Cerpen Sipri Senda
dimuat di kolom OASE Kompas.com edisi 14 Januari 2009
Orang-orang menyebutku gila. Aku tak peduli. Entah apa alasannya, aku sendiri tidak tahu. Aku adalah aku. Titik. Orang gila cumalah sebutan. Nalarku masih lurus. Perasaanku masih tajam. Kepekaanku masih hidup. Segala kapasitas sebagai manusia masih kumiliki dan berjalan normal. Dan aku bahagia karena kemanusiaanku. Aku senang menjadi diriku sendiri. Manusia merdeka. Manusia bebas yang merangkai kekinian dengan keyakinan menuju masa depan gemilang. Meskipun…. Ya meskipun…. Hmmm selalu ada meskipun dalam hidup ini. Tapi aku tetap bergembira dengan meskipun. Ya… meskipun aku hanya gelandangan miskin di kota ini….
Dulu aku lahir dan dibesarkan dalam kemiskinan. Sekarangpun masih hidup dalam kemiskinan. Orangtuaku mati berkubang kemiskinan. Kuterima warisan kemiskinan dan kegelandangan, justeru di kota yang kaya raya ini. Ya, kota metropolitan dunia yang kaya segala-galanya. Termasuk kaya gelandangan dan kemiskinan. Dan aku bangga menjadi bagian dari kota ini, meskipun, walaupun, kendatipun harus mendapat sebutan orang gila. Apakah kemiskinan dan kegelandangan selalu akrab dengan kegilaan? Entahlah. Mereka yang menyebutku gila punya pandangan tersendiri, karena mereka tidak miskin, tidak menggelandang. Buntutnya menurut mereka, mereka tidak gila. Tapi apakah itu benar? Ah... sudahlah. Peduli amat! Itu bukan urusanku. Yang jelas aku tetap miskin dan menggelandang. Namun menurutku, meskipun aku miskin dan menggelandang, aku tidak gila. Titik.
Aku tidak punya rumah di belantara gedung bertingkat di kota ini. Rumahku tak tentu. Hari ini di kolong jembatan. Esok di stasiun. Lusa di galeria. Tula di piazza. Dan seterusnya. Dan seterusnya. Aku bercakap dengan dunia, dengan benda, dengan binatang, dengan manusia, dan dengan Tuhan. Semua kuanggap saudaraku. Saudara dunia kelihatan semakin tua, tapi dia senang kusapa dengan kasih sayang. Saudara air selalu menyejukkan dahagaku. Saudara burung di udara kerap datang bertengger di bahuku. Saudara pengemis di depan gereja senang berbagi rezeki denganku. Saudara walikota dulu semangat sekali berpidato di televisi dalam masa kampanye tentang kemiskinan, tapi sekarang entah kenapa hilang semangat soal kemiskinan. Saudara pastor masih tetap berkotbah tentang kemiskinan dan sesudah misa kembali ke pastoran yang mirip istana raja. Saudara Tuhan tetap menyayangiku dan memberiku nafas kehidupan dan kebebasan menjalani hidup ini. Ya, meskipun walaupun kendatipun biarpun aku miskin dan menggelandang, tapi saudara Tuhan masih memeliharaku sampai sekarang. Aku tak pernah kuatir tentang makanan dan pakaian karena saudara Tuhan selalu memberiku rezeki secukupnya setiap hari, sebagaimana terungkap dalam doa Bapa kami, sebuah doa yang amat kusenangi. Aku miskin, tapi tak pernah kelaparan. Aku tak punya rumah, tapi banyak tempat tinggal. Aku tak punya tempat tidur, tapi selalu tidur nyenyak di mana saja. Ah, aku bahagia menjadi diriku sendiri. Semua saudaraku memainkan peranannya masing-masing dengan baik untuk keberadaanku.
