Jumat, 29 September 2017

TIDAK SEMUA SUANGGI ITU JAHAT


Dalam beberapa kesempatan diskusi atau saling berkomentar di media sosial dengan beberapa teman yang orang Timor terakit sihir atau suanggi, saya selalu bilang tidak semua suanggi atau penyihir itu jahat. Entahlah, saya sendiri belum menemukan jawaban pasti, tapi ada sedikit keyakinan ketika mendengar cerita dari orang tua tentang kakek buyut yang punya kemampuan itu dan beberapa kali bertemu dengan sesepuh dan tua adat yang punya kekuatan itu. Kakek buyut saya, disebutkan seorang penyihir bermata kucing sekaligus seorang mnane, sejenis tabib/dukun yang paham ilmu sihir, mampu menyihir sekaligus mampu mengobati orang yang kena sihir jahat. Beliau boleh dibilang jenis suanggi yang baik. Dengan kemampuan membaca tanda alam, berkomunikasi dengan alam, mereka dipakai untuk memindahkan hujan. Kedekatan dengan hewan dan alam, khususnya tumbuhan, kakek buyut saya disebut biasa mengolah ramuan dari daun tertentu yang membuat hewan peliharaannya gemuk-gemuk dan cepat sekali beranakpinak. Mereka menjaga hutan dan sarang lebah dengan doa,nyanyian dan puisi. Menciptakan tarian dan syair untuk mengibur alam semesta dan kekuatan yang jauh lebih besar dari diri mereka, dan ketika alam terhibur, keseimbangan terjadi, hujan dan matahari datang sesuai waktunya. Selain penyihir baik, ada juga golongan penyihir jahat. Mereka yang kerap membunuh dengan sangat keji, mencuri dan membuat kekacauan. Saya kira dalam kehidupan sosial sekarang ini, dua golongan ini ada dan kerap saling bersinggungan. 

Ketika gereja masuk ke pedalaman Timor, orang-orang seperti kakek buyut saya dianggap sesat, kafir, dikuasai roh jahat, maka pantaslah bertobat. Rombongan aparat datang dengan daftar hanya 5 agama yang diakui Negara, rumah adat dibakar, terpaksa dibaptis. Yang melawan pastilah ateis dan komunis. Teror terjadi, dan keseimbangan-keselarasan hidup menjadi kacau. Kekuatan diri hilang. Dari sanalah saya kira imej suanggi/penyihir= jahat, komunis, ateis, kafir, pembunuh, dipenuhi roh setan, dst semakin kuat hingga kini. Tahun 1965, drama politik terjadi di ibukota, melibatkan berbagai Negara besar dan siapa sangka efeknya bisa sejauh itu masuk ke pelosok Timor, termasuk menyeret kakek buyut saya yang dalam hidupnya telah melakukan banyak kebaikan. 

Efeknya hingga kini. Sedikit sekali rumah adat yang tetap terpelihara di Mollo. Karena stigma yang kuat, bahwa yang memelihara tradisi, yang punya kekuatan sihir sama dengan setan, kafir, komunis, ateis. Ada juga yang saya tahu punya kemapuan itu, tapi ditutup rapat. Toh kita semua tahu, stigma, kebencian dan pengadilan masa itu memang sengaja dipelihara sekian lama. 

Di buku cerpen terbaru saya, SAI RAI (penerbit Grasindo), saya menulis 18 cerita dari kacamata penyihir/suanggi. Tentang ayah, anak dan babi-babi di kandang, keluarga kakek tua dengan misteri kebun pisangnya, lelaki dengan tanda lahir naga di punggung dan banyak lagi hal manusiawi lainnya yang bisa jadi adalah hal biasa yang juga kita alami sehari-hari. Tersedia di toko buku di wilayah Jabodetabek 5 Oktober 2017, menyusul wilayah Jawa, Bali dan NTT.
Kembali lagi, saya percaya bahwa tidak semua suanggi itu jahaaaat, Cinta!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...