Rabu, 28 Oktober 2015

Di Tempat Diponegoro Bertemu Ratu Adil, Orang-Orang Datang Memaknai Perdamaian

#Catatan4 Kisah dari Dlingo

Malam itu seperti satu malam yang luar biasa, paling tidak dari pengalaman pertama itu saya menemukan beberapa hal menarik. Kadang, kita terlalu gampang percaya pada kata orang tanpa melihat atau merasakan sendiri kenyataanya. Ini tentang relasi antar manusia, tentang orang-orang yang rindu pada perubahan dan pada sisi yang sama mencoba untuk memulai kerinduan itu dari satu titik sejarah lampau seorang tokoh besar. Malam itu, mas Anam seorang ahli pertanian yang hadir di Bumi Pemuda Rahayu untuk membantu beberapa project pertanian, mengajak saya hadir ke sebuah acara penting (yang saya lupa namanya apa), tapi masih saya ingat betul kejadiannya.
"Ada acara penting di jkampung sebelah jelang 10 Suro, mau ikut?" Saya mengiyakan saja tanpa terlalu bertanya itu acara apa dan nanti bagaimana, dan seterusnya. Ketika pertama kali hadir di BPR ini untuk sebuah program residensi seni dan lingkungan yang diadakan Rujak, Kunci dan Arkom, saya berkali-kali meyakinkan diri saya untuk 'harus terlibat secara utuh dengan semua kegiatan masyarakat di sini.' Toh membangun komunikasi penting mengingat project seni saya adalah menulis sejarah, mitos, kuliner dan berbagai informasi baik dari kampung ini. Disamping rencana saya untuk mengajak beberapa anak muda untuk terlibat dalam proses menulis tentang kampung halaman mereka.
Kami akhirnya melaju melewati pinggir hutan pinus Becici, lewat kampung Terong. Di pinggir hutan pinus berikutnya segerombolan orang sedang menunggu di jalan. Mas Anam langsung mengenali beberapa diantaranya sebagai teman dekat yang mengundangnya. Saya diperkenalkan dan kami langsung masuk ke dalam hutan pinus di jam 8 malam. Melewati semak dengan bantuan senter, kami sempat kesasar tapi untungnya tak lama dan akhirnya segera menemukan titik pencarian. Apa sebenarnya yang ingin dilakukan di sini? Saya melihat para lelaki mengenakan ikat kepala batik dengan sarung dan beskap lurik. sementara kelompok yang lain mengenakan baju serba hitam dengan celana panjang tanggung. Ada 3 perempuan dewasa dan 1 anak-anak, sisanya, mayoritas laki-laki. Kira-kira ada 30an orang banyaknya.
"Batunya di sini!" Pekik seseorang dari balik semak, ketika kami masih sibuk mencari-cari jalan masuk. Ah, rasanya seperti sedang mencari sebuah harta karun saja. Foilaaaah, mata saya terpaku pada sebuah tanah datar seukuran setengah lapanga  bola voli, berlantai tanah dan batu coklat hitam seperti granis sisa erupsi. Tiada semak, hanyalah sehamparan kosong berujung jurang dan kota Jogja di bawah sana seperti milyaran kunang-kunang yang berserakan. Selama beberapa hari di Imogiri dan mencoba mampir ke banyak titik hutan pinus di bukti dengan gardu pandang, tempat ini menawarkan pemadangan yang sepertinya spesial. Kota Jogja membentang luas utuh tanpa terhalang bukit atau pohon.
"Di bawah situ, ada batu tempat Pangeran Diponegoro dulu bertemu Ratu Adil!" jelas seorang pria berumur sekitar 40an tahun yang selanjutnya saya ketahui bernama Romo Sinu. Beliau adalah salah satu yang aktif menggeluti sejarah Jawa dan menganut aliran Kejawen.