Hari ini hari ketiga di bulan pertama di tahun baru. Matahari tersenyum malu-malu di balik awan tipis. Aku menggelandang di piazza depan basilika besar. Tak kuhiraukan orang-orang yang berseliweran. Ada yang bisik-bisik sambil menunjuk diriku. Kedengar pula desisan orang gila di bibir mereka. Tapi aku tidak marah dan tersinggung. Cuma senyum di bibirku. Kuangkat mata ke puncak basilika. Di sana ada salib. Hmmm.... di situ ada saudaraku Manusia Tersalib. Bukankah dia pernah berkata dari atas salib: “Bapa, ampunilah mereka karena mereka tidak tahu apa yang diperbuatnya?” Ya, itulah kata-katanya. Aku ingat persis kata-kata itu, walaupun meskipun kendatipun tidak tahu di bagian mana terdapat dalam kitab suci lantaran aku buta huruf tak bisa baca kitab suci dan tak punya kitab suci pula, tapi pernah dengar kotbah saudara pastor di gereja. Ini dia! Kata-kata yang sama, kuucapkan sekarang kepada bibir-bibir suci yang menyebutku orang gila. Senyumku makin sumringah. Kulihat salib bercahaya dan wajah si Manusia Tersalib tersenyum padaku. Kataku padanya: “Hai Saudara Tersalib! Terima kasih atas teladanmu. Aku belajar darimu untuk mengampuni mereka yang berbicara jelek padaku.” Dia tetap diam dan tersenyum.
Sementara itu orang-orang di sekitarku heran melihatku berbicara seorang diri dengan wajah menghadap langit. Maka semakin serulah bibir-bibir suci itu menggaungkan cap orang gila padaku.
Aku tak peduli dengan mereka. Aku sedang bercakap dengan saudara Tersalib. “Terima kasih atas semua ajaranmu, tapi terlebih teladanmu melaksanakan apa yang kau ajarkan, Saudaraku.. Aku coba menirumu meskipun walaupun kendatipun tidak sempurna. Aku hidup miskin dan menggelandang dari tempat ke tempat dan kerap tak mampu melaksanakan apa yang kauajarkan. Oya, terima kasih juga atas doa yang kauajarkan. Maukah kau berdoa bersamaku sekarang?”
Aku lalu merentangkan tanganku menjangkau orang di kiri kananku, tapi semua serentak menjauh dan memandangku heran bercampur takut. Ah, sudahlah. Orang-orang berbibir suci ini tak mau diajak berdoa bersama Bapa kami sambil bergandengan tangan. Biarlah aku berdoa saja dengan saudara Tersalib. “Bapa kami yang ada di surga, dimuliakanlah namamu. Datanglah kerajaanmu, jadilah kehendakmu di atas bumi seperti di dalam surga. Berilah kami rezeki pada hari ini, dan ampunilah kesalahan kami seperti kamipun mengampuni yang bersalah kepada kami. Dan janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan, tapi bebaskanlah kami dari yang jahat. Amin.”
Orang-orang menontonku berdoa. Mereka heran bahwa seorang gila bisa berdoa demikian lancarnya doa bapa kami.. Hmm... mereka keliru. Aku bukan orang gila. Aku waras seratus persen. Setidak-tidaknya menurut pandanganku sendiri aku ini orang waras yang sedang belajar beriman. Tapi sudahlah, daripada beperkara dengan orang-orang yang tidak mengerti ini, lebih baik aku cabut dari sini. Kubuat tanda salib, lalu kiss by pada saudara Tersalib. Dia tersenyum padaku dan mengangguk kecil.
Aku melangkah gontai menuju stasiun. Di sanapun terdapat begitu banyak manusia berseliweran. Ada yang datang dan ada yang pergi. Tak ada basa-basi. Semua bergerak cepat seperti robot. Dikejar oleh bayangan ketakutan tak berupa. Kecemasan terpantul dari wajah mereka. Entah takut mati, takut miskin, takut celaka, takut dirampok, takut dicopet, takut ditipu, takut gagal, takut hilang, takut menderita….. lalu masing-masing menutup diri. Terasing satu sama lain. Tak ada komunikasi. Mereka berdiri berdampingan, tapi tanpa komunikasi. Ada terbentang jarak sedemikian jauh. Sama-sama tenggelam dalam keterasingan.
