Minggu, 26 Juni 2016

Di Ohaem, Orang-Orang Membuat Klub Pangan Lokal


Menu makan siang klub Betab
Apa rasanya diundang oleh para warga desa yang membentuk beberapa 'Klub Pegiat Pangan Lokal’ dari desa terpencil di Amfoang untuk makan siang bersama di kampung mereka? Beta sih yes! Sangat menyenangkan, kenyang dan setidaknya beta mendapat satu perspektif baru yang menarik dari mulut para warga desa Ohaem sendiri: “dulu kami malu menyuguhkan pangan lokal seperti ubi rebus, kacang turis atau sorgum kepada tamu dari luar kampung kami, terutama mereka dari kota. Tapi sekarang tidak lagi. Ini makanan kami.” Sebuah kesadaran baru yang menyenangkan sekaligus membanggakan.

Acara makan siang bersama wartawan dan blogger ini digagas mitra warga Ohaem yakni Perkumpulan Pikul sebuah LSM yang berbasis di Kupang dan didukung Oxfam. Beta hadir bersama dua orang wartawan dari Pos Kupang dan Victory News, beberapa petani dari pulau Semau dan kawan-kawan dari Geng Motor Imut, sebuah komunitas orang muda di Kupang yang punya perhatian pada pertanian organik dan energi terbarukan.

Makan Makanan Ternak?
Beberapa waktu lalu kita semua dikejutkan dengan berita di Kompas bahwa orang NTT makan makanan ternak (FYI, wartawan Kompas yang diundang warga Ohaem membatalkan kehadirannya di menit terakhir sebelum keberangkatan kami ke Amfoang). Sungguh sebuah ironi sebab ternyata yang dimakan warga adalah putak, salah satu jenis pangan lokal yang sudah sejak dulu dikonsumsi masyarakat NTT. Faktanya memang demikian, peran pangan lokal makin tergeser oleh beras dan jagung. Nilainya kemudian berubah, manusia makan beras atau jagung saja, sedangkan ubi keladi, sorgum, atau putak biar buat hewan ternak. Hal ini berlangsung lama, terprogram dalam bahasa pemerintahan sehingga mampu merubah pola pikir sebuah masyarakat. Sonde heran kemudian ada ungkapan, ‘kami kalau belum makan nasi artinya belum makan. Ubi hanya buat makan maen-maen (sambil lalu) sa…”.

Temuan menarik dari Perkumpulan Pikul, yang sejak tahun 2013 telah melakukan pemetaan pangan lokal di Kabupaten Kupang, TTS, Sabu-Raijua dan Lembata.Misalnya ada temuan bahwa masyarakat yang punya pola pertanian monokultur lebih rentan mengalami kriris pangan ketimbang masyarakat yang menanam polikultur. Ketika jagung gagal panen, masyarakat tidak terlalu khawatir sebab masih ada sorgum, keladi, pisang, pisang tanah, ubi jalar, singkong, labu kuning, dll. Keragaman pangan juga ditentukan oleh akses bangan pangan yang disediakan kebun dan hutan. Masyarakat yang selain punya kebun tetapi juga punya akses ke hutan lebih memiliki keragaman pangan. Jika padi gagal panen, masyarakat masih bisa mengambil kecipir, uwi, kratok, kacang uci, dll di hutan. Temuan lain menyebutkan bahwa sorgum dan berbagai jenis tanaman serealia (jali dan jewawut) terbukti lebih toleran terhadap iklim kering ketimbang padi dan jagung. Beberapa antropolog, sebut saja Ormeling dan Fox, yang telah melakukan kajian lama di NTT juga menyebutkan bahwa jenis-jenis pangan lokal ini sudah ada di NTT jauh sebelum jagung diperkenalkan. Beras yang dikenal oleh nenek moyang orang NTT pun adalah padi galur lokal yang ditanam di ladang tebas bakar bukan di sawah dan bukan jenis ‘padi ajaib’ yakni padi varietas unggul berdaya hasil tinggi yang umumnya kita tanam dan konsumsi sekarang.

