baca juga: #Catatan3 Kisah dari Dlingo
Malam itu seperti satu malam yang luar biasa, paling tidak dari pengalaman pertama itu saya menemukan beberapa hal menarik. Kadang, kita terlalu gampang percaya pada kata orang tanpa melihat atau merasakan sendiri kenyataanya. Ini tentang relasi antar manusia, tentang orang-orang yang rindu pada perubahan dan pada sisi yang sama mencoba untuk memulai kerinduan itu dari satu titik sejarah lampau seorang tokoh besar. Malam itu, mas Anam seorang ahli pertanian yang hadir di Bumi Pemuda Rahayu untuk membantu beberapa project pertanian, mengajak saya hadir ke sebuah acara penting (yang saya lupa namanya apa), tapi masih saya ingat betul kejadiannya.
"Ada acara penting di jkampung sebelah jelang 10 Suro, mau ikut?" Saya mengiyakan saja tanpa terlalu bertanya itu acara apa dan nanti bagaimana, dan seterusnya. Ketika pertama kali hadir di BPR ini untuk sebuah program residensi seni dan lingkungan yang diadakan Rujak, Kunci dan Arkom, saya berkali-kali meyakinkan diri saya untuk 'harus terlibat secara utuh dengan semua kegiatan masyarakat di sini.' Toh membangun komunikasi penting mengingat project seni saya adalah menulis sejarah, mitos, kuliner dan berbagai informasi baik dari kampung ini. Disamping rencana saya untuk mengajak beberapa anak muda untuk terlibat dalam proses menulis tentang kampung halaman mereka.
Kami akhirnya melaju melewati pinggir hutan pinus Becici, lewat kampung Terong. Di pinggir hutan pinus berikutnya segerombolan orang sedang menunggu di jalan. Mas Anam langsung mengenali beberapa diantaranya sebagai teman dekat yang mengundangnya. Saya diperkenalkan dan kami langsung masuk ke dalam hutan pinus di jam 8 malam. Melewati semak dengan bantuan senter, kami sempat kesasar tapi untungnya tak lama dan akhirnya segera menemukan titik pencarian. Apa sebenarnya yang ingin dilakukan di sini? Saya melihat para lelaki mengenakan ikat kepala batik dengan sarung dan beskap lurik. sementara kelompok yang lain mengenakan baju serba hitam dengan celana panjang tanggung. Ada 3 perempuan dewasa dan 1 anak-anak, sisanya, mayoritas laki-laki. Kira-kira ada 30an orang banyaknya.
"Batunya di sini!" Pekik seseorang dari balik semak, ketika kami masih sibuk mencari-cari jalan masuk. Ah, rasanya seperti sedang mencari sebuah harta karun saja. Foilaaaah, mata saya terpaku pada sebuah tanah datar seukuran setengah lapanga bola voli, berlantai tanah dan batu coklat hitam seperti granis sisa erupsi. Tiada semak, hanyalah sehamparan kosong berujung jurang dan kota Jogja di bawah sana seperti milyaran kunang-kunang yang berserakan. Selama beberapa hari di Imogiri dan mencoba mampir ke banyak titik hutan pinus di bukti dengan gardu pandang, tempat ini menawarkan pemadangan yang sepertinya spesial. Kota Jogja membentang luas utuh tanpa terhalang bukit atau pohon.
"Di bawah situ, ada batu tempat Pangeran Diponegoro dulu bertemu Ratu Adil!" jelas seorang pria berumur sekitar 40an tahun yang selanjutnya saya ketahui bernama Romo Sinu. Beliau adalah salah satu yang aktif menggeluti sejarah Jawa dan menganut aliran Kejawen.
Benar saja, persis di mulut jurang ada sebongkah batu besar berbentuk bulat kira-kira berdiameter 7-10 meter, nangkring dengan kokohnya. Sedangkan di bawah sana, ada perkampungan penduduk. Dari penjelasan Romo Sinu, dulunya batu itu berwarna merah namun sekarang sudah berubah warna jadi hitam. Yah, dari bentuknya yang menyerupai kerikil bercampur tar hitam, sepertinya ini batu hasil erupsi gunung Merapi entah berapa ratus atau ribu tahun silam.
Saya diperkenalkan mas Anam ke beberapa paguyuban Kejawen lainnya sambil menyimak kisah mereka. Ini semacam sebuah ritual budaya, agama dan sejarah yang saling berpadu dengan harmonis. Ya, harmonis. Saya belum punya pengalaman berinteraksi langsung dengan paguyuban kejawen apalagi sama kelompok pesantren. Ada seorang Habib dari Solo dengan kawan-kawannya hadir juga di acara ini. Aha, saya mulai sadar dengan kondisi ini. Ada komunikasi yang intens antara kejawen dan islam arab.