Aku tersenyum geli melihat ketakutan mereka. Mereka orang-orang terpenjara dalam diri sendiri. Mereka tidak tahu bahwa orang yang takut menderita, menderita karena ketakutan. Maka aku coba menyapa dan tersenyum. Tapi justeru mereka menjauh dariku dan mendesiskan orang gila. Ya ampun, bibir-bibir cemas itu begitu takut akan diriku yang mencoba mendesiskan sebuah sapaan persaudaraan, sebuah jembatan komunikasi. Mereka kan saudara-saudaraku. Tapi mereka menolak aku. Uhhh, sudahlah. Itu bukan urusanku. Aku manusia merdeka, bebas dari ketakutan pada apapun.
Maka kuberjalan lagi menuju gereja tempat saudaraku pengemis biasa duduk menanti sedekah dari para pemuja saudara Tuhan yang mau bermurah hati. Seperti biasa hanya sedikit yang diperoleh, karena sedikit sekali para pemuja saudara Tuhan yang mau bermurah hati seperti saudara Tuhan. Kusapa saudaraku pengemis dan kami berdua ngobrol ngalor ngidul menikmati hidup, tertawa terkekeh-kekeh bila ada hal yang lucu. Orang-orang yang lewat di depan gereja memandangi kami dengan heran. Aku bisa menduga mengapa mereka heran. Mungkin karena mereka melihat bagaimana si pengemis bisa begitu akrab dan berbicara ngalor ngidul bersama si orang gila.
Tapi kami tidak mempedulikan itu semua. Kami asyik bercerita ke sana ke mari. Sampai suatu saat, perutku terasa keroncongan.
“Saudara Pengemis, aku lapar. Adakah padamu makanan?” tanyaku. Sambil tersenyum saudara pengemis membuka kantongnya dan memberiku sepotong pizza yang masih hangat. “Ini untukmu. Tadi aku beli dengan uang hasil mengemis. Kuingat kau, maka kusimpan sebagian untukmu, karena kutahu kau pasti datang padaku, karena kau sahabatku. Ini bagianmu, ambillah dan makanlah!” Kata-kata yang sama yang selalu terucap dari bibirnya kala kami bertemu dan kuminta makanan. Seperti biasa pula, aku berterima kasih padanya lalu kubuat tanda salib dan menyantap makananku dengan penuh syukur. Hemmm.. lezat sekali rasanya. Saat ini, terlaksanalah doaku bersama saudara Tersalib tadi. Rezeki secukupnya untukku pada hari ini. Terima kasih saudara Tuhan. Kau baik sekali. Kata batinku.
Sesudah itu aku pamit pada saudara pengemis. Dia tidak pernah bertanya ke mana aku pergi. Dia hanya tersenyum dan mengangguk. Aku berjalan dan terus berjalan. Hidupku adalah berjalan. Yang kubawa hanya kemiskinan dalam kegelandanganku. Aku tak punya apa-apa tapi kupunya segala. Semua saudaraku. Maka aku bahagia.
Matahari tenggelam di barat. Kegelapan tiba, serentak cahaya lampu menerangi seluruh kota. Satu hari kan berlalu. Dunia bertambah tua. Aku pun bertambah tua. Entah berumur berapa sekarang aku tak tahu. Akhirnya aku tiba di kolong jembatan. Beberapa saudaraku pengemis dan gelandangan telah tiba juga dan mulai mengarungi alam mimpi. Aku membaringkan diri di antara mereka dan tidur. Sebelum terlelap, kubayangkan manusia-manusia berbibir suci yang semakin berlarut-larut dalam ketakutan. Mereka begitu terasing dalam dunia. Tiba-tiba aku jadi kasihan pada mereka. Mereka sangat kaya, tapi tidak bisa membeli kedamaian batin. Aku masih tetap pengembara yang miskin, hidup menggelandang, tapi aku memiliki damai di hati.
Aku tersenyum damai. Kubuat tanda salib, lalu pulas ke alam mimpi sembari mendesis lirih, “Aku manusia merdeka.”***
Roma, 3 Januari 2009
--------------------------
Siprianus Soleman Senda, biasa disapa Sipri Senda. Saya seorang peminat puisi dan cerpen, sekarang lagi tugas belajar di Fakultas Teologi Universitas Urbaniana Roma, Italia. Asal dari Kupang. Selama ini menulis puisi dan cerpen yang dipublikasikan di media lokal NTT seperti Pos Kupang, Dian, Carmelo dan buletin Keuskupan Agung Kupang Oemathonis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...