Menu makan siang klub Betab |
Acara makan siang bersama wartawan dan blogger ini digagas mitra warga Ohaem yakni Perkumpulan
Pikul sebuah LSM yang berbasis di Kupang dan didukung Oxfam. Beta hadir bersama dua orang
wartawan dari Pos Kupang dan Victory News, beberapa petani dari pulau Semau dan
kawan-kawan dari Geng Motor Imut, sebuah komunitas orang muda di Kupang yang
punya perhatian pada pertanian organik dan energi terbarukan.
Makan Makanan Ternak?
Beberapa waktu lalu kita semua
dikejutkan dengan berita di Kompas bahwa orang NTT makan makanan ternak (FYI,
wartawan Kompas yang diundang warga Ohaem membatalkan kehadirannya di menit
terakhir sebelum keberangkatan kami ke Amfoang). Sungguh sebuah ironi sebab
ternyata yang dimakan warga adalah putak, salah satu jenis pangan lokal yang
sudah sejak dulu dikonsumsi masyarakat NTT. Faktanya memang demikian, peran
pangan lokal makin tergeser oleh beras dan jagung. Nilainya kemudian berubah,
manusia makan beras atau jagung saja, sedangkan ubi keladi, sorgum, atau putak
biar buat hewan ternak. Hal ini berlangsung lama, terprogram dalam bahasa
pemerintahan sehingga mampu merubah pola pikir sebuah masyarakat. Sonde heran
kemudian ada ungkapan, ‘kami kalau belum makan nasi artinya belum makan. Ubi
hanya buat makan maen-maen (sambil lalu) sa…”.
Temuan menarik dari Perkumpulan
Pikul, yang sejak tahun 2013 telah melakukan pemetaan pangan lokal di Kabupaten
Kupang, TTS, Sabu-Raijua dan Lembata.Misalnya ada temuan bahwa masyarakat yang
punya pola pertanian monokultur lebih rentan mengalami kriris pangan ketimbang
masyarakat yang menanam polikultur. Ketika jagung gagal panen, masyarakat tidak
terlalu khawatir sebab masih ada sorgum, keladi, pisang, pisang tanah, ubi
jalar, singkong, labu kuning, dll. Keragaman pangan juga ditentukan oleh akses
bangan pangan yang disediakan kebun dan hutan. Masyarakat yang selain punya
kebun tetapi juga punya akses ke hutan lebih memiliki keragaman pangan. Jika
padi gagal panen, masyarakat masih bisa mengambil kecipir, uwi, kratok, kacang
uci, dll di hutan. Temuan lain menyebutkan bahwa sorgum dan berbagai jenis
tanaman serealia (jali dan jewawut) terbukti lebih toleran terhadap iklim
kering ketimbang padi dan jagung. Beberapa antropolog, sebut saja Ormeling dan
Fox, yang telah melakukan kajian lama di NTT juga menyebutkan bahwa jenis-jenis
pangan lokal ini sudah ada di NTT jauh sebelum jagung diperkenalkan. Beras yang
dikenal oleh nenek moyang orang NTT pun adalah padi galur lokal yang ditanam di
ladang tebas bakar bukan di sawah dan bukan jenis ‘padi ajaib’ yakni padi
varietas unggul berdaya hasil tinggi yang umumnya kita tanam dan konsumsi sekarang.
****
Biji Labu dan Madu adalah Kunci
Perjalanan dari Kupang menuju
desa Ohaem memakan waktu hampir 4 jam sebab kondisi jalan dari Takari ke Amfong
masih sangat memprihatinkan. Sepanjang jalan beta dihadapkan pada kondisi alam
Amfoang yang subur. Pohon jeruk, kopi dan pisang sangat mudah ditemui di
sepanjang perjalanan. Barisan gunung Mollo hingga Mutis yang membiru hari itu seperti
kawan dekat yang mengiringi perjalanan kami. Mollo dan Amfoang memang masih
saudara dekat. Beta pun mendengar kisah bahwa selain ada hubungan kawin mawin,
banyak juga orang Amfoang yang biasa pergi dengan berjalan kaki seharian ke Mollo
untuk berkebun. Karena kebudayaan, kondisi geografis dan kekayaan alamnya yang
sangat mirip, berada di Amfoang membuat beta merasa seperti sedang berada di
Mollo.
