Pada awalnya saya harus berputar otak untuk menerbitkan karya pilihan saya dan untuk itu saya harus bertanggungjawab untuk menggarap dengan baik. Beberapa cerpen yang sudah pernah dimuat di media, saya permanis lagi bahasanya juga pertajam konfliknya (yang juga dibantu editor keren, teman baik saya, penyair muda NTT, Mario F Lawi).
Setelah saya cukup pede dengan naskah yang ada, saya dihadapkan kepada satu problem lagi (yang mungkin juga dialami oleh kawan-kawan penulis lainnya asal NTT) yakni penerbitannya. Tentu saja lewat jalur indie seperti yang selama ini dilakukan oleh kawan-kawan penulis asal NTT. Saya lantas mengingat kata-kata Mario, "pantang untuk mengeluh, apalagi mengeluh karena proses kreatif kita penulis NTT tidak didukung oleh Pemerintah atau siapapun". Tapi saya pede juga karena ini merupakan proyek menulis buku ketiga yang pernah saya lakukan dan semuanya serba indie.
Dulu ketika pertama kali menerbitkan buku puisi perdana saya, Cerah Hati tahun 2011 (cetakan pertama dan cetakan kedua) saya yang sedang terhambat dana untuk mencetak kemudian berpikir keras, "apa yang bisa saya lakukan supaya karya saya bisa terbit dan biaya bukan jadi kendala...". Saat itu saya sudah aktif sebagai blogger dan saya pikir saya harus berbuat sesuatu dari media sosial, dalam hal ini untuk membantu pendanaan penerbitan buku saya. Jadilah lewat galang dana kecil-kecilan di kampus, komunitas dan kawan-kawan di medsos, saya bisa juga meloloskan naskah Cerah Hati meski dengan tiras yang kecil. Saya pun kala itu memakai Facebook untuk memasarkan buku saya (termasuk juga pre order: pembeli membayar sebelum proses cetak).
Setahun kemudian, ketika sedang mengumpulkan tulisan kawan-kawan alumni SMAK Syuradikara yang akan dibukukan menjelang ulang tahun almamater ke-59, saya kembali melakukan hal yang sama: melakukan hal yang dalam bahasa kerennya, crowd-funding. Judul bukunya 5900 Langkah: Antologi Cerita Alumni Syuradikara. Untuk menarik minat para alumni, pertama-tama saya gandeng lebih dari 25 penulis dari latang belakang angkatan berbeda. Kedua, saya matangkan konsepnya bersama seorang teman yang jago desain. Kita bikin poster dan rajin promo ke Facebook dan Twitter. Satu per satu peminat bermunculan. Ketiga, saya menjual ide: dengan donasi minimal Rp.50.000 setiap alumni akan mendapat 1 eksemplar buku 5900 Langkah, dan selanjutnya seluruh keuntungan akan dipakai untuk mendukung teater Evergrande di Syuradikara yang saat itu memang lagi bertumbuh dan berkembang dengan baik.
Bantuan kedua, dari hasil penjualan buku 5900 Langkah, akan kami belikan ratusan judul buku sastra terutama buku sastra penulis NTT hingga penulis nasional dan dunia terkemuka. Tentu saya ingat betul kondisi perpustakaan di sekolah yang semegah Syuradikara saat itu (tahun 2002-2005 saya SMA di sana) kurang memadai, terutama buku-buku sastranya. Padahal kecintaan saya kepada sastra tumbuh subur di Syuradikara, terutama setelah perkenalan perdana saya dengan Saman karya Ayu Utami yang dikenalkan oleh frater TOP kami di Syuradikara. (Kini sudah jadi pastor. Pater Erno Beghu, kini berkarya di Argentina). Dengan demikian, saya merasa seperti punya utang budi pada Syuradikara. Saya ajak teman-teman yang punya ketertarikan yang sama. Kami memulainya dengan optimis yang menyala.
Dalam waktu 2 bulan terkumpul dana hingga 4jutaan dan kami pakai untuk mencetak naskah 5900 Langkah. Hasil penjualannya kami belikan ratusan judul buku sastra lokal hingga internasional (termasuk berlangganan majalah Horison dan Jurnal Santarang selama setahun). Buku-buku itu kini sudah berdiam dan bermegah di ruang perpustakaan Syuradikara.
Saat menggarap naskah 5900 Langkah sebenarnya naskah buku cerpen saya juga sudah ada: Kanuku Leon namanya. Itu tahun 2012. Saya sadar, saya hanyalah guru swasta dengan gaji tak seberapa, tapi kata-kata Mario juga melecut saya, come on Dicky... jangan mengeluh. Lakukan sesuatu!
