Rabu, 08 Agustus 2018

Cinta Pertama dan Mimpi-Mimpi Buruk

SERI I

Semalam aku memberanikan diri menulis status Facebook yang isinya menantang diriku sendiri untuk secara khusus menulis hingga akhir Agustus. Aku mau menulis tentang kedua orang tuaku yang tanggal 25 nanti memasuki usia pernikahan yang ke-50 tahun. Aku hanya ingin membuka kembali banyak lapisan memori dan cara pandangku terhadap mereka berdua dan mencoba menuliskannya. Hanya itu. Mungkin juga sebagai sebuah perayaan kecil dariku.

Jam 7.38 pagi ini, aku bangun dengan sisa ingatan tentang mimpi buruk semalam. Kami sedang berada di sebuah mobil yang dikendarai seorang temanku, sopir travel di desa kami. Di dalam ada banyak sekali orang. Tiba-tiba datanglah seorang pastor yang pernah bertugas di paroki kami dengan maksud menyerang. Beliau tidak sendirian. Di belakangnya ada beberapa perempuan jahat dengan sabit yang tajam, langsung memenggal leher kami semua.
Aku menulis catatan ini sambil mengingat segala kengerian semalam, tapi aku harus segera menulis sesuatu tentang ayah ibuku. Itu janji penting yang sudah aku umumkan di media sosial. Mengapa media sosial? Kadang aku butuhsebuah alasan untuk memperkuat komitmenku.

Aku menjerang air untuk segelas kopi susu. Di kulkas ada beberapa bolu kukus yang sudah mengeras buatan mamatua beberapa hari lalu ketika salah satu keponakanku ulang tahun. Kuberikan tiga bolu kepada Hely dan tiga anak-anaknya. Hely adalah anjing milik keponakanku yang lain yang sedang pergi ke kampung suaminya di Flores. Rumahnya kosong hampir sebulan ini dan anjingnya tanpa disuruh, mengungsi ke rumahku. Helly makan sambil menggigil kedinginan. Cuaca hari ini murung sekali. Aku pergi ke rumah mama Agus di depan paroki untuk membeli roti kukus dan mendapati permukaan tanah basah. Mungkin hujan semalam. Hujan terjadi ketika pertumpahan darah terjadi di atas sebuah travel di dalam kepalaku.

Sudah jam 8, aku belum juga menulis. Aku harus mengambil gayung bekas sabun cuci untuk menakar jagung kering dan pakan babi yang terbuat dari  bran gandum, lalu mencampurinya dengan sejeriken air dingin dan memberikannya untuk babi betina raksasa milik ayahku di kandang. Babi ini katanya akan dipotong bulan depan untuk ayah dan ibu yang setia hidup bersama hingga tahun ke-50. Sebuah alasan penting mengapa aku begitu bersemangat menulis catatan ini hingga akhir bulan nanti.

Di dapur berdinding bebak  yang diberi cat hijau aku melanjutkan tulisan ini dengan segelas kopi susu panas. Ini adalah tempat spesial kami di rumah. Di atas sebuah meja makan berukuran sedang yang dilapisi kain batik merah emas, segala makanan mama dan obrolan panjang bisa saja terjadi. Ibu akan memasak untukku, bapa akan duduk mendongeng dan aku terbiasa mendengar dengan takjub (lalu menuliskannya dengan campuran berbagai imajinasi jadi cerpen-cerpen yang kalian baaca di tiga buku yang aku tulis). Di dapur ini juga aku sering mengambil peran yang sama, memasak untuk teman-temanku, sambil kudongengi dengan kisah-kisah penting-tak-penting dalam hidup.

Sejak Januari lalu, ayah terkena stroke dan harus tinggal di Kupang untuk perawatan yang lebih baik. Ibu harus ikut mendampingi. Aku yang lebih banyak di rumah, sendirian melakukan semua hal penting-tak-penting. Menulis kembali semua mimpi, mengelola sebuah komunitas warga dan memberi makan untuk babi kesayangan ayah.

***
Hari Senin pagi-pagi aku lahir, 3 hari menjelang Natal. Tanah basah dan langit kelabu adalah kampungku di bulan Desember. Sekelumit tentang kisah itu bisa kalian baca di buku Kanuku Leon. Di sana ada alasan mengapa ayah ibuku menamaiku Dicky.

