Dalam beberapa kesempatan diskusi atau saling berkomentar di media sosial dengan beberapa teman yang orang Timor terakit sihir atau suanggi, saya selalu bilang tidak semua suanggi atau penyihir itu jahat. Entahlah, saya sendiri belum menemukan jawaban pasti, tapi ada sedikit keyakinan ketika mendengar cerita dari orang tua tentang kakek buyut yang punya kemampuan itu dan beberapa kali bertemu dengan sesepuh dan tua adat yang punya kekuatan itu. Kakek buyut saya, disebutkan seorang penyihir bermata kucing sekaligus seorang mnane, sejenis tabib/dukun yang paham ilmu sihir, mampu menyihir sekaligus mampu mengobati orang yang kena sihir jahat. Beliau boleh dibilang jenis suanggi yang baik. Dengan kemampuan membaca tanda alam, berkomunikasi dengan alam, mereka dipakai untuk memindahkan hujan. Kedekatan dengan hewan dan alam, khususnya tumbuhan, kakek buyut saya disebut biasa mengolah ramuan dari daun tertentu yang membuat hewan peliharaannya gemuk-gemuk dan cepat sekali beranakpinak. Mereka menjaga hutan dan sarang lebah dengan doa,nyanyian dan puisi. Menciptakan tarian dan syair untuk mengibur alam semesta dan kekuatan yang jauh lebih besar dari diri mereka, dan ketika alam terhibur, keseimbangan terjadi, hujan dan matahari datang sesuai waktunya. Selain penyihir baik, ada juga golongan penyihir jahat. Mereka yang kerap membunuh dengan sangat keji, mencuri dan membuat kekacauan. Saya kira dalam kehidupan sosial sekarang ini, dua golongan ini ada dan kerap saling bersinggungan.
Ketika
gereja masuk ke pedalaman Timor, orang-orang seperti kakek buyut saya dianggap
sesat, kafir, dikuasai roh jahat, maka pantaslah bertobat. Rombongan aparat
datang dengan daftar hanya 5 agama yang diakui Negara, rumah adat dibakar,
terpaksa dibaptis. Yang melawan pastilah ateis dan komunis. Teror terjadi, dan
keseimbangan-keselarasan hidup menjadi kacau. Kekuatan diri hilang. Dari sanalah
saya kira imej suanggi/penyihir= jahat, komunis, ateis, kafir, pembunuh, dipenuhi
roh setan, dst semakin kuat hingga kini. Tahun 1965, drama politik terjadi di
ibukota, melibatkan berbagai Negara besar dan siapa sangka efeknya bisa sejauh
itu masuk ke pelosok Timor, termasuk menyeret kakek buyut saya yang dalam
hidupnya telah melakukan banyak kebaikan.
Efeknya
hingga kini. Sedikit sekali rumah adat yang tetap terpelihara di Mollo. Karena stigma
yang kuat, bahwa yang memelihara tradisi, yang punya kekuatan sihir sama dengan
setan, kafir, komunis, ateis. Ada juga yang saya tahu punya kemapuan itu, tapi
ditutup rapat. Toh kita semua tahu, stigma, kebencian dan pengadilan masa itu
memang sengaja dipelihara sekian lama.
Di
buku cerpen terbaru saya, SAI RAI (penerbit Grasindo), saya menulis 18 cerita
dari kacamata penyihir/suanggi. Tentang ayah, anak dan babi-babi di kandang,
keluarga kakek tua dengan misteri kebun pisangnya, lelaki dengan tanda lahir
naga di punggung dan banyak lagi hal manusiawi lainnya yang bisa jadi adalah
hal biasa yang juga kita alami sehari-hari. Tersedia di toko buku di wilayah
Jabodetabek 5 Oktober 2017, menyusul wilayah Jawa, Bali dan NTT.
Kembali
lagi, saya percaya bahwa tidak semua suanggi itu jahaaaat, Cinta!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...