Kamis, 04 Desember 2008

Sifon, Antara Tradisi dan Resiko Penyakit Menular Seksual



(foto Masyarakat Dawan di Pulau Timor)

Sifon merupakan suatu budaya tradisional masyarakat Atoin Meto di beberapa daerah di tengah hingga barat pulau Timor, yakni melakukan kegiatan penyunatan (circumcision) namun yang uniknya adalah pasca sunat si lelaki diharuskan melakukan hubungan seks yang dipercaya mampu menyembuhkan luka pasca penyunatan tersebut. Jadi Sifon adalah hubungan seks pascasunat yang wajib dilakukan seorang pasien ketika luka sunatnya belum sembuh.
Tujuannya untuk membuang panas, agar organ seksual pria kembali berfungsi baik. Bila sifon sudah dilakukan, maka si
pasien tidak boleh lagi berhubungan seks dengan perempuan tersebut seumur hidupnya. Tradisi ini nyaris punah.
Kalaupun ada pasti dilakukan sembunyi-sembunyi. Tradisi itu terselip di daerah Timor Barat terutama di suku Atoni Meto
dan Dawan Timur Tengah Selatan, suku Malaka di Timur Tengah Utara, dan beberapa daerah di Kabupaten Belu. Ritual
sifon ini biasanya dilakukan pada setiap musim panen.

Tradisi yang sama juga dikenal di beberapa daerah di Papua Nugini dan Vanuatu. Yang menjadi masalah disini adalah apakah hal ini tidak beresiko terhadap kesehatan laki-laki juga si wanita sebagai partner seksualnya?
Istilah Sifon sebenarnya pertama kali saya ketahui ketika duduk di bangku SLTP kelas tiga, waktu itu saya dan beberapa teman sedang membicarakan soal tradisi ini. Yang membuat saya tertarik adalah atas pengakuan salah seorang teman yang mengakui telah melakukan prosesi Sifon, dan partner seksnya adalah seorang janda yang katanya setara dengan usia neneknya. Wah, wah waktu itu sih kaget tapi kemudian lupa karena tidak berani Tanya ke orang tua juga. Kini baru menyesal mengapa dulu tidak Tanya ke orang tua.
Ketika Sifon ini saya diskusikan dengan beberapa teman di kampus yang kebetulan bukan orang Timor, mereka awalnya pada kaget juga dengan cerita saya ini. Masa sih? Dan topik ini menjadi pembicaraan menarik sebab berhubungan dengan topik yang lagi hangat-hangatnya juga, HIV/AIDS, PMS, dan sejumlah penyakit akibat perilaku seksual beresiko. Kami membayangkan (sambil beberapa teman wanita ketawa cekikan) bagaimana jadinya alat kelamin si lelaki yang belum sembuh atau kering lukanya secara 100%? Bagaimana juga dengan alat kelamin si wanitanya? Sama-sama berbahaya sebenarnya. Namun dari hati kecil saya ada sedikit optimism bahwa masyarakat yang meski secara tradisional mereka dalam hal pengobatan wah tidak bisa disepelekan. Mungkin saja bahwa ada obat-obatan tradisional yang mengiringi proses Sifon itu.
Sunat (circumcision) itu sendiri sebenarnya sudah menjadi tradisi beberapa kelompok masyarakat yang sebenarnya tidak ada kaitannya dengan tradisi sunat orang Muslim yang memang dominan melakukan hal tersebut. Praktik sunat juga dikenal di beberapa daerah di Filipina, Timur Indonesia dan Melanesia berkaitan dengan alasan spiritual, alasan kesehatan/higienis hingga alasan kebudayaan. Namun praktek sunatan juga tidak dilakukan di beberapa daerah tanpa ada kaitannya dengan ketiga alasan tadi, daerah-daerah itu misalnya Vietnam, Laos, Kamboja, Thailand, Burma dan beberapa kelompok di Melanesia serta Negara-negara yang punya kaitan dengan budaya China.
Di Indonesia sendiri, dengan tiga alasan tadi yang terbesar adalah kelompok agama Islam dan sedikit dari agama Kristen (terutama di daerah Jawa) yang melakukan tradisi sunatan. Biasanya sunatan dilakukan dalam rentang usia 5 hingga 8 tahun. Namun pada kasus sunatan sudah dilakukan malah dibawah usia diatas bahkan ada juga yang melakukan penyunatan diatas usia 8 tahun (baca: remaja atau orang dewasa) seperti tradisi di beberapa kelompok etnik di Timur Indonesia (contohnya sifon), Melanesia dan Vanuatu.
Untuk kasus sunatan dengan kebiasaan tradisional seperti yang dilakukan kelompok minoritas di daerah Timur Indonesia secara keseluruhan sangat beresiko dan berbahaya. Sebenarnya pada Januari tahun 1997 di Timor Barat dilaporkan sudah terjadi kasus kematian akibat melakukan sunatan secara tradisional. Tiga orang pria diberitakan meninggal akibat melakukan sunatan secara tradisional yang justru atas dorongan istri dan pacar korban. Pasalnya sunatan itu sendiri masih menggunakan alat-alat ‘pemotong’ tradisional yang jauh dari higienis, yakni potongan bamboo tipis. Bayangkan! (Ah, bayangkan pisau bedah dokter saja sudah membuat ngeri,apalagi jika pisaunya terbuat dari potongan bambu tipis!). Hal ini diakibatkan karena pendarahan yang hebat pasca ‘pemotongan’ (ayam kali dipotong he-he lantas pertanyaan saya ayam sama ‘burung’ apa bedanya sih? hayooo!). Untuk mengurangi rasa sakit maka digunakan juga air yang sangat-sangat dingin. Sayang ketiga orang tersebut tak tertolong sebelum ditolong oleh paramedis.
Seiring dengan perkebangan kehidupan yang lebih modern, pelan tradisi ini mulai ditinggalkan meski belum seutuhnya karena saya yakin di beberapa daerah di Timor masih menjalankan tradisi ini. Akses pendidikan dan kesehatan yang lebih baik dan menjagkau ke pelosok daerah, dan dengan bantuan agama, mungkin saja menjadi faktor yang menyebabkan tradisi ini mulai tergeser atau hampir ditinggalkan. Memang Sifon juga jelas beresiko terhadap laki-laki maupun perempuan sebagai partner hubungan seksnya. Terlepas dari itu semua ‘tradisi’ ini jelas bagi saya telah memberikan warna tersendiri dalam sejarah peradaban masyarakat Timor dan khususnya suku Dawan yang mendiami hampir sebagian besar daerah di Timor Barat.

