Sejak
kecil aku selalu menatap kabut, yang memberikan dunia kelabu, basah, dan
berembun, kabut yang bagaikan menyimpan rahasia di baliknya, rahasia yang tiada
akan pernah dan tiada perlu terungkap, karena hanya jika kabut menjanjikan sesuatu
seperti rahasia maka aku bisa mengembara di dalamnya.
sketsa by Arystha Pello dan Rara Watupelit |
***
Kabut
Kota Ini, adalah puisi
pertama dalam hidup yang pernah kutulis ketika berumur 13 tahun. Isinya tentang
rasa takjub pada kota kelahiranku yang senantiasa berselimut kabut saban sore. Kini
aku lupa persis bait demi baitnya seperti apa, sebab buku harianku telah hilang. Aku hanya ingat judul itu dan ingat bahwa
tiga hari setelah menulis ketakjubanku itu, secara tiba-tiba aku―yang sedang
mencari kayu bakar bersama teman-teman―tertelan segerombolan kabut. Aku hilang,
sendirian. Katanya sih begitu, sebab aku tak ingat persis kejadiannya. Aku
hanya merasa didorong oleh suara lelaki tua (ia mengakui teman bapakku) yang
menyuruhku untuk mengambil seikat kayu kasuari yang ia simpan di tengah hutan.
Aku tak menyadari itu sebuah jebakan atau bukan, aku hanya sedang memikirkan
persaingan dengan teman-temanku dalam mengumpulkan kayu bakar tercepat dan
terbanyak. Tapi anehnya lagi, aku begitu bodoh untuk memercayai suara yang tak
berwujud.
Tidak. Aku tak bodoh. Aku mungkin sedang terhipnotis saat
itu maka kuikuti saja ajakannya. Karena ceritanya kami sedang bersaing mengumpulkan
kayu bakar terbanyak, akhirnya kami tak saling peduli ke arah mana kami pergi
mencari kayu bakar. Masing-masing mengambil jalannya sendiri. Hutan telah
menyediakan berbagai jenis kayu bakar (dan sebuah labirin yang siap merampas
tubuh dan jiwa kami―hanya aku yang merasakannya!). Labirin yang konon terbuat dari arwah nenek moyang
kami. Tapi tidak semua tubuh dan
jiwa anak-anak bisa ia rampas. Hanya kepada