****

Biji Labu dan Madu adalah Kunci
Perjalanan dari Kupang menuju desa Ohaem memakan waktu hampir 4 jam sebab kondisi jalan dari Takari ke Amfong masih sangat memprihatinkan. Sepanjang jalan beta dihadapkan pada kondisi alam Amfoang yang subur. Pohon jeruk, kopi dan pisang sangat mudah ditemui di sepanjang perjalanan. Barisan gunung Mollo hingga Mutis yang membiru hari itu seperti kawan dekat yang mengiringi perjalanan kami. Mollo dan Amfoang memang masih saudara dekat. Beta pun mendengar kisah bahwa selain ada hubungan kawin mawin, banyak juga orang Amfoang yang biasa pergi dengan berjalan kaki seharian ke Mollo untuk berkebun. Karena kebudayaan, kondisi geografis dan kekayaan alamnya yang sangat mirip, berada di Amfoang membuat beta merasa seperti sedang berada di Mollo.
Menu Makan Siang  Klub Tafena Monit
Tiba di Ohaem, kami disambut mama pendeta, kepala desa dan warga setempat, mengobrol sejenak lalu diajak ke rumah bapa Henokh Taek. Tuan rumah menyebutkan bahwa agenda hari itu adalah makan siang pangan lokal di dua rumah warga lalu ditutup dengan kunjungan ke kebun sorgum sekaligus panen madu.Ya Tuhan, indah nian sesungguhnya hidup ini. Saya membatin. Bukan karena efek lapar melainkan karena  melihat sendiri wajah optimis dari orang-orang yang boleh dibilang mulai kembali berdaulat atas lumbung dan pangan mereka sendiri. Mereka mulai memanggil kembali memori kolektif tentang bagaimana nenek moyang sejak dulu mengolah pangan lokal untuk bertahan hidup lalu meneruskan resep pengolahannya ke generasi berikutnya. Mereka yang tanpa beras dan jagung pun barangkali tidak harus susah-susah berteriak lapar sembari menunggu jatah raskin pemerintah.

Fakta umum di Timor boleh bicara bahwa terdapat keberagaman bahan pangan sekalipun amat disayangkan semua itu tidak muncul di meja makan, dan apa yang beta temui di kebun belakang rumah dan dapur bapa Henokh dan anggota klub lainnya justru berbicara lain. Siang itu kami disuguhkan makan siang yang cukup mengejutkan perasaan beta. Oh Tuhan, ini pertama kali beta makan sorgum yang dimasak dengan kacang nasi sebagai pengganti beras. Disantap dengan sup ayam kampung tanpa masako, dengan tumis daun singkong. Menikmati kecipir dan papaya muda rebus disiram sambal dari biji labu kuning (pumpkin). Apa? Sambal dari biji labu pempung? Sumpah, itu sambal yang paling segar dan cocok sekali dinikmati sebagai teman lalapan. Dari para mama di dapur beta dapat resepnya. Sederhana saja. Biji labu dijemur kering, lalu disangrai dan tumbuk hingga halus. Teksturnya akan berubah dan berasa seperti kacang tanah atau kacang mete yang telah disangrai. Tapi yang ini lebih enak. Bahan yang telah halus lalu dicampur perasan jeruk nipis atau lemon, diberi sedikit garam dan cabai merah. Jadi sudah. 

Oya ada satu lagi sambal atau semacam lawar karena dari bahan mentah yakni jantung pisang mentah yang sudah diiris tipis, diremas dengan garam dan air jeruk lemon. Pelengkapnya, sedikit garam dan cabai. Sebagai makanan penutup, mama Taek dan kawan-kawan klubnya memasak kolak singkong dan labu kuning dicampur santan dan gula lontar. Dua jenis makanan lain dari klub pangan lokal yang dinamai Tafena Monit dan sungguh bikin beta takjub akan rasanya yakni kratok (kot laos dalam bahasa Dawan) dan pisang tanah. Jenis kratok di Amfoang ini perlu pengolahan khusus untuk mengeluarkan kandungan zat tertentu yang bisa memabukkan. Di rumah bapa Taek, koto atau krato ini dimakan dengan sambal biji labu, sedangkan di rumah kedua, yakni tempat berkumpulnya klub Betab, jenis kacang ini ternyata oke juga disantap dengan madu dari hutan Amfoang. Surga seketika pindah ke mulut. 

Pangan lokal lainyang makin ditinggalkan padahal rasanya luar biasa enak yakni pisang tanah. Tanaman itu tumbuh subur di tiap pekarangan warga dengan daun mirip daun pisang atau tanaman pisang hias, namun yang dimakan justru umbinya (bentuknya mirip sekali dengan lengkuas). Bicara tekstur dan rasa, tanaman ini seperti paduan antara ubi jalar dengan pisang rebus. Cara mengolahnya cukup direbus seperti halnya merebus ubi atau singkong. Saya membawa pulang bibitnya untuk ditanam di kebun lakoat.kujawas.

