Sabtu, 11 Agustus 2018

Sekaleng Sprite Untuk Adi dan Kisah Perjalanan Manis Lainnya

Seri III
Ia kerap memanggilku ‘Adi’. Semacam sebuah nama kesayangan di rumah. Tidak banyak yang tahu, hanya kami berdua. Atau tidak banyak ia pergunakan, hanya ketika kami berdua sendirian. Atau ia gunakan ketika ingin merayu keras kepalaku. Keras kepala yang kuwarisi dari ibu.
Kami kerap pergi ke Kupang bersama. Menggunakan bus dari kampung. Di Kupang kami akan menginap di rumah kerabat ibu di Perumnas atau di kosan keponakannya yang bekerja di kantor pos. Aku akan sangat senang ketika ia membelikanku sekaleng sprite sebab kusuka reaksi seselesainya meneguk sprite. Doak atau sendawa. Rasa geli yang menyenangkan.
Beberapa kali ia mengajak kami pergi ke kampungnya di Flores menggunakan ferry penyebrangan dari Bolok di Kupang menuju Larantuka. Dari Larantuka kami harus menempuh perjalanan darat lagi ke Maumere, mampir ke rumah kakaknya di Paga lalu akan mendaki lagi ke kampung kecilnya di dekat situs kubur batu Nuabari. Nama kampung itu Seroara. Aku punya banyak sekali memori manis tentang perjalanan menggunakan bus atau ferry bersamanya.
Ketika aku hendak bersekolah di Ende, ia mengantarku. Kami menggunakan kapal dari pelabuhan Tenau Kupang menuju Ende dengan singgah sebentar di Sabu. Aku ingat betul ia begitu bersemangat menyekolahkanku ke salah satu sekolah terbaik di Flores yang dikelola oleh para misionaris SVD. Ia tahu, dulu ia tidak punya banyak kesempatan untuk menjangkau fasilitas pendidikan yang baik. Aku melihat ia menyimpan segepok uang tunai dibalik saku jaket yang hampir tidak pernah ia lepaskan selama perjalanan. Ia belum punya rekening di bank, apalagi punya kartu ATM. Aku terlalu was-was ketika melihatnya menyiapkan segala sesuatu dengan sangat rapi namun bawaan kami begitu banyak sekali. Ia bahkan membawa serta kaset rekaman acara tahbisan anaknya yang seorang imam Katolik. Ingin ia tunjukkan ke keluarganya di Flores. Ia terlalu detail untuk menyiapkan segala sesuatu. Tapi aku tetap saja was-was. Rasa janggal yang akhirnya membuatku terus mempersalahkan diriku sendiri. Aku melihat seseorang mengambil dompet dari saku celananya dan aku diam saja. Malam itu pelabuhan begitu ramai. Aku tidak terlalu bersemangat, sebab perjalanan ini sama artinya aku harus pergi jauh darinya dan ibu.
Kami tiba di pelabuhan lama Ende, dekat taman dan pohon sukun tempat dulu Soekarno merenung tentang Pancasila. Gunung Meja dan Wongge begitu pekat menyambut, ditingkah kerlap-kerlip lampu pelabuhan dan serbuan cahaya dari seantero kota kecil dengan teluk yang indah. Waktu masih terlalu dini untuk menerka-nerka apa yang terjadi dengan kehidupanku di tanah ini. Diam-diam aku mengambil tanah berpasir di parkiran angkot dan menciumnya. Para supir dan konjak merampas hampir semua barang bawaan kami, menarik dan mengulur. Ayah masih sedih sebab dompetnya hilang bersama sejumlah kartu penting dan beberapa lembar uang. Aku tidak bisa berpikir apa lagi. Bau kapal dan gambar tentang kecoa masih menghantuiku.
Kami akhirnya mendapat angkot dengan tujuan rumah om dan tante, kerabat dekat yang pernah ia urusi pernikahan mereka ketika masih sama-sama tinggal di SoE. Mereka yang kemudian menjadi orang tua waliku. Tiba di rumah dengan sebuah pohon mangga di depan dan sebuah pohon rambutan hampir mati di halaman belakang, rumah yang menurut para penghuninya kerap diserang kawanan suanggi. “Kau harus berhati-hati,” bisik tante.
Ketika meminum teh panas, kami akhirnya sadar bahwa sebuah dus dan sebuah tas hilang. Aku kian lemas. Perjalanan bersamanya memang tidak selalu menyenangkan.
Lantas apa yang menyenangkan?
Aku senang ia membelikanku sekaleng sprite dan membelai kepalaku ketika aku telah lelah dan mengantuk di bus. Dari wajahnya kulihat ada perasaan bangga bagaimana ia merasa telah sukses membesarkan keluarga yang besar di tanah rantau dan sesekali mengajak keluarganya pulang ke kampung. Aku melihat itu dari sorot matanya. Aku senang ketika kami tiba di Maumere dan ia mengajak aku keliling pertokoan. Kami akan mampir ke toko Kuda Mas dan ia mempersilakanku memilih baju dan celana yang kusuka. Ia akan selalu senang mengajak anak-anaknya berjalan kaki. Ia senang dan tidak banyak bicara. Ia senang dan berbicara melalui sorot matanya.
Aku selalu rindu dipanggil ‘Adi’, ketika kami berdua sendiri melakukan sebuah perjalanan. Hari ini aku menulis cerita ini, setelah dua belas jam sebelumnya, aku bertemu dengannya di pembaringan yang begitu bisu. Ia sedang pilek keras dan tiduran saja. Ada setumpuk buku bacaan di atas meja di sebelah tempat tidur. Kupang begitu terik hari-hari ini.
Aku mengambil tisu dan melap hidungnya yang basah. “Ada kegiatan hari ini?” Ia bertanya. Aku mengangguk. Wajahnya kian segar dan badannya kembali berisi. Ini tahun yang tidak gampang setelah ia akhirnya tidak bisa lagi mengayunkan langkahnya yang panjang-panjang akibat stroke di badan sisi kiri. Tapi kuharap masih bisa. Bisa memanggilku ‘Adi’ saat kami bepergian lagi naik bus dan ferry menuju ke Flores atau pulang ke Kapan.
Aku ingin memeluknya, meski malam ini, saat menulis cerita ini aku sudah kembali ke Kapan. Sementara ia masih harus tinggal di Kupang untuk serangkaian fibsioterapi.
Ayah, aku mau sekaleng sprite.

2018

Baca juga catatan seri II: Polisi Baik atau Jahat?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...