Rabu, 08 Juni 2016

Dari Mojok.co Hingga Ephy Sekuriti: Stereotipe, Inferioritas dan Kisah Lainnya

Saya punya kebiasaan harian ketika berinternet salah satunya membaca artikel terbaru di mojok.co. Mojok bagi saya memberikan alternatif bahan bacaan yang ringan dan menghibur tanpa kehilangan daya kritis. Sedikit nakal banyak akal, begitu katanya. Tapi ketika ketika memuat tulisan hari ini, Sisi Lain Orang (Indonesia Timur yang Jarang Diekspos dari Muksin Kota, saya bahkan sedih setelah membacanya. Saya kok muak ya dengan orang Indonesia timur yang inferior. Inferior supaya bisa masuk Mojok? Please deh. Alih-alih bercanda dan mengolok diri sendiri supaya masuk dengan standar Mojok namun yang terlihat justru memperkuat stereotipe terhadap orang  timur itu sendiri. Sudah bermasalah dengan diri sendiri, tambah lagi masalah baru yakni memperkokoh cara pandang orang lain terhadap orang timur. Ini yang harusnya diubah, dilawan, cara berpikir demikian.
Saya sepakat dengan tulisan Jamil Massa kawan saya di Facebook. "Tapi dengan menyebut beberapa fitur fisik (semisal kulit, hidung dan rambut) tidak akan membuat lelucon itu berkualitas. Belakangan saya melihat Mojok semakin akomodatif dengan humor-humor kering seperti ini." Dengan menggeneralisir bahwa orang timur berciri fisik seperti di atas adalah sebuah ungkapan dari orang kurang piknik begitu tulis Jamil. Maka pikniklah ke Indonesia timur sekali-kali.
Serius kita memang punya dua masalah besar, inferioritas dan stereotipe yang dibangun dan diproduksi secara masif misalnya lewat media di Jakarta sana. Bulan lalu saya menulis kritik saya kepada film Aisyah tentang stereotip dan stigma yang dibangun oleh film yang diproduksi oleh orang Jakarta terhadap Timor Barat. Katakan saja saya lebay, tetapi mengerikan sih jika media populer seperti TV, film dan portal terus memproduksi stereotipe seperti itu dan fatalnya didukung oleh orang-orang timur inferior. Lengkap sudah. Saya ingat kejadian seminggu yang lalu. Tanpa sengaja saya menonton sebuah FTV di SCTV yang pemainnya adalah para komika alumnus acara pencarian bakat stand up comedy. Yang bikin saya betah sekitar 15 menit untuk menyimak tayangan itu karena ada Ephy, komika yang katanya berasal dari NTT. Awalnya saya menduga, pasti ceritanya tidak jauh dari stereotip yang dibangun media Jakarta selama ini tentang orang timur. Eh benar saja, sepanjang 15 menit itu saya melihat Ephy digambarkan sebagai perantau asal NTT yang bodoh tapi jago berkelahi. Bodoh karena tanpa ada rasa malu topless begitu saja di sebuah taman lalu menceburkan diri ke kolam air mancur di tengah kota yang ramai. Ia kemudian ditangkap dan dipenjara. Di dalam penjara, Ephy mampu mengalahkan para tahanan senior yang hendak membully penghuni baru. Maka jadilah Ephy preman yang ditakuti. Atau nontonlah acara Epen Cupen di Global TV, sebelas duabelaslah. Dan memang begitu cara pandang dan cara melabeli ala media mainstream di Jakarta sana. Mereka seperti kehabisan ide, kalau ada talent orang timur ya skenarionya harus begitu.
Ketika saya menulis kritik saya untuk film Aisyah, Arie Kriting sampai harus mention saya di Twitter dan memberikan penjelasannya bagaimana ia selama ini hadir di industri hiburan Indonesia dengan membawa nama Indonesia timur. Ia bahkan bilang bahwa ia selektif menerima pekerjaan, jika tidak sesuai dengan kondisi Indonesia timur yang sebenarnya akan ia tolak. Saya abaikan saja, toh saya sudah kecewa berat dengan Timor yang digambarkan dalam film itu. Arie, bagi saya sudah ikut memproduksi dan menyebarkan stereotipe dan stigma tentang orang-orang timur. Tak jauh berbeda dengan Abdur dan Ephy, misalnya, ketika keluar dari ajang pencarian bakat lalu terjun dan larut dalam paradigma industri media hiburan di Jakarta  sana yang doyan melabeli. Lantas mereka ini inferior dan rela ikut skenario mainstream media hiburan nasional? Hmm...
Hari ini kita di Indonesia timur masih terus melawan stereotipe dan stigma seperti itu. Besok-besok, jika ada masalah apa di timur atau mengenai orang timur, banyak yang akan gampang mengiyakan atau mengamini—memang begitulah orang timur. Makassar di bingkai stasiun TV nasional yang sedikit-sedikit tawuran mahasiswa. Ingat film dokumenter Linimassa 2? Bagaimana anak-anak muda Ambon menggunakan media sosial untuk melawan stasiun TV nasional yang gampang sekali 'bikin panas' dengan berita Ambon Rusuh, Ambon Memanas, bla bla. Kasus Poso, Talikora Papua dll adalah contoh bagaimana stereotope dibangun, jadi bahan jualan, tingkatkan jumlah rating dan klik. Lalu orang ramai merespon, lebay memberikan rasa solidaritas karena melulu dicecoki berita bohong. Dan militer akan selalu punya alasan sok pahlawan untuk 'mengamankan' wilayah timur, 'mendidik' wilayah timur.  Dan 'menguasai' wilayah timur.
O ya, akan tiba di masa ketika kamu orang timur, mau melawan segala kesewenangan, kekeliruan, pembiaran, dsb yang terjadi di daerahmu dan kau akan dicap... balik lagi ke pasal 1, stereotipe: bodoh, malas, susah diatur, tukang makar, preman, pengacau, dst.
Itulah mengapa saya tak mau inferior jadi orang timur, menolak segala bentuk stereotipe atas nama orang timur.
Kalau kata teman baik saya, kak Rosna Benadetha, mental inlander itulah yang harus kita lawan!
Salam dari lembah Mollo, Timor Tengah Selatan...


