Dalam banyak
kesempatan yang saya alami ketika sudah menjadi alumni Syuradikara, selalu
terjadi seperti ini: ada perasaan bahwa Syuradikara itu rumah kedua saya. Tak
berlebihan memang. Tidak. Saya tidak ingin berusaha ‘lebay’ atau ‘lebe’, kata
orang Kupang. Rumah kedua, maksud saya adalah bahwa ketika mendengar nama
Syuradikara, ya kayak saya sedang kangen rumah. Kangen apapun suasana dan
kegiatannya bak kangen masakan mama. Kangen sama misa dan kegiatan-kegiatan
kapel itu setara dengan rasa kangen ketika bercengkrama dengan seluruh anggota
keluarga di meja makan.
Teman sesekolah
dan seasrama sudah seperti saudara sendiri. Ortunya teman, sudah seperti om dan
tante kita sendiri. Dan Kepala Sekolah, pater-pater di Komunitas, bapak asrama
dan ibu asrama adalah kakak sekaligus bapak dan mama untuk kita.
Di Syuradikara,
kita memang dikondisikan untuk saling menyatu padu dalam sebuah ikatan keluarga
yang besar. Selalu ada interaksi satu sama lain. Bahkan antara siswa dengan
karyawan di dapur, di bengkel, dan di taman.
Dan segala
nostalgia tentangnya boleh saya alami semalam, bersama beberapa orang teman
seangkatan dan juga Pater yang dulunya Frater yang sedang menjalani tahun
orientasi pastoralnya di Syuradikara, Pater Erno Beghu. Teman-teman angkatan
49, 50 dan 51 tentu mengenal sosok beliau. P. Erno setahun di Syuradikara
ketika saya duduk di kelas 3. Ada banyak kejadian yang kami alami bersama
ketika itu, mesih membekas, dan kini menjadi alasan kami bernostalgia dalam
kopi darat saya sebut, ‘kopdar pencerahan jiwa dan raga!’ di akun Twitter saya,
ha-ha-ha. Lebay gak sih?
Tidak!
Kami memang
mendapat pencerahan pada malam itu. Pater Erno membawa banyak cerita menarik
dari Argentina, tanah tempatnya mengabdi sebagai gembala umat. Tapi ada baiknya
saya memulai kenangan kopdar semalam dengan kisah tentang hubungan
saudara-bersaudara anatara kami seangkatan dengan frater Erno kala itu.
***
Saya lupa waktu
persisnya Frater Erno pertama kali datang ke Syuradikara. Tapi yang selalu saya
ingat tentang beliau adalah bahwa ia begitu dekat dengan anak-anak asrama dan
luar asrama, aktif berolah raga bersama, dan membuka pintu kamarnya kapanpun,
kepada siapapun yang ingin mampir, mengobrol atau ‘disihir’ untuk gemar
membaca. Yah, kalimat terakhir ini patut saya garis bawahi sebab akhirnya
saya pun tersihir. Frater Erno kala itu memang lumayan kutu buku (dan pastinya
hingga kini) dan seolah gayung bersambut bagi sebagian kami yang punya hobi
membaca tapi terakomodir di Syuradikara, sebab koleksi buku bacaan (terutama
fiksi) kurang lengkap bahkan bisa dibilang minim! Baik di perpustakaan sekolah,
perpustakaan komunitas atau di asrama. (Eh, apakah asrama punya perpus? Mungkin
maksud saya adalah koleksi buku-buku bapak/ibu asrama. Beruntung juga kala itu, sebelum frater Erno
hadir, kami sudah punya kepala sekolah sebaik dan se-open minded, BruderSimpli, yang sudah duluan mempersilahkan kami meminjam koleksi majalah Intisari
dan serial Harry Potternya. Ini penting juga!)
Lewat bukulah,
boleh dibilang saya kemudian akrab dan dekat secara personal dengan Frater Erno.
