Sabtu, 20 Juni 2020

Dicky Senda Merawat dan Merevitalisasi Tradisi Sumber

Bagus Pradana

Artikel ini dimuat di koran Media Indonesia kolom Humaniora/Punggawa Bumi edisi 20 Juni 2020


KEINDAHAN alam di wilayah Gunung Mutis, gunung tertinggi di Pulau Timor, Nusa Tenggara Timur, begitu memesona. Sabana, padang rumput tropis yang menghampar di sela-sela kaki gunung, menggugah hati para pelancong yang menginjakkan kaki di tanah ‘Mollo’. ‘Mollo’ ialah nama dari kawasan adat yang melingkupi di sekitaran Gunung Mutis. Wilayah asri tersebut telah sejak lama dijaga oleh suku Mollo yang secara turun-temurun memegang prinsip-prinsip ekologi tradisional. Namun, di balik keelokannya, terdapat narasi sendu yang selalu dikeluhkan oleh orang-orang tua di seputaran kaki gunung ini karena para pemudanya justru memilih hengkang ke kota. Meski kawasan Mollo terkenal sebagai salah satu daerah subur di Pulau Timor, tetap saja seluruh potensi tersebut kurang begitu menarik bagi mayoritas pemuda yang lahir di sana. Inilah yang mengundang keprihatinan Dicky Senda. Putra daerah, yang sempat berkelana ke sejumlah kota besar di Indonesia ini, akhirnya pada 2011 memutuskan kembali ke dan menetap di kampung halamannya di Desa Taiftob, Kecamatan Mollo Utara, Timor Tengah Utara. 

Sebelumnya, pemuda yang menyukai sastra ini menenempuh pendidikan di Fakultas Psikologi Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Di desanya ini, ia menggagas komunitas Lakoat Kujawas, sebuah komunitas kewirausahaan sosial yang bertujuan mengeksplorasi kearifan budaya setempat. Menurut cerita Dicky, awalnya komunitas ini digagas oleh beberapa anak muda Mollo yang baru pulang kampung. Namun, dalam perjalanannya, mereka juga mulai merangkul orang-orang lintas generasi, dari mulai anak-anak hingga para tetua di Mollo.  

“Kami menyebut diri kami sebagai komunitas warga,” papar Dicky kepada Media Indonesia, pekan lalu, Nama komunitas yang berdiri pada 2016 ini, menurut Dicky, berasal dari nama dua buah yang tumbuh subur di kawasan Mollo, yaitu buah lakoat (biwa) dan buah kujawas (jambu biji). Dua buah yang ia gambarkan menemani masa kecil anak-anak Mollo, yang kemudian menjadi representasi dari harapan dan impian mereka untuk merevitalisasi kembali prinsip-prinsip ekologi budaya di tanah Mollo. 

“Awalnya saya pulang kampung itu untuk riset terkait novel saya karena saya waktu itu sedang menggarap satu naskah novel dan saya pulang untuk mencari inspirasi. Namun, dalam perjalanan pulang kampung itu saya menemukan beberapa potensi yang menurut saya bisa dikembangkan,” jelas Dicky. Pengarsipan Salah satu yang menjadi perhatian Dicky dkk ialah masalah pangan. Dian dan rekan-rekannya lantas mengajak masyarakat di kampung halamannya menghidupkan kembali tradisi-tradisi masyarakat Mollo, termasuk di bidang pertanian. 

“Masyarakat Mollo itu memiliki tradisi yang berakar pada konsepkonsep ekologi secara turun-temurun sehingga wajar jika interaksi sosial mereka selalu selaras dengan alam. Namun, ada masalah di sini karena banyak generasi muda Molo yang memilih merantau ke kotakota basar di Jawa, akhirnya banyak tradisi mereka yang hilang. Itulah mengapa melalui Lakoat Kujawas ini saya mulai melakukan kerja-kerja pengarsipan dan pendokumentasian terhadap tradisi masyarakat Mollo ini,” terang sastrawan muda kelahiran 22 Desember 1986 ini. 

Perlahan-lahan Dicky dkk merevitalisasi beberapa tradisi kampung yang sudah jarang dipraktikan lagi, seperti cara mengolah pangan lokal, cara bercocok tanam, hingga seluk-beluk khazanah kuliner lokal yang menjadi produk akhir dari tradisi masyarakat di lereng Gunung Mutis ini. Dicky dkk pun mulai bertanya kepada orang-orang tua di kampung, mengumpulkan lagi resep-resep masakan tradisional serta cara mengolahnya, dan berbagai narasi cerita yang berkaitan dengan makanan tersebut. Dari usaha pengarsipan itu, komunitas ini berhasil menemukan sekitar 80 jenis makanan dan minuman tradisional asli Mollo. 

“Sebagian besar makanan dan minuman itu sudah tidak ada lagi di meja makannya orang-orang Mollo saat ini. Mungkin kebanyakan bahan bakunya sudah tidak ada lagi atau kalau toh ada masyarakat sudah tidak tahu lagi cara mengolahnya, ada pengetahuan yang terputus di sini,” tukas pengarang yang pernah menerbitkan Kumpulan Cerpen: Kanuku Leon (2013) tersebut. Pengembangan metode pertanian tradisional juga menjadi salah satu program yang sedang diupayakan Dicky dkk. Mereka berusaha menyemai kembali benih-benih lokal yang sudah jarang ditanam di Mollo, serta mengolahnya dengan tata cara pertanian yang rujukannya berasal dari tradisi setempat. Untuk diketahui, masyarakat Mollo bertani dengan sistem ladang berpindah. Mereka akan membuka ladang baru saat musim tanam tiba. Model perladangannya pun menarik, yaitu perladangan tadah hujan yang bergantung dengan dua periode musim hujan, yang mereka sebut musim hujan barat yang biasanya dimulai pada bulan Desember hingga pertengahan Maret dan musim hujan timur yang curah  hujannya tidak setinggi musim sebelumnya, yaitu pada Mei hingga Agustus. 

“Dari belajar bertani ini kami akhirnya tahu bahwa ternyata masyarakat Mollo juga memiliki kemampuan beradaptasi dengan anomali cuaca di Timor yang cukup ekstrem, yaitu kemarau panjang. Setelah musim tanam berakhir, biasanya masyarakat akan bersiap untuk menghadapi kemarau panjang dengan menyimpan hasil panen yang telah diawetkan dan selama kemarau panjang ini mereka biasanya hanya bergantung pada bahan makanan yang telah diawetkan, dikeringkan, dan difermentasi yang mereka simpan di lumbung,” jelas penulis yang pernah mengikuti program residensi di Melbourne Writers Festival 2018. 

Dicky bersama komunitasnya kini kembai memproduksi penganan lokal tersebut. Sebagian besar produk-produk dari komunitas ini ialah produk musiman, yang biasanya telah dipesan terlebih dahulu oleh para pelanggan. Dalam setiap produknya, Dicky kerap menyelipkan beberapa informasi yang berisi edukasi terkait lingkungan hidup. “Komunitas kami mengarah ke social enterprise (kewirausahaan sosial). Jadi, memang kegiatan produksi yang kami kembangkan itu akan selalu melibatkan warga. Selain sebagai upaya pemberdayaan, hal tersebut juga sejalan dengan tujuan kami, yaitu mengembalikan prinsip-prinsip ekologi tradisi yang telah turun temurun diimani oleh masyarakat Mollo,” pungkas Dicky. (M-4)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...