Tiba di Ohaem, kami disambut mama
pendeta, kepala desa dan warga setempat, mengobrol sejenak lalu diajak ke rumah
bapa Henokh Taek. Tuan rumah menyebutkan bahwa agenda hari itu adalah makan
siang pangan lokal di dua rumah warga lalu ditutup dengan kunjungan ke kebun
sorgum sekaligus panen madu.Ya Tuhan, indah nian sesungguhnya hidup ini. Saya
membatin. Bukan karena efek lapar melainkan karena melihat sendiri wajah optimis
dari orang-orang yang boleh dibilang mulai kembali berdaulat atas lumbung dan pangan mereka sendiri.
Mereka mulai memanggil kembali memori kolektif tentang bagaimana nenek
moyang sejak dulu mengolah pangan lokal untuk bertahan hidup lalu meneruskan resep pengolahannya ke generasi berikutnya. Mereka yang
tanpa beras dan jagung pun barangkali tidak harus susah-susah berteriak lapar
sembari menunggu jatah raskin pemerintah.
Fakta umum di Timor boleh bicara
bahwa terdapat keberagaman bahan pangan sekalipun amat disayangkan semua itu tidak muncul di meja
makan, dan apa yang beta temui di kebun belakang rumah dan dapur bapa Henokh dan anggota klub lainnya justru berbicara lain. Siang itu kami disuguhkan makan siang yang cukup
mengejutkan perasaan beta. Oh Tuhan, ini pertama kali beta makan sorgum yang dimasak
dengan kacang nasi sebagai pengganti beras. Disantap dengan sup ayam kampung
tanpa masako, dengan tumis daun singkong. Menikmati kecipir dan papaya muda rebus disiram sambal
dari biji labu kuning (pumpkin). Apa? Sambal dari biji labu pempung? Sumpah, itu
sambal yang paling segar dan cocok sekali dinikmati sebagai teman lalapan. Dari
para mama di dapur beta dapat resepnya. Sederhana saja. Biji labu dijemur kering,
lalu disangrai dan tumbuk hingga halus. Teksturnya akan berubah dan berasa
seperti kacang tanah atau kacang mete yang telah disangrai. Tapi yang ini lebih
enak. Bahan yang telah halus lalu dicampur perasan jeruk nipis atau lemon,
diberi sedikit garam dan cabai merah. Jadi sudah.
Oya ada satu lagi sambal atau
semacam lawar karena dari bahan mentah yakni jantung pisang mentah yang sudah diiris
tipis, diremas dengan garam dan air jeruk lemon. Pelengkapnya, sedikit garam
dan cabai. Sebagai makanan penutup, mama Taek dan kawan-kawan klubnya memasak
kolak singkong dan labu kuning dicampur santan dan gula lontar. Dua jenis
makanan lain dari klub pangan lokal yang dinamai Tafena Monit dan sungguh bikin
beta takjub akan rasanya yakni kratok (kot laos dalam bahasa Dawan) dan pisang
tanah. Jenis kratok di Amfoang ini perlu pengolahan khusus untuk mengeluarkan
kandungan zat tertentu yang bisa memabukkan. Di rumah bapa Taek, koto atau krato ini
dimakan dengan sambal biji labu, sedangkan di rumah kedua, yakni tempat berkumpulnya klub Betab,
jenis kacang ini ternyata oke juga disantap dengan madu dari hutan
Amfoang. Surga seketika pindah ke mulut.
