Mas Yuli (baju merah) dari Arkom berbagai pengalaman ke pesangrah BPR 2015 (Foto: M Kuwumawijaya) |
Diantar pak Marco Kusumawijaya, saya dan teman-teman pesanggrah BPR 2015 menuju ke markas Arsitek Komunitas (Arkom) di dekat terminal Giwangan. Sudah ada mas Yuli, dkk menunggu kami di sana. Di halaman kantor Arkom, di atas bale-bale yang sejuk kami mengobrol, saling memperkenalkan diri ditemani teh hangat dan tempe mendoan. Ini hari yang spesial sebenarnya. Di awal program pesanggrahan, pak Marco merasa perlu untuk memperkenalkan kami dengan para mitra BPR dengan harapan ada komunikasi lebih lanjut antar pesanggrah dengan mitra BPR tadi. Selain Arkom, ada juga Kunci (cultural studies centre) dan Indonesian Visual Art Archive (IVAA).
Di Arkom saya dihadapkan kepada sebuah pengalaman baru bahwa kerja arsitek tidak semata-mata hanya merancang bangunan. Arkom menunjukkan sebuah kerja humanis, menjadi kawan bagi orang-orang marjinal; korban erupsi gunung berapi, penduduk di slum area dan area haritage. Tiga area tadi tidak lepas dari persoalan pemukiman. "Pada titik tertentu, masalah warga di tiga area tadi adalah melawan pemerintah yang berlaku tidak adil," jelas mas Yuli.
Cerita berjalan dengan singkat namun padat (karena mas Yuli harus segera ke bandara). Arkom sendiri punya pengalaman mendapingi masyarakat lereng gunung Merapi pasca erupsi. Mereka jelas tidak mau direlokasi pemerintah. dan disaat yang sama pemerintah menganggap masyarakat keras kepala sehingga beberapa hak masyarakat kemudian tidak terpenuhi. Arkom hadir mendampingi masyarakat. Bagi Arkom, koneksi antara penduduk dengan alam (tanah dan kebun) di lereng Merapi tidak bisa diputus begitu saja. Menurut mas Lilik dari Arkom, tugas mereka hanya membantu masyarakat untuk siap tinggal di daerah bencana. Bukan saja mental mereka tapi kesiapan infrakstruktur. Rumah dan area pengungsian juga harus disiapkan. Untuk hal ini Arkom melihat sendiri bagaimana masyarakat pada akhirnya begitu siap siaga dan mandiri membangun kembali kampung mereka. "Mereka bahakan membeli tanah jauh dari kampung yang sewaktu-waktu bisa digunakan sebagai lokasi pengungsian sementara jika Merapi erupsi sewaktu-waktu," tambah mas Lilik.
Terkait problem masyarakat di kampung pesisir sungai Jawi yang membelah kota Jogjakarta, hal yang sama sebenarnya terjadi. Pemerintah abai terhadap pemenuhan hak-hak hidup warga pinggiran sungai ini. "Menariknya, di kampung yang kami bantu advokasi, peran ibu-ibu justru sangat menonjol. Mereka tahu apa yang mesti dilakukan secara terorganisir lewat paguyuban masyarakat setempat." Saya bisa membayangkan perjuangan orang tersebut untuk hidup mandiri meski dengan sedikit perhatian pemerintah. Dan saya kira ini menjadi masalah hampir di semua kota di Indonesia. Pada akhirnya Arkom sepakat bahwa relokasi warga pesisir kali ke rumah susun belum tentu adalah sebuah solusi yang terbaik bagi mereka. Tapi dari cerita yang dibagi teman-teman Arkom saya melihat bahwa penguatan kapasitas masyarakat memang penting untuk dilakukan. Mereka bisa dan mampu mengelola lingkungan hidupnya dengan baik dan sehat, tanpa campur tangan pemerintah. Jadi untuk banyak kasus, relokasi warga ke rusun bukan satu-satunya jalan keluar. Toh di sisi lain, pemerintah juga memberikan izin pembangunan hotel dan ruko yang masif dan merusak lingkungan bukan? Barangkali soal paradigma kita melihat lingkungan pinggir kali yang jorok. Tapi jika menilik apa yang pernah dilakukan romo Mangun, misalnya, di pemukiman kali Code, rasanya lingkungan yang sehat bisa kok diciptakan.
Jika pemerintah saja tak mampu membaca masalah dan memberikan solusi yang tepat lalu harapannya mau dibawa ke mana? Beruntung masih ada komunitas seperti Arkom yang mau peduli dan ikut membantu mencarikan solusi. Dan ternyata, problemnya bukan saja dari pemerintah. Dalam kasus masyarakat pengrajin perak di kampung Kotagede, yang dihadapi justru para pemodal. Kotagende menurut Arkom pada akhirnya berubah menjadi kampung yang senjang. Pemodal besar tentu saja menguasai pasar kerajinan perak sekaligus mematikan pengrajin kecil yang bergumul di rumah-rumah. "Kami membantu mereka dengan menciptakan pasar baru." Tegas mas Yuli. Bicara Kotagede tidak saja bicara pemukiman yang sudah tergolong dalam kawasan cagar budaya. Ada monopoli pasar kerajinan perak yang merugikan kelompok masyarakat tertentu. Arkom membantu menciptakan pasar baru, misalnya dengan mengadakan wisata belanja perak langsung ke kampung-kampung. Upaya mendekatkan wisatawan langsung dengan pengrajin menengah ke bawah cukup efektif.
Sampai pada tiga contoh kasus di atas saya kemudian bertanya, apakah semua arsitek punya pemikiran sejauh itu? Benar-benar memikirkan hunian dengan aspek sosial, psikologi, sosiologi, antropolog, wes pokoknya secara menyeluruh? Saya rindu orang-orang dengan pemikiran seperti ini di kampung saya, minimal di Kupang, kota tempat saya tinggal. Arkom mengingatkan kita bahwa arsitek tidak sekedar membangun ruang yang indah di pandang mata, tapi bagaimana ruang tersebut memberikan banyak dampak positif bagi lingkungannya.
Diakhir pertemuan, saya sempat sharing sedikit keresahan tentang kampung halaman saya. Rumah tradisional mulai ditinggalkan. Sedihnya rumah jika belum bertembok dan tidak beratap seng, dikesankan bukan rumah ideal dan akan dianggap miskin. Kita seakan lupa begitu saja bagaimana rumah tradisional dengan kayu, bambu dan alang-alang bertahan ratusan tahun sebagai hunian ramah bagi nenek moyang kita juga bagi lingkungan.
Oya kisah tentang Kunci dan IVAA saya akan menulis di kesempatan berikutnya. Salam dari Dlingo.
NB: Baca juga #Catatan2 Kisah dari Dlingo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...