Minggu, 19 Juni 2016

Batu yang Menangis dan Melahirkan Seribu Anak Sungai

Temanku bilang bahwa lelaki tua itu luar biasa karismatiknya. Aku bilang, istrinya, mungkin terlihat biasa di matamu tapi jauh lebih misterius bagiku. Bukankah di rumah bulat beratap ilalang itu ia lebih berkuasa? Ada tiang di rumah mereka yang dinamai tiang perempuan. Di pokoknya ada batu altar yang masih dipenuhi bercak darah ayam sementara di atasnya bergelantungan sebuah topeng agak mengerikan rupanya. Topeng itu mengingatkanku pada sosok kakek yang bengis di masa kanakku. Aku sendiri tak tahu jam berapa mereka tidur, bangun pagi dan memasak. Tiga kali aku berkunjung ke rumah mereka dan perempuan tua itu seperti sangat sibuk sekali dengan beberapa urusan di luar rumah, tepatnya di kampung sebelah. Berjalan kaki membelah beberapa bukit dalam sunyi. Tapi entah kapan ia pulang ke rumah, menyelinap begitu saja ke dapur dan menyiapkan sarapan untuk kami lalu menghilang lagi; ke kebun kata suaminya. Siangnya, ketika kami sudah selesai makan, lelaki tua itu bilang bahwa istrinya sedang menghadiri pesta pernikahan keponakaknya di kampung sebelah. Sungguh, dia si gesit keturunan Dewa Angin. Perempuan agung bergaris muka tegas.
Temanku terlalu banyak mengobrol dengan lelaki tua yang sudah memutih rambutnya sepanjang kami menginap di rumah mereka. Sedangkan aku sedang menanti kapan perempuan tua itu pulang kemudian berhasil menangkap keberadaanya di dapur sembari melontarkan beberapa pertanyaan kepadanya. Aku ingin duduk disampingnya dan melihat ia menuliskan pesan rahasia di atas lembaran kain yang hampir usai ditenun. Aku bisa saja sok berusaha menyingkap pesan itu, sementara ia kukuh pada kisah normatif akan makna dari motif kain yang sedang terbentang di atas pangkuannya. Sekali lagi, jangan terkecoh dengan perempuan tua misterius. Hingga tiga hari kami menginap di rumah itu, aku melihat perempuan  itu bergerak seperti angin. Aku mulai menduga-duga, jika ada tamu di rumah maka barangkali ia akan pergi menenun di padang. Atau barangkali pergi tidur bersama arwah nenek moyangnya di pucuk bebatuan.

