sumber: www.twitter.com/salihara |
Singkatnya saya tiba di Salihara 4 jam sebelum sesi saya dimulai. Belum banyak orang di sana. Panitia nampak masih sibuk menyiapkan meja registrasi dan memasang beberapa spanduk. Saya berkeliling dan melihat-lihat semua fasilitas berkesenian yang lengkap dan berusaha dekat dengan atmosfer di sana, berharap semua itu bisa mereduksi kegugupan saya. Sejam sebelum tampil, datanglah Dias Novita Wuri seorang penulis muda yang akan menjadi moderator untuk sesi Menulis Tokoh. Dias mengajak saya ketemu penulis lainnya, Christine Otten asal Belanda dan Karin Amatmoekrim asal Suriname, juga Chris Keulemans dan pasangannya. Lalu terakhir muncul Rebecca Kezia, programmer Bienal Sastra Salihara. Akhirnya ketemu Becca setelah sekian lama berkomunikasi via email dan Whatsapp sejak awal menyiapkan Festival Sastra Santarang di bulan Maret 2015. Kami briefing bersama dipimpin Dias, membahas hal-hal teknis workshop, durasi dan beberapa proses yang perlu dilakukan untuk menciptakan kesan yang tidak terlalu serius. Christine meminta untuk semua peserta tidak memaparkan satu per satu selama sekian menit. "Terlalu membosankan." Kami sepakat untuk mulai saja dengan perkenalan diri, sepotong statement dan selebihnya moderator yang akan memimpin dengan beberapa ajuan pertanyaan sebagai pemantik agar diskusi semakin lancar dan meruncing. Di ruang Serambi Salihara, acara berlangsung hangat dan santai selama kurang dari 3 jam. Kepada peserta saya mulai sharing dengan pengenalan Mollo sebagai kampung halaman saya dengan segala mitos dan dongeng-dongeng, bagaimana orang Mollo mengkarakterkan alam semesta sebagaimana seorang manusia yang membuat relasi mereka kian intens dan setara. Lalu dari sana, saya belajar dan banyak terinspirasi menulis cerita. Sebagaimana orang Mollo menokohkan dan memberi karakter pada pohon madu sebagai Fetonai, perempuan agung, atau kepada Fatunaususu sebagai ibu gunung yang menyui batu-batu kecil di sekitarnya, saya berbagi juga mengenai awal mula tokoh 'Pahtuaf' dari cerpen Hari Terakhir Pahtuaf atau pohon kehidupan di cerpen Kanuku Leon dan Kabut Kota Ini. Karin yang punya ibu berdarah Jawa, dalam novelnya juga menulis tokoh yang adalah kakeknya sebagai generasi Jawa pertama di Suriname. Lalu bagaimana ia bisa menghidupkan karakter dari sosok yang tidak terlalu ia kenal? Ia memanfaatkan banyak sekali memori masa kanak bagaimana kehidupan keluarga, terutama ibunya sendiri, yang pada akhirnya membantu dia menulis. Tak jauh berbeda juga yang dialami Christine. Sebagai jurnalis yang punya pengalaman langsung di lapangan, ketika ia menulis novel tentang pengungsi, maka ia mengandalkan pengalamannya sebagai jurnalis yang pernah berinteraksi langsung dengan para korban.
Lalu ada sedikit perbedaan antara kami, untuk banyak cerpen saya memulai dari imajinasi tentang tokoh dan kisah dalam mitos dan dongeng dari kampung saya, tapi ada juga berdasarkan tokoh dan kejadian nyata. Sementara Christine dan Karin misalnya seluruh novelnya berdasarkan kisah nyata (baca di sini: kisah hidup keluarga besar Amatmoekrim atau Christine yang menulis tentang hubungan cinta seorang pengungsi Tunisia dengan orang Belanda). "Semua tokoh dan kejadian dalam buku saya adalah nyata, saya tinggal menggunakan kekuatan imajinasi saya, menjadi karakter sang tokoh maka ini bisa disebut kisah fiksi."
Tentang imajinasi, kami sepakat bahwa sebagai penulis fiksi, imajinasi sangatlah penting. Kita harus bisa membayangkan bagaimana perasaan tokoh dalam cerita kita. Ketika seorang peserta bertanya, dalam menulis yang lahir duluan itu alur atau tokoh? Christine dan Karin sepakat bahwa alur cerita lahir duluan, tokoh akan menyusul kemudian. Namun saya punya pandangan sendiri, ada beberapa cerpen saya yang tokohnya saya bayangkan duluan. Tokoh dan karakternya sudah terlebih dahulu muncul di kepala saya dan hidup lama hingga akhirnya saya memutuskan untuk oke saya harus tulis tentang si A ini pada situasi dan konflik seperti ini dan perlu untuk menambahkan tokoh lain misalnya. Tokoh Pahtuaf dan sosok yang hidup di pohon beringin (yang biasa mencuri roh orang hidup) sudah lama sekali saya bayangkan bahkan sejak saya kecil. Ini tidak selalu terjadi, tapi bagi saya tidak menutup kemungkinan bahwa tokoh bisa duluan muncul dalam imajinasi seorang penulis.
Ketika workshop berakhir, saya merasa lega bisa berbicara dengan lancar. Christine berbisik, "Kamu berbicara dengan sangat baik. Meski saya tidak mengerti bahasa Indonesia tapi saya menangkap energi positif darimu." Sejak awal dia yang pertama menyarankan saya untuk berbicara dalam bahasa Indonesia lalu diterjemahkan Dias. Pengalaman pertama yang berkesan, bisa berbagi pengalaman di event internasional dengan para penulis asing. Terima kasih Salihara, Dias, Kristin dan Karin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...