Kabarnya, dulu di Gua Secang yang berjarak 200 meter dari tempat kami berdiri adalah tempat semadi Pangeran Diponegoro. Pada suatu ketika, datanglah seorang asing dengan selimut cahaya putih yang terangnya melebihi terang matahari (silau pasti). Kepada sang Pangeran, orang asing tersebut bilang bahwa ada seorang yang lain ingin bertemu dengannya di atas batu di pinggir jurang. Singkatnya sang Pangeran pergi dan menemui orang tersebut yang disebut-sebut sebagai Ratu Adil atau Imam Mahdi. Kepada Diponegoro, sang Ratu meminta agar ada perlawanan kepada Belanda. Kisah tersebut ditembangkan oleh seorang teman Romo Sinu yang mengaku pernah tinggal 2 tahun di Tuak Daun Merah Kupang (bekerja di PNP). Ia menyanyikan kisah sejarah itu dalam bahasa Jawa kuno. Lalu Romo Sinu menerjemahkan secara garis besar ke dalam bahasa Indonesia.
Setelah menembang dalam bahasa Jawa, acara selanjutnyaa dipimpin oleh sang Habib dengan serangkaian doa panjang berbahasa Arab. Mereka bahkan menangis dan bersuara lirih dalam doa tersebut. Saya ingat diakhir doa, sang Habib secara khusus mendoakan kondisi krisis kemanusiaan di dunia. Ia memohon kepada Tuhan agar menolong semua umat manusia yang menjadi korban peperangan atas dasar agama. Secara spesifik ia menyebut "mereka yang mengaku beragama Islam namun ikut membunuh sesama orang Islam."
Saya berdiri paling belakang, awalnya sudah hampir kalah melawan kantuk namun doa-doa sang Habib, saya malah makin sadar dan memaknai peristiwa yang saya hadiri itu sebagai sesuatu yang spesial. Dua kelompok yang sama-sama beragama Islam namun dengan sedikit perbedaan aliran dan kebudayaan, bisa duduk bersama, mengadakan sebuah ritual sejarah dan agama sembari bertukar informasi apa saja. Ini sebuah pola baru yang menarik menurut saya. Kita tahu ada perbedaan, cara pandang juga cara hidup, tapi kita punya cara sendiri juga untuk bisa hidup berdampingan dan saling hormat. Damai itu indah!
Acara malam itu belum selesai sebenarnya tapi saya dan mas Anam sudah pamit duluan. Mereka biasanya akan mengobrol hingga matahari naik. Ah tentu saja dengan ikut berdoa bersama dan mendengar mereka menerjemahkan sepenggal kisah Diponegoro saja saya sudah senang. Lain waktu semoga bisa bertemu lagi.
#KisahdariDlingo #60HaridiDlingo
Baca juga: #Catatan3 Kisah dari Dlingo
Selasa, 20 Oktober 2015
Bagaimana Seharusnya Arsitek Berpihak Kepada Masyarakat?
![]() |
Mas Yuli (baju merah) dari Arkom berbagai pengalaman ke pesangrah BPR 2015 (Foto: M Kuwumawijaya) |
Diantar pak Marco Kusumawijaya, saya dan teman-teman pesanggrah BPR 2015 menuju ke markas Arsitek Komunitas (Arkom) di dekat terminal Giwangan. Sudah ada mas Yuli, dkk menunggu kami di sana. Di halaman kantor Arkom, di atas bale-bale yang sejuk kami mengobrol, saling memperkenalkan diri ditemani teh hangat dan tempe mendoan. Ini hari yang spesial sebenarnya. Di awal program pesanggrahan, pak Marco merasa perlu untuk memperkenalkan kami dengan para mitra BPR dengan harapan ada komunikasi lebih lanjut antar pesanggrah dengan mitra BPR tadi. Selain Arkom, ada juga Kunci (cultural studies centre) dan Indonesian Visual Art Archive (IVAA).
Di Arkom saya dihadapkan kepada sebuah pengalaman baru bahwa kerja arsitek tidak semata-mata hanya merancang bangunan. Arkom menunjukkan sebuah kerja humanis, menjadi kawan bagi orang-orang marjinal; korban erupsi gunung berapi, penduduk di slum area dan area haritage. Tiga area tadi tidak lepas dari persoalan pemukiman. "Pada titik tertentu, masalah warga di tiga area tadi adalah melawan pemerintah yang berlaku tidak adil," jelas mas Yuli.
