Pernah
ada seseorang yang mengontak ke Instagram Lakoat.Kujawas. Kawan itu menyatakan
keingin dia dan kawan-kawannya untuk mengunjungi Lakoat.Kujawas dan bertemu dengan
anak-anak yang bergiat di Taiftob. Saya salah satu admin di akun tersebut
kemudian menjawab, lebih tepatnya bertanya balik, mengapa ingin ke LKJWS,
mengapa ingin ketemu anak-anak. Saya positif
thinking sebenarnya dan suka kepo dengan niat atau motivasi orang lain
ketika hendak ke LKJWS. Sembari saya sampaikan juga beberapa ‘aturan main’ di
LKJWS (kalian bisa membaca aturan main lengkapnya di sini). Misalnya, jika memang ingin berkegiatan,
sekali lagi berkegiatan, dengan anak-anak maka ada prosedur kecil yang harus
teman-teman penuhi. Kok ribet ya? Nah balik lagi ke pertanyaan sebelumnya,
motivasinya apa sih? Saya bilang, namanya ingin berkegiatan dengan anak, tentu
saja kita harus diskusi dulu agenda kegiatannya apa saja, durasinya berapa
lama, siapa saja yang terlibat, konten acaranya bagaimana? Ini juga menyangkut
tanggungjawab kami bahwa semua yang bergiat di LKJWS terpenuhi hak-haknya. Ada
lebih dari 70 anak dan orang muda yang bergiat di sini. Ini bukan soal anak
saja, tapi bagaimana ini sudah jadi komitmen dan tujuan LKJWS berdiri bahwa
tempat ini bisa jadi ruang belajar bersama khususnya warga desa Taiftob dan
siapapun yang ingin menjadi relawan. Sampai di sini, jelas bahwa kami mungkin
saja berbeda dengan komunitas-komunitas lain.
Percayalah
bahwa saya menjawab dan menjelaskan dengan sangat simpel dan tentu saja sopan.
Saya tahu bahwa bagi sebagian kita, melihat orang lain bicara hal-hal prinsip
mungkin akan dicap sok atau berlebihan. Tentu saja saya tidak ingin mematahkan
semangat dan keinginan mereka untuk bergiat bersama kami. Singkat cerita,
jawaban saya itu tidak pernah direspon lagi hingga kini. Saya menduga
barangkali karena motivasi kita berseberangan. Kami serius mengelola LKJWS,
sedangkan teman-teman ini mungkin
mengganggap ‘kan kita cuma mau have fun
sama anak-anak’. Beberapa waktu kemudian saya mendengar dari seorang kawan
dekat, mereka yang pernah mengontak LKJWS agak kurang puas dengan respon kami.
Bahkan ada statemen yang cukup mengejutkan. Saya terima dengan senyum merekah.
Di
lain waktu, saya tiba-tiba dikontak seseorang yang saya kenal baik profil dan
pekerjaannya meski kami tidak terlalu akrab. Teman ini curhat, betapa ia begitu
sedih gundah gulana dengan tren orang muda Kupang yang menurutnya agak
menyedihkan. Beliau punya beberapa kali pengalaman yang katanya sempat bikin
syok ketika ikut aksi sosial bersama beberapa komunitas orang muda di Kupang. Kami
akhirnya sama-sama menduga bahwa tren orang muda bikin aksi sosial ini agaknya
sudah kebablasan. Mengapa? Ya karena pada dasarnya bikin gerakan atau aksi
tidak punyua nilai dan tujuan yang jelas. Visi misinya apa? Nilai yang mau
diperjuangkan apa? Ketika bergekiatan dengan anak, hak-hak anak apa saja yang
perlu diperhatikan? Bagaimana ketika berkegiatan dengan teman-teman disabilitas?