Benar saja, persis di mulut jurang ada sebongkah batu besar berbentuk bulat kira-kira berdiameter 7-10 meter, nangkring dengan kokohnya. Sedangkan di bawah sana, ada perkampungan penduduk. Dari penjelasan Romo Sinu, dulunya batu itu berwarna merah namun sekarang sudah berubah warna jadi hitam. Yah, dari bentuknya yang menyerupai kerikil bercampur tar hitam, sepertinya ini batu hasil erupsi gunung Merapi entah berapa ratus atau ribu tahun silam.
Saya diperkenalkan mas Anam ke beberapa paguyuban Kejawen lainnya sambil menyimak kisah mereka. Ini semacam sebuah ritual budaya, agama dan sejarah yang saling berpadu dengan harmonis. Ya, harmonis. Saya belum punya pengalaman berinteraksi langsung dengan paguyuban kejawen apalagi sama kelompok pesantren. Ada seorang Habib dari Solo dengan kawan-kawannya hadir juga di acara ini. Aha, saya mulai sadar dengan kondisi ini. Ada komunikasi yang intens antara kejawen dan islam arab.
Kabarnya, dulu di Gua Secang yang berjarak 200 meter dari tempat kami berdiri adalah tempat semadi Pangeran Diponegoro. Pada suatu ketika, datanglah seorang asing dengan selimut cahaya putih yang terangnya melebihi terang matahari (silau pasti). Kepada sang Pangeran, orang asing tersebut bilang bahwa ada seorang yang lain ingin bertemu dengannya di atas batu di pinggir jurang. Singkatnya sang Pangeran pergi dan menemui orang tersebut yang disebut-sebut sebagai Ratu Adil atau Imam Mahdi. Kepada Diponegoro, sang Ratu meminta agar ada perlawanan kepada Belanda. Kisah tersebut ditembangkan oleh seorang teman Romo Sinu yang mengaku pernah tinggal 2 tahun di Tuak Daun Merah Kupang (bekerja di PNP). Ia menyanyikan kisah sejarah itu dalam bahasa Jawa kuno. Lalu Romo Sinu menerjemahkan secara garis besar ke dalam bahasa Indonesia.
Setelah menembang dalam bahasa Jawa, acara selanjutnyaa dipimpin oleh sang Habib dengan serangkaian doa panjang berbahasa Arab. Mereka bahkan menangis dan bersuara lirih dalam doa tersebut. Saya ingat diakhir doa, sang Habib secara khusus mendoakan kondisi krisis kemanusiaan di dunia. Ia memohon kepada Tuhan agar menolong semua umat manusia yang menjadi korban peperangan atas dasar agama. Secara spesifik ia menyebut "mereka yang mengaku beragama Islam namun ikut membunuh sesama orang Islam."
Saya berdiri paling belakang, awalnya sudah hampir kalah melawan kantuk namun doa-doa sang Habib, saya malah makin sadar dan memaknai peristiwa yang saya hadiri itu sebagai sesuatu yang spesial. Dua kelompok yang sama-sama beragama Islam namun dengan sedikit perbedaan aliran dan kebudayaan, bisa duduk bersama, mengadakan sebuah ritual sejarah dan agama sembari bertukar informasi apa saja. Ini sebuah pola baru yang menarik menurut saya. Kita tahu ada perbedaan, cara pandang juga cara hidup, tapi kita punya cara sendiri juga untuk bisa hidup berdampingan dan saling hormat. Damai itu indah!
Acara malam itu belum selesai sebenarnya tapi saya dan mas Anam sudah pamit duluan. Mereka biasanya akan mengobrol hingga matahari naik. Ah tentu saja dengan ikut berdoa bersama dan mendengar mereka menerjemahkan sepenggal kisah Diponegoro saja saya sudah senang. Lain waktu semoga bisa bertemu lagi.


#KisahdariDlingo #60HaridiDlingo

Baca juga: #Catatan3 Kisah dari Dlingo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...