Cerita berjalan dengan singkat namun padat (karena mas Yuli harus segera ke bandara). Arkom sendiri punya pengalaman mendapingi masyarakat lereng gunung Merapi pasca erupsi. Mereka jelas tidak mau direlokasi pemerintah. dan disaat yang sama pemerintah menganggap masyarakat keras kepala sehingga beberapa hak masyarakat kemudian tidak terpenuhi. Arkom hadir mendampingi masyarakat. Bagi Arkom, koneksi antara penduduk dengan alam (tanah dan kebun) di lereng Merapi tidak bisa diputus begitu saja. Menurut mas Lilik dari Arkom, tugas mereka hanya membantu masyarakat untuk siap tinggal di daerah bencana. Bukan saja mental mereka tapi kesiapan infrakstruktur. Rumah dan area pengungsian juga harus disiapkan. Untuk hal ini Arkom melihat sendiri bagaimana masyarakat pada akhirnya begitu siap siaga dan mandiri membangun kembali kampung mereka. "Mereka bahakan membeli tanah jauh dari kampung yang sewaktu-waktu bisa digunakan sebagai lokasi pengungsian sementara jika Merapi erupsi sewaktu-waktu," tambah mas Lilik.
Terkait problem masyarakat di kampung pesisir sungai Jawi yang membelah kota Jogjakarta, hal yang sama sebenarnya terjadi. Pemerintah abai terhadap pemenuhan hak-hak hidup warga pinggiran sungai ini. "Menariknya, di kampung yang kami bantu advokasi, peran ibu-ibu justru sangat menonjol. Mereka tahu apa yang mesti dilakukan secara terorganisir lewat paguyuban masyarakat setempat." Saya bisa membayangkan perjuangan orang tersebut untuk hidup mandiri meski dengan sedikit perhatian pemerintah. Dan saya kira ini menjadi masalah hampir di semua kota di Indonesia. Pada akhirnya Arkom sepakat bahwa relokasi warga pesisir kali ke rumah susun belum tentu adalah sebuah solusi yang terbaik bagi mereka. Tapi dari cerita yang dibagi teman-teman Arkom saya melihat bahwa penguatan kapasitas masyarakat memang penting untuk dilakukan. Mereka bisa dan mampu mengelola lingkungan hidupnya dengan baik dan sehat, tanpa campur tangan pemerintah. Jadi untuk banyak kasus, relokasi warga ke rusun bukan satu-satunya jalan keluar. Toh di sisi lain, pemerintah juga memberikan izin pembangunan hotel dan ruko yang masif dan merusak lingkungan bukan? Barangkali soal paradigma kita melihat lingkungan pinggir kali yang jorok. Tapi jika menilik apa yang pernah dilakukan romo Mangun, misalnya, di pemukiman kali Code, rasanya lingkungan yang sehat bisa kok diciptakan.
Jika pemerintah saja tak mampu membaca masalah dan memberikan solusi yang tepat lalu harapannya mau dibawa ke mana? Beruntung masih ada komunitas seperti Arkom yang mau peduli dan ikut membantu mencarikan solusi. Dan ternyata, problemnya bukan saja dari pemerintah. Dalam kasus masyarakat pengrajin perak di kampung Kotagede, yang dihadapi justru para pemodal. Kotagende menurut Arkom pada akhirnya berubah menjadi kampung yang senjang. Pemodal besar tentu saja menguasai pasar kerajinan perak sekaligus mematikan pengrajin kecil yang bergumul di rumah-rumah. "Kami membantu mereka dengan menciptakan pasar baru." Tegas mas Yuli. Bicara Kotagede tidak saja bicara pemukiman yang sudah tergolong dalam kawasan cagar budaya. Ada monopoli pasar kerajinan perak yang merugikan kelompok masyarakat tertentu. Arkom membantu menciptakan pasar baru, misalnya dengan mengadakan wisata belanja perak langsung ke kampung-kampung. Upaya mendekatkan wisatawan langsung dengan pengrajin menengah ke bawah cukup efektif.
Sampai pada tiga contoh kasus di atas saya kemudian bertanya, apakah semua arsitek punya pemikiran sejauh itu? Benar-benar memikirkan hunian dengan aspek sosial, psikologi, sosiologi, antropolog, wes pokoknya secara menyeluruh? Saya rindu orang-orang dengan pemikiran seperti ini di kampung saya, minimal di Kupang, kota tempat saya tinggal. Arkom mengingatkan kita bahwa arsitek tidak sekedar membangun ruang yang indah di pandang mata, tapi bagaimana ruang tersebut memberikan banyak dampak positif bagi lingkungannya.
