Saya adalah orang yang paling tidak
setuju dengan stereotype yang berkembang di masyarakat (dianut oleh orang tua
dan guru) bahwa remaja itu adalah masa-masa pembangkang, pemberontak, pengacau,
tidak rapi, tidak dapat dipercaya, cenderung merusak, berperilaku tidak sopan,
sehingga perlu bimbingan dan pengawasan orang tua.
Penyebabnya sebenarnya di kita kok,
orang-orang dewasa disekitarnya. Orang tua, guru, kurikulum pendidikan, harus
bertanggungjawab atas kegagalan ‘produk remaja’ tersebut. Kembali lagi ketika
remaja itu mengalami masa kanak-kanak.
Orang tua harus tahu dan
mempersiapkan sejak dini, bahwa:
1. Ketika
remaja awal (12-15 tahun, usia SMP) mereka mulai mengembangkan pikiran baru,
tertarik kepada lawan jenis, terjadi kematangan organ seksual sehingga ada
dampak rangsangan-rangsangan tertentu. Mereka menjadi peka, tetapi sulit
mengendalikan ego. Sehingga yang terjadi mereka sulit mengerti dan dimengerti
ortu mereka.
2. Ketika
masa remaja tengah (15-18 tahun, usia SMA) kecenderungan narsistik berkembang
pesat, menyukai teman yang punya sifat yang sama dengan dirinya, dan sangat
membutuhkan teman-temannya. Mulai terjadi kebingungan, karena ragu memilih yang mana, peka atau peduli, ramai-ramai atau
sendiri, optimis atau pesimis, dll.
3. Remaja
akhir (usia 18-21 tahun), sudah mendekati dewasa, minat semakin mantap terhadap
fungsi intelek. Ego untuk mendapatkan banyak pengalaman baru dan memperluas
jaringan pergaulan muncul. Identitas seksual terbentuk dan permanen.
Egosentrisme mulai seimbang dengan kepentingan orang lain. Mulai ada privasi/
pemisah antara dirinya dengan masyarakat umum.
Nah ketiga poin
penting ini yang harusnya diketahui oleh orang tua, guru dan pembuat kurikulum,
sehingga dalam menyiapkan kanak-kanak untuk masuk ke tahap remaja bisa lebih
proporsional dan punya efek positif untuk mereka. Artinya ketika remaja SMP
mulai tertarik dengan lawan jenis, bukannya dilarang dengan orotiter ala
ortu/guru, harusnya bisa dengan pendekatan dialog layaknya teman, demokratis,
karena yang mereka butuhkan adalah bimbingan kita agar proses mereka berjalan
alamiah dan POSITIF bukan dengan MELARANG kan?
Guru SD sekarang
sibuk dengan les tambahan untuk anak. Ortu menuntut siswa SD punya nilai bagus,
tapi bagaimana dengan bimbingan psikologisnya? Ketika ada masalah pada siswa SD
ortu atau guru cenderung menyelesaikan sendiri masalah itu secara DEWASA, tanpa
melibatkan anak. Anak tidak pernah belajar untuk menyelesaikan masalah.
Ketika remaja,
kita lalu melabeli mereka sebagai anak nakal, tidak sopan, penganggu, pencari
perhatian, dll.
Soal guru SD
sekarang yang tidak kayak dulu-dulu. Guru SD sekarang mah taunya terima jadi,
maksudnya siswa TK yang akan masuk SD sudah diharuskan bias baca tulis hitung
(calistung). Akhirnya anak TK sekarang jadi kurang bermain, karena masih umur
5-6 tahun sudah mengenal les calistung (tambahan) di luar jam sekolah! Beda ketika
saya TK dulu. Anak SD sekarang sudah stress duluan karena harus melewati ‘tes
masuk’ SD. Yah tes calistung tadi. Kalo siswa kelas 1 SD belumbisa calistung,
yang kena adalah guru TK, yang dianggap gagal megajar anak-anak. Akhirnya guru
TK lupa mengelola emosi dan psikomotorik anak. Ketika berlanjut ke SD, siswa
sibuk belajar dan belajar. Yang otaknya dianggap ‘lemah’ diberi ultimatum untuk
les tambahan diluar jam sekolah (jam 1 -2 siang). Itu yang terjadi dengan
keponakan saya. Guru lantas abai bagaimana caranya membantu tumbuh kembang anak
dalam bidang psikologis. Boro-boro mengajarkan pendidikan karakter atau budi
pekerti ke anak SD. Padahal itu intinya.
sumber: dreamstime.com |
Ketika anak punya masalah, guru-guru
SD selalu yang menyelesaikan masalah tersebut karena anak dianggap ‘anak kecil’
yang tidak tahu apa-apa, tidak bisa menyelesaikan masalahnya. Padahal itu
masalahnya anak-anak, bukan masalahnya guru. Kenapa guru yang sendirian
menyelesaikan? Karena guru kita itu guru yang tak sabaran mendidik anak-anak. Maunya
cepat selesai, yah berarti diselesaikan orang tua. Akibatnya apa? Secara kognitif
anak okelah, tapi secara mental?
Jawabannya baru
terasa ketika anak SMP. Mereka menjadi remaja yang tidak mengenal diri mereka
sendiri. Kurang peka dengan reaksi emosi mereka. Punya masalah, karena tidak
punya bekal kemampuan menyelesaikan masalahnya sendiri (problem solving),
akhirnya yang stigma ‘remaja pembangkan, remaja labil, remaja nakal’ itu yang
muncul.
Kalo sejak SD
guru sudah terbiasa menyelesaikan ‘masalah’ anak dengan pukul, cubit,
tempeleng, berbicara kasar, menyinggung anak, dan segala jenis punishment maka
ketika SMP guru-guru yang kewalahan (dan tidak tahu atau krn tidak mau tahu)
akhirnya juga ikut meneruskan tradisi guru SD untuk menyelesaikan ‘masalah’
anak…
Oalaaaaaahhh…..
sistemik yah?
(Christianto Senda, S.Psi, konselor di SMPK St. Theresia Kupang)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...