Refleksi Sastra di Kupang
Saya termasuk orang yang merasa beruntung tinggal di Kupang dan merasakan sendiri sastra dan kebudayaan bergeliat di kota karang ini. Tentu karena saya berada bersama dengan orang-orang muda (dan yang tua tetapi punya semangat muda) dalam berkarya, membangun sebuah iklim kesusasteraan yang bernas, kreatif, fresh, dan bernilai besar. Mereka adalah orang-orang muda dan yang berjiwa muda yang meluangkan waktu, tenaga dan pemikirannya untuk membangun, memperkaya dan mewarnai kesusasteraan di kota karang pada khususnya dan NTT pada umumnya, tanpa keluhan, dengan semangat positif yang menyala-nyala.
Saya merasakan betul suasana penuh persahabatan dan persaudaraan di antara mereka. Ada komunikasi, ada keterbukaan untuk saling memperkaya satu sama lain. Ada ruang untuk berkomunikasi dan berbagi pengalaman. Selalu ada cara untuk saling menumbuh-kembangkan semangat dan potensi satu sama lain. Saya rasa itulah berkomunitas yang sejati. Itulah bersastra yang tulus.
Ada Rumah Poetica, ada Dusun Flobamora, ada Santo Mikhael. Ada jurnal sastra Santarang, ada pula majalah sastra Filokalia. Ada Alpi Cafe, OCD Cafe Lasiana, ada Penginapan keuskupan, ada taman Nostalgia hingga aula seminari St. Mikhael,sebagai tempat berkumpul, berbagi cerita, atau sekedar ngopi dan membaca puisi lalu saling menumbuhkan.
Saya rasa inilah peristiwa kebudayaan dan kemanusiaan yang murni.
Tak ada upaya yang terlalu besar untuk sekedar memegahkan diri sesaat. Tapi selalu ada cara untuk bertemu dan Babasa (baomong dan babaca sastra). "Kita bergerak dalam kesunyian, sebab kita dunia sunyi (dusun) Flobamora. Sebab karena karya kita dalam sunyi itu, dunia akan tahu dan mengamininya," begitu kata Amanche Frank Oe Ninu dalam sebuah kesempatan kepada saya.
Saya sangat menghargai persaudaraan ini dan berterima kasih kepada kalian yang dengan hati terbuka mau melayani setiap pertanyaan atau pembawaan saya. Mengajak saya sekalian mengkritik karya saya. Menumbuhkan semangat dan menghibudpkan semangat bersastra saya, yang mungkin kalian lakukan tanpa sadar. Dan memang demikian adanya. Saya sangat menghargai relasi kita selama ini.
Maju terus sastraNTT. Dari Kupang, kota karang, ibukota Nusa Tenggara Timur, semangat ini memang harus demikian: bertumbuh dan menyala untuk daerah-daerah lain di NTT. Mungkin pula dengan gerakan ini kita sebenarnya sedang ingin menyeimbangkan kabar politik atau kriminal yang setiap hari menguras energi kita dengan kesejukan-kesejukan sastra dan budaya.
Kita Flobamora.
NB: Berikut ini adalah beberapa foto yang penulis sempat abadikan di sela acara peluncuran novel Mata Likku karya Christo Ngasi (calon imam asal keuskupan Sumba) di Aula Seminari St. Mikhael Kupang beberapa waktu lalu.
Amanche Frank Oe Ninu (berbaju hitam) bersama Abdul M. Djou. Amanche adalah seorang imam (pastor) dari Keuskupan Agung Kupang. Pegiat sastra, salah satu penggagas komunitas sastra Dusun Flobamora dan jurnal sastra Santarang. Mengabdi di SMAK Giovanni Kupang. Pernah hadir dan memperkenalkan sastra dan budaya NTT ke beberapa even internasional antara lain: Ubud Writers And Readers Festival dan Makassar International Writers Festival. Romo Amche-lah yang selalu bersemangat mempersatukan pegiat-pegiat sastra di kota Kupang untuk berkumpul, minum kopi, makan ubi rebus sambil baca puisi di kediamannya di Penginapan Keuskupan Kupang.
Abdul M Djou, bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora. Seorang guru sekaligus penyair dan rapper. Kerap menulis puisi dan menampilkannya dalam gaya rap.Baru saja pulang mengajar di program SM3T dari Malinau, Kalimantan Timur.
Abu Nabil Wibisana (baju putih) termasuk pegiat dan pemerhati sastra Nasional, beberapa waktu itu menetap di Kupang karena urusan pekerjaan dan begitu terbuka untuk bergabung, mengapresiasi dan memberi semangat kepada teman-teman pegiat sastra di Kupang.
Robby Fahik (baju hitam), penulis novel Badut Malaka, Yan Sehandi (tengah) kritikus dan pemerhati sastra NTT. Seorang dosen di PBSI Univ. Flores. Oleh sastrawan Gerson Poyk, Yan Sehandi digelar 'HB Jassin'nya NTT karena keseriusannya mengkritik dan mendokumentasikan karya-karya sastra asal NTT.
