Rabu, 25 Mei 2016

Air di Timor Dulu, Kini dan Nanti



Saya hanya tiba-tiba punya pikiran untuk menulis catatan ini ketika selesai nonton film Aisyah. Sebelumnya saya sudah menulis catatan kritis tentang film itu di sini. Kali ini saya mau berpendapat soal air di Timor. Problem air yang juga diangkat di film Aisyah. Timor yang kering dan gersang digambarkan jelas di sana. Saya sendiri kagum dengan daya tahan orang Timor di pulau ini. Problem air memang sudah sepanjang sejarah peradaban manusianya.
Bicara air, bicara kekeringan di Timor, saya tiba-tiba ingat beberapa dongeng saat masih kecil dulu di Mollo. Dongeng yang kemudian menginspirasi saya menulis cerita-cerita pendek yang terkumpul dalam buku Kanuku Leon (2013). Ceritanya begini, zaman dahulu pulau Timor dikuasai oleh raja-raja dari wilayah Belu dan sekitarnya. Mereka konon adalah keturunan dewa matahari. Para putra mahkota, kakak beradik itulah yang disebut pergi ke arah barat sehingga akhirnya lahirlah kerajaan baru Banam, Onam dan Oenam atau pusat kekuasaan yang kini dikenal dengan nama Amanatun, Amanuban dan Mollo. Mollo sendiri adalah kampung halaman saya, yang diceritakan dikuasai oleh salah satu putra mahkota dari timur dengan misi utama ingin menguasai mata air. Di Mollo ada gunung Mutis, gunung tertinggi di NTT yang berselimutkan hutan lebat dan gunung-gunung juga perbukitan karst di sekitarnya. Itu sebab Mollo kaya akan marmer, dan lebih dari itu hutan dan bebatuannya menangkap dan menyimpan banyak air. Air yang kemudian mampu menghidupi beberapa kabupaten di pulau Timor seperti kabupaten Kupang, TTS, TTU dan Malaka.
Kami di Mollo sendiri punya cara sendiri untuk hidup berelasi dengan alam semesta. Istilah 'oe' atau air dan 'fatu' atau batu akan sangat familiar di Timor. Maka lahirlah sebutan 'oekanaf' atau air nama, dan fatukanaf atau batu nama. Batu dan mata air akan dinamai, biasanya merujuk pada marga atau klan tertentu selain tanah suku atau hutan adat. Orang Timor khususnya suku Dawan yang berdiam di kabupaten TTS, TTU dan Kupang punya filosofi yang mengakar dalam jiwa dan darah mereka bahwa alam semesta tak ubahnya adalah tubuh manusia itu sendiri. Hutan adalah rambut, tanah adalah kulit, batu adalah tulang, air adalah darah. Seperti tubuh manusia yang disokong oleh-oleh kulit, tulang, darah dan rambut maka alam semesta pun demikian, utuh dan saling berhubungan erat. Jika salah satu elemen hilang atau rusak maka yang lain pun akan terganggu. Pemberian sifat dan karakter pada alam semesta menjadikan orang Dawan di Timor tidak bisa dilepaskan begitu saja dari alam. Mereka hidup bersama dan saling bergantung. Bahkan di kampung saya di Mollo, pensifatan terhadap alam semesta sangat spesifik, misalnya Mollo Utara adalah Fatunaususu atau batu yang menyerupai payuradara perempuan yang menyusui batu-batu kecil di sekitarnya. Faktanya, di sekeliling lereng Fatunaususu banyak sekali mata air. Contoh lain, Mollo yang disebut sebagai saudari perempuan dari gunung atau menyebut fetonai atau perempuan agung untuk lebah madu. Relasi ini hidup dari generasi ke generasi, lestari lewat hukum adat, tuturan, syair, dongeng, legenda dan mitos. Fatukanaf dan Oekanaf bahkan adalah tempat-tempat yang dikeramatkan, penuh dengan aneka ritual dan hukum adat. Hal ini tentu saja mendukung sikap penghormatan terhadap alam dan semua itu sudah menjadi bagian dari sebuah struktur kesadaran kolektif. Karena selalu yang diingatkan adalah semua yang didapat dari alam digunakan untuk kepentingan bersama. Hukum adat atau mitos ampuh untuk menekan egoisme dan ketamakan pribadi.
Fatunaususu,  menyembul seperti payudara ibu dengan danaunya
Kearifan lokal seperti ini yang menurut saya tidak sukses diterima generasi sekarang. Modernisme memang tak bisa dielakkan dan mendatangkan sikap-sikap baru baru manusianya, tak terkecuali manusia di Timor. Bagi saya, untuk melihat problem Timor hari ini makan harusnya tak bisa kita melepaskan diri dari tatanan kebudayaan yang sudah terbagun sekian ribu tahun. Bagaimana peradaban nenek moyang kita berlangsung. Tentu saja dulu mereka pun mengalami masuknya arus informasi atau kebudayaan baru dari mana-mana tetapi pilihan untuk kembali ke jalan kebudayaan tetap dipakai. Saya kira hal seperti ini yang saat ini perlu dikembalikan. Tak ada salahnya untuk meriview kembali kearifan lokal untuk dipadukan dengan solusi yang lain atas setiap permasalahan yang terjadi di Timor.
