Selasa, 07 Agustus 2018

Beri Daku Listrik



Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari bagai bola api
Cuaca kering  dan ternak melenguh
Rinduku pada Sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh

***
Ini pertama kali bagi saya datang ke Sumba Barat Daya untuk melihat langsung apa yang sudah dan sedang dikerjakan teman-teman Hivos, sementara puisi Beri Daku Sumba telah meninggalkan semacam kelekatan tersendiri sejak masa silam tentang remaja penyuka puisi yang tiba-tiba tahu ada puisi berkisah tentang daerahnya.
Ketika pesawat mendarat, saya mendapati landasan pacu yang lebar, bangunan terminal yang megah dan kebun jagung yang membentang luas, seakan memperkuat apa yang saya baca dan selalu saya dengar tentang Sumba selama ini: pulau eksotis dengan kekayaan alam dan budaya yang selalu mencuri perhatian. Kini nama Sumba bahkan telah terbang jauh bersama dengan berbagai judul film, kain tenun bahkan pantai terbaik. Namun sejauh apapun ia berjalan, puisi lawas karya Taufik Ismail tadi akan kembali membawa kita kepada ingatan paling sederhana dan manis tentang padang mahaluas dengan seribu ternak. Lalu saya tiba-tiba tersadar dan merasa perlu untuk lebih jauh berpikir tentang beberapa larik ini:

‘di mana matahari membusur api di atas sana’

atau

‘dan angin zat asam panas dikipas dari sana’

Saya membatin. Ah, bukankah saya datang ke tanah Marapu untuk menyimak proyek energi baru terbarukan dan puisi ini sendiri seakan sebagai penanda penting betapa anugerah alam semesta ini nyata, melimpah dan sedang diberdayakan oleh LSM, Pemerintah dan masyarakat? Maka saya kemudian memaknai puisi itu lebih dari sekadar deretan diksi indah, bahwa ada ‘energi’ besar sebenarnya tergambar dengan kuat di dalam puisi itu. Saya baru saja meyakini betul latar belakang Hivos yang begitu ambisius mencanangkan proyek Sumba Iconic Island (SII), dengan visi menyediakan 100% energi hijau bagi 95% penduduk Sumba di tahun 2025 lewat sebuah puisi! Entah apa yang dipikirkan Taufik ketika puisi itu ditulis 48 tahun lalu.

***
  Di kecamatan Wewewa Selatan, Sumba Barat Daya, saya menjumpai sepasang suami istri sederhana dan punya pemikiran dan semangat tentang energi bersih yang keren. Bapa Nikolaus Dao (47) dan Mama Margaretha Katida (43) bergabung dengan proyek Lentera dari Hivos dan Resco sejak Mei 2017, dengan mengelola sebuah kios energi untuk melayani 150 kepala keluarga (dari sekitar 290 kepala keluarga) yang ada di desa Delo. Kios energi adalah kios sembako yang di dalamnya terdapat seperangkat panel surya berkapasitas…. dari Hivos yang bermitra dengan Resco (Renewable Energy Service Center Ogranization) dan alat tersebut bisa diakses warga. Jadi warga desa Delo yang sudah mendaftar sebagai anggota Lentera akan mendapat maksimal 2 bola lampu untuk satu rumah dan proses pengisian energi untuk lampu tersebut bisa dilakukan kapan saja di kios energi dengan membayar Rp. 2000 per pengisian daya.

“Sebelumnya kami menggunakan pelita berbahan bakar minyak tanah juga lampu sehen tapi tidak maksimal, artinya saat larut malam lampu sudah padam,” jelas mama Margaretha. Sehen adalah sebutan warga untuk lampu SHN (solar home system), salah satu proyek pemanfaatan enegi baru terbarukan dari PLN yang pada prinsipnya sama dengan apa yang dilakukan Hivos dan Resco. Kondisi itu yang mendorong mama Margaretha dan suaminya menyambut baik ajakan Resco untuk bergabung sebagai anggota Lentera sekaligus mengelola kios energi. Sebagai anggota baru Lentera warga wajib membayar biaya administrasi sebesar Rp. 50,000, yang oleh Resco disebut sebagai uang jaminan. Selanjutnya anggota hanya membayar Rp. 2000 setiap kali melakukan pengecasan. Anggota yang sudah melakukan pengecasan hingga 300 kali secara otomatis akan menjadi pemilik lampu tersebut. Untuk menjadi pengelola kios energi, pak Nikolaus dan istri tidak perlu mengeluarkan uang sebagai bayaran atas pemasangan perangkat tenaga surya itu.

