Minggu, 09 April 2017

Dicky Senda , Sang Pencerah Desa Taiftob

(Artikel ini pernah dimuat di Koran Victory News tanggal 1 Maret 2017. Ditulis oleh Beverly Rambu)



Christianto Dicky Senda merupakan pendiri Lakoat.Kujawas asal DesaTaiftob, Mollo Utara, Timor Tengah Selatan (TTS). Meski sempat mengenyam pendidikan untuk menjadi psikolog dan pernah bekerja sebagai konselor pendidikan, namun pria yang akrab disapa Dicky ini akhirnya memutuskan untuk pulang kampung, membangun tanah kelahirannya dan menjadi penulis. Ia tidak tertarik menjadi PNS atau orang kantoran. Ia sadar mengambil jalur di luar PNS pun tidak semudah membalik telapak tangan. Kecintaannya pada seni dan kerja kreatif mengantarnya pada proses panjang menemukan pekerjaan paling tepat yang tidak hanya ia nikmati secara pribadi  tapi juga berguna bagi masyarakat sekitar. Dicky bukan sosok yang gampang menyerah. Butuh 6 tahun baginya mencari konsep tepat untuk mimpi bagi desanya. Diskusi dengan para dosen, tim LSM, dan rekan-rekan relawan ia lewati dan semakin meyakinkannya bahwa keputusan pulang kampung adalah keputusan yang tepat.
Juni 2016, Lakoat.Kujawas lahir. Nama Lakoat.Kujawas terinspirasi dari nama buah yang lekat dengan masa kecil anak-anak Mollo: buah lakoat (loquat) dan kujawas (jambu biji). Lakoat.Kujawas adalah kewirausahaan sosial, integrasi antara komunitas orang muda dengan ruang kerja kolaborasi (co-working space) dan ruang produksi oleh-oleh khas Mollo berkolaborasi dengan petani dan penenun setempat. Bersama beberapa sahabat dekat seperti Danny Wetangterah, Sipri Senda, Sandra Frans dan Thomas Benmetan mereka mulai mendata potensi di Mollo. Beberapa teman komunitas di Kupang dan Soe ikut membantu melakukan survey, program, desain logo dan stiker untuk kemasan produk lokal. Terkait relawan, Dicky mengatakan, Lakoat.Kujawas memprioritaskan orang muda TTS dari berbagai latar belakang, seperti perawat, guru, pegawai kantoran, mahasiswa, fresh graduate dan pekerja LSM.
“Sejauh ini ada 15 orang muda kreatif dalam tim,”jelas Dicky.
Dicky mengungkapkan misi utama Lakoat.Kujawas adalah mempersiapkan generasi muda Mollo untuk tidak sekadar bangga dengan kekayaan alam dan budayanya tapi secara aktif terlibat dalam usaha mengelola dan memanfaatkan semua potensi untuk kebaikan dirinya dan sesama. Pendekatan kewirausahaan sosial dana ekonomi kreatif rasanya paling tepat dengan konteks lokal di Mollo Utara. Miris bila banyak orang Mollo meninggalkan surganya yang kaya lalu rela jadi buruh di negri seberang padahal mereka bisa sejahtera dengan memanfaatkan potensi daerah yang ada.
“Orang Mollo harus berdaulat atas kekayaan alam dan budayanya,” tegas Dicky.
Narasumber di Asean Literary Festival untuk sesi ‘Mother Nature Stories’ dan ‘Religion, Ideology and Radicalism’ ini mengaku beberapa ide kreatif Lakoat.Kujawas muncul dari pengalaman pribadinya setiap kali pulang kampung saat masih bertugas di Kupang.  Paling tidak di rumahnya ada rak buku dan ratusan koleksi buku bacaan yang tak tersentuh. Ada kebun kopi sang Ayah yang sebenarnya potensial tapi tak terurus dengan baik. Di sisi lain, ada banyak sekolah dan asrama di sekitar rumah orangtua dengan banyak siswa yang jauh dari akses informasi kecuali perpustakaan sekolah. Belum lagi beberapa rekan dari Jawa selalu rindu untuk berwisata ke Mollo namun cukup kesulitan dengan akses akomodasi. Kenyataan ini membuat Dicky bersama relawan berpikir keras mencari jalan keluar terbaik melalui program pemberdayaan di Mollo.
Di Lakoat.Kujawas, Dicky dan teman-teman relawan mencoba mengemas produk unggulan dan khas dari Mollo ke dalam bentuk dan pendekatan promosi yang kekinian, seperti madu hutan, sambal lu'at, selai nanas, dan kopi Mollo. Lakoat.Kujawas juga berkolaborasi dengan merk fashion Moris Diak dari Jogja sehingga kain tenun dari para mama di Mollo bisa diproduksi menjadi totebag, slingbag, tas punggung, dsb. Semua produk dijual online melalui Instagram @lakoat.kujawas. Lakoat.Kujawas juga membangun perpustakaan warga di desa Taiftob dan dalam proses membangun perpustakaan lain di Desa Oelbubuk. Selain membaca dan meminjam buku, ada kelas menulis kreatif, kelas Bahasa Inggris, pemutaran dan diskusi film, latihan teater di perpustakaan Lakoat.Kujawas.
“Saudara dan adik-adik kami bisa dapat akses pengetahuan lewat perpustakaan supaya kelak mereka siap jadi tuan rumah di negeri sendiri, bukan jadi pentonton atau babu. Mereka jadi manusia merdeka,” harap Dicky.