Seperti yang saya bilang, untuk membuat seperti saat saya lakukan untuk Cerah Hati dan 5900 Langkah, saya harus menyiapkan naskah secara baik. Supaya ketika saya harus mengajukan proposalnya ke para donatur, betul-betul naskah saya telah matang dan sempurna. Saya tentu harus memanfaatkan ilmu psikologi dan periklanan yang pernah saya pelajari di bangku kuliah dulu untuk mewujudkan itu. Saya siapkan proposalnya, saya gandeng teman baik saya untuk menggarap keperluan promosi. Gerald Louis Fori namanya. Teman baik saya saat di Asrama Putra Syuradikara dulu hingga kini. Gerald sudah turut membantu saya sejak buku Cerah Hati, buku 5900 Langkah hingga Kanuku Leon ini.
Saya sendiri aktif bergiat di Komunitas Sastra Dusun Flobamora di Kupang. Saya pun melihat sendiri bagaimana 2 tahun terakhir ini sastra NTT begitu menggeliat, tumbuh subur di kampung sendiri. Saya bergiat dan menemui banyak sekali orang muda kreatif dan hebat-hebat dari NTT. Saya berpikir, jika naskah Kanuku Leon saya bisa terbit, saya harus menggandeng mereka semua. Saya harus memanfaatkan semua potensi kawan-kawan muda yang ada.
Suatu malam di Alpi Cafe, jalan Palapa, saya bertemu dengan Gerald dan berbicara banyak tentang konsep Kanuku Leon, dari cover hingga isi. Saat itu gunung Rokatenda di Sikka sedang meradang dan karenanya seluruh anak muda NTT dimanapun berada saling bergandengan tangan untuk membantu korban Rokatenda. Pada momen ini berkenalanlah saya dengan dua anak muda NTT yang sedang kuliah di Jawa. Di Twitter mereka mengkampanyekan #SaveRokatenda dengan sangat unik, fresh dan kreatif, atas potensi yang mereka punya. Mereka itu Rara Watupelit dan Arystha Pello. Kebetulan juga saya dan murid-murid saya ikut proyek artwork mereka: #SaveRokatenda. Ahaa... saya punya dua partner baru selain Gerald. Saya lantas mengutarakan konsep saya ke mereka berdua dan jadilah kerjasama untuk mewujudkan Kanuku Leon. Rara dan Ayu saya beri kepercayaan untuk menggarap ilustrasi dari ke-16 cerpen saya.
Ketika saya baca lagi naskah Kanuku Leon, saya pikir apa yang kurang? Saya memang harus menyiapkan meteri ini dengan perfect. Dan saat itu yang ada di kepala saya adalah nama Mario F Lawi. Sahabat saya ini setahu saya punya 'sense of literature' yang mumpuni! (cuma istilah maksa saya lho ya...). Mario harus menyunting naskah saya.
Selama 2 bulan saya 'berkoar-koar' tentang Kanuku Leon di blog, twitter dan Facebook, sampai mungkin Anda telah bosan karenanya. Media sosial ini gratis dan memiliki efek yang luaaarrr biasa dahsyat. Saya bahkan menawarkan proposal Kanuku Leon kepada beberapa institusi dan lembaga swadaya. Saya pede saja. Konsep untuk mewujudkan Kanuku Leon yang saya buat adalah penyempurnaan dari konsep Cerah Hati dan 5900 Langkah yang pernah saya dan kawan-kawan buat. Melibatkan kawan-kawan, terutama orang muda NTT untuk mencintai kesusasteraan NTT dengan membaca dan mendukung penerbitan naskah sastra karya penulis NTT. Saya rasa itu sebuah keniscayaan besar untuk mengembangkan dan memperkenalkan kebudayaan kita. Apalagi bahwa kebudayaan menulis cerita bukanlah kebudayaan warisan nenek moyang kita. Apakah bisa? Bisaaaa....
Saya melihat bagaimana kawan-kawan berjuang secara mandiri (baca independen) untuk membudayakan sastra NTT di kampung sendiri, Flobamorata. Kawan-kawan di Komunitas Dusun Flobamora secara sukarela berpatungan untuk menerbitkan Jurnal sastra Santarang setiap bulannya. Mereka menabung bertahun-tahun untuk bisa menerbitkan buku puisi, cerpen bahkan novelnya. Tanpa ragu, malu apalagi dengan keluhan. Semua dilakukan dengan sangat-sangat gembira. :) Bahkan teman saya, penyair NTT, Ishack Sonlay menyebut ini semua sebagai sebuah 'gempa literasi" dan kritikus sastra NTT, Marsel Robot menyebut semua yang sedang terjadi di NTT dua tahun belakangan ini sebagai, "Masa Puber Kesusasteraan NTT".
Ahaa... seluruh proses ini harus didukung. Jika saya bikin crowd-funding untuk mewujudkan Kanuku Leon semata, saya pastinya egois. Bagaimana dengan langkah tadi, saya juga bisa sekaligus mendukung dan mempopulerkan hasil karya kawan-kawan tadi?