Pangan lokal lainyang makin ditinggalkan
padahal rasanya luar biasa enak yakni pisang tanah. Tanaman itu tumbuh subur di
tiap pekarangan warga dengan daun mirip daun pisang atau tanaman pisang hias,
namun yang dimakan justru umbinya (bentuknya mirip sekali dengan lengkuas).
Bicara tekstur dan rasa, tanaman ini seperti paduan antara ubi jalar dengan
pisang rebus. Cara mengolahnya cukup
direbus seperti halnya merebus ubi atau singkong. Saya membawa pulang bibitnya untuk ditanam di kebun lakoat.kujawas.
Di rumah bapa Paulus Kobo, klub
kedua sudah menunggu kami dengan sederet makanannya. Sup ayam disajikan di
dalam potongan bambu sebagai pengganti mangkuk. Ada ayam bakar, jagung bose,
nasi dari padi ladang lokal. Ubi jalar, krotok, talas singkong dan pisang semuanya
direbus dan dimakan dengan madu hutan atau sambal spesial yang sedikit berbeda
dari sambal di rumah sebelumnya. Sambal kali ini adalah jenis lu’at namun
menggunakan onat lao atau sejenis daun mint lokal dicampur sabai dan jeruk
lemon. Ada juga jagung bunga (pop corn) dari jagung varietas lokal. Beta
langsung menyambar mangkuk dari batok kelapa sebagai pengganti piring untuk
segera mengisi sebagian ruang di lambung yang memang sengaja sudah dikosongkan
semenjak makan siang sebelumnya di klub pertama.Yang paling spesial di rumah bapa
Kobo tentu saja karena banyak madu di meja makan. Toh rasanya oke saja dicampur
dengan nasi, jagung bose, hingga pop corn dan ubi. Krotok atau ayam bakar! Ya
ampun, madu Timor! Beta padamu, deh.
***
Anak Mantu atau Anak Angkat?
Perut sudah terisi penuh, waktu
mencuri resep pengolahan pangan lokal langsung dari para mama juga sudah
ditunaikan, saatnya berkunjung ke kebun sorgum dan panen madu. Dipandu om Un
Weo dan om Sadrak Mengge dari Perkumpulan Pikul menuju ke kediaman bapa Petrus
Tanaos, salah satu tuan tanah di Ohaem. Kediamannya bikin beta iri berat. Punya
rumah di lembah permai yang belakangnya adalah hutan dengan mata air besar,
sedangkan nun jauh di timur, puncak gunung Mutis terlihat begitu kokoh. Halaman rumah beliau adalah kebun sorgum dan sayur sehabis panen. Dikitari hutan berisi
pohon kemiri raksasa yang bebatangnya dihinggapi 40-an rumah lebah! Om John
Taena, wartawan Pos Kupang langsung berbisik kepada beta, “jika beliau punya
anak perempuang yang masih lajang, barangkali bisa saya lamar.” Jelas saja,
kediaman bapa Petrus adalah kediaman impian banyak orang. Termasuk beta.
Bapa Efraim sang Meo Oni |
Yang beta lihat, om Efraim dan kedua kawannya
bahkan terlampau polos (atau saking lurus hatinya) ketika rombongan kami
mengajak mereka mengobrol sore itu. Beberapa baskom besar, jerigen, gulungan
tali, dan 7 ruas pemicu asap sebesar tangan orang dewasa yang didalamnya
bercampur sabut kelapa dan rumput kering, telah disiapkan bersama dengan api
unggun.. Sebagai Meo, jasanya dipakai oleh pemilik tanah/ hutan tempat lebah
bersarang. Bayarannya bisa madu bisa juga uang.“Pengambilan madu harus malam
hari, supaya lebih aman dari serangan lebah,” jelas Efraim yang melanjutkan
pertemuan singkat kami itu dengan menyanyikan sebuah bait puisi untuk merayu
lebah. Selain supaya tidak digigit lebah, syair itu juga berisi harapan agar di musim
berikutnya kawanan lebah bisa datang dan kembali bersarang di hutan itu. Sungguh
sebuah contoh orang-orang arif yang tidak hanya memikirkan diri sendiri dan
perutnya saja.