Dicky, anak kedelapan dalam rumah lahir di tangan seorang dokter bernama Sonar. Dokter mewanti-wanti agar ibuku segera tubektomi. Riskan memang kalau sampai hamil lagi di usia yang tidak muda. Nenekku yang seorang dukun mengambil alih proses perawatan ibu di masa nifas kala itu.

Nenek adalah perempuan dewasa lain yang kukenal selain ibu. Badannya kecil mungil dengan banyak kerutan di wajah dan sebuah tahi lalat besar di jidat. Sesekali ia masih merokok, selebihnya ia adalah perempuan keras kepala. Ia begitu disiplin mengasuh dan merawat anak cucunya sendiri dan anak-anak orang lain. Rumahnya semacam Posyandu kedua di kampung kami. Ibu-ibu akan membawa anaknya periksa ke Puskesmas, namun setelah itu mereka akan mampir ke rumah nenek di sebelah utara Puskesmas untuk memijatkan anak-anak mereka. Di depan anak kecil, nenek mendadak berubah dari perempuan keras kepala menjadi malaikat lembut penawar segala sakit.

“Aku mendapat semua ini lewat mimpi. Seorang tanteku yang dukun sakti, datang dalam mimpi dan memberiku sebuah kain putih. Sejak itu aku merasa punya kemampuan untuk merawat dan mengobati orang sakit, khususnya anak-anak.”

Kisah itu berkali-kali ia ulangi kepadaku. Kau tahu, di kampung yang kebudayaan bertuturnya kuat, mengulangi kisah atau dongeng adalah sebuah cara terbaik untuk menghidupkan sebuah tuturan, sekaligus menguatkannya dalam lampisan memori si pencerita maupun si pendengar.
Karena tangannya yang dingin, nenek punya banyak sekali anak asuh. Mereka yang sakit-sakitan akhirnya tinggal di rumah nenek dan diasuhnya seperti anak sendiri. Seperti ia mengasuh ibu, anak satu-satunya. Ia punya beberapa anak yang meninggal muda belia di dalam kandungan. Saudara-saudara ibu itu masih ia kenang dalam tembang dan doa malam. Masih ia panggil-panggil rohnya ketika ia begitu rindu.

Ibu barangkali perempuan beruntung di dunia ini. Ia mewarisi banyak hal baik dari nenek. Kepintarannya memasak, kesabarannya mengasuh banyak anak di rumah, kecintaanya kepada keluarga.
Ibu yang suka kuraba-raba lehernya ketika aku kecil dan kami bertiga masih tidur bersama. Ayah pernah membelikan kami tempat tidur bertingkat dari besi dan menempatkannya di kamar belakang, khusus untuk aku dan dua kakak laki-lakiku. Tapi aku masih suka mengpol kala itu dan akan didahului dengan mimpi buruk. Apalagi jika aku menonton TV sebelum tidur. TV hitam putih merek National itu seperti punya banyak sihir jahat, atau memang karena aku yang sudah kelewatan berimajinasi sejak kecil.

Imajinasi.

Bersama ibu, aku merawat banyak sekali imajinasi, lalu menyimpannya dengan baik di kolong memori. Mungkin sebagian sudah aku tuliskan di beberapa cerpen dalam bukuku. Kau tentu ingat cerpen Aku Masih Jatuh Cinta Kepada Ibu Tapi Tidak Kepada Nenek di buku Hau Kamelin & Tuan Kamlasi. Parfum ibu menyimpan banyak sekali cerita.

Lalu seperti apa wajah ibu yang pertama kali kau ingat dari masa kanakmu dan kau simpan baik-baik?

Aku ingat ibu yang masih langsing dan berwajah tirus memegang keranjang belanja, mengenakan blus warna hijau muda, pulang dari pasar. Itu tahun yang sulit bagi kami, setelah ayah pensiun dini dari kepolisian dan harus membesarkan tujuh anak.                                                         Ibu menyambutku di depan rumah dengan kue dan buah jambu air. Tahun 1990-an awal, kukira-kira saja.
Aku jatuh cinta padanya semenjak itu.

Cinta yang membuatku tidak terlalu takut menghadapi banyak mimpi buruk setelahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...