Bicara krisis air di Timor, jalan kebudayaan harusnya juga menjadi perhatian LSM, pemerintah atau CSR perusahaan ketika hendak membuat sebuah program bantuak sosial untuk masyarakat, termasuk ketika kita bicara masalah air bersih. Krisis air bukan baru sekarang. Orang pertama yang menghuni pulau ini sudah mengidentifikasi diri mereka sebagai atoni meto atau pah meto, orang atau manusia kering. Keadaan geografis Timor memang unik, karena diapit dua benua sehingga kondisi alam dan iklim pun demikian uniknya. Ada musim kering, ada musim hujan tapi tidak melimpah juga hujannya. Ketika musim panas, kekeringan bisa sangat ekstrem namun ketika hujan sebagian wilayah juga rutin kebanjiran. Kesadaran ini bahwa sudah dirasakan oleh nenek moyang kita dulu, makanya ada raja khusus yang diutus untuk menguasai salah satu daerah tangkapan air terbesar di Timor, yakni Mollo. Mereka sadar bahwa mereka perlu untuk melindungi hutan dan gunung tertentu, salah satu caranya adalah memperlakukan alam semesta seperti sesama manusia. Ada ikatan emosional antara manusia Timor dengan alam semestanya. Dan itu terjaga hingga kini. Meski di zaman penjajahan Belanda maupun Orde Baru, upaya penguasaan lahan adat/tanah ulayat yang biasanya di dalamnya ada fatukanaf dan oekanaf terjadi dan menyebabkan gesekan juga konflik. Memuncak ketika pemerintah masuk dengan ‘baju’ program hutan tanaman industri, hutan lindung atau hutan lindung dan disaat yang bersamaan, menafikkan kearifan lokal, aturan adat dan sistem yang sudah dibangun selama ini. Pendekatan-pendekatan kebudayaan yang tetap menjadikan manusia dan alam secara seimbang tanpa ada yang tereksplotasi secara masif, sebagai kawan dan partner, bukan sebagai tuan dan budak.
Kita pernah mendengar program reboisasi hingga pipanisasi yang dilakukan pemerintah, LSM dan korporasi, sebut saja yang terakhir dan paling terkenal yakni program Ada Aqua dengan tagline “Terima kasih kaka, sekarang sumber aer su dekat...” Pipa dan bak-bak air dibangun dimana-mana namun setelah pemerintah, LSM atau perusahaan itu angkat kaki, semua kembali ke nol lagi. Saya mengira pendekatan atau jalan kebudayaan tidak dipakai, atau dipakai namun tidak maksimal. Mengapa keatifan lokal lewat hukum adat, legenda, dongeng, mitos dan syair itu bisa hidup ratusan bahkan ribuan tahun? Kesadaran kolektif itu yang hendaknya digali, melibatkan mereka secara aktif. Dengan alasan kepraktisan dan modernisme, kita memang mendekatkan air ke samping rumah melalui pipa. Namun sebenarnya kita juga sudah menjauhkan mereka dari kesadaran kolektifnya, dari fatukanaf dan oekanaf tadi: titik awal dari kehidupan mereka. Pipanisasi dan baknisasi boleh dilakukan namun baiknya tidak menutup akses warga dengan titik-titik penting tadi. Ketika pemerintah sejak zaman Orde Baru melakukan reboisasi dan HTI lantas memagari hutan, membuat patok dan menutup akses masyarakat ke situs-situs leluhur, oekanaf dan fatukanaf mereka tentu sangat tidak bijak. Semaju, semodern dan seinovatifnya kita memang baiknya nilai dan filosofi yang arif dan bijaksana dari leluhur itu tak boleh diabaikan. Kita harus berani menempatkan kearifan lokal itu secara tepat dan proporsional. Saya ingat sebuah contoh di salah satu lereng Mutis ada mata air besar yang dipakai untuk PDAM di kabupaten TTS dan TTU untuk mengalirkan air. Namun yang saya lihat, kesadaran pemerintah untuk melindungi area sekitar mata air itu juga sangat lemah. Akses masyarakat adat sudah dibatasi sejak lama oleh departemen kehutanan. Padahal sejatinya hanya kepada merekalah sumber air itu bisa dilestarikan lewat hukum adat, dongeng, mitos, legenda, dll. Berharap pada pemerintah? Yang saya dengar pembalakan hutan di lereng Mutis juga masif dan pelaku lolos-lolos saja karena mudah untuk menyuap polisi hutan atau polisi umum. Mudah untuk menyuap hakim dan jaksa. Hal yang bertolak belakang jika kita bicara tentang ranah hukum adat.
Jadi, jika film seperti Aisyah ingin memotret masalah air meski cuma sepotong dan tidak mendalam itu, maka tidak jauh beda dengan apa yang dilakukan pemerintah, LSM, atau korporasi selama ini. Sekali lagi bagi saya, jalan kebudayaan adalah sebuah keniscayaan.

Salam



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...