“Sistemnya kami bukan memberi secara gratis semua peralatan ini, hanya menitip ke mama Margaretha. Dan di sini tidak ada yang untung sendiri, tapi kami saling berbagi,” ungkap Jeti dari Resco. Menurutnya, ada tahap seleksi untuk memastikan seseorang cocok atau tidak untuk mengelola kios energi. Setelah mendapat informasi atau rekomendasi, Resco harus memastikan beberapa kriteria merek terpenuhi. Antara lain, harus memiliki kios sembako, dekat dengan pemukiman masyarakat, dan pemilik kisonya bersedia.

Masih di Sumba Barat Daya, saya juga bertemu mama Albina Wini (43) pemilik kios energi di desa Wewula dan berkunjung ke SD Inpres Laikarenga, salah satu sekolah dengan kios energi yang digunakan selain untuk membantu menghidupkan komputer untuk operasional sekolah, juga melayani siswa yang ingin mengisi daya pada lampu Lentera mereka untuk belajar malam di rumah. Modelnya sama, tetap berbayar dengan sistem bagi hasil antara Resco dengan sekolah atau pemilik kios sembako.

“Dalam keadaan darurat kami bisa menggunakan telepon selular karena kini semakin mudah untuk mengisi baterai. Ditambah lagi dengan beberapa pelatihan untuk mengingkatkan kapasitas warga mulai dari belajar model bisnis hingga membuat pencatatan keluar masuknya uang,” jelas mama Albina. Sementara kepala sekolah SD Inpres Laikarenga, ibu Karolina Konga Nala, menyebutkan bahwa ada peningkatan prestasi belajar siswa karena lampu Lentera membantu mereka mengerjakan PR dan belajar saat malam hari. Bagi saya, Hivos bukan saja telah membantu mendorong pemerintah untuk melakukan pemerataan listrik di Sumba, namun ikut membantu menyediakan energi dengan harga terjangkau bagi masyarakat kurang mampu. Proyek ini turut mengembangkan perekonomian yang berkeadilan gender, karena saya melihat kaum perempuan menjadi pelaku aktif baik sebabagi pengelola kios energi juga sebagai perempuan yang aktif mengembangkan usaha rumahan atau usaha kecil tambahan entah sebagai penenun, pembuat kue atau penganyam di malam hari, selain pekerjaan berkebun di siang hari.
Belum setahun berjalan Lentera memberi banyak manfaat bagi masyarakat Sumba Barat Daya. Warga Delo tidak perlu lagi berjalan jauh ke pasar Wewula untuk membeli minyak tanah yang harganya juga mahal atau para guru tidak harus membawa laptop ke sekolah lain yang sudah berlistrik untuk mengerjakan berbagai laporan. Mereka menyadari betul bedanya menggunakan pelita minyak tanah dan lampu dari Hivos. Bagi warga lampu Lentera tidak merugikan kesehatan dan cahayanya mendukung kegiatan rumah tangga di malam hari, entah untuk membuat kue atau untuk menganyam. Merontok padi, menjahit, menganyam nyiru dan tikar. Sementara guru dan siswa bisa segera mengerjakan tugas-tugas mereka dengan lancar.
Lantas apa keuntungannya menjadi pemilik kios energi? Mama Margaretha dan suami memang tidak menyebut dengan pasti angka keuntungan per bulannya, namun yang pasti kios mereka selalu laris manis. Ketika orang datang mengecas lampu mereka sekalian belanja sembako. Ketika malam suasana kios energi memang menjadi lebih terang benderang dan menjadi ruang berkumpul untuk mengobrol, main kartu, nonton TV sambil cas lampu dan HP (sambil pesan kopi dan indomi dari mama Margaretha). Nonton televisinya gratis, mengecas HP harus bayar Rp. 1,500 per pengecasan. 
