Menenun Waktu di Bumi Flobamora, adalah tema pensi para frater di Seminari Tinggi St. Mikhael, yang ditampilkan di pelataran gereja di kompleks seminari Penfui, Jumat (2/5). Pensi kali ini spesial bukan saja karena berkolaborasi dengan kelompok-kelompok etnis mahasiswa yang tersebar di kota Kupang, antara lain mahasiswa dari etnis Belu, Dawan (TTS-TTU), Sumba, Manggarai, Ngada, Ende, dan Lembata.
Saya pribadi selalu menikmati momen ketika menyaksikan acara seni dan budaya NTT dan dipentaskan di Kupang (yang mana agenda seni-budayanya terbilang terbatas). Pensi dibuka dengan paduan suara dari para frater yang keren dengan segala atribut khas NTT, kain tenun aneka corak dan warna hingga topi ti’ilangga dan ikat-ikat kepala yang unik dari daun lontar. Sayang, openingnya sonde berlanjut mulus, ketika ada adegan seorang mama menenun ditemani sang cucu perempuan yang tiga empat kali hilir mudik dengan jam dinding. Kelemahannya bagi saya adalah pembukaan acara yang terlalu slow nan pasif, ditunjang sound system dan multimedia yang sepertinya belum disiapkan matang. Agak mengganggu. Ah, entahlah, saya mungkin tergolong ‘penonton yang banyak maunya!’ hahaha... Tapi ekspektasi saya adalah pembukaan yang megah—meriah. Tapi untunglah tak berlangsung lama, ketika alur kisah mulai dibangun: dimulai dari prosesi adat saat seorang anak lahir ala orang Belu, kemudian sang anak Belu (Ema Seran) kemudian merantau ke Sumba—dan sadar akan adanya kebudayaan lain yang juga indah di tanah Marapu. Dan seterusnya, penonton dibawa Ema Seran keliling Flobamora (meski dengan kisah yang agak dipaksakan, hehehe. Eits, Ema Seran poligami ya?) Dalam setting Sumba, penonton disuguhkan dua tarian perang (salah satunya Kataga dari sub etnis Anakalang. Btw, koreksi jika saya keliru). Pada momen ini saya bisa melihat betapa kontradiktifnya perangai lelaki dan perempuannya. Para lelaki dengan gelora yang menyala menarikan tari perang, sedangkan di samping mereka, sekelompok penari perempuan seolah menjadi penawar keteduhan—seperti air mereka menari dengan halus dan penuh senyum. Hal yang sama tergambar di tarian Caci dari etnis Manggarai pada sesi berikutnya.
Ketika cerita kemudian bergerak menuju ke Ngada, suasana menjadi lebih teduh sebab kisah yang disuguhkan adalah seputar agrikultur, yakni tarian ketika petani Ngada menanam benih kemudian ada burung-burung yang mencuri habis benih tersebut. Kisah tentang Ngada dibuka dan ditutup dengan tarian Ja’i yang sudah akrab di hati orang NTT.
Kisah yang disuguhkan memang baru setengah jalan tapi sebagai penonton saya agak bosan dengan beberapa part yang terlalu bertele-tele dan harusnya bisa lebih dipersingkat tanpa mengurangi makna.(NB: Contoh adegan yang kepanjanga adalah prosesi peminangan di Manggarai dan adegan pecut-pecutan Caci bisa dipersingkat cukup 2 kali balas membalas pecut). Solusi tambahan bisa dengan akting yang singkat-padat dilengkapi dengan kisah yang dituturkan narator dan maksimalkan gambar dari multimedia (infocus). Atau adegan duduk-dialog antar tokoh di acara peminangan ala suku Manggarai dan Ende-Lio jadi biasa jika cuma 'duduk-duduk' saja. Coba bayangkan jika adegan lamaran tersebut ditarikan pasti lebih hidup dan seru! Tentang narator, ada begitu banyak adegan dan dialog dalam bahasa daerah yang kurang dijelaskan lebih lanjut oleh narator. Penonton bingung dan bosan deh.
Dialog yang kepanjangan pun muncul lagi di prosesi lamaran ala suku Ende-Lio, namun ada untungnya karena dialog yang cukup komedik, ditambah lagi (mungkin) mayoritas penonton dari Flores yang familiar dengan dialognya sehingga bisa terpancing untuk ketawa dan berkomentar.
Apapun yang terjadi budaya Flobamora memang akan selalu memesona. Seperti ketika cerita tiba di Lembata dengan tradisi berburu ikan paus. Suasana menjadi meriah dengan tarian para pemburu paus. Seru. Dan saya suka corak kain Lembata dan ikat kepala dari daun lontar yang mereka kenakan. Otentik!
Kisah perjalanan Ema Seran berakhir di Dawan Timor, tentang upacara kematian dan tradisi mkae dari para wanita Dawan. Mkae adalah ratapan dari perempuan Dawan yang sebenarnya punya tujuan untuk mengajak siapapun pelayat disekitar untuk turut larut dalam kesedihan. So jangan heran kalau hadir ke acara kematian orang Dawan, para perempuannya akan menangis meraung-raung menyayat hati. Ohh.
Acara belum sepenuhnya usai namun beta su pulang duluan karena ngantuk. Terima kasih untuk kawan-kawan frater dan para mahasiswa yang telah membuat even keren ini. minimal saya pun bisa melihat langsung tarian Kataganya orang Sumba. Jempol buat kerja keras kalian, fraters!
btw, (floor) director acara ini siapa ya? :))
christian dicky senda
ketua komunitas blogger ntt, bergiat di flobamora community dan forum soe peduli.
Sayang sekali, ritus tutu'kubi' (memecah tempurung di depan peti jenazah) yang merupakan klimaks dari tradisi kematian Atoin Meto menjadi kurang menonjol. Narasinya datar dan cenderung membosankan....
BalasHapusSaya cenderung angkat jempol untuk tarian dari Ngada tuh, di sini ada keseimbangan antara tradisi dan modernitas :)