Rabu, 14 Juni 2017

Catatan Kecil Untuk Orang Muda NTT yang Sedang Demam Bikin Aksi Sosial


Pernah ada seseorang yang mengontak ke Instagram Lakoat.Kujawas. Kawan itu menyatakan keingin dia dan kawan-kawannya untuk mengunjungi Lakoat.Kujawas dan bertemu dengan anak-anak yang bergiat di Taiftob. Saya salah satu admin di akun tersebut kemudian menjawab, lebih tepatnya bertanya balik, mengapa ingin ke LKJWS, mengapa ingin ketemu anak-anak. Saya positif thinking sebenarnya dan suka kepo dengan niat atau motivasi orang lain ketika hendak ke LKJWS. Sembari saya sampaikan juga beberapa ‘aturan main’ di LKJWS (kalian bisa membaca aturan main lengkapnya di sini). Misalnya, jika memang ingin berkegiatan, sekali lagi berkegiatan, dengan anak-anak maka ada prosedur kecil yang harus teman-teman penuhi. Kok ribet ya? Nah balik lagi ke pertanyaan sebelumnya, motivasinya apa sih? Saya bilang, namanya ingin berkegiatan dengan anak, tentu saja kita harus diskusi dulu agenda kegiatannya apa saja, durasinya berapa lama, siapa saja yang terlibat, konten acaranya bagaimana? Ini juga menyangkut tanggungjawab kami bahwa semua yang bergiat di LKJWS terpenuhi hak-haknya. Ada lebih dari 70 anak dan orang muda yang bergiat di sini. Ini bukan soal anak saja, tapi bagaimana ini sudah jadi komitmen dan tujuan LKJWS berdiri bahwa tempat ini bisa jadi ruang belajar bersama khususnya warga desa Taiftob dan siapapun yang ingin menjadi relawan. Sampai di sini, jelas bahwa kami mungkin saja berbeda dengan komunitas-komunitas lain.

Percayalah bahwa saya menjawab dan menjelaskan dengan sangat simpel dan tentu saja sopan. Saya tahu bahwa bagi sebagian kita, melihat orang lain bicara hal-hal prinsip mungkin akan dicap sok atau berlebihan. Tentu saja saya tidak ingin mematahkan semangat dan keinginan mereka untuk bergiat bersama kami. Singkat cerita, jawaban saya itu tidak pernah direspon lagi hingga kini. Saya menduga barangkali karena motivasi kita berseberangan. Kami serius mengelola LKJWS, sedangkan teman-teman  ini mungkin mengganggap ‘kan kita cuma mau have fun sama anak-anak’. Beberapa waktu kemudian saya mendengar dari seorang kawan dekat, mereka yang pernah mengontak LKJWS agak kurang puas dengan respon kami. Bahkan ada statemen yang cukup mengejutkan. Saya terima dengan senyum merekah.  

Di lain waktu, saya tiba-tiba dikontak seseorang yang saya kenal baik profil dan pekerjaannya meski kami tidak terlalu akrab. Teman ini curhat, betapa ia begitu sedih gundah gulana dengan tren orang muda Kupang yang menurutnya agak menyedihkan. Beliau punya beberapa kali pengalaman yang katanya sempat bikin syok ketika ikut aksi sosial bersama beberapa komunitas orang muda di Kupang. Kami akhirnya sama-sama menduga bahwa tren orang muda bikin aksi sosial ini agaknya sudah kebablasan. Mengapa? Ya karena pada dasarnya bikin gerakan atau aksi tidak punyua nilai dan tujuan yang jelas. Visi misinya apa? Nilai yang mau diperjuangkan apa? Ketika bergekiatan dengan anak, hak-hak anak apa saja yang perlu diperhatikan? Bagaimana ketika berkegiatan dengan teman-teman disabilitas? Tidak heran aksi yang dibuat pada akhirnya hanya sebatas euforia semata, demam bersosmed atau apa ya, eksistensi semu? Dan kejadian mengoper-oper dan memaksa anak disabilitas untuk senyum di depan tongsis mahal kakak-kakak keceh harusnya tidak terjadi. Atau jadi corong kampanye gizi anak pedalaman dari produsen junkfood? Absurd!

