Minggu, 03 Juli 2016

Mereka yang Merisak dan Berteriak: Makan Tuh HAM!

Beta menulis ini karena beta juga pernah jadi guru selama 6 tahun, sejak 2009 masih mahasiswa semester 6 sudah nyambi kerja di sekolah alam di Jogja supaya punya uang jajan sendiri. Beta juga punya pengalaman traumatis saat SD ketika berhadapan dengan pelajaran Matematika, kemudian beta jadi suka gelisah ketika berada di kelas Matematika di jenjang pendidikan selanjutnya. Karena beta terlambat menghafal perkalian di kelas 4 SD, maka beta harus mendapat hukuman berlutut sepanjang pelajaran di depan kelas atau di ruangan guru, lengan dan daun telinga biru karena dicubit. Beberapa kali betis harus rela disambar dahan pohon asam yang aduhai itu. Itu terjadi berbulan-bulan. Efek jangka penjang, beta benci pelajaran Matematika. Tapi beta sudah memaafkan guru tersebut sejak beta sadar akan hal ini pas kuliah Psikologi.

Ini terkait dengan pro kontra dari publik di Indonesia terkait kasus guru diadili karena telah melakukan kekerasan fisik kedapa siswa.

Posisi beta di sini adalah sonde setuju dengan kekerasan oleh guru di sekolah. Sonde munafik, dulu saat jadi guru SMP, beta sempat melakukan kekerasan fisik (cubit dan tempeleng) juga verbal (berkata kasar) kepada siswa dan itu menjadi penyesalan terbesar beta. Apa karena siswa terlalu nakal? Atau beta yang terlalu mudah naik pitam. Keduanya barangkali benar hanya saja harusnya sonde menjadi alasan untuk beta melakukan kekerasan. Beta beruntung cepat sadar, cepat koreksi diri: minta maaf ke siswa. Dan didukung juga dengan lingkungan (komunitas) yang turut memacu beta untuk jadi guru kreatif.

Di divisi Bimbingan dan Konseling Sekolah, untungnya beta dan kawan-kawan guru masih diberi pikiran jernih untuk tidak memilih larut cara kekerasan sebagai sebuah hukuman untuk siswa yang dicap nakal (umumnya kekerasan dipakai dan dianggap sebagai cara cepat untuk mendisiplinkan siswa). Di ruang konseling, dengan para siswa SMP kala itu yang dianggap bermasalah oleh wali kelas atau guru mata pelajaran, beta membuat beberapa klub misalnya kelompok jurnalis pelajar yang mengelola blog sekolah dan mading, klub yang bikin film pendek dengan mengangkat isu-isu di seputar sekolah ke dalam film lalu memutarnya dari kelas ke kelas. Juga bikin klub relawan yang tugasnya berziarah sekaligus membersihkan tempat ziarah, berkoordinasi dengan setiap ketua kelas untuk kumpul buku bekas dan disumbang ke gereja di pedalaman, dsb (bisa dicek jejaknya di sini) Waktu itu cara ini beta pakai karena kewalahan dengan menumpuknya jumlah siswa yang dikirim oleh wali kelas ke ruang konseling. Mereka datang dengan riwayat keluarga yang berbeda-beda, kebanyakan memang remaja butuh perhatian yang orang tuanya sibuk bekerja atau remaja yang dengan energi melimpah yang ingin eksis dan diakui keberadaanya. Satu lagi alasan mereka: kami bosan dengan pelajaran di kelas! Kurikulum kita memang padat sekali.

