Kuberlari menerobos masa silam yang kelam. Kembali ke akar luka-luka pusaka yang tersembunyi dalam topeng-topeng yang kukenakan selama ini. Dan terjerembab dalam ruangan kecil. Di sini aku tak boleh menipu diri. Di sini aku telanjang murni tanpa bisa menutup kemaluan. Ruangan ini terasa sesak tanpa hawa. Aku sukar bernafas tapi aku belum bisa keluar darinya.

Di sinilah mahkamah terhadapku berlangsung alot. Diabolos, si dewa penipu yang selalu lihai memanipulasikan aku, hadir juga dalam mahkamah ini dengan aneka pembelaan palsu. Dia selalu hadir di saat-saat aku sulit membuat keputusan. Kali ini pun dia datang dan menggiringku untuk membuat pembelaan diri sarat penipuan. Anehnya, sang hakimpun tak berdaya di hadapan pembelaan diriku. Dia menghargai kebebasanku untuk menipu dan membebaskan aku.

Aneh sekali, tapi itulah yang terjadi. Berkat bantuan Diabolos, aku bebas dari mahkamah, dan berlari menerobos masa sekarang yang penuh kemilau pernik-pernik kebebasan hasil karya Diabolos. Kulihat Diabolos tersenyum puas, tapi aku melengos tak peduli padanya. Aku benci padanya, tapi aku mengikuti banyak sarannya. Aku ingin lari darinya, tapi aku juga melekat padanya. Entah kenapa aku begini, aku sendiri tidak tahu. Diabolos memang lihai memanfaatkan kelemahanku untuk memuluskan segala rencananya.

Kini, di sini, aku memandang aneka pernik keindahan yang dikerjakan Diabolos. Tanpa kusadari terbersit keinginan kuat tak terkawal, untuk memasuki dunia keindahan maya yang diciptakannya. Kuterobos pintunya dan terbawa ke dalam arus kenikmatan.

Hmm .... Aku lupa jatidiriku. Aku lupa anak isteriku. Aku lupa agamaku. Aku lupa pelajaran Pendidikan Moral Pancasila yang sekarang disebut PPKN tapi aku tidak tahu kepanjangannya. Aku lupa sumpah jabatanku. Aku lupa tanggung jawabku untuk kepentingan awam. Kubuang semuanya dari ingatanku. Keserakahan dan aneka bentuk nafsu menggerogoti diriku. Kupakai topeng dan beraksi. Tak ada yang melihatku. Diabolospun meyakinkanku bahwa tak ada orang yang tahu. "Kau tak usah kuatir.

Semuanya dalam terkawal. Ayo, manfaatkanlah peluang ini. "Begitulah yang dikatakannya padaku. Kata-kata yang sama, sudah berjuta-juta kali. Dan aku begitu saja tergiur, tenggelam dalam kebebasanku yang liar, yang dihargai oleh si hakim bodoh dalam ruangan sempit.

Hahahahaaa .... Hakim itu memang bodoh. Dia seharusnya belajar dari Diabolos. Tapi mungkin dia tak suka. Padahal hakim-hakim di tanah airku yang punya Pancasila itu berkawan rapat dengan Diabolos. Hakim-hakim itu kawan akrabku. Berkali-kali aku bebas dari aneka tuduhan padaku.

Berkawan dengan Diabolos membuat aku lihai menetapkan senario apapun yang mengamankan hidupku. Sementara si hakim bodoh itu memang aneh, dia tidak menghukumku, tapi aku selalu tak berdaya di hadapannya. Lebih aneh lagi, dia tak berdaya kalau kutipu. Begitulah yang terjadi. Apalagi Diabolos selalu datang tepat waktu untuk membuat pembelaan palsu yang tak dapat ditangkal si hakim bodoh itu.

"Apa yang sedang kaupikirkan?" Tiba-tiba saja Diabolos telah muncul di hadapanku.
"Tidak ada," jawabku sekenanya.
"Aha, jangan begitu Kawan. Kutahu, kau pasti sedang memikirkan sesuatu yang menarik untuk dikerjakan bukan? Aku lihat ada peluang emas anda. Kali ini datang dari .... "
"Dari mana? Memangnya betul ada peluang? "Tanyaku penuh rasa ingin tahu. Diabolos tersenyum. Umpannya termakan ..

