Senin, 20 Agustus 2012

Remaja Itu Penganggu, Betulkah? (Seri Konseling Remaja)


Saya adalah orang yang paling tidak setuju dengan stereotype yang berkembang di masyarakat (dianut oleh orang tua dan guru) bahwa remaja itu adalah masa-masa pembangkang, pemberontak, pengacau, tidak rapi, tidak dapat dipercaya, cenderung merusak, berperilaku tidak sopan, sehingga perlu bimbingan dan pengawasan orang tua.
Penyebabnya sebenarnya di kita kok, orang-orang dewasa disekitarnya. Orang tua, guru, kurikulum pendidikan, harus bertanggungjawab atas kegagalan ‘produk remaja’ tersebut. Kembali lagi ketika remaja itu mengalami masa kanak-kanak.
Orang tua harus tahu dan mempersiapkan sejak dini, bahwa:
1.       Ketika remaja awal (12-15 tahun, usia SMP) mereka mulai mengembangkan pikiran baru, tertarik kepada lawan jenis, terjadi kematangan organ seksual sehingga ada dampak rangsangan-rangsangan tertentu. Mereka menjadi peka, tetapi sulit mengendalikan ego. Sehingga yang terjadi mereka sulit mengerti dan dimengerti ortu mereka.
2.       Ketika masa remaja tengah (15-18 tahun, usia SMA) kecenderungan narsistik berkembang pesat, menyukai teman yang punya sifat yang sama dengan dirinya, dan sangat membutuhkan teman-temannya. Mulai terjadi kebingungan, karena ragu memilih  yang mana, peka atau peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimis, dll.
3.       Remaja akhir (usia 18-21 tahun), sudah mendekati dewasa, minat semakin mantap terhadap fungsi intelek. Ego untuk mendapatkan banyak pengalaman baru dan memperluas jaringan pergaulan muncul. Identitas seksual terbentuk dan permanen. Egosentrisme mulai seimbang dengan kepentingan orang lain. Mulai ada privasi/ pemisah antara dirinya dengan masyarakat umum.

Nah ketiga poin penting ini yang harusnya diketahui oleh orang tua, guru dan pembuat kurikulum, sehingga dalam menyiapkan kanak-kanak untuk masuk ke tahap remaja bisa lebih proporsional dan punya efek positif untuk mereka. Artinya ketika remaja SMP mulai tertarik dengan lawan jenis, bukannya dilarang dengan orotiter ala ortu/guru, harusnya bisa dengan pendekatan dialog layaknya teman, demokratis, karena yang mereka butuhkan adalah bimbingan kita agar proses mereka berjalan alamiah dan POSITIF bukan dengan MELARANG kan? 

Guru SD sekarang sibuk dengan les tambahan untuk anak. Ortu menuntut siswa SD punya nilai bagus, tapi bagaimana dengan bimbingan psikologisnya? Ketika ada masalah pada siswa SD ortu atau guru cenderung menyelesaikan sendiri masalah itu secara DEWASA, tanpa melibatkan anak. Anak tidak pernah belajar untuk menyelesaikan masalah.
Ketika remaja, kita lalu melabeli mereka sebagai anak nakal, tidak sopan, penganggu, pencari perhatian, dll.
Soal guru SD sekarang yang tidak kayak dulu-dulu. Guru SD sekarang mah taunya terima jadi, maksudnya siswa TK yang akan masuk SD sudah diharuskan bias baca tulis hitung (calistung). Akhirnya anak TK sekarang jadi kurang bermain, karena masih umur 5-6 tahun sudah mengenal les calistung (tambahan) di luar jam sekolah! Beda ketika saya TK dulu. Anak SD sekarang sudah stress duluan karena harus melewati ‘tes masuk’ SD. Yah tes calistung tadi. Kalo siswa kelas 1 SD belumbisa calistung, yang kena adalah guru TK, yang dianggap gagal megajar anak-anak. Akhirnya guru TK lupa mengelola emosi dan psikomotorik anak. Ketika berlanjut ke SD, siswa sibuk belajar dan belajar. Yang otaknya dianggap ‘lemah’ diberi ultimatum untuk les tambahan diluar jam sekolah (jam 1 -2 siang). Itu yang terjadi dengan keponakan saya. Guru lantas abai bagaimana caranya membantu tumbuh kembang anak dalam bidang psikologis. Boro-boro mengajarkan pendidikan karakter atau budi pekerti ke anak SD. Padahal itu intinya. 

sumber: dreamstime.com
Ketika anak punya masalah, guru-guru SD selalu yang menyelesaikan masalah tersebut karena anak dianggap ‘anak kecil’ yang tidak tahu apa-apa, tidak bisa menyelesaikan masalahnya. Padahal itu masalahnya anak-anak, bukan masalahnya guru. Kenapa guru yang sendirian menyelesaikan? Karena guru kita itu guru yang tak sabaran mendidik anak-anak. Maunya cepat selesai, yah berarti diselesaikan orang tua. Akibatnya apa? Secara kognitif anak okelah, tapi secara mental? 

Jawabannya baru terasa ketika anak SMP. Mereka menjadi remaja yang tidak mengenal diri mereka sendiri. Kurang peka dengan reaksi emosi mereka. Punya masalah, karena tidak punya bekal kemampuan menyelesaikan masalahnya sendiri (problem solving), akhirnya yang stigma ‘remaja pembangkan, remaja labil, remaja nakal’ itu yang muncul. 

Kalo sejak SD guru sudah terbiasa menyelesaikan ‘masalah’ anak dengan pukul, cubit, tempeleng, berbicara kasar, menyinggung anak, dan segala jenis punishment maka ketika SMP guru-guru yang kewalahan (dan tidak tahu atau krn tidak mau tahu) akhirnya juga ikut meneruskan tradisi guru SD untuk menyelesaikan ‘masalah’ anak…
Oalaaaaaahhh….. sistemik yah?

(Christianto Senda, S.Psi, konselor di SMPK St. Theresia Kupang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...