Baca juga  Aisyah Biarkan Kami Beragam Bukan Seragam http://christiansenda.blogspot.co.id/2016/05/aisyah-biarkan-kami-tetap-beragam-bukan.html?m=1

3 komentar:

  1. Koreksi dikit kak, Ephi itu dari StandUp Academy Indosiar. Hehe. :D

    Soal stereotipe-stereotipe ini tidak hanya di Timur, kami di sulawesi pun ada stereotipe seperti itu bagi mereka yang katanya tinggal di kota besar. (ironinya banyak juga orang sulawesi yang berpikiran sama soal Timur. ckck). Soal Arie kriting itu juga sa setuju. Mereka-mereka komika dari timur katanya mau memperkenalkan dan menaikkan martabat orang timur, tapi materi standUpnya tidak demikian. Belum lagi soal peran-peran mereka di acara tv atau film. Haduh mama sayangeee... #TerAbdur Haha

    salam kenal kakak, dari Gorontalo. :)

    BalasHapus
  2. Salaam, Bang. Wah senang sekali membaca tulisan ini. Saya Kasiyanto, kelahiran Lembata tapi sudah sedari kecil sampai sekarang di Batam. Sebelumnya saya meng-iyakan apa yang abang bilang orang Jakarta lakukan, karena bahkan di Batam pun saya melihat keadaan itu. tapi setelah baca ini, saya sepakat bahwa hal-hal buruk yang dilakukan orang timur itu bisa saja dilakukan oleh siapapun. Tugas kita hari ini adalah melawan inferioritas dan pandangan stereotip orang lain terhadap kita. Salaam :)

    BalasHapus

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...