Diakhir pertemuan, saya sempat sharing sedikit keresahan tentang kampung halaman saya. Rumah tradisional mulai ditinggalkan. Sedihnya rumah jika belum bertembok dan tidak beratap seng, dikesankan bukan rumah ideal dan akan dianggap miskin. Kita seakan lupa begitu saja bagaimana rumah tradisional dengan kayu, bambu dan alang-alang bertahan ratusan tahun sebagai hunian ramah bagi nenek moyang kita juga bagi lingkungan.
Oya kisah tentang Kunci dan IVAA saya akan menulis di kesempatan berikutnya. Salam dari Dlingo.
NB: Baca juga #Catatan2 Kisah dari Dlingo
Mimpi Harusnya Dimulai dari Banjarharjo
#Catatan2 Kisah dari Dlingo
Sore itu saya dan teman-teman pesanggrah menemui pak RT 03 di Banjarharjo,yang mengepalai 28 KK termasuk BPR. Pak Miran menyambut kami dengan senyum hangat di samping rumah tempat ia dan seorang pekerja lain sedang menganyam sejenis ‘nyiru’ dari bambu. Beberapa tahun terakhir beliau secara serius berbisnis barang kerajinan dari bambu yang dijual ke Jakarta dan Surabaya. “Keuntungannya sedikit, mas.” Ia menyebut angka Rp.20.000, untuk upah menganyam pekerja yang membantunya.
Pak Miran berkisah tentang pekerjaanya yang berganti-ganti sekedar untuk menyambung hidup. “Di sini penduduknya bisa berganti-ganti profesi. Kadang sebagai pengrajin bambu, kadang sebagai tukang kayu sambil memelihara ternak dan berkebun juga. Pekerjaan temporer seperti itu harus mereka jalani supaya dapur bisa terus mengepul. “Banyak juga yang pergi merantau ke luar kampung.” Pak Miran pernah merantau ke Jakarta dan bekerja sebagai penjual pintu.
Bambu dari Luar Banjarharjo
Aktivitas menganyam adalah keseharian warga Banjarharjo, namun sayang bahwa ketersediaan bahan baku bambu dari kampung sendiri belum mencukupi kebutuhan sehingga harus mendatangkannya dari luar kampung. “Kami biasanya beli bambu dari Patuk dan Sleman.” Ternyata selain kesulitan bahan baku bambu, warga sebenarnya juga kesulitan modal usaha. Pemerintah setempat rupanya belum maksimal melihat potensi yang ada.
Beberapa waktu terakhir, BPR sendiri mendatangkan seorang seniman asal Jepang, Zu, untuk memberi pelatihan menganyam kepada 7 pemuda asal Dlingo. Tekni menganyam yang baru dan lebih beragam diharapkan bisa meningkatkan harga jual karena kualitasnya bisa bersaing dengan produk sejenis dari luar daerah. Zu dan kawan-kawan pendamping dari BPR pun sudah memperhitungkan ongkos produksi, tenaga dan harga barang di pasaran secara mendetail. Rupanya BPR akan serius membantu memasarkan produk-produk anyaman dari pemuda setempat.
Sejarah Kampung Kian Terlupakan?
Sita, salah satu pesanggrah asal Jogja pada kesempatan yang sama mengajukan sebuah pertanyaan kepada pak Miran terkait sejarah kampung. Namun dari penjelasan pak Miran, nampaknya ada beberapa informasi tentang kampung yang terputus dari generasi terhadulu dengan generasi sekarang. Entah, tapi dugaan ini mesti dikroscekkan lagi ke tokoh masyarakat yang lain.
