Senin, 07 Desember 2009

Setelah Petrus dan Markus, Apa Akan Ada Lukas dan Matius?

Saya membaca sebuah surat pembaca di Kompas, yang berkeluh kesah soal penggunaan istilah bahasa Indonesia yang sama sekali tidak mencerminkan tata cara berbahasa yang baik, juga berbahasa dengan santun. Ini soal ‘markus’ makelar kasus yang kini lagi tren di kalangan politikus, aktivis, media hingga masyarakat umum. Soal istilah ini jujur saya agak ketinggalan. Tertinggal karena sudah jarang nonton TV, jarang baca koran.

Tapi ikut merasakan bahwa penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar dewasa ini, saya maskin sangsi jika melihat keadaan yang ada. Saya juga belum sempurna berbahasa Indonesia, namun melihat para selebirits, politikus, reporter, Presenter, dll yang saban 24 jam berkoar-koar di TV, Radio dan Koran, alamak! Semacam krisis identitas stadium lanjut! Bukankah mereka yang seharunya mencontohkan yang baik?

Dulu ketika masih TK diawal tahun 90an, saya ingat sekali ada ‘dongeng’ (yah saya anggap itu dongeng) bahwa ada mobil khusus yang datang tanpa permisi membunuh anda atau menangkap anda dan andapun hilang tanpa jejak. Atau para manusia yang hilang itu karena memang disengaja untuk dihilangkan, dibunuh, meski tanpa alasan jelas, terutama jelas bagi saya. Kata orang-orang dewasa waktu itu, setelah diibunuh kepala mereka digantung di bawah kolong jembatan, kataya agar jembatan kokoh. Apakah jembatan itu identik dengan pembangunan besar-besaran di jaman Orba, yang mungkin identik dengan pembebasan tanah rakyat, perlawanan rakyat, sehingga ada pembunuhan itu sebagai upaya merepresi kebebasan rakyat? Tak tahu. Tapi yang pasti teror semacam itu juga merebak hingga ke kecamatan tempat saya tinggal. Kata orang-orang dewasa waktu itu, di era tahun 80-an peristiwa orang hilang, orang mati tanpa alasan merebak luas. Sebuah teror yang menjadi rahasia umum. Teror bernama ‘Petrus’.
Teror yang tak seindah namanya. Yaaaelah, namanya juga teror, Senda! Sambung teman saya. He he he.

Kini, teror baru bernama ‘Markus’ pun mulai ramai dibicarakan. Teror. Teror macam ini bukan saja menyerang institusi negara yang konon makin kotor, peristiwa ini juga sekaligus bisa menjadi bahan teror buat kelangengan pemerintah sekarang-sejauh mana pemerintah bersikap terhadap adanya ‘Markus’ ini. Dan teror yang dirasakan masyarakat barangkali adalah ‘kami, masyarakat sudah bosan dengan kasus-kasus semacam ini, karena toh yang lebih banyak merugi dan menanggung beban adalah masyarakat biasa. Teror-teror baru berupa berita-berita korupsi di TV yang 24 jam disiarkan adalah tanda bahwa Negeri ini sedang tidak aman. Apa langkah pemerintah untuk melindungi dan membebaskan masyarakatnya dari teror-teror psikologis semacam ini?

Kembali ke surat pembaca Kompas tadi. Bapak itu menyesalkan adanya istilah semacam itu yang bukan saja melanggar kaidah berbahasa Indonesia yang baik, juga melanggar norma sopan santun, bagaimana menghargai orang lain. Si Bapak melihat adanya indikasi yang mengarahkan ke satu target khusus yang terselubung, entah disengaja atau tidak yang pasti ada arah tertentu kepada ‘sesuatu’. Tanyanya, ‘kenapa Petrus, kenapa Markus?’. Adakah nantinya, Matius, Lukas?’.

Si Bapak juga akhirnya mengaitkan antara nama, asal usul nama dan citra diri dibalik sebuah nama. Anda kenal Petrus dan Markus. Mereka adalah bagian dari sejarah kitab suci, bagian dari karya besar ‘iman, perbuatan baik dan suri tauladan. Mereka adalah para martir yang rela mati ‘syahid’ (kata si Bapak) demi sebuah nilai luhur. Mereka yang dihormati oleh sebagian besar kalangan/komunitas khusus.

Pada akhirnya jelas bahwa nama begitu berarti. Pribadi yang bernilai dengan sendirinya menguatkan citra nama itu sendiri menjadi bernilai baik juga. Sesuatu yang pada akhirnya menjad tidak sekedar nama belaka.

Ada benarnya juga ungkapan Bapak itu. Siapapun dia, yang bernama dan telah banyak berbuat baik, apa rela membiarkan namanya atau kita sendiri yang membiarkan nama itu menjadi sebuah makna lain yang kontradiktif? Sebab kita sedang berada di panggung politik, kenegaraan, kebangsaan bukan diatas pangggung lawakan ‘murahan’ Aziz Gagap dan Sule kan? Meski nyatanya kedua pelawak ini dibayar mahal tetapi itu tidak menjamin atau berbanding lurus dengan kesantunan dan kecerdasan melawak kan? Apakah panggung politik kita tak ubahnya panggung lawakan ‘Opera Van Java’?

Mari berpolitik, mari berbangsa, bernegara dengan bijak dan santun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...