Tidak heran aksi yang dibuat pada akhirnya hanya sebatas euforia semata, demam
bersosmed atau apa ya, eksistensi semu? Dan kejadian mengoper-oper dan memaksa
anak disabilitas untuk senyum di depan tongsis mahal kakak-kakak keceh harusnya
tidak terjadi. Atau jadi corong kampanye gizi anak pedalaman dari produsen
junkfood? Absurd!
Saya
rasa sah-sah saja orang kemudian menyambut gairah berplesiran atau traveling,
kemajuan teknologi smartphone, sambil berbuat sesuatu yang positif bagi orang
lain. Tapi kalau motivasinya tidak kuat, komitmen simpang siur, nilai dan
tujuan berbakti sosial itu masih kabur, ya sonde heran sih akhirnya lebih
banyak posting hura-hura di sosmed dengan caption ala Mario Teguh habis dapat
kebijaksanaan. Bahasa roh, bahasa kalbunya memenuhi Instagram dan Facebook,
tapi apa punya dampak positif pihak lain itu? Ujung-ujungnya cuma eksploitasi
kesusahan orang lain, demi memuaskan hasrat eksis personal di media sosial. Iya,
yang saya lihat sih begitu.
Apa
yang salah dengan orang-orang muda ini? Ataukah cara pandang saya yang
sebenarnya salah. Mereka mah baik-baik saja seperti itu. Saya pernah
mendiskusikan hal ini dengan seorang yang saya anggap tokoh penting, kalau
bicara gerakan komunitas orang muda di Kupang 10 tahun terakhir. Beliau juga
belakangan sering bikin pelatihan bagi warga aktif di kota Kupang. Yang juga
ikut menyumbang pemikiran, ide dan gagasan ketika kami pertama kali
mengembangkan konsep kewirausahaan sosial di LKJWS. Kami bicara panjang, saling
berbagi argumen meski tanpa konklusi apalagi solusi.
Di
LKJWS, yang kami bangun adalah ruang kerjakolaborasi, ruang untuk belajar
bersama, berbagi ide dan pengalaman. Ruang di mana, teman-teman seniman bisa
menggagas sebuah project seni bersama anak dan orang muda, dosen dan mahasiswa bisa
melakukan riset bersama kelompok petani, teman desainer tas bisa berkolaborasi
dengan perempuan penenun, dst. Baik warga maupun teman-teman yang secara
sukarela datang ke LKJWS bisa saling berbagi, bisa juga saling belajar. Seorang
teman datang untuk mengajar bahasa Inggris ke anak-anak desa Taiftob, tapi
disaat yang sama teman ini juga banyak menerima pelajaran dari warga: barangkali
kekompakan, kesederhanaan hidup atau semangat persaudaraan. Ternyata teman ini
belajar bahasa Dawan juga dari anak-anak dan belajar cara bikin sambal lu’at
dari mama A. Banyak kemungkinan bisa terjadi jika kita datang dengan tujuan
ingin belajar bersama, maju bersama, berkembang bersama. Bukan sebagai
sinterklas dengan sekarung hadiah, bak melihat hidup sebagai sebuah drama
memilukan di sebuah panti asuhan. Ini soal cara pandang. Melihat warga atau
orang lain sebagai pihak yang susah semata, penuh stigma miskin papa, atau
melihat melihat orang lain sebagai pihak yang punya kekuatan, punya potensi
baik dan segala asset yang bisa didorong untuk berkembang. Aksi di LKJWS memang tidak sempurna, tapi kami juga ingin warga jadi pihak yang aktif membangun dirinya.
Masihkah
kita orang-orang muda hebat ini hanya berkutat di aksi-aski instan, penuh euforia
semata sebab sedang demam bersosmed?
P.S: Untuk
teman-teman yang ingin bergiat di LKJWS, silakan baca beberapa prasyaratnya di
sini. Sederhana saja sih. Intinya komitmen dan keseriusan kalian ditantang.
Kalau niatnya hanya foto-foto dengan anak dan pamer ke medsos, ya mending
dipikir lagi hehehe. Lakoat.Kujawas bukan panti asuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...