Saya selalu ingat, ada percikan-percikan kalimat-kalimat kritis seperti api,
yang selalu Frater lontarkan kepada kami dalam obrolan kecil di kamar barang
atau di kamar tidurnya di komunitas. Dan begitulah cirinya frater Erno yang
saya kenal kala itu. Selalau ada unsur motivasi dan daya gugah di setiap
obrolan bersamanya.
Puncaknya ketika
beliau meminjamkan kepada saya 2 buku yang menurutnya, “Penting untuk kau baca,
Dicky!” Saya pun penasaran. Buku pertama, Saman, baru saja dipinjam teman
sekelas saya yang diam-diam juga kutu buku, Eka Wangge. (Kelak selalu saya gaet
Eka dalam beberapa proyek menulis bersama di komunitas Blogger, MudaersNTT ataupun
Jurnal Santarang).
Saman, adalah
prosa dari sastrawan angkatan ‘terkini’ pertama yang saya baca (kelak saya
mengenal Dee, Joko Pinurbo, Oka Rusmini, Djenar Maesa Ayu, dll). Buku pertama
Ayu Utami itu pun langsung menarik perhatian saya. Maklum saja kalo lebay
(lagi) karena berada di Kota kecil Ende dengan kondisi minim akses internet dan
buku-buku terbaru kala itu membuat saya
agak tertinggal wawasan sastranya. Tapi sungguh, Frater Erno penyelamatnya.
Saya (dan Eka) tentu berbangga hati, karena sudah membaca Saman ketika SMA. Sehingga
kemudian, Ayu dan karya-karyanya banyak meng-influence cerpen dan puisi saya.
Tahun 1998 hingga
awal 2000an, Saman memang cukup menghentak dunia sastra Indonesia, karena diceritakan
dengan gaya baru, dianggap membawa kesegaran dalam khazanah satra Indonesia.
Samanlah yang
kemudian membuka wawasan saya tengang bagaimana sebuah prosa dengan gaya baru
dikemas. Mengagumi cara Ayu membawa kesegaran baru berbahasa karena penggunaan
banyak kosakata Bahasa Indonesia yang belum terlalu lazim digunakan. Saya
membacanya dua kali! (Samanlah yang diam-diam mempengaruhi gaya menulis cerpen
dan puisi saya. Kala itu saya menulisnya di buku agenda hitam. Kelak berbuah
kumpulan puisi saya Cerah Hati dan akan terbit kumpulan cerpen, Kanuku Leon.)
Selanjutnya
setelah Saman, Frater meminjamkan kepada saya buku ‘Rome Sweet Home’ buku yang baru saja ia fotocopy dari Nusa Indah,
katanya. Berkisah tentang kehidupan sepasang pasutri dan cara pandang mereka
terhadap agama Katolik. Mengenal dan mencintai agama Katolik dengan cara yang
luar biasa, aneh… he-he-he. Penasaran sama bukunya silahkan baca.
Dari buku-buku
tersebut, Frater menyelipkan beberapa argument kritisnya tentang banyak hal di
sela obrolan kami. Percikan-percikan api –logis-abstrak yang memang harus di
beri untuk kognitif dan afeksi remaja-remaja sepeti kami.
Kala itu, Frater
tahu betul cara pendekatan ke siswa-siswi, kepada yang suka baca, kepada yang
suka olahraga, kepada yang suka berkesenian, atau berdialog. Itu menariknya
punya pendamping di asrama yang gaul, yang bisa menjadi kawan sekaligus kakak.
Saudara sekaligus bapak.
Tidak berlebihan.
Saya rasa teman-teman seangkatan saya akan setuju dengan pernyataan saya
diatas. Tapi, please Pater, kalau
membaca tulisan ini, jangan terlalu melayang yah. Ha-ha-ha…
***
Rasanya memang
singkat, cuma setahun bersama. Tapi yang singkat itu justru berkesan hingga
kini. Terbukti menjadi alasan bagi kami untuk kopdar dadakan di resto Nelayan,
karena Pater Erno hanya punya waktu singkat di Kupang, dan selanjutnya harus
kembali ke Argentina. Tiga bulan sudah ia liburan ke kampung halaman, dan
sempat jua mengajak teman-teman alumni Syuradikara di Ende untuk berwisata ke
Riung, menginap gratis di guest house
Florida milik keluarga Pater di Riung.