***
Dari internet aku melihat berita dan fotonya ditulis oleh seorang wartawan asing. (Berita tentang suaminya sudah terlalu umum). Kau tahu, bertandang ke rumah kedua pasangan ini seperti sedang pulang ke sebuah kisah dongeng yang lama hidup di kepala namun kita sendiri tak tahu siapa yang mengembuskan kisah itu pertama kali. Ia lekat sekaligus nyata. Pekat sekaligus samar-samar. Dalam foto yang dimuat portal berita asing, perempuan tua itu seperti sedang merangkak di atas padang mahaluas di kaki gunung purba altar pemujaan mereka. Dongeng yang pernah mengendap di kepalaku tersingkap jua. Barangkali mereka merangkak untuk menghormati leluhur. Rambut keriting perempuan itu dibiarkan terurai, kering dan berwarna perak disaput angin gunung. Pada artikel itu tertulis bahwa perempuan tua sedang merapalkan sederet mantra yang lebih kedengaran sebagai nyanyian yang menusuk-nusuk pohon telinga, membongkar segala yang bersemayam di alam bawah sadar orang sekampung. Madah yang mampu membuat akar segala tanaman bergejolak bersama pucuk daun yang menyeruak ke arah matahari. Tapi untuk apa ia memengaruhi alam sadar kita? Artikel itu menulis lagi bahwa ada pesan tersirat bagi siapa saja untuk menjaga lingkungan. Ah,  terlalu klise. Aku berbicara dalam hati. Perempuan ini benar-benar misterius. Kupikir ia lebih hebat dari suaminya.
Tiba-tiba perempuan tua itu sudah berada di depanku masih berpakaian adat lengkap. Kain tenun bermotif garis dan jajar genjang, berwarna seperti pelangi, menutup tubuhnya. Kalung muti menjuntai dengan gelang dan tusuk konde dari perak, membuatnya kian perkasa. Kukira ia baru saja pulang dari pesta nikah keponakannya. Kabarnya lokasi pesta di balik gunung sana, lalu bagaimana mungkin ia begitu gesit pergi dan kembali dalam satu hari ini? Aku membayangkan tubuh kurusnya terbang dan menempel dari satu dahan ke dahan lainnya. Ataukah ia menunggang kuda yang pada sebuah kemiringan tanah menjelang lembah kuda itu menerbitkan sayap dari punggungnya lalu terbang melewati kanopi hutan ampupu?
Krek!
Pintu rumah ditutup. Aku terpaku dengan ponsel pintar masih menampilkan wajah kusut perempuan sedang merangkak di padang di kaki gunung purba. Aku melempar pandanganku ke wajanya lalu ke atas kepalanya yang disusupi dua batang tusuk konde berbahan perak. Air mukanya datar, bibir merah sirih pinang dan tangan kanannya yang masih menarik ujung kain tenunan. Ia seperti sedang menghadangiku, atau tepatnya ia seperti hendak memakan tubuhku.
Refleks aku berdiri.
“Kau mencariku?” tanyanya singkat.
“Bagaimana kau bisa tahu?”
“Di manapun aku berada, angin selalu memberitahuku. Kau harus tahu bahwa angin selalu menyentuh kita dan membisikan sesuatu pada kita. Hanya saja kau belum memasang telinga di situ.” Ia menunjuk ke dadaku. Ada telinga di dada, yang benar saja.
“Em, bisakah kita mengobrol di luar. Di sini terlalu gelap dan pengap.”
Perempuan itu membalik tubuhnya, bukan hendak membuka pintu melainkan menanggalkan sarung tenunnya. Kulihat gundukan pantatnya sudah mengeriput. Ia mencabut dua tusuk konde dari gelung rambut dan membiarkan ikal rambut perak mengembang. Ia seperti penyihir. Ia seperti suanggi yang menakjubkan, suanggi yang sebenarnya. “Suanggiawi”.
Kau boleh bilang aku penyihir ataupun suanggi. Tapi baiklah kita menangis.”
Ini gila! Tidak.
“Menangis akan menyelamatkan jiwamu dari kegilaan dunia.” Ia berucap seperti seorang guru spiritual. Tapi tubuhnya masih membelakangiku. Barangkali ia malu mempertontonkan payudara dan kemaluannya kepadaku.
Dan ia mulai menangis. Dimulai dari tarikan ‘eee’ yang meliuk panjang dan menusuk. Aku mulai merasa perempuan ini gila. Ia sedang tidak menyembuhkan diri dari kegilaan namun sedang menuju kegilaan itu sendiri. Bagaimana mungkin ia telanjang dan menangis seperti kuturui, seperti hantu?
Ia melengking lagi dengan nada naik turun yang menyayat hati seperti mengeluarkan seribu tangan yang menggapai-gapai tubuhku untuk larut dalam pusarannya yang biru. Sendu. Haru.
Apakah aku sedang tersesat dalam upacara pemanggilan roh? Seribu tangan kini telah menggapai kaki dan pinggangku juga kepalaku. Rasanya seperti usapan ibu ketika aku balita, rasanya nikmat seperti menghisap puting susu ibu. Aku biru, sendu dan haru sudah. Dan kini aku telanjang dan bulu-buluku meremang. Sesuatu sedang menuju ke ubun-ubunku.
Perempuan tua itu berpaling padaku dan kami saling melihat ketelanjangan kami masing-masing. Terkejut kulihat satu dua telinga bergelatungan di dadanya diantara gundukan keriput payudaranya. Air matanya tumpah dan teriakan ‘eee’ semakin mendayu-dayu. Ia tidak menangisi ketelanjangan kami tentu saja. Sementara aku yang masih diambang sadar dan haru seperti juga mau jatuh dalam medan mimpinya. Bulu-bulu disekujur tubuhku tertiup angin semilir, membuatku sakit dan munculah anak-anak telinga di dadaku. Terasa dingin dan berair. Ada yang meluruh dari kakiku. Kemudian rumah ilalang ini membantu.
***
Mereka menari dalam tangisan sampai kaki mereka mengeluarkan anak sungai. Dalam rumah bulat gelap. Hingga seribu tahun lamanya, hingga rumah itu menjadi batu. Batu bernyanyi dan berair. Air yang menghidupi seratus kampung. Setahun sekali batu itu terperciki darah ayam dan orang-orang datang untuk menempelkan telinga mereka ke dinding batu. Sebuah ritual menyingkap dongeng. Ada tangisan terdengar dari dalam sana, ada harapan bahwa besok dan lusa, hingga tahun depan, air akan lancar mengalir ke kebun dan sawah. Hujan selalu tepat janji.
Menangislah kau di sana. Jiwamu abadi. Tempelkan telingamu di sana. Jiwamu kekal. Barangsiapa yang datang membawa bercak darah ayam, menempelkan telinganya dan ikut meraung sedih kelak jiwanya akan bersorak diliputi sukacita sebab air kehidupan tak henti mengalir. Dari dadamu akan tumbuh banyak telinga untuk lebih teliti mendengar sabda angin. Dengan begitu, kaummu akan selamat dari kegilaan dunia. Dan bersyukurlah, masih ada orang asing yang mau tersesat bersama perempuan tua di dalam batu itu. Batu yang menangis dan melahirkan seribu anak sungai bagi cucu-cicitmu. Barangkali kau yang membaca tulisan ini adalah orang berikutnya yang akan hirap dalam ratapan perempuan tua dan telanjang.

Liliba, 2015


1 komentar:

  1. Saya suka. Bagaimana caranya membuat pembukaan cerpen kak?

    BalasHapus

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...