Di rumah bapa Paulus Kobo, klub kedua sudah menunggu kami dengan sederet makanannya. Sup ayam disajikan di dalam potongan bambu sebagai pengganti mangkuk. Ada ayam bakar, jagung bose, nasi dari padi ladang lokal. Ubi jalar, krotok, talas singkong dan pisang semuanya direbus dan dimakan dengan madu hutan atau sambal spesial yang sedikit berbeda dari sambal di rumah sebelumnya. Sambal kali ini adalah jenis lu’at namun menggunakan onat lao atau sejenis daun mint lokal dicampur sabai dan jeruk lemon. Ada juga jagung bunga (pop corn) dari jagung varietas lokal. Beta langsung menyambar mangkuk dari batok kelapa sebagai pengganti piring untuk segera mengisi sebagian ruang di lambung yang memang sengaja sudah dikosongkan semenjak makan siang sebelumnya di klub pertama.Yang paling spesial di rumah bapa Kobo tentu saja karena banyak madu di meja makan. Toh rasanya oke saja dicampur dengan nasi, jagung bose, hingga pop corn dan ubi. Krotok atau ayam bakar! Ya ampun, madu Timor! Beta padamu, deh.

***

Anak Mantu atau Anak Angkat?
Perut sudah terisi penuh, waktu mencuri resep pengolahan pangan lokal langsung dari para mama juga sudah ditunaikan, saatnya berkunjung ke kebun sorgum dan panen madu. Dipandu om Un Weo dan om Sadrak Mengge dari Perkumpulan Pikul menuju ke kediaman bapa Petrus Tanaos, salah satu tuan tanah di Ohaem. Kediamannya bikin beta iri berat. Punya rumah di lembah permai yang belakangnya adalah hutan dengan mata air besar, sedangkan nun jauh di timur, puncak gunung Mutis terlihat begitu kokoh. Halaman rumah beliau adalah kebun sorgum dan sayur sehabis panen. Dikitari hutan berisi pohon kemiri raksasa yang bebatangnya dihinggapi 40-an rumah lebah! Om John Taena, wartawan Pos Kupang langsung berbisik kepada beta, “jika beliau punya anak perempuang yang masih lajang, barangkali bisa saya lamar.” Jelas saja, kediaman bapa Petrus adalah kediaman impian banyak orang. Termasuk beta.

Bapa Efraim sang Meo Oni
Kami disambut ramah oleh bapatua Petrus dan langsung mempersilakan rombongan untuk masuk ke hutan, 500 meter dari rumah. Di sana sudah ada tiga oran Meo Oni, para pemburu madu yang siap menjalankan tugas memanen madu. Ada ritual adat yang tak boleh alpa untuk dilakukan. Merayu kawanan lebah dengan puisi dalam bahasa orang Meto, bahasa Dawan. Ada sejumlah pantangan yang harus dijalankan om Efraim Aleut dan dua kawannya. “Intinya hati harus bersih. Tidak boleh selingkuh, tidak boleh mencuri atau menggunakan barang milik orang lain. Mereka itu fetonai, perempuan agung, sehingga harus diperlakukan dengan baik.” Om Efraim kemudian menjelaskan beberapa akibat yang akan terjadi jika pantangan itu dilanggar, mulai dari terjatuh dari pohon hingga diserang ribuan lebah. Tidak semua orang bisa menjadi Meo Oni dan sonde ada juga sekolah atau pelajaran khusus untuk itu. Ada insting tertentu yang terberi. Semua lelaki Amfong mungkin bisa memanjat pohon, tapi hanya orang terpilih saja yang mampu bersyair dengan indah, merayu kawanan lebah dan merayap di dahan pohon puluhan meter dari permukaan tanah, dalam gelap malam. 
Yang beta lihat, om Efraim dan kedua kawannya bahkan terlampau polos (atau saking lurus hatinya) ketika rombongan kami mengajak mereka mengobrol sore itu. Beberapa baskom besar, jerigen, gulungan tali, dan 7 ruas pemicu asap sebesar tangan orang dewasa yang didalamnya bercampur sabut kelapa dan rumput kering, telah disiapkan bersama dengan api unggun.. Sebagai Meo, jasanya dipakai oleh pemilik tanah/ hutan tempat lebah bersarang. Bayarannya bisa madu bisa juga uang.“Pengambilan madu harus malam hari, supaya lebih aman dari serangan lebah,” jelas Efraim yang melanjutkan pertemuan singkat kami itu dengan menyanyikan sebuah bait puisi untuk merayu lebah. Selain supaya tidak digigit lebah, syair itu juga berisi harapan agar di musim berikutnya kawanan lebah bisa datang dan kembali bersarang di hutan itu. Sungguh sebuah contoh orang-orang arif yang tidak hanya memikirkan diri sendiri dan perutnya saja.