Maka lahirlah ide, dengan ikut crowd-funding, para donatur bukan saja telah ikut menerbitkan Kanuku Leon dan mempopulerkannya di kampung sendiri, tapi saya ingin usaha ini juga bisa menjadi sebuah 'subsidi silang' bagi pembaca karya sastra lain, anak-anak muda/pelajar NTT juga yang mungkin tertarik beli buku sastra NTT tapi kesulitan karena harganya mahal. Crowd-funding memungkinkan Kanuku Leon bisa dijual dengan harga bersahabat. Kedua, dengan crowd-funding, donatur juga bisa mendukung beredarnya buku-buku sastra penulis NTT di NTT sendiri. Ya, beberapa persen dari hasil penjualan Kanuku Leon akan kami pakai untuk membeli buku sastra penulis NTT dan bisa kami bantu untuk menyalurkan ke rumah/taman baca/perpus sekolah yang tersebar di NTT.
Selama dua bulan kami berpromosi dan juga berkat bantuan kawan, basudara sekalian, terkumpulan 31 orang dengan hati dan semangat yang besar untuk mendukung misi kami di atas. Saya berutang banyak terima kasih kepada mereka:
Sandra Olivia Frans, Danny Wetangterah, Yustina Liarian Eto, Yanuar Awaludin, Meisy Trety, Mariati Atkah, Abu Nabil Wibisana, Oke Sepatu Merah, Almira Angimoy, Djho Izmail, Lin Gadi, Anaci Tnunay, Tuteh Pharmantara, Eddie Djea, Nevi Seko, Esti Tanaem, Adhy Langgar, Yehezkiel Tunliu, Sisilia Mau, Prima Zelvozia, Rosa D Panda, Inda Wohangara, Debi Angkasa, Lan Hokor, Rara Watupelit, Arystha Pello, Doddy Nai Botha, Ucique Jehaun, Milla Wolo, Gusti Brewon, Farid Ardian, dan Ira Ladjadjawa.
Terima kasih *peluk satu persatu*.... Terima kasih karena sudah memberi kesempatan kepada Kanuku Leon dan puluhan karya sastra dari NTT untuk bisa dikenal, dibaca, diapresiasi dan dikenang oleh masyarakat NTT sendiri, semoga! Saya masih punya utang sama kalian, awal Novemeber setelah peluncuran Kanuku Leon segera saya kirimkan bukunya ke alamat kalian. Kedua menyumbang dua buku untuk masing-masing nama ke perpus sekolah/rumah baca/taman baca yang sudah kami ajak untuk membantu mendistribusikan Kanuku Leon dan puluhan buku karya penulis NTT lainnya, antara lain Pelangi di Manggarai dan Alor, Namu Angu di Sumba, Kamu Rote Ndao di Rote, Orang Muda Katolik Stasi Amarasi Timur, dan beberapa perspus SMA dari para donatur. Ada info atau rujukan rumah baca lainnya? Sambil kami pun mendata buku-buku penulis NTT dari opa Gerson Poyk hingga angkatan Mario F Lawi yang bisa kami beli dan kami sumbang untuk tempat-tempat di atas.
Pada akhirnya saya menyerahkan seluruh proses Kanuku Leon kedepannya kepada semesta juga kepada kalian semua yang sudah mendukung proyek ini dan akan membacanya di awal November nanti...Semoga Kanuku Leon akan juga menjadi awal yang menarik sekaligus akhir yang mendewasakan mimpi kalian....
Pada awalnya adalah
dasar samudera raya
Ia ditakdirkan lahir,
maka bertumbuhlah ia seperti
cendawan
Tetapi ia sendiri
adalah karang abadi
Ribuan tahun lamanya ia
merangkak,
Membelah langit dan
mengais hujan
Merangkul awan dan
menciptakan anak senja kuning bersama ibu Matahari
Ia sendiri adalah
pejantan
Yang menciptakan
selubung misteri bagi Mollo, Mutis, Fatumnasi dan Naususu
Kepada mereka hutan dan
air dititipkan
Dari mereka madu dan
daging dilimpahkan
Oleh mereka segenap
jiwa-jiwa peziarah bumi ini
Dititipkan sementara
pada fatubian
Sebelum kelak akan
Kembali ke rumah
tuannya
Yang mahabesar
Dan kau petualang
terakhir,
Selamat datang pada
semesta mimpi
Tanah Mollo
Di mana linimasamu serupa rollercoaster
Kanuku Leon
&
Christian Dicky Senda
Kali ini beta harus bilang bahwa beta jatuh cinta dengan lu... Beta hanya bisa tunggu terbit karna sampe ini hari belom bisa bilang dan bikin apa2....
BalasHapusSemoga Kanuku Leon dan Dicky selalu sukses...
Terima kasih kak doddy utk apresiasinya...ditunggu kritikannya
BalasHapus