Bebatang dari rumput kering untuk pengasapan |
Mengembalikan Pangan Lokal ke Meja Makan
Beta berterima kasih kepada Perkumpulan Pikul
dan Oxfam yang sudah berkoordinasi dengan warga Ohaem dengan klub pangan
lokalnya untuk bikin acara keren ini. Harus terus digalakkan, terus disadarkan.
Seperti yang beta bilang, ingatan kolektif dari orang tua kita tentang pangan
lokal, kuliner dan resep atau cara pengolahannya perlu untuk dipanggil kembali.
Termasuk menanam dan membudidayakan tanaman yang barangkali cuma ada di hutan,
padahal nenek moyang kita dulu menanamnya di kebun samping rumah untuk memenuhi
kebutuhan pangan.
Orang muda seperti kawan-kawan di
Pikul dan Oxfam memang sonde bisa berjalan sendiri, butuh perhatian, dukungan
dan kesadaran juga dari orang-orang muda yang lain: beta dan kalian semua yang
membaca tulisan ini. Beta sonde setuju dengan program pemerintah lokal, bicara pangan
lokal hanya sebatas bikin sorgum dan ubi jalar jadi kue, jadi biskuit,
pelengkap minum teh dan kopi. Harus lebih dari sekedar kudapan (snack). Mereka ada di
meja makan setara dan sepantas dengan nasi dan jagung. Supaya tidak ada lagi
wartawan dengan ketidaktahuannya menulis bahwa kita makan makanan ternak. Beta
kira usaha Pikul untuk mengundang media di acara makan siang ini sangat
tepat.Wartawan diajak untuk melihat langsung ke kebun dan dapur warga lalu
mengabarkan berita baiknya kepada semua orang, kepada pemerintah. Rakyat sonde boleh selamanya dinyamankan dengan beras, impor pula.
Apa mengolah jenis pangan lokal
itu ribet? Tergantung. Kalau kalian yang sudah terbiasa merebus mi instan 2 menit
untuk mengenyangkan perut tentu akan menganggap merebus ubi atau turis sangat lama. Atau
membelokkan motor/mobil ke parkiran KFC akan terasa gampang ketimbang menanak sorgum dengan kacang nasi. Kepada beta, mama Kobo bercerita ketika diajak Pikul
dalam aksi ini, ia tiba-tiba ingat akan kebiasaan orang tuanya dulu ketika
mengolah pangan lokal yang mudah dan efisien. Pengetahuan yang hampir hilang
dari memorinya itu yang coba dipakai kembali bersama kawan-kawannya di klub
pangan lokal Betab dan ingin terus ia bagi ke anak cucunya. Ia menambahkan, “sekarang kami pun sudah mulai
meninggalkan masako dan jenis penyedap lainnya. Cukup garam saja. Kepada tamu pun kami tidak
malu lagi untuk menyuguhkan jagung bose atau kecipir rebus dengan madu.”
Inilah kedaulatan pangan yang
sesungguhnya, kawan. Ketika kita sonde malu lagi makan makanan dari kebun
sendiri. Menjadikan labu kuning, sorgum, ubi dll setara dengan nasi di meja
makan. Bahkan mulai melepaskan ketergantungan diri dari raskin pemberian
pemerintah juga mi instan yang dijual di kios depan rumah.
Dari orang-orang Ohaem, beta
telah diingatkan. Terima kasih bapa dan mama sekalian.
Kupang, 2016
Lawar jantung pisang |
Bikin sambal biji labu |
Pumpkin |
Pisang Tanah |
Lelaki Amfoang dengan kain tenun kebanggannya |
Pohon kemiri raksasa penuh sarang lebah |
Minum kopi sore dengan madu |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...