Jumat, 06 November 2015

Andre dan Dongeng-Dongeng dari Banjarharjo

Di dukuh Banjarharjo, saya punya kawan baru. Namanya Andre. Sekolah di SDN Tingkil, kelas 6. Sehari-hari ke sekolah bawa motor sendiri (ini biasa di Dlingo, bahkan anak kelas 2 SD sudah hilir mudik dengan motor tiap sore). Supaya tidak ketahuan para guru, ia titipkan motor itu ke rumah warga dekat sekolah. "Ketika pulang sekolah, aku pulang terakhir. Tunggu semua guru dan siswa sudah pulang, sekolah sepi, baru aku pulang bareng Vega hehe," ujarnya sambil ketawa cengengesan. Di rumah ia tinggal bersama ayah ibunya dan kakak lelakinya, Awan, yang sudah menikah dan punya satu anak. Pak Jumar ayah Andre bekerja sebagai penjual pintu di Jakarta, sedangkan ibunya bekerja menganyam irig dan tampah di rumah. Sejak dua minggu terakhir, ia makin rajin main ke tempat residensi kami. Pernah ikut Kaysan, sang birder belia dari Jakarta mengamati burung di beberapa titik di Dlingo (Kay memberi banyak inspirasi kepada saya). Kini Andre ikut latihan teater bareng mbak Dina dari Teater Kalanari. Di awal latihan, mereka diajari yoga termasuk saya dan dua teman residen lainnya, Sita dan Asry. Kenichiro, residen asal Jepang, sedang sibuk berkolaborasi bikin kursi dengan bapak tukang kayu di seberang Bumi Pemuda Rahayu. Kaysan sudah meninggalkan residensi BPR sementara Andre makin menonjol diantara peserta latihan teater. Ia cerdas, pemberani dan aktif bicara, meski tubuhnya kurus dengan bentuk kepala yg tdk proporsional. Suatu ketika saya mengajaknya mengobrol lebih dalam (ia menyukai topik mitos dan dongeng, sama halnya dengan saya). Dalam kepala saya, Andre adalah karakter baru dalam project menulis yang saya lakukan di residensi ini. Bagaimana mitos dan dongeng itu hidup di kepala anak-anak kampung (mereka akan mementaskan dongeng rekaan mereka di kebun BPR), sementara anak-anak muda bisa bertahan di kampung jadi belajar jadi seniman anyaman bambu ketimbang pergi merantau. Ketika bertemu beberapa orang dewasa yang agak gagap menceritakan sejarah kampung, toh saya masih bisa menanyakan resep-resep ayam ingkung, sambal gepeng, gereh hingga lalapan daun uri dan godog dadap. Terima kasih bu Imah dan bu Lilik. Saya lantas menjadi Leon, yang menulis semua kisah itu. Barangkali akan jadi kumpulan cerita yang masih kasar, tapi saya menikmati proses berkesenian di residensi kali ini. Salam hangat. Imogiri belum hujan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...