"Ssst! Tahu tidak? Sekarang ini negaramu sedang dalam keadaan amburadul. Semua lini telah kugenggam. Mereka juga sepertimu, siap memanfaatkan peluang. Mumpung ada kesempatan. "
"Ya aku tahu .. Tapi spesifik apa? Mana peluang emas yang kaukatakan tadi? "
"Hahahaha ... kau rupanya sudah tak sabar ya." Diabolos tertawa geli melihatku tak sabar. "Tenang Kawan. Semuanya ada waktunya. Bukankah begitu kata kitab sucimu? "
"Ya, Kitab Pengkotbah bab 3 ayat 1. Di bawah kolong langit ini, semua ada waktunya. Nah, sekarang waktunya berterus terang padaku. Apa peluang emas itu? "Tanyaku tak sabar lagi.
"Ah, kau sepertinya sudah pikun ya. Berfikir sedikit. Coba lihat keadaan negaramu kini, dan pikir tentang rencana-rencana dari pusat untuk daerah-daerah. Akan segera tergambar ladang emas anda. Apalagi sekarang terjadi bencana di mana-mana. Kau kan tahu mental bangsamu kalau sedang berlaku bencana? "Diabolos meninggalkanku.

"Tunggu, aku belum paham maksudmu." Aku berteriak menahan pemergiannya, tapi dia tidak kembali. Aku benar-benar dibuatnya tak berdaya.

Dengan bernafsu kupetakan situasi negaraku. Tidak begitu lama. Aha .... Ternyata betul juga yang dikatakan Diabolos. Aku meloncat girang. Betapa banyak peluang emas untukku. Maka aku beraksi. Seperti biasa, kukenakan topeng agar tak dikenali. Astaga, ternyata kulihat hampir semua orang di semua lini juga memakai topeng.

Ah, Diabolos benar. Mereka juga ada dalam genggamannya. Tapi aku merebut bahagian terbesar. Ya, kerana aku lebih lihai daripada mereka. Heran, sejak menjadi kawan si Diabolos, aku jadi benci pada Moral Pancasila yang sok mengekang. Juga kubenci para pemimpin agamaku yang sok suci, sok moralis, sok menggurui, padahal banyak juga dari mereka yang penuh kebobrokan. Hehehehe ... ternyata sama doang. Tapi supaya dalam terkawal, maka aku harus pura-pura sopan, rajin menghafal ayat-ayat Kitab Suci, rajin ke tempat ibadat walaupun tidak berdoa kerana Diabolos datang menemaniku di saat-saat yang membosankan itu. Diabolos memang teman sejatiku.

Begitulah semuanya mengalir dalam waktu. Aku larut dalam keserakahan dan aneka nafsu tak terkawal. Tapi setelah sekian lama, tibalah masanya ayat Kitab Suci yang kuhafal itu menggangguku. Semua ada waktunya ... Kitab Pengkotbah 3:1. Selanjutnya 3:2: Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk mati. Lalu 3:4: Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa ... .. Bertubi-tubi kutipan Kitab Suci itu menggemuruh di kepalaku. Kucoba untuk mengusirnya jauh-jauh, tapi semakin kuusir, semakin kepalaku dibombardirnya. Aku pening. Uff! Ini betul-betul gila! Apa yang terjadi padaku? Mengapa aku jadi begini? Apa arti semuanya ini?

Kutemukan jawabannya dalam kematianku yang tak terduga. Aku belum mau mati, tapi si hakim bodoh dalam ruangan pengap itu bilang ini batas kebebasanku. Kurang ajar betul hakim itu, tapi kali ini aku betul-betul tak berdaya, dan dia berdaya atas diriku. Aku mati.

Di pemakamanku semua pelayat yang kebanyakan bertopeng itu menabur bunga dengan mulut komat-kamit. Entah apa yang diucapkan aku tak tahu. Mungkin umpatan dan sumpah serapah. Mungkin juga harapan dan doa. Tapi ada juga Litani pujian palsu atas jasa-jasaku. Toh semua telah selesai.

Aneh, tak kulihat temanku Diabolos. Di mana dia sekarang? Mengapa sekarang dia tak ada di sini? Biasanya di saat sukar dia selalu datang menolongku. Diabolos keparat! Aku memakinya habis-habisan. Tapi itu tidak mengubah nasibku kini. Ketika aku dimasukkan ke dalam liang kubur, tak ada yang ikut menemaniku. Tidak Diabolos, tidak juga para pemakai topeng itu. Hanya sebuah bayangan putih yang ikut masuk dalam liang kelam ini. Dia begitu kecil dan tipis sekali dan selalu tersenyum. Ketika kutanya padanya, siapa kau, dia menjawab lembut, "Aku berasal dari dirimu. Namaku Perbuatan Baik. "

Kini aku betul-betul menangis ... ... ..

Roma, 19 Januari 2007

gambar dari:www.aryanst.blogspot.com