Dan Sipri Senda (nama pena Prim Nakfatu), seorang imam Keuskupan Agung Kupang. Aktif menulis cerpen dan puisi. Buku puisinya Fatamorgana Langit Sabana dan buku cerpen Katuas Gaspar.
Gusti Brewon (berdiri) seorang aktivis HIV/AIDS sekaligus sosok yang paling setia mendukung seluruh kegiatan-kegiatan positif yang dilakukan anak-anak muda NTT, dalam bidang apapun, termasuk sastra. Kerap hadir dalam pertemuan sastra sebagi bentuk dukungan terhadap perkembangan kesusasteraan di NTT. Samping om Gusti, Dody Doohan Kudji Lede, penyair yang paling aktif menggelar temu sastra bulanan di Taman Nostalgia Kupang sebelum akhirnya even bulanan itu diboikot oleh Pemda tanpa alasan yang jelas.
Saya harus memberikan jempol, rasa salut dan ucapan terima kasih kepada teman-teman pegiat sastra dari Seminari Tinggi St. Mikhael Penfui Kupang. Mereka ini saya anggap sebagai 'penyeimbang' sekaligus 'penjaga' iklim sastra di NTT sehingga tetap fresh dan 'bernapas' dalam situasi apapun. Yah, ketika komunitas lain di luar sana bertumbuh, seret atau mati suri lalu bangkit lagi, mereka di Seminari seperti pelari marathon, pelan dan pasti bergerak, dalam sunyi terus berkarya dalam kesederhanaan dan kebersahajaan. Konsisten dan semangat mereka itulah yang sata ambil. Mereka kini mengelola majalah sastra Filokalia, bikin program SMS (sastra masuk sekolah) semacam program Kakilangit di Horison, yakni tim redaksi turun ke sekolah-sekolah di kota Kupang, bikin workshop menulis puisi dan cerpen ke murid-murid SMP dan SMA. Hasil karya terbaik akan ditampilkan di majalah Filokalia. Kereeen. Banyak diantaranya menghiasi kolom sastra mingguan di media lokal, menerbitkan buku puisi dan cerpen juga novel. Dan dalam waktu tertentu mementaskan drama/musikalisasi puisi juga membedah buku karya mereka sendiri. Luar biasa kan?
Terima kasih kawan-kawan...
Abdul M Djou (kaos biru) dan Hiro Nitsae. Hiro adalah seorang calon imam dari Keuskupan Agung Kupang. Buku puisi yang bakal terbit adalah Karnaval Airmata Tiga Musim bersama dengan Abner Midara dan Januario Gonzaga. Kabarnya buku tersebut langsung dibedah oleh Putu Wijaya dan Sunlie Thomas Alexander di halaman prolog dan epolog. Selamat.
Ragil Supriyanto Samid alias Ragil Sukriwul (baju merah) sastrawan NTT yang sudah malang melintang di Jawa. Selalu hadir dan memberi warna dan kesegaran bagi sastra NTT, dengan menggiatkan acara bulanan Babasa (babaca dan baomong sastra) di Kupang, beberapa pementasan teater/monolog dan acara seni lainnya, sambil memperkenalkan buku puisinya Avontur.
Pion Ratuloly (memegang gelas) sedang mengobrol dengan Januario Gonzaga. Pion tercatat dalam sejarah sastra NTT sebagai salah satu pendiri Rumah Poetica, Dusun Flobamora dan komunitas sastra Lamahala. Bersama teman-teman mahasiswa Lamahala baru saja menerbitkan buku antologi puisi Tanah Ketuban. Pion pernah menulis novel Atma. Sedangkan Januario, seorang calon imam dari Kesukupan Agung Kupang. Termasuk yang paling produktif menulis cerpen dan esei sastra. Cerpennya Manusia Sepotong Kepala pernah termuat dalam antologi cerpen dengan judul yang sama bersama teman-teman Dusun Flobamora lainnya. Kini sedang mempersiapkan peluncuran antologi puisinya, Karnaval Airmata Tiga Musim.
Pater Herman Punda Panda, Pr (berbaju batik ungu, membelakangi kamera, pastor yang dikenal aktif mengkritisi sastra NTT), bersama Roby Fahik, Yan Sehandi, Abdul M Djou dan Amanche Frank Oe Ninu sedang membicarakan jurnal sastra Santarang edisi Oktober yang dipegang pak Yan.
Pion Ratuloly dan novelis Christo Ngasi (tengah) dalam acara bedah novel Christo berjudul Mata Likku (sebuah novel berlatar budaya Sumba).
Dari kiri ke kanan: Pion Ratuloly, Gusti Brewon, Abdul M Djou, Abu Nabil Wibisana dan Dody Doohan Kudji Lede.
Amanche Frank Oe Ninu bersama Ragil Sukriwul
Para pegiat sastra kota Kupang berfoto bersama...
keren bisa berbaur dengan lingkungan sastra :-D, sering brkumpul lg, sukses
BalasHapus