Tentang berwisata
ke Riung, saya jadi ingat waktu itu, kalau tidak salah saat liburan Lebaran,
sekitar 3 hari lamanya kami melakukan ‘live
in’ di Riung. Semua karena ide kreatif Frater Erno. Seluruh kelas 3 Asyur
dan Trikara berlibur ke Riung, menginap di rumah-rumah penduduk setempat,
melakukan doa dan ketekese kecil bersama KUB setempat, menyanyi di misa hari
Minggu lalu yang tak boleh dilewatkan, mengunjungi taman laut 17 pulau yang
eksotis itu. Saya menyesal kala itu karena tak bisa berenang/ bersnorkelling
ria, tapi saya jauh lebih senang karena bisa menikmati indahnya Riung dengan full alat indera. Cieeeh.
Kelak ketika kami
tamat dan berpisah, selalu ada komunikasi yang terjalin.
Bagi saya pribadi,
ketika Frater melanjutkan tahun kedua TOP di salah satu paroki di Masohi Ambon,
kami masih ber-SMS-an, dan Frater masih sempat mengenalkan saya dengan seorang
gadis Ambon, namanya Dewi. Sempat akrab namun kini sudah kehilangan kontak.
Di Ambarukmo Plaza, Februari 2009 |
Kedua, setelah
ditahbiskan menjadi imam SVD dan sebelum berangkat bertugas di Argentina, Pater
sempat mengunjungi kami di Jogja. Saya ingat betul siang hari sehabis kuliah,
kami bertiga, Lan Hokor, Pater Erno dan saya bertemu di Ambarukmo Plaza.
Mengobrol panjang lebar, foto-foto, makan-makan dan berpisah. Di Argentina,
sesekali masih chatting via Facebook.
Tapi makin jarang. Saya pikir Pater sudah lupa kami, atau kami sendiri pun
sudah asyik dengan segala rutinitas pribadi dan akan melupakan semua hal
tentang kisah-kisah yang tak biasa di Syuradikara.
Padahal tidak.
Nyatanya, sendiri saya rasakan ketika kopdar semalam. Begitulah rasanya
semangat kasih antar saudara bersaudara menyala di hati kami. Karena disemai
dan bertumbuh dengan sebuah ketulusan, semua berproses apa adanya, jujur.
Berwarna, menyegarkan jiwa, sukaria tanpa batas.
***
Pukul 10.30, teman
baik saya, saudara saya, Oa Lamawuran menelpon. Karena kondisinya saya sedang
mengawas di dalam ruang ujian, hape yang sedang ter-silent sengaja saya biarkan. Ketika ujian berakhir, saya mengirim
SMS ke Oa dan langsung dijawab, “Tadi Pater Erno minta lu pung nomor.” Oh,
artinya Pater sudah di Kupang. Beliau sudah pernah berjanji di Facebook jika
akan mampir di Kupang sebelum kembali ke Argentina.
Sorenya, jam 3 ada
sebuah SMS masuk, nomor baru, “Hola Dicky, mat sore. Lagi sibuk ko? Kebetulan
beta di Kupang sampe besok pagi makanya beta coba ganggu sa.”
Ahh, pasti ini
dari Pater. Belum sempat dibalas, tahu-tahu Lan Hokor menelpon dan mengabarkan
bahwa jam 6 nanti kita akan diajak Pater Erno makan malam bersama. Nanti
dijemput.
Tak lupa saya
dan Lan mengirim SMS ke teman-teman
seangkatan yang berada di Kupang, Gerald Fori, Verna Papo, Vica Melok, dll.
Sayangnya tidak semua bisa hadir, hanyalah saya, Vica, Verna, Lan, sepunynya
Lan, ka’e Isidorus Lilijawa (anggota DPR Kota Kupang, teman seangakatan Pater
ketika di seminari), dan Beverly Rambu (adik kelas, setahun dibawah saya,
wartawan Victory News).