“Dari kios energi juga kami bisa membangun rumah ini secara bertahap,” ungkap bapa Dao dengan wajah berseri. Sedangkan mama Albina, setelah menghitung sana-sini, ongkosnya jauh lebih murah saat ini ketimbang saat masih menggunakan genset dengan bahan bakar bensin untuk memenuhi kebutuhan listrik di rumahnya.
Pihak Resco menyebut sejauh ini sudah mendistribusikan 3250 lampu untuk 30 kios, di seluruh Sumba. Ada banyak permintaan tentu saja setelah masyarakat melihat sendiri lampu ini memberikan dampak langsung yang begitu besar dan nyata. Bahkan mungkin terlampau sederhana untuk dikalkulasi sebab ia begitu murah, mudah dan ramah lingkungan.
Namun pada kenyataanya, program ini juga tidak selalu mulus jalannya. Resco menyebut ada kendala di masyarakat, setelah melakukan monitoring dan evaluasi. Masyarakat cenderung maunya gratis.  Saya memahami sedikit kegelisahan Resco sebab itu juga yang sering saya temui ketika ikut mengerjakan beberapa program yang memang mengharuskan orang untuk membayar, atau bahkan kami sampai menggantikan istilah berbayar dengan istilah ‘berdonasi’, ‘berinvestasi’ dan seterusnya. Saya kira ini tantangannya ketika perspektif masyarakat sudah terlanjur keliru bahwa namanya LSM pasti erat kaitannya dengan memberikan bantuan sehingga semua orang pada akhirnya lupa dengan esensi ‘swadaya’ di dalam akronim LSM. Kedua, menurut saya, perlu adanya sosialisasi yang berkelanjutan dan bahwa Sumba Iconic Island ini sudah harus menjadi kesadaran dan kebutuhan warga, sehingga segala inisiatif memang baiknya harus datang dari warga. Hal ini sebenarnya sudah terjawab dalam proyek Hivos yang lain. Misalnya tentang bagaimana warga di Kamanggih Sumba Timur bergotong-royong membelah bukit agar proses produksi listrik bertenaga air bisa berjalan dengan model koperasi serba usaha. Atau tentang kisah sukses kelompok tani di dekat bandara Umbu Mehang Kunda mengelola biogas yang terintegrasi baik dengan sistem perikanan dan pertanian organik dan semua itu dibangun setengahnya oleh swadaya kelompok tani.
Deddy Haning selaku koodinator program Hivos menilai bahwa proyek ini punya dampak bagus bagi masyarakat. Lanjut Dedy, “ada partisipasi komunitas masyarakat baik materi maupun non materi, sementara koperasinya juga berperan aktif. Kami menambah penguatan bagi koperasi.”

***
Hampir 50 tahun berlalu, sihir puisi Beri Daku Sumba masih tetap sama. Ia membicarakan rindu pada alam, ingatan pada Umbu (Landu Paranggi), pada potensi energi yang besar di Sumba. Ketika dulu membaca puisi itu, saya hanya merasa semangat kedaerahan saya terpuaskan, maka kini puisi itu jadi pengingat dan penguat bahwa ‘beri daku sumba’ dan ‘rinduku pada sumba’ harusnya sudah menjadi ‘beri daku listrik’ atau ‘rinduku pada listrik’, karena Sumba ya segela potensi energi yang kuat itu, yang pernah dilihat Taufik Ismail dan akhirnya kini sedang diwujudkan Hivos: instalasi energi baru terbarukan dengan kapasitas total terpasang mencapai 4,87 MW. Menyumbang 9,8% dari total 37,4% rasio elektrifikasi Pulau Sumba, termasuk: 4.158 rumah tangga terlistriki, 14.868 unit pembangkit listrik tenaga surya, 100 unit pembangkit listrik tenaga bayu, 1.173 instalasi biogas rumah tangga, 12 unit pembangkit listrik tenaga mikro-hidro, Rp 131 Miliar total investasi energi baru dan 16 pelatihan dan 27 penelitian & pengembangan energi baru terbarukan (sumber: sumbaiconicisland.org). 

Dan kita semua berhak untuk optimis bahwa keterlibatan warga semakin besar ke depannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...