Karena di luar sekolah beta bertumbuh juga di lingkaran komunitas kesenian (sastra dan film) maka coba beta adopsi model kegiatan di komunitas seni ke dalam sekolah. Lumayan. Beta sonde harus punya energi besar untuk teriak dan marah-marah di ruang konseling atau di kelas seperti guru lain. Ternyata para siswa beta hanya rindu diakui keberadaanya. Energi mereka yang meluap bisa tersalurkan dengan kegiatan kreatif. Namanya remaja, ketika wajah mereka muncul di youtub dan diputar di kelas, senangnya minta ampun. Beta tinggal mengarahkan mereka untuk fokus dengan pelajaran. Untuk siswa yang seminggu sonde melakukan pelanggaran, beta kasih reward jadi tim leader untuk produksi mading mingguan atau pemimpin rapat redaksi, dsb. Tapi punya program seperti ini bukan berarti sonde ada hambatan. Banyak rekan guru yang melihat dengan mata sebelah. Progam beta dianggap menyita waktu siswa. Buang waktu saja dan terlalu hura-hura. Beta mengerti. Kurikulum pendidikan di negara kita memang begitu padatnya sampai sonde ada ruang untuk kegiatan kreatif. Dan satu lagi, pelajaran kesenian, olahraga dan pengembangan diri masih anak tiri ketimbang Fisika, Matematika, Biologi, Bahasa Inggris. Itu dulu di sekolah tempat beta mengajar. Ketika beta resign, program itu berhenti. Sonde ada guru lain yang siap lanjutkan. Ada banyak hal bisa terjadi di sekolah. Tapi kalau guru kreatif dan mengerti dengan psikologi manusia (semoga ilmu psikologi benar-benar diajarkan untuk mahasiswa keguruan), beta rasa ada banyak cara kreatif untuk memberikan punishment kepada siswa. Sonde harus dengan kekerasan fisik dan verbal.  

Dan kerena melakukan ini, ada juga rekan guru yang ketawain di belakang beta. Ya sudahlah.

***
Sampai detik ini beta masih heran sama kalian yang mati-matian membela kekerasan. Kalau merasa cara mendidik gurumu dulu sudah baik meski dengan kekerasan sehingga kamu jadi seperti sekarang apakah artinya cara itu juga baik untuk orang lain? Tidak. Kalau merasa sistem pendidikan dengan kekerasan itu baik kok mutu pendidikan negara kita jeblok terus? Kok penuh koruptor, teroris, ormas radikal, Jonru dkk, juga kita semua yang rajin merisak (bully) orang di media sosial? Coba dicek dan kasih tahu beta kalau negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia macam Finlandia, Korea Selatan atau Kanada menerapkan kekerasan juga? Singapura deh yang paling dekat.

Nanti ketika siswa lihat guru pukul siswa itu biasa, lalu saat MOS atau Ospek, gantian siswa senior yang belajar dari guru memukul siswa yunior dan itu juga dianggap biasa. Halal. Pantas saja ketika keponakan beta masuk kuliah, ia senang karena ada larangan Ospek di kampus. Eh, 4 bulan kemudian dapatlah udangan kegiatan temu ilmiah bagi mahasiswa baru. Rupanya itu cuma modus, tetap diospek juga mereka. Trus lu masih bangga dengan cara kekerasan begituan dan masih mau bilang “karena dulu beta pernah ditampar, disiksa, beta belajar artinya hidup. Akhirnya beta sukses.” Preet. Merasa harus jadi contoh buat semua orang ko?

Lalu supaya apa kalian ramai-ramai bully si anak yang orang tuanya melaporkan sang guru. Harus ya ikut share foto si anak dan bully ramai-ramai. Sudah merasa paling benar jadi manusia? Kenapa anak, bukan orang tua yang bertanggungjawab. Beta percaya setiap orang terlahir baik, seperti kertas putih, akan jadi lukisan indah atau coretan ya tergantung keluarga, lingkungan rumah, sekolah, dst. Tapi dengan ikut-ikut merisak si anak, beta rasa bukan sebuah tindakan bijaksana, dari orang baik seperti kita yang merasa telah menjadi baik karena mengalami pendidikan dengan kekerasan dari guru-guru dulu. Kita yang merisak dan gigih berteriak: makan tuh HAM! Kita yang diam-diam suka dikerasin, suka dipaksa, suka bekerja dibawah tekanan, suka dijajah. Kita yang bermental inlander. Iya sih dijajah 350 tahun, efeknya hidup sampai sekarang.



Christian Senda, tinggal dan merintis lakoat.kujawas, sebuah coworking space di Mollo, Timor Tengah Selatan. 

1 komentar:

  1. Saya juga berpikir demikian.. yak tak semua bisa diperlakukan sama. Saya jadi berpikir kalau guru regular tak ingin mendapat masalah yg sama ada baiknya mendirikan sekolah asrama disiplin bagi anak2 yg sudah membuat ortu angkat tangan. Seperti di amerika atau china dimana pengajarnya adalah pensiunan militer. Dengan begitu tidak perlu guru sekolah menerapkan hukuman dengan kontak fisik. Itu solusi yg terpikir oleh saya. Saya senang apabila ada yg memikirkan solusi daripada sekedar membully

    BalasHapus

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...