Senin, 19 Oktober 2015

Kisah dari Dlingo, Sebuah Awal yang Manis

diskusi bersama pak Marco Kusumawijaya
#Catatan1 Kisah dari Dlingo

Suatu ketika, kawan baik saya di Komunitas Sastra Dusun Flobamora mengirim informasi pembukaan residensi Bumi Pemuda Rahayu  (BPR) di akun facebooknya. Saya tiba-tiba ingat bahwa Ishack pernah ikut kegiatan residensi seni ini selama 2 bulan di Yogyakarta. Saya sendiri belum terlalu tahu betul aktivitas apa yang terjadi selama residensi tersebut. Dulu pernah melihat Ishack menulis tentang BPR dan setahu saya novel Dilinov yang sedang menunggu waktu terbit juga diproses di BPR ini. Iseng saya buka link BPR dan membacanya. Ah, menarik juga. Begitu kesan awal saya.
Setiap tahun Bumi Pemuda Rahayu (dibawah RUJAK, sebuah lembaga kajian lingkungan) menyelenggarakan pesanggrahan bagi 5 seniman atau aktivis dari berbagai daerah selama 2 bulan di desa Muntuk, Dlingo, di wilayah Imogiri. Selama waktu tersebut diharapkan ada proses kolaborasi antar pesanggrah dengan warga sekitar. Bentuknya bisa apa saja. Workshop, pementasan, belajar kelompok, penelitian, dsb. Ada proses transfer ilmu antar pesanggrah dengan warga lokal atau antar pesanggrah sendiri. BPR sendiri bergerak di isu seni dan lingkungan dengan melibatkan komunitas dan institusi yang bergerak di bidang yang sama, misalnya Arsitek Komunitas (Arkom), Indonesia Visual Art Archive (IVAA), Lembaga Kajian Budaya KUNCI, dsb.

***
Tanggal 14 Oktober 2015 siang, saya terbang dari Kupang menuju Jogjakarta. Pak Agung, sopir mobil rental langganan Rujak/BPR menjemput saya di Adisucipto. Ada kejadian lucu. Sebelum pesawat mendarat, pak Agung sudah berdiri di pintu kedatangan dengan selembar kertas HVS bertuliskan nama saya, DICKY SENDA. Di tempat yang sama teryata ada kak Ann Lasi, senior saya di SMAK Syuradikara, bekerja sebagai Psikolog di Kupang. Karena membaca nama saya, beliau langsung menghampiri pak Agung. “Pak, kayaknya saya kenal orang ini deh.” Begitu sapa kak Ann. “Mungkin. Saya juga belum kenal orangnya. Ini hanya ditugasi menjemput.” Tak lama kemudian saya nongol di depan keduanya. Kami tertawa sejenak dan kak Ann menceritakan ulang kejadian itu.
Dari Adisucipto kami langsung menuju stasiun Tugu, jemput salah satu pesanggrah asal Surabaya, Astri. Oya, sebelumnya saya sudah makan sepiring nasi gudeg di bandara (yang harganya muahaaal itu. Hahah namanya juga harga bandara). Saya lapar sekali dari Kupang cuma sarapan.
Setelah menjemput Astri, bertiga dengan pak Agung kami langsung menuju BPR. Ini kali pertama saya pergi ke Dlingo. Dulu waktu kuliah di Jogja, ke Imogiri pun cuma numpang lewat. Kami tiba di Dlingo, sudah jam 7 malam. BPR sepi. Saya disambut kompleks hunian yang hijau dan terbuka. Ada ruang workshop besar di halaman depan, berdinding bata merah dan tak berpintu. Sebuah rumah Jawa bersisian dengan ruang workshop. Persis di belakang rumah Jawa, berdiri megah sebuah pendopo berarsitektur Jawa dengan 15 tiang penyangga. Dan di tengah hunian, berdiri kokoh sebuah rumah bambu dengan atap melengkung yang unik. Disanggah 22 tiang beton setinggi 1,5 meter, bertautlah ratusan bambu yang melengkung membentuk atap unik. Semua di rangkai dengan sedikit paku. Lebih banyak direkat dengan ikatan ijuk. Super. Ada lebih dari 20 pohon melinjo dan mahoni dibiarkan hidup di dalam rumah bambu yang sengaja tidak dibatasi dinding apapun. Empat boneka dari anyaman bambu dengan kain putih menjuntai sengaja digantungkan di batang pohon di dalam rumah bambu. Boneka tersebut adalah hasil workshop kelompok seni Papermoon dari Jogja. Di tengah rumah bambu ada lemari kayu yang memajang beberapa anyaman bambu hasil workshop anak muda Dlingo dengan Zuu seniman asal Jepang.  Sementara di ujung belakang, adalah ruang makan terbuka. Dapur bersih pun dibuat terbuka dan langsung menghadap kebun. Asyik benar.
Bergerak lagi ke belakang pesanggrahan BPR,  berdiri dua bangunan sebagai tempat menginap para tamu/pesanggrah. Rumah dua lantai dengan tembok bata merah dan banyak sekali jedela, itulah rumah saya selama dua bulan ke depan. Saya diantar ke lantai dua di kamar paling ujung. Sunyiiii. Dari jendela kamar, saya melihat rumah warga, para tetangga BPR yang memang sengaja tidak dibatasi pagar. BPR diciptakan sebagai ruang berkesenian yang terbuka dan ramah lingkungan. Nah, soal ramah lingkungan, aturan main di sini, sampah plastik yang dibawa ke BPR, harus dibawa pulang kembali ke Jogja. Benar saja, saya keliling kompleks BPR dan tidak melihat satu pun sampah plastik bertebaran di kintal BPR. Malam itu, hadir Lintang dari Arkom, komunitas partner yang akan menghubungkan para pesanggrah dengan masyarakat Dlingo. Ada juga pak Anam, seorang petani organik sejati dari Jogja. Dia hadir di BPR dan akan mengelola kebun contoh yang ramah lingkungan. “Saya dulu pernah tinggal di Papua dan bekerja di ILO.” Begitu sambutan awal pak Anam kepada saya. “Selamat datang di BPR,” lanjutnya.

