(Artikel ini pernah dimuat di Koran Victory News tanggal 1 Maret 2017. Ditulis oleh Beverly Rambu)
Christianto Dicky
Senda merupakan pendiri Lakoat.Kujawas asal DesaTaiftob, Mollo Utara, Timor
Tengah Selatan (TTS). Meski sempat mengenyam pendidikan untuk menjadi psikolog
dan pernah bekerja sebagai konselor pendidikan, namun pria yang akrab disapa
Dicky ini akhirnya memutuskan untuk pulang kampung, membangun tanah
kelahirannya dan menjadi penulis. Ia tidak tertarik menjadi PNS atau orang
kantoran. Ia sadar mengambil jalur di luar PNS pun tidak semudah membalik
telapak tangan. Kecintaannya pada seni dan kerja kreatif mengantarnya pada
proses panjang menemukan pekerjaan paling tepat yang tidak hanya ia nikmati
secara pribadi tapi juga berguna bagi
masyarakat sekitar. Dicky bukan sosok yang gampang menyerah. Butuh 6 tahun
baginya mencari konsep tepat untuk mimpi bagi desanya. Diskusi dengan para
dosen, tim LSM, dan rekan-rekan relawan ia lewati dan semakin meyakinkannya
bahwa keputusan pulang kampung adalah keputusan yang tepat.
Juni 2016,
Lakoat.Kujawas lahir. Nama Lakoat.Kujawas terinspirasi dari nama buah yang lekat dengan masa kecil anak-anak Mollo:
buah lakoat (loquat) dan kujawas (jambu biji). Lakoat.Kujawas adalah
kewirausahaan sosial, integrasi antara komunitas orang muda dengan ruang kerja
kolaborasi (co-working space) dan ruang produksi oleh-oleh khas Mollo
berkolaborasi dengan petani dan penenun setempat. Bersama beberapa sahabat
dekat seperti Danny Wetangterah, Sipri
Senda, Sandra Frans dan Thomas Benmetan mereka mulai mendata potensi di Mollo.
Beberapa teman komunitas di Kupang dan Soe ikut membantu melakukan survey,
program, desain logo dan stiker untuk kemasan produk lokal. Terkait relawan,
Dicky mengatakan, Lakoat.Kujawas memprioritaskan orang muda TTS dari berbagai
latar belakang, seperti perawat, guru, pegawai kantoran, mahasiswa, fresh
graduate dan pekerja LSM.
“Sejauh ini ada 15 orang muda kreatif dalam tim,”jelas Dicky.
Dicky
mengungkapkan misi utama Lakoat.Kujawas adalah mempersiapkan generasi muda
Mollo untuk tidak sekadar bangga dengan kekayaan alam dan budayanya tapi secara
aktif terlibat dalam usaha mengelola dan memanfaatkan semua potensi untuk
kebaikan dirinya dan sesama. Pendekatan kewirausahaan sosial dana ekonomi
kreatif rasanya paling tepat dengan konteks lokal di Mollo Utara. Miris bila
banyak orang Mollo meninggalkan surganya yang kaya lalu rela jadi buruh di
negri seberang padahal mereka bisa sejahtera dengan memanfaatkan potensi daerah
yang ada.
“Orang
Mollo harus berdaulat atas kekayaan alam dan budayanya,” tegas Dicky.
Narasumber di Asean
Literary Festival untuk sesi ‘Mother Nature Stories’ dan ‘Religion, Ideology
and Radicalism’ ini mengaku beberapa ide kreatif Lakoat.Kujawas muncul dari
pengalaman pribadinya setiap kali pulang kampung saat masih bertugas di Kupang. Paling
tidak di rumahnya ada rak buku dan ratusan koleksi buku bacaan yang tak
tersentuh. Ada kebun kopi sang Ayah yang sebenarnya potensial tapi tak terurus
dengan baik. Di sisi lain, ada banyak sekolah dan asrama di sekitar rumah
orangtua dengan banyak siswa yang jauh dari akses informasi kecuali
perpustakaan sekolah. Belum lagi beberapa rekan dari Jawa selalu rindu untuk
berwisata ke Mollo namun cukup kesulitan dengan akses akomodasi. Kenyataan ini
membuat Dicky bersama relawan berpikir keras mencari jalan keluar terbaik
melalui program pemberdayaan di Mollo.
Di Lakoat.Kujawas,
Dicky dan teman-teman relawan mencoba mengemas produk unggulan dan khas dari
Mollo ke dalam bentuk dan pendekatan promosi yang kekinian, seperti madu hutan,
sambal lu'at, selai nanas, dan kopi Mollo. Lakoat.Kujawas juga berkolaborasi
dengan merk fashion Moris Diak dari Jogja sehingga kain tenun dari para mama di
Mollo bisa diproduksi menjadi totebag, slingbag, tas punggung, dsb.
Semua produk dijual online melalui Instagram @lakoat.kujawas. Lakoat.Kujawas
juga membangun perpustakaan warga di desa Taiftob dan dalam proses membangun
perpustakaan lain di Desa Oelbubuk. Selain membaca dan meminjam buku, ada kelas
menulis kreatif, kelas Bahasa Inggris, pemutaran dan diskusi film, latihan teater
di perpustakaan Lakoat.Kujawas.
“Saudara
dan adik-adik kami bisa dapat akses pengetahuan lewat perpustakaan supaya kelak
mereka siap jadi tuan rumah di negeri sendiri, bukan jadi pentonton atau babu.
Mereka jadi manusia merdeka,” harap Dicky.
Saat ini Lakoat.Kujawas
juga sedang membangun homestay di desa Taiftob dan berkolaborasi dengan warga
desa Fatumnasi yang sudah lebih dulu mengelola homestay bernama Lopo Mutis.
