Kenichiro, pesanggrah asal Jepang bersama pak Miran |
Sore itu saya dan teman-teman pesanggrah menemui pak RT 03 di Banjarharjo,yang mengepalai 28 KK termasuk BPR. Pak Miran menyambut kami dengan senyum hangat di samping rumah tempat ia dan seorang pekerja lain sedang menganyam sejenis ‘nyiru’ dari bambu. Beberapa tahun terakhir beliau secara serius berbisnis barang kerajinan dari bambu yang dijual ke Jakarta dan Surabaya. “Keuntungannya sedikit, mas.” Ia menyebut angka Rp.20.000, untuk upah menganyam pekerja yang membantunya.
Pak Miran berkisah tentang pekerjaanya yang berganti-ganti sekedar untuk menyambung hidup. “Di sini penduduknya bisa berganti-ganti profesi. Kadang sebagai pengrajin bambu, kadang sebagai tukang kayu sambil memelihara ternak dan berkebun juga. Pekerjaan temporer seperti itu harus mereka jalani supaya dapur bisa terus mengepul. “Banyak juga yang pergi merantau ke luar kampung.” Pak Miran pernah merantau ke Jakarta dan bekerja sebagai penjual pintu.
Bambu dari Luar Banjarharjo
Aktivitas menganyam adalah keseharian warga Banjarharjo, namun sayang bahwa ketersediaan bahan baku bambu dari kampung sendiri belum mencukupi kebutuhan sehingga harus mendatangkannya dari luar kampung. “Kami biasanya beli bambu dari Patuk dan Sleman.” Ternyata selain kesulitan bahan baku bambu, warga sebenarnya juga kesulitan modal usaha. Pemerintah setempat rupanya belum maksimal melihat potensi yang ada.
Beberapa waktu terakhir, BPR sendiri mendatangkan seorang seniman asal Jepang, Zu, untuk memberi pelatihan menganyam kepada 7 pemuda asal Dlingo. Tekni menganyam yang baru dan lebih beragam diharapkan bisa meningkatkan harga jual karena kualitasnya bisa bersaing dengan produk sejenis dari luar daerah. Zu dan kawan-kawan pendamping dari BPR pun sudah memperhitungkan ongkos produksi, tenaga dan harga barang di pasaran secara mendetail. Rupanya BPR akan serius membantu memasarkan produk-produk anyaman dari pemuda setempat.
Sejarah Kampung Kian Terlupakan?
Sita, salah satu pesanggrah asal Jogja pada kesempatan yang sama mengajukan sebuah pertanyaan kepada pak Miran terkait sejarah kampung. Namun dari penjelasan pak Miran, nampaknya ada beberapa informasi tentang kampung yang terputus dari generasi terhadulu dengan generasi sekarang. Entah, tapi dugaan ini mesti dikroscekkan lagi ke tokoh masyarakat yang lain.
Informasi sejarah dan kebudayaan kampung menjadi hal penting yang harusnya mendasari setiap aktivitas kampung. Ia bisa jadi penjuru dan roh ke mana sebenarnya arah pembangunan kampung Banjarharjo ke depannya.sebagai pesanggrah tahun ini, salah satu misi saya adalah mendengar penuturan-penuturan warga kampung tentang kampungnya dan menulis ulang sebagai sebuah catatan baru yang semoga saja bisa menjadi penyemangat bagi generasi muda Banjarharjo untuk mengenali kampungnya lebih dalam lagi. Tali informasi yang sudah merenggang (atau bahkan terputus) harus direkat dan disambung lagi. Remaja dan anak muda Banjarharjo atau Dlingo pada umumnya bisa menjadi partner saya dalam menyusun kembali kisah tersebut. Saya merancang apa yang saya sebut sebagai Kisah dari Dlingo, sebuah catatan sejarah, kebudayaan, seni bahkan kuliner kampung dengan melibatkan partisipasi aktif anak muda di sini untuk ikut mewawancarai dan menulis kisah sejarah kampung, tokoh inspiratif, tradisi, dongeng, mitos dan kuliner yang saya percayai ada dan hidup dalam memori kolektif warga. Dan barangkali kita butuh catatan baru sebagai dokumentasi yang akan berkesinambungan dan itu semua dimulai dari dan bersam anak-anak Dlingo.
“Modal kita di sini adalah kebiasaan gotong royong yang sangat kental.” Jelas pak Miran. Membangun rumah misalnya tidak selalu dikerjakan sendiri oleh empunya rumah. Warga dengan semangat sukarela akan membantu. Jadi jelas bahwa dalam semangat gotongroyong yang masih kental di jiwa, berbagai kegiatan kolaboratif harusnya bisa berjalan. Saya sendiri optimis dengan proyek menulis ‘Kisah dari Dlingo’ ini, sebagaimana optimis yang sama ditunjukkan rekan pesanggrah lainnya. Dalam kesempatan lain, saya sebenarnya sudah membayangkan beberapa kisah dongeng lokal akan menjadi lebih hidup dalam proyek teater Dina, kawan pesanggrah saya dari teater Kalanari. Ah, tentu saja, apa yang sudah dilakukan Rujak, Arkom, Kunci dll bersama dengan masyarakat Dlingo selama ini adalah kenyataan tersendiri dari apa yang saya tuliskan panjang lebar ini. Barangkali saya harus berhenti menulis, sejenak, dan pergi menikmati berbagai dongeng dari mulut para warga. Sementara saya sendiri masih merawat berbagai macam pertanyaan tentang kampung ini. Mimpi memang harus dimulai dari Banjarharjo.
Salam dari Dlingo, kawan…
Baca juga #Catatan1 Kisah dari Dlingo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...