1 komentar:

  1. Sifon,
    "membersihkan diri dari berbagai macam penyakit, juga membersihkan diri dari noda dosa dan pengaruh bala setan".
    "perempuan yang bersangkutan diyakini akan mendapatkan berkah dari para leluhur" karena telah bersedia menjadi silih bala dan dosa orang lain".

    kutipan diatas membuat pembaca (saya) memahami lebih runcing bahwasanya kebudayaan NKRI sangat lah majemuk dan plural,yang menimbulkan ambigu dalam persepsi hakikat manusia sebagai mahluk individu dan sosial, secara vertikal maupun horizontal

    Walgito (1997) menjelaskan pengertian persepsi merupakan stimulus yang diindera oleh individu, diorganisasikan, kemudian diinterpretasikan sehingga individu menyadari dan mengerti tentang apa yang diindera. Dengan kata lain persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia. Persepsi merupakan keadaan integrated dari individu terhadap stimulus yang diterimanya. Apa yang ada dalam diri individu, pikiran, perasaan, pengalaman-pengalaman individu, akan ikut aktif berpengaruh dalam proses persepsi.

    dipadu dengan hal tersebut , pembaca (saya) sangat tertarik untuk menceritakan persepsi, konseptualitas, dan impresi dari Ritual/tradisi Sifon kedalam bentuk audio visual (independent).

    saya berharap apabila penulis dan teman2 disini bersedia membantu, baik melalui artikel,foto,dan dlm riset bentuk apapun...

    thanks

    propagandhy@gmail.com

    BalasHapus

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...