Saat ini Lakoat.Kujawas juga sedang membangun homestay di desa Taiftob dan berkolaborasi dengan warga desa Fatumnasi yang sudah lebih dulu mengelola homestay bernama Lopo Mutis. Pendekatan ecotourism dan usaha pariwisata yang dikelola oleh komunitas atau masyarakat lokal lintas desa di Mollo juga menjadi salah satu proyek sosial ini. Beberapa paket wisata ke Mollo bahkan sudah mulai dijual di blog dan Instagram Lakoat.Kujawas.
Dua festival tahunan yang sudah dan sedang diselenggarakan Lakoat.Kujawas, Elaf Dame (Festival Seni Untuk Perdamaian) dan Mnahat Fe’u (Festival Panen) juga menarik banyak peminat. Pemutaran film secara regular, memperkenalkan keanekaragaman sumber pangan lokal dan resep kuliner lewat media sosial, serta berbagai rencana kegiatan lain dilaksanakan dengan komitment tinggi oleh Lakuat.Kujawas.
Kemajuan Lakoat.Kujawas bukan tanpa tantangan. Untuk mewujudkan misi ini, awalnya Dicky menggunakan tabungan sendiri plus kredit dari koperasi untuk mulai memproduksi oleh-oleh khas Mollo dan membangun dua unit homestay berbentuk rumah tradisional Mollo. Sementara untuk membiayai program pemberdayaan anak-anak dan orang muda, aksi galang dana di media sosial terus digalakan secara regular. Beberapa LSM seperti Pikul dan British Council Indonesia juga berperan mendukung berbagai kegiatan Lakoat.Kujawas. Ruang kolaborasi di Lakoat.Kujawas menjadi salah satu kekuatan bagi Dicky dan teman-teman relawan untuk tetap menumbuhkan semangat berbagi orang muda dan mewujudkan misi Lakoat.Kujawas.
Dicky menjelaskan, dampak positif dari Lakoat.Kujawas yang paling kelihatan adalah antusias anak desa Taiftob untuk bergiat di perpustakaan. Dari pengakuan teman-teman fasilitator kelas Bahasa Inggris, misalnya, tingkat kepercayaan diri, inisiatif dan motivasi mereka juga jauh lebih baik dari sebelumnya. Antusiasme juga datang dari orang-orang muda TTS yang berniat jadi relawan di tempat kami. Kampanye Lakoat.Kujawas di media sosial seperti Instagram juga cukup menggugah orang, paling tidak dari banyak komentar yang muncul, banyak pengguna media sosial lebih mengenal Mollo secara menyeluruh mulai dari kuliner, tempat wisata, kain tenun, hingga cerita-cerita tentang tokoh inspiratif dari Mollo.
“Cara framing kami tentang Mollo bahkan akan diteliti oleh teman kami seorang dosen komunikasi. Senang bahwa kami direspon secara positif,” ujar Dicky dengan senyum khasnya.
Penulis buku Kanuku Leon serta Hau Kamelin dan Tuan Kamlasi ini punya harapan besar agar orang muda Mollo, orang muda Timor Tengah Selatan selalu bangga dengan diri mereka. Tidak perlu malu atau risih karena kondisi rumah kita dari ilalang dan makan jagung bose karena identitas kita adalah kekayaan kita.
“Beta pernah pakai tas tenun (alkosu) dan beta diolok orang dari kampung sendiri. Ada yang salah dengan konsep diri kita. Bagaimana kita bisa berdaulat atas tanah dan kampung halaman kita kalau kita sendiri pesimis, malu, dan merasa rendah diri dengan apa yang kita punya?,” ungkapnya penuh makna.
Sejauh ini, Dicky masih optimis bahwa pelan tapi pasti Lakoat.Kujawas bisa mewujudkan banyak misi lewat berbagai kegiatan positif bagi anak-anak, orang muda, dan masyarakat Mollo pada umumnya. Lakoat.Kujawas hanya harus selalu ingat agar tetap konsisten sehingga kepercayaan masyarakat tetap terawat baik. Menurutnya, Lakoat.Kujawas masih terus tertantang untuk mengembangkan konsep community based tourism menjadi lebih baik.
Ia menantang kaum muda yang punya ide kreatif untuk tak ragu mewujudkan mimpi, berani belajar dan mencari tahu, membuka diri untuk setiap cara pandang yang beragam, dan memanfaatkan jejaring sosial yang ada, termasuk media sosial serta konsisten mewujudkan mimpi.

Dicky memang masih muda, namun ia berani mengambil keputusan tak biasa dan bertanggung jawab atas segala konsekuensi bahkan dengan tantangan berat sekalipun. Hasilnya, ia tetap berbangga bukan karena ia merasa diri hebat mendirikan Lakoat.Kujawas namun merasa menjadi manusia merdeka yang bebas menentukan pilihan dan menggunakan kesempatan itu untuk ikut serta memerdekakan orang lain di sekitar kampung halamannya yang selama ini masih terkungkung cara berpikir sempit dan minim pengetahuan. Dicky mengerahkan semua pengalaman lintas komunitasnya, jaringan kerja dan persahabatan, media sosial, dan dukungan semangat para relawan untuk mewujudkan Mollo yang sejahtera. Lakoat.Kujawas tanda kehadiran orang muda kreatif di Mollo dan menjadi bibit perubaha sosial yang signifikan di Kabupaten TTS. Siapkan Anda menjadi social entrepreneur berikutnya?  (Beverly Rambu)

Baca juga artikel terkait: Membayangkan Lakoat.Kujawas, Membayangkan Generasi Muda TTS Tanpa Kotak-Kotak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...