Informasi sejarah dan kebudayaan kampung menjadi hal penting yang harusnya mendasari setiap aktivitas kampung. Ia bisa jadi penjuru dan roh ke mana sebenarnya arah pembangunan kampung Banjarharjo ke depannya.sebagai pesanggrah tahun ini, salah satu misi saya adalah mendengar penuturan-penuturan warga kampung tentang kampungnya dan menulis ulang sebagai sebuah catatan baru yang semoga saja bisa menjadi penyemangat bagi generasi muda Banjarharjo untuk mengenali kampungnya lebih dalam lagi. Tali informasi yang sudah merenggang (atau bahkan terputus) harus direkat dan disambung lagi. Remaja dan anak muda Banjarharjo atau Dlingo pada umumnya bisa menjadi partner saya dalam menyusun kembali kisah tersebut. Saya merancang apa yang saya sebut sebagai Kisah dari Dlingo, sebuah catatan sejarah, kebudayaan, seni bahkan kuliner kampung dengan melibatkan partisipasi aktif anak muda di sini untuk ikut mewawancarai dan menulis kisah sejarah kampung, tokoh inspiratif, tradisi, dongeng, mitos dan kuliner yang saya percayai ada dan hidup dalam memori kolektif warga. Dan barangkali kita butuh catatan baru sebagai dokumentasi yang akan berkesinambungan dan itu semua dimulai dari dan bersam anak-anak Dlingo.
“Modal kita di sini adalah kebiasaan gotong royong yang sangat kental.” Jelas pak Miran. Membangun rumah misalnya tidak selalu dikerjakan sendiri oleh empunya rumah. Warga dengan semangat sukarela akan membantu. Jadi jelas bahwa dalam semangat gotongroyong yang masih kental di jiwa, berbagai kegiatan kolaboratif harusnya bisa berjalan. Saya sendiri optimis dengan proyek menulis ‘Kisah dari Dlingo’ ini, sebagaimana optimis yang sama ditunjukkan rekan pesanggrah lainnya. Dalam kesempatan lain, saya sebenarnya sudah membayangkan beberapa kisah dongeng lokal akan menjadi lebih hidup dalam proyek teater Dina, kawan pesanggrah saya dari teater Kalanari. Ah, tentu saja, apa yang sudah dilakukan Rujak, Arkom, Kunci dll bersama dengan masyarakat Dlingo selama ini adalah kenyataan tersendiri dari apa yang saya tuliskan panjang lebar ini. Barangkali saya harus berhenti menulis, sejenak, dan pergi menikmati berbagai dongeng dari mulut para warga. Sementara saya sendiri masih merawat berbagai macam pertanyaan tentang kampung ini. Mimpi memang harus dimulai dari Banjarharjo.
Salam dari Dlingo, kawan…
Baca juga #Catatan1 Kisah dari Dlingo
![]() |
Kenichiro, pesanggrah asal Jepang bersama pak Miran |
Sore itu saya dan teman-teman pesanggrah menemui pak RT 03 di Banjarharjo,yang mengepalai 28 KK termasuk BPR. Pak Miran menyambut kami dengan senyum hangat di samping rumah tempat ia dan seorang pekerja lain sedang menganyam sejenis ‘nyiru’ dari bambu. Beberapa tahun terakhir beliau secara serius berbisnis barang kerajinan dari bambu yang dijual ke Jakarta dan Surabaya. “Keuntungannya sedikit, mas.” Ia menyebut angka Rp.20.000, untuk upah menganyam pekerja yang membantunya.
Pak Miran berkisah tentang pekerjaanya yang berganti-ganti sekedar untuk menyambung hidup. “Di sini penduduknya bisa berganti-ganti profesi. Kadang sebagai pengrajin bambu, kadang sebagai tukang kayu sambil memelihara ternak dan berkebun juga. Pekerjaan temporer seperti itu harus mereka jalani supaya dapur bisa terus mengepul. “Banyak juga yang pergi merantau ke luar kampung.” Pak Miran pernah merantau ke Jakarta dan bekerja sebagai penjual pintu.
Bambu dari Luar Banjarharjo
Aktivitas menganyam adalah keseharian warga Banjarharjo, namun sayang bahwa ketersediaan bahan baku bambu dari kampung sendiri belum mencukupi kebutuhan sehingga harus mendatangkannya dari luar kampung. “Kami biasanya beli bambu dari Patuk dan Sleman.” Ternyata selain kesulitan bahan baku bambu, warga sebenarnya juga kesulitan modal usaha. Pemerintah setempat rupanya belum maksimal melihat potensi yang ada.
Beberapa waktu terakhir, BPR sendiri mendatangkan seorang seniman asal Jepang, Zu, untuk memberi pelatihan menganyam kepada 7 pemuda asal Dlingo. Tekni menganyam yang baru dan lebih beragam diharapkan bisa meningkatkan harga jual karena kualitasnya bisa bersaing dengan produk sejenis dari luar daerah. Zu dan kawan-kawan pendamping dari BPR pun sudah memperhitungkan ongkos produksi, tenaga dan harga barang di pasaran secara mendetail. Rupanya BPR akan serius membantu memasarkan produk-produk anyaman dari pemuda setempat.
