Jumat, 10 Agustus 2018

Polisi Baik atau Jahat?


Seri 2

Hari ini aku bangun di jam yang sama seperti hari kemarin. Pergi ke dapur, menjerang air dan memberi  babi makan paginya. Ini hari Kamis, waktunya ke pasar menemui petani dan penenun langganan. Setahun terakhir aku juga sedang mendokumentasikan jenis bahan pangan apa yang ada di pasar Kapan sepanjang tahun. Ini bagian dari caraku mengidentifikasi dan membuat peta terkait keragaman hasil pertanian di Mollo. Pekerjaan tak penting bagi sebagian orang, tapi aku menikmatinya. Aku suka pergi ke pasar, menyalakan rekorder dan diam-diam merekam percakapan orang-orang Mollo di pasar. Aku suka aksen atau logat orang Mollo ketika berbicara. Mereka seperti sedang bernyanyi.

Tapi aku harus menulis tentang ayah ibuku berdasarkan memori masa kanakku. Apa yang harus aku ingat, aku buka duluan?
Masa kecil. Selalu mengekor kemanapun ibu pergi. Ke arisan. Latihan nyanyi bersama kelompok paduan suara Pelita. Pergi mengunjungi nenek  dan kakek seminggu sekali. Pergi bersama ayah ke sawah di Manesat Anen setiap musim liburan, bertiga naik motor trail ayah melewati jalan curam Kualeu.

Aku anak bungsu dari delapan bersaudara. Kakakku nomor 6 meninggal dunia ketika masih kecil, jadilah kami tujuh bersaudara. Tanggal 25 Agustus 1968, ayah dan ibuku menikah di gereja Katolik di Kapan yang kala itu baru setahun berdiri. Tentang kisah ini aku sebenarnya punya niat lebih untuk mewawancarai ayah dan ibu, lalu menuliskannya dalam sebuah buku. Mungkin catatan berseri ini bisa menjadi sebuah pintu masuk yang baik. Di grup whatapp keluarga, kami sudah sering membicarakan hal ini. Seorang keponakanku ditugaskan untuk melakukannya, entah sudah dimulai atau belum.

Ayah dan ibu diberkati di gereja Katolik, meski kemudian mereka tetap memeluk agamanya masing-masing. Pilihan itu aku duga datang dari betapa keras kepalanya kakek dari pihak ibu. Tapi seumur hidupku, aku melihat sendiri bagaimana ayah begitu setia mendampingi ibu, begitu hormat kepada ayah dan ibu mertuanya, menyayangi dan mengurus mereka hingga napas terakhir. Suatu ketika ayah pernah bilang kepadaku: tidak ada prinsip balas budi dalam hidupnya. Berbuat baik ya berbuat baik saja. Sebagai manusia itu tugas kita. Diam-diam aku juga penasaran apakah semasa bertugas sebagai polisi, ia adalah polisi yang baik dan jujur seperti yang ia tunjukkan kepada kami di rumah? Aku seringkali muak dengan sistem dan orang-orang dalam keplisian di negara ini. Dan aku terus bertanya dalam diam, apakah ayahku dulu seorang yang jahat? Ataukah ia orang baik? Aku pernah dengar pengakuan beberapa orang kampung bahwa ‘kami dulu paling takut Naef Senda. Dia terlalu jahat!”

Dulu ada beberapa peluru kosong disimpan ayah di lemari. Karena penasaran, aku mengambilnya dan mengajak ayah untuk menceritakan tentang peluru-peluru itu. Yang kuingat, kisah memburu kawanan pencuri (teku) dengan kuda dan menembakkan pistol ke kaki para pencuri. Aku terpana. Ayahku kubayangkan sebagai koboi dalam sebuah film aksi. Tapi apakah sebagai polisi ia tetap menjadi orang baik seperti halnya kami melihat ia di rumah?

“Setiap gajian ayahmu akan membeli tembakau timbang di para saudagar Cina di Soe atau Niki-Niki. Saat itu banyak sekali kasus criminal, terutama pencurian. Ayahmu terus mete mengerjakan laporan dan lintingan rokok ‘tembakau sek’ adalah teman baiknya.” Efeknya baru kelihatan puluhan tahun kemudian, ketika ayah terkena stroke dan melakukan pemeriksaan laboratorium sebelum operasi. Dokter menemukan beberapa flek di paru-parunya, tandamata dari ‘tembakau sek’ puluhan tahun silam.

 Ibu hanya pernah bilang bahwa suatu ketika ayah memutuskan berhenti minum alkohol dan berhenti merokok. Tapi aku belum lahir. Aku memang tidak pernah melihat ayah merokok. Aku hanya ingat ia pernah berkumis kemudian mencukur semua kumisnya.  Malah kakakku yang seorang calon pastor yang memilih memelihara kumis kala di seminari. Belakangan ada kakakku yang lain, seorang brimob dan satunya seorang polisi pamong praja, keduanya sama memelihara kumis dan itu membuatku geli dalam hati. Tapi apakah dengan berkumis atau tidak, merokok dan minum alkohol atau tidak sama sekali, dulu ayah adalah seorang polisi yang baik atau jahat?

Lantas apa yang kau ingat dari ayahmu di usia tujuh tahun?

Gigiku membusuk dan sakitnya minta ampun. Ayah lantas mengambil kapas, mencelupkannya ke dalam minyak kelapa, membakar sedikit ke api lalu memasukkannya ke dalam lubang gigiku. Seketika sakit di mulutku menghilang. Gigiku kemudian tumbuh dengan sangat tidak rapi. Membesar dan tak beraturan bentuknya seperti gigi ayah.
Tapi rambut kami berbeda. Rambutku lurus seperti rambut ibu. Tapi soal rambutku, ayahlah yang paling bertanggungjawab hingga aku kelas 6 SD. Setiap tiga pekan atau sebulan di depan dapur atau di kebun belakang rumah dengan cepat ia memangkas rambutku. Aku tentu tak punya pilihan model rambut. Baginya potongan ala militer adalah yang terbaik: semua area di kepala super tipis, kecuali area ubun-ubun yang tiba-tiba saja menyembul rambut pendek-tapi-gemuk. Ia selalu punya banyak stok silet London Bridge dengan gambar jembatan untuk menggaris pinggiran rambut. London Bridge yang kelak bisa kulihat langsung ketika mendapat beasiswa belajar kewirausahaan sosial dua pekan di UK.

“Kau punya bulu kode ni banyak sekali!” Begitu protesnya. Bulu kode adalah rambut halus di area bawah dan belakang layar telingga mendekati leher yang biasanya baru ketahuan keberadaanya ketika kain penutup badan telah dilepas. Ia menggaruk bersih semua bulu kode, sambil kuperhatikan ekspresinya dari cermin kecil di depanku.
Ia orang baik, tapi apakah sebagai polisi dulu ia jahat?

#50TahunBapatuaMamatua #24HariNgeblog

Baca juga: Cinta Pertama dan Mimpi-Mimpi Buruk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...