Sungguh obrolan
yang seru terjadi malam itu di lopo kami di pojok Resto Nelayan. Pater banyak sharing tentang
pengalamannya di 4 tempat tugas berbeda di Argentina yang menurutnya punya
masyarakat heterogen-masyarakat lintas benua. Tentang tradisi dan kehidupan
spiritual orang Argentina. “Yang menarik dari kehidupan menggereja di sana,
spiritualitas dan kerohanian mereka itu bergerak keluar, tidak kedalam.
Artinya, di gereja sekarang yang bereka lakukan adalah upaya-upaya solidaritas,
dsb.” Juga tentang kebudayaan orang sana.
“Secara berbahasa
dan berperilaku, mereka itu ekspresif dan dinamis juga ‘to the point’. Kalo
sudah merasa dekat, mereka bisa memeluk sehangat, seerat dan sedalam mungkin!”
“Argentina punya
tata kota dan sistem transportasi yang baik, tetapi soal berdemokrasi mungkin
kita masih sedikit lebih baik. Pasalnya, mudah kita menemukan kasus, Suami
pejabat ini, wakilnya dari kerabat sendiri, sekretarisnya, kepala ini, kepala
itu semua dari lingkaran keluarga.” Mungkin mereka melakukan itu secara
terbuka, dan di Indonesia sih sudah mulai mengarah ke sana juga kan? Mungkin
juga karena masih abu-abu. Samar.
Tapi obrolan
semalam lebih banyak juga bertema nostalgia masa-masa SMA. Dan kehadiran Vica
Melok membawa kelucuan tersendiri. Yah, Vica dengan gaya bicara asal kadang
polos kadang to the point selalu
bikin kami ketawa ngakak. Dan sharing Pater Erno juga ka’e Isidorus tentang
gaya berpakaian (sesuai tren kala itu) dan fall in love ala anak seminari juga
mengocok perut kami. Begitulah sejarah terjadi, tren berputar. Bukankah benar
kata para ahli bahwa tren berulang setiap satu dekade? Soal model celana anak
asrama/seminari (dan yang terjadi di luar secara umum), dari botol ke komprang
dan ke botol lagi (sekarang) dan pasti akan komprang lagi 10 tahun kedepan.
Tetapi tentang menambal celana kain drill dengan potongan kain tenun berbentuk
segitiga atau tren sandal ‘topsi’ di kalangan anak seminari, wow… (LOL).
Tanpa terasa kami
mengobrol hingga lewat dari pukul 12 malam. Semua tamu Nelayan sudah bubar.
Kamilah rombongan terakhir yang pulang. Dan bahkan masih sempat menghabiskan 20
menit di parkiran untuk foto-foto dan mengulangi lagi joke-joke segar.
Hingga akhirnya
benar-benar bubar, rasanya enggan, karena harusnya kopdar ini bisa lebih lama.
Ada banyak topik yang belum sempat terbahas. Ada banyak hal yang sebenarnya
ingin saya share dan diskusikan
secara pribadi dengan Pater Erno sayang sekali waktunya tak cukup. Mungkin di
lain waktu. Jika semua masih dimungkinkan untuk bersua.
Ketika pulang,
saya memberikan buku 5900 Langkah: Antologi Cerita Alumni Syuradikara untuk
Pater Erno juga. Saya ingin beliau membaca banyak kisah yang ditulis tentang
indahnya bersaudara di dalam rumah kedua kita, Syuradikara.
Terima kasih Pater
untuk pencerahannya semalam. Sudah berbagi pengalaman dan ketawa-ketawa
bersama. Beta selalu bangga dan respek sama Pater. Frater pembimbing dulu yang
sampe sekarang sudah jadi Pater, masih mau peduli dan tulus menganggap kami
saudaranya, sahabat baiknya…
Terima kasih
Syuradikara, yang pernah membiarkan semua peristiwa hebat itu terjadi…
Christian
Dicky Senda. Blogger, founder
MudaersNTT, penikmat film, psikologi, sastra dan kuliner. Konselor remaja di
St. Theresia JHS, kini menetap di Kupang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...