Sejarah Kampung Kian Terlupakan?
Sita, salah satu pesanggrah asal Jogja pada kesempatan yang sama mengajukan sebuah pertanyaan kepada pak Miran terkait sejarah kampung. Namun dari penjelasan pak Miran, nampaknya ada beberapa informasi tentang kampung yang terputus dari generasi terhadulu dengan generasi sekarang. Entah, tapi dugaan ini mesti dikroscekkan lagi ke tokoh masyarakat yang lain.
Informasi sejarah dan kebudayaan kampung menjadi hal penting yang harusnya mendasari setiap aktivitas kampung. Ia bisa jadi penjuru dan roh ke mana sebenarnya arah pembangunan kampung Banjarharjo ke depannya.sebagai pesanggrah tahun ini, salah satu misi saya adalah mendengar penuturan-penuturan warga kampung tentang kampungnya dan menulis ulang sebagai sebuah catatan baru yang semoga saja bisa menjadi penyemangat bagi generasi muda Banjarharjo untuk mengenali kampungnya lebih dalam lagi. Tali informasi yang sudah merenggang (atau bahkan terputus) harus direkat dan disambung lagi. Remaja dan anak muda Banjarharjo atau Dlingo pada umumnya bisa menjadi partner saya dalam menyusun kembali kisah tersebut. Saya merancang apa yang saya sebut sebagai Kisah dari Dlingo, sebuah catatan sejarah, kebudayaan, seni bahkan kuliner kampung dengan melibatkan partisipasi aktif anak muda di sini untuk ikut mewawancarai dan menulis kisah sejarah kampung, tokoh inspiratif, tradisi, dongeng, mitos dan kuliner yang saya percayai ada dan hidup dalam memori kolektif warga. Dan barangkali kita butuh catatan baru sebagai dokumentasi yang akan berkesinambungan dan itu semua dimulai dari dan bersam anak-anak Dlingo.
“Modal kita di sini adalah kebiasaan gotong royong yang sangat kental.” Jelas pak Miran. Membangun rumah misalnya tidak selalu dikerjakan sendiri oleh empunya rumah. Warga dengan semangat sukarela akan membantu. Jadi jelas bahwa dalam semangat gotongroyong yang masih kental di jiwa, berbagai kegiatan kolaboratif harusnya bisa berjalan. Saya sendiri optimis dengan proyek menulis ‘Kisah dari Dlingo’ ini, sebagaimana optimis yang sama ditunjukkan rekan pesanggrah lainnya. Dalam kesempatan lain, saya sebenarnya sudah membayangkan beberapa kisah dongeng lokal akan menjadi lebih hidup dalam proyek teater Dina, kawan pesanggrah saya dari teater Kalanari. Ah, tentu saja, apa yang sudah dilakukan Rujak, Arkom, Kunci dll bersama dengan masyarakat Dlingo selama ini adalah kenyataan tersendiri dari apa yang saya tuliskan panjang lebar ini. Barangkali saya harus berhenti menulis, sejenak, dan pergi menikmati berbagai dongeng dari mulut para warga. Sementara saya sendiri masih merawat berbagai macam pertanyaan tentang kampung ini. Mimpi memang harus dimulai dari Banjarharjo.
Salam dari Dlingo, kawan…
Baca juga #Catatan1 Kisah dari Dlingo
Senin, 19 Oktober 2015
Kisah dari Dlingo, Sebuah Awal yang Manis
![]() |
diskusi bersama pak Marco Kusumawijaya |
#Catatan1 Kisah dari Dlingo
Suatu ketika, kawan baik saya di Komunitas Sastra Dusun Flobamora mengirim informasi pembukaan residensi Bumi Pemuda Rahayu (BPR) di akun facebooknya. Saya tiba-tiba ingat bahwa Ishack pernah ikut kegiatan residensi seni ini selama 2 bulan di Yogyakarta. Saya sendiri belum terlalu tahu betul aktivitas apa yang terjadi selama residensi tersebut. Dulu pernah melihat Ishack menulis tentang BPR dan setahu saya novel Dilinov yang sedang menunggu waktu terbit juga diproses di BPR ini. Iseng saya buka link BPR dan membacanya. Ah, menarik juga. Begitu kesan awal saya.