Saya rasa sah-sah saja orang kemudian menyambut gairah berplesiran atau traveling, kemajuan teknologi smartphone, sambil berbuat sesuatu yang positif bagi orang lain. Tapi kalau motivasinya tidak kuat, komitmen simpang siur, nilai dan tujuan berbakti sosial itu masih kabur, ya sonde heran sih akhirnya lebih banyak posting hura-hura di sosmed dengan caption ala Mario Teguh habis dapat kebijaksanaan. Bahasa roh, bahasa kalbunya memenuhi Instagram dan Facebook, tapi apa punya dampak positif pihak lain itu? Ujung-ujungnya cuma eksploitasi kesusahan orang lain, demi memuaskan hasrat eksis personal di media sosial. Iya, yang saya lihat sih begitu.

Apa yang salah dengan orang-orang muda ini? Ataukah cara pandang saya yang sebenarnya salah. Mereka mah baik-baik saja seperti itu. Saya pernah mendiskusikan hal ini dengan seorang yang saya anggap tokoh penting, kalau bicara gerakan komunitas orang muda di Kupang 10 tahun terakhir. Beliau juga belakangan sering bikin pelatihan bagi warga aktif di kota Kupang. Yang juga ikut menyumbang pemikiran, ide dan gagasan ketika kami pertama kali mengembangkan konsep kewirausahaan sosial di LKJWS. Kami bicara panjang, saling berbagi argumen meski tanpa konklusi apalagi solusi.

Di LKJWS, yang kami bangun adalah ruang kerjakolaborasi, ruang untuk belajar bersama, berbagi ide dan pengalaman. Ruang di mana, teman-teman seniman bisa menggagas sebuah project seni bersama anak dan orang muda, dosen dan mahasiswa bisa melakukan riset bersama kelompok petani, teman desainer tas bisa berkolaborasi dengan perempuan penenun, dst. Baik warga maupun teman-teman yang secara sukarela datang ke LKJWS bisa saling berbagi, bisa juga saling belajar. Seorang teman datang untuk mengajar bahasa Inggris ke anak-anak desa Taiftob, tapi disaat yang sama teman ini juga banyak menerima pelajaran dari warga: barangkali kekompakan, kesederhanaan hidup atau semangat persaudaraan. Ternyata teman ini belajar bahasa Dawan juga dari anak-anak dan belajar cara bikin sambal lu’at dari mama A. Banyak kemungkinan bisa terjadi jika kita datang dengan tujuan ingin belajar bersama, maju bersama, berkembang bersama. Bukan sebagai sinterklas dengan sekarung hadiah, bak melihat hidup sebagai sebuah drama memilukan di sebuah panti asuhan. Ini soal cara pandang. Melihat warga atau orang lain sebagai pihak yang susah semata, penuh stigma miskin papa, atau melihat melihat orang lain sebagai pihak yang punya kekuatan, punya potensi baik dan segala asset yang bisa didorong untuk berkembang. Aksi di LKJWS memang tidak sempurna, tapi kami juga ingin warga jadi pihak yang aktif membangun dirinya. 

Masihkah kita orang-orang muda hebat ini hanya berkutat di aksi-aski instan, penuh euforia semata sebab sedang demam bersosmed?

P.S: Untuk teman-teman yang ingin bergiat di LKJWS, silakan baca beberapa prasyaratnya di sini. Sederhana saja sih. Intinya komitmen dan keseriusan kalian ditantang. Kalau niatnya hanya foto-foto dengan anak dan pamer ke medsos, ya mending dipikir lagi hehehe. Lakoat.Kujawas bukan panti asuhan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...