Bebatang dari rumput kering untuk pengasapan
Ketika kembali ke rumah bapa Tanaos, di atas meja di halaman rumah sudah tersaji kopi panas, pisang dan ubi rebus lengkap dengan madu. Madu, oh madu… lengkap dengan sarang yang masih ada larva putih gemuk dan manis. Bapa Tanaos, bisakah beta menjadi anak angkat bapa? Nah, pilih mana, jadi anak mantua tau anak angat? LOL.

Mengembalikan Pangan Lokal ke Meja Makan
Beta berterima kasih kepada Perkumpulan Pikul dan Oxfam yang sudah berkoordinasi dengan warga Ohaem dengan klub pangan lokalnya untuk bikin acara keren ini. Harus terus digalakkan, terus disadarkan. Seperti yang beta bilang, ingatan kolektif dari orang tua kita tentang pangan lokal, kuliner dan resep atau cara pengolahannya perlu untuk dipanggil kembali. Termasuk menanam dan membudidayakan tanaman yang barangkali cuma ada di hutan, padahal nenek moyang kita dulu menanamnya di kebun samping rumah untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Orang muda seperti kawan-kawan di Pikul dan Oxfam memang sonde bisa berjalan sendiri, butuh perhatian, dukungan dan kesadaran juga dari orang-orang muda yang lain: beta dan kalian semua yang membaca tulisan ini. Beta sonde setuju dengan program pemerintah lokal, bicara pangan lokal hanya sebatas bikin sorgum dan ubi jalar jadi kue, jadi biskuit, pelengkap minum teh dan kopi. Harus lebih dari sekedar kudapan (snack). Mereka ada di meja makan setara dan sepantas dengan nasi dan jagung. Supaya tidak ada lagi wartawan dengan ketidaktahuannya menulis bahwa kita makan makanan ternak. Beta kira usaha Pikul untuk mengundang media di acara makan siang ini sangat tepat.Wartawan diajak untuk melihat langsung ke kebun dan dapur warga lalu mengabarkan berita baiknya kepada semua orang, kepada pemerintah. Rakyat sonde boleh selamanya dinyamankan dengan beras, impor pula.

Apa mengolah jenis pangan lokal itu ribet? Tergantung. Kalau kalian yang sudah terbiasa merebus mi instan 2 menit untuk mengenyangkan perut tentu akan menganggap merebus ubi atau turis sangat lama. Atau membelokkan motor/mobil ke parkiran KFC akan terasa gampang ketimbang menanak sorgum dengan kacang nasi. Kepada beta, mama Kobo bercerita ketika diajak Pikul dalam aksi ini, ia tiba-tiba ingat akan kebiasaan orang tuanya dulu ketika mengolah pangan lokal yang mudah dan efisien. Pengetahuan yang hampir hilang dari memorinya itu yang coba dipakai kembali bersama kawan-kawannya di klub pangan  lokal Betab dan ingin terus ia bagi ke anak cucunya. Ia menambahkan, “sekarang kami pun sudah mulai meninggalkan masako dan jenis penyedap lainnya. Cukup garam saja. Kepada tamu pun kami tidak malu lagi untuk menyuguhkan jagung bose atau kecipir rebus dengan madu.”

Ayam bakar madu dan kawan-kawan
Inilah kedaulatan pangan yang sesungguhnya, kawan. Ketika kita sonde malu lagi makan makanan dari kebun sendiri. Menjadikan labu kuning, sorgum, ubi dll setara dengan nasi di meja makan. Bahkan mulai melepaskan ketergantungan diri dari raskin pemberian pemerintah juga mi instan yang dijual di kios depan rumah.

Dari orang-orang Ohaem, beta telah diingatkan. Terima kasih bapa dan mama sekalian.


Kupang, 2016


Lawar jantung pisang

Bikin sambal biji labu

Pumpkin

Pisang Tanah

Lelaki Amfoang dengan kain tenun kebanggannya

Pohon kemiri raksasa penuh sarang lebah

Minum kopi sore dengan madu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...