Pendekatan ecotourism dan usaha pariwisata yang dikelola oleh komunitas atau
masyarakat lokal lintas desa di Mollo juga menjadi salah satu proyek sosial
ini. Beberapa paket wisata ke Mollo bahkan sudah mulai dijual di blog dan
Instagram Lakoat.Kujawas.
Dua festival tahunan yang sudah dan sedang diselenggarakan
Lakoat.Kujawas, Elaf Dame (Festival Seni Untuk Perdamaian) dan Mnahat Fe’u
(Festival Panen) juga menarik banyak peminat. Pemutaran film secara regular,
memperkenalkan keanekaragaman sumber pangan lokal dan resep kuliner lewat media
sosial, serta berbagai rencana kegiatan lain dilaksanakan dengan komitment
tinggi oleh Lakuat.Kujawas.
Kemajuan Lakoat.Kujawas bukan tanpa tantangan. Untuk mewujudkan misi ini,
awalnya Dicky
menggunakan tabungan sendiri plus kredit dari koperasi untuk mulai memproduksi
oleh-oleh khas Mollo dan membangun dua unit homestay berbentuk rumah
tradisional Mollo. Sementara untuk membiayai program pemberdayaan anak-anak dan
orang muda, aksi galang dana di media sosial terus digalakan secara regular.
Beberapa LSM seperti Pikul dan British Council Indonesia juga berperan mendukung
berbagai kegiatan Lakoat.Kujawas. Ruang kolaborasi di Lakoat.Kujawas menjadi
salah satu kekuatan bagi Dicky dan teman-teman relawan untuk tetap menumbuhkan
semangat berbagi orang muda dan mewujudkan misi Lakoat.Kujawas.
Dicky menjelaskan,
dampak positif dari Lakoat.Kujawas yang paling kelihatan adalah antusias anak
desa Taiftob untuk bergiat di perpustakaan. Dari pengakuan teman-teman
fasilitator kelas Bahasa Inggris, misalnya, tingkat kepercayaan diri, inisiatif
dan motivasi mereka juga jauh lebih baik dari sebelumnya. Antusiasme juga
datang dari orang-orang muda TTS yang berniat jadi relawan di tempat kami.
Kampanye Lakoat.Kujawas di media sosial seperti Instagram juga cukup menggugah
orang, paling tidak dari banyak komentar yang muncul, banyak pengguna media
sosial lebih mengenal Mollo secara menyeluruh mulai dari kuliner, tempat
wisata, kain tenun, hingga cerita-cerita tentang tokoh inspiratif dari Mollo.
“Cara framing kami tentang Mollo bahkan akan
diteliti oleh teman kami seorang dosen komunikasi. Senang bahwa kami direspon
secara positif,” ujar Dicky dengan senyum khasnya.
Penulis buku Kanuku
Leon serta Hau Kamelin dan Tuan Kamlasi ini punya harapan besar agar orang muda
Mollo, orang muda Timor Tengah Selatan selalu bangga dengan diri mereka. Tidak
perlu malu atau risih karena kondisi rumah kita dari ilalang dan makan jagung
bose karena identitas kita adalah kekayaan kita.
“Beta pernah pakai tas
tenun (alkosu) dan beta diolok orang dari kampung sendiri. Ada yang salah
dengan konsep diri kita. Bagaimana kita bisa berdaulat atas tanah dan kampung
halaman kita kalau kita sendiri pesimis, malu, dan merasa rendah diri dengan
apa yang kita punya?,” ungkapnya penuh makna.
Sejauh ini, Dicky
masih optimis bahwa pelan tapi pasti Lakoat.Kujawas bisa mewujudkan banyak misi
lewat berbagai kegiatan positif bagi anak-anak, orang muda, dan masyarakat
Mollo pada umumnya. Lakoat.Kujawas hanya harus selalu ingat agar tetap
konsisten sehingga kepercayaan masyarakat tetap terawat baik. Menurutnya,
Lakoat.Kujawas masih terus tertantang untuk mengembangkan konsep community based tourism menjadi lebih
baik.
Ia menantang kaum muda yang punya
ide kreatif untuk tak ragu mewujudkan mimpi, berani belajar dan mencari tahu,
membuka diri untuk setiap cara pandang yang beragam, dan memanfaatkan jejaring
sosial yang ada, termasuk media sosial serta konsisten mewujudkan mimpi.
Dicky memang masih
muda, namun ia berani mengambil keputusan tak biasa dan bertanggung jawab atas
segala konsekuensi bahkan dengan tantangan berat sekalipun. Hasilnya, ia tetap
berbangga bukan karena ia merasa diri hebat mendirikan Lakoat.Kujawas namun
merasa menjadi manusia merdeka yang bebas menentukan pilihan dan menggunakan
kesempatan itu untuk ikut serta memerdekakan orang lain di sekitar kampung
halamannya yang selama ini masih terkungkung cara berpikir sempit dan minim
pengetahuan. Dicky mengerahkan semua pengalaman lintas komunitasnya, jaringan
kerja dan persahabatan, media sosial, dan dukungan semangat para relawan untuk
mewujudkan Mollo yang sejahtera. Lakoat.Kujawas tanda kehadiran orang muda
kreatif di Mollo dan menjadi bibit perubaha sosial yang signifikan di Kabupaten
TTS. Siapkan Anda menjadi social entrepreneur berikutnya? (Beverly Rambu)
Baca juga artikel terkait: Membayangkan Lakoat.Kujawas, Membayangkan Generasi Muda TTS Tanpa Kotak-Kotak
Baca juga artikel terkait: Membayangkan Lakoat.Kujawas, Membayangkan Generasi Muda TTS Tanpa Kotak-Kotak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...