Suatu ketika, kawan baik saya di Komunitas Sastra Dusun Flobamora mengirim informasi pembukaan residensi Bumi Pemuda Rahayu (BPR) di akun facebooknya. Saya tiba-tiba ingat bahwa Ishack pernah ikut kegiatan residensi seni ini selama 2 bulan di Yogyakarta. Saya sendiri belum terlalu tahu betul aktivitas apa yang terjadi selama residensi tersebut. Dulu pernah melihat Ishack menulis tentang BPR dan setahu saya novel Dilinov yang sedang menunggu waktu terbit juga diproses di BPR ini. Iseng saya buka link BPR dan membacanya. Ah, menarik juga. Begitu kesan awal saya.
Setiap tahun Bumi Pemuda Rahayu (dibawah RUJAK, sebuah lembaga kajian lingkungan) menyelenggarakan pesanggrahan bagi 5 seniman atau aktivis dari berbagai daerah selama 2 bulan di desa Muntuk, Dlingo, di wilayah Imogiri. Selama waktu tersebut diharapkan ada proses kolaborasi antar pesanggrah dengan warga sekitar. Bentuknya bisa apa saja. Workshop, pementasan, belajar kelompok, penelitian, dsb. Ada proses transfer ilmu antar pesanggrah dengan warga lokal atau antar pesanggrah sendiri. BPR sendiri bergerak di isu seni dan lingkungan dengan melibatkan komunitas dan institusi yang bergerak di bidang yang sama, misalnya Arsitek Komunitas (Arkom), Indonesia Visual Art Archive (IVAA), Lembaga Kajian Budaya KUNCI, dsb.
***
Tanggal 14 Oktober 2015 siang, saya terbang dari Kupang menuju Jogjakarta. Pak Agung, sopir mobil rental langganan Rujak/BPR menjemput saya di Adisucipto. Ada kejadian lucu. Sebelum pesawat mendarat, pak Agung sudah berdiri di pintu kedatangan dengan selembar kertas HVS bertuliskan nama saya, DICKY SENDA. Di tempat yang sama teryata ada kak Ann Lasi, senior saya di SMAK Syuradikara, bekerja sebagai Psikolog di Kupang. Karena membaca nama saya, beliau langsung menghampiri pak Agung. “Pak, kayaknya saya kenal orang ini deh.” Begitu sapa kak Ann. “Mungkin. Saya juga belum kenal orangnya. Ini hanya ditugasi menjemput.” Tak lama kemudian saya nongol di depan keduanya. Kami tertawa sejenak dan kak Ann menceritakan ulang kejadian itu.
Dari Adisucipto kami langsung menuju stasiun Tugu, jemput salah satu pesanggrah asal Surabaya, Astri. Oya, sebelumnya saya sudah makan sepiring nasi gudeg di bandara (yang harganya muahaaal itu. Hahah namanya juga harga bandara). Saya lapar sekali dari Kupang cuma sarapan.
Setelah menjemput Astri, bertiga dengan pak Agung kami langsung menuju BPR. Ini kali pertama saya pergi ke Dlingo. Dulu waktu kuliah di Jogja, ke Imogiri pun cuma numpang lewat. Kami tiba di Dlingo, sudah jam 7 malam. BPR sepi. Saya disambut kompleks hunian yang hijau dan terbuka. Ada ruang workshop besar di halaman depan, berdinding bata merah dan tak berpintu. Sebuah rumah Jawa bersisian dengan ruang workshop. Persis di belakang rumah Jawa, berdiri megah sebuah pendopo berarsitektur Jawa dengan 15 tiang penyangga. Dan di tengah hunian, berdiri kokoh sebuah rumah bambu dengan atap melengkung yang unik. Disanggah 22 tiang beton setinggi 1,5 meter, bertautlah ratusan bambu yang melengkung membentuk atap unik. Semua di rangkai dengan sedikit paku. Lebih banyak direkat dengan ikatan ijuk. Super. Ada lebih dari 20 pohon melinjo dan mahoni dibiarkan hidup di dalam rumah bambu yang sengaja tidak dibatasi dinding apapun. Empat boneka dari anyaman bambu dengan kain putih menjuntai sengaja digantungkan di batang pohon di dalam rumah bambu. Boneka tersebut adalah hasil workshop kelompok seni Papermoon dari Jogja. Di tengah rumah bambu ada lemari kayu yang memajang beberapa anyaman bambu hasil workshop anak muda Dlingo dengan Zuu seniman asal Jepang. Sementara di ujung belakang, adalah ruang makan terbuka. Dapur bersih pun dibuat terbuka dan langsung menghadap kebun. Asyik benar.