***
Malam pertama saya tidur di BPR. Beberapa teman pesanggrah baru tiba besok siangnya. Kami akan bertemu dengan pak Marco Kusumawijaya, otak dibalik kegiatan pesanggrahan BPR, dalam jamuan makan siang. Besok pagi, hadirlah Sita, seorang sarjana Sastra yang sedang menempuh pendidikan Filsafat di UGM, aktif sebagai penggagas beberapa event seni di Jogja. Ada juga mbak Santi dan anak lelakinya, Kaisan, yang ikut dalam residensi kali ini meski hanya 2 minggu saja. Kaisan, berusia 11 tahun adalah seorang pengamat burung (birder) cilik yang bagi saya luar biasa. Dia hadir ke Dlingo untuk mengamati burung dan mencoba untuk mengajak anak-anak Dlingo seusianya untuk aware pada dunia burung. Lalu ada juga Kenichiro Egami, pesanggrah asal Jepang. Mulai tahun ini, BPR juga membuka kesempatan kepada warga asing yang berminat ikut residesi. Ken adalah orang asing pertama yang terlibat dalam pesanggrahan BPR. Ken adalah seorang fotografer dan aktivis yang bergiat di isu sosial dan politik, berasal dari Fakuoka dan seorang master di bidang sosiologi dan antropologi dari sebuah universitas di Inggris. Terakhir bergabung, Dina, lulusan seni tari Institus Seni Indonesia Jogjakarta. Sehari-hari bergiat di kelompok teater Kalanari.
Ada juga mas Lilik dari Arkom yang biasanya membantu menghubungkan pesanggrah dengan warga lokal. Di hari pertama pesanggrahan, beliau mengajak kami keliling kampung dan malamnya memperkenalkan kami di sebuah acara pengajia rutin dwi mingguan di salah satu rumah warga. Pengajian biasanya diawali dengan rapat warga membahas apa saja yang terjadi dan akan terjadi di kampung.
Di BPR, seperti yang saya sebutkan di atas, adalah ruang publik yang terbuka bagi warga untuk belajar dan beraktivitas bersama. Sebelum kegiatan pesanggrahan ini, Zuu seniman asal Jepang sudah tinggal selama minggu untuk mengajarkan cara menganyam bambu dengan teknik berbeda dari yang biasanya dilakukan warga Dlingo. Beberapa bulan sebelumnya, kelompok teater Kanalari juga pernah hadir dan memberikan workshop teater bersama anak-anak Dlingo. Atau juga kegiatan yang pernah dilakukan kelompok Papermoon. Warga sendiri bisa mengakses rumah bambu di BPR misalnya untuk rapat, acara pengajian, atau ketika ingin duduk menganyam tikar atau penampi beras dari bambu. Sebuah konsep pemberdayaan kampung yang bagi saya baik sekali. Bagi saya BPR bisa hadir dan menyatu dengan warga sekitar untuk sama-sama mewujudkan kampung yang sejahtera lewat jalur seni dan lingkungan.

Ini kisah awal saya di Dlingo, masih akan ada banyak sekali Kisah dari Dlingo yang manis, yang akan saya tulis di blog saya ini. Terima kasih sudah membaca. Salam dari Dlingo…


19 Oktober 2015
Christian Senda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...