Bergerak lagi ke belakang pesanggrahan BPR, berdiri dua bangunan sebagai tempat menginap para tamu/pesanggrah. Rumah dua lantai dengan tembok bata merah dan banyak sekali jedela, itulah rumah saya selama dua bulan ke depan. Saya diantar ke lantai dua di kamar paling ujung. Sunyiiii. Dari jendela kamar, saya melihat rumah warga, para tetangga BPR yang memang sengaja tidak dibatasi pagar. BPR diciptakan sebagai ruang berkesenian yang terbuka dan ramah lingkungan. Nah, soal ramah lingkungan, aturan main di sini, sampah plastik yang dibawa ke BPR, harus dibawa pulang kembali ke Jogja. Benar saja, saya keliling kompleks BPR dan tidak melihat satu pun sampah plastik bertebaran di kintal BPR. Malam itu, hadir Lintang dari Arkom, komunitas partner yang akan menghubungkan para pesanggrah dengan masyarakat Dlingo. Ada juga pak Anam, seorang petani organik sejati dari Jogja. Dia hadir di BPR dan akan mengelola kebun contoh yang ramah lingkungan. “Saya dulu pernah tinggal di Papua dan bekerja di ILO.” Begitu sambutan awal pak Anam kepada saya. “Selamat datang di BPR,” lanjutnya.
***
Malam pertama saya tidur di BPR. Beberapa teman pesanggrah baru tiba besok siangnya. Kami akan bertemu dengan pak Marco Kusumawijaya, otak dibalik kegiatan pesanggrahan BPR, dalam jamuan makan siang. Besok pagi, hadirlah Sita, seorang sarjana Sastra yang sedang menempuh pendidikan Filsafat di UGM, aktif sebagai penggagas beberapa event seni di Jogja. Ada juga mbak Santi dan anak lelakinya, Kaisan, yang ikut dalam residensi kali ini meski hanya 2 minggu saja. Kaisan, berusia 11 tahun adalah seorang pengamat burung (birder) cilik yang bagi saya luar biasa. Dia hadir ke Dlingo untuk mengamati burung dan mencoba untuk mengajak anak-anak Dlingo seusianya untuk aware pada dunia burung. Lalu ada juga Kenichiro Egami, pesanggrah asal Jepang. Mulai tahun ini, BPR juga membuka kesempatan kepada warga asing yang berminat ikut residesi. Ken adalah orang asing pertama yang terlibat dalam pesanggrahan BPR. Ken adalah seorang fotografer dan aktivis yang bergiat di isu sosial dan politik, berasal dari Fakuoka dan seorang master di bidang sosiologi dan antropologi dari sebuah universitas di Inggris. Terakhir bergabung, Dina, lulusan seni tari Institus Seni Indonesia Jogjakarta. Sehari-hari bergiat di kelompok teater Kalanari.
Ada juga mas Lilik dari Arkom yang biasanya membantu menghubungkan pesanggrah dengan warga lokal. Di hari pertama pesanggrahan, beliau mengajak kami keliling kampung dan malamnya memperkenalkan kami di sebuah acara pengajia rutin dwi mingguan di salah satu rumah warga. Pengajian biasanya diawali dengan rapat warga membahas apa saja yang terjadi dan akan terjadi di kampung.
Di BPR, seperti yang saya sebutkan di atas, adalah ruang publik yang terbuka bagi warga untuk belajar dan beraktivitas bersama. Sebelum kegiatan pesanggrahan ini, Zuu seniman asal Jepang sudah tinggal selama minggu untuk mengajarkan cara menganyam bambu dengan teknik berbeda dari yang biasanya dilakukan warga Dlingo. Beberapa bulan sebelumnya, kelompok teater Kanalari juga pernah hadir dan memberikan workshop teater bersama anak-anak Dlingo. Atau juga kegiatan yang pernah dilakukan kelompok Papermoon. Warga sendiri bisa mengakses rumah bambu di BPR misalnya untuk rapat, acara pengajian, atau ketika ingin duduk menganyam tikar atau penampi beras dari bambu. Sebuah konsep pemberdayaan kampung yang bagi saya baik sekali. Bagi saya BPR bisa hadir dan menyatu dengan warga sekitar untuk sama-sama mewujudkan kampung yang sejahtera lewat jalur seni dan lingkungan.
Ini kisah awal saya di Dlingo, masih akan ada banyak sekali Kisah dari Dlingo yang manis, yang akan saya tulis di blog saya ini. Terima kasih sudah membaca. Salam dari Dlingo…
19 Oktober 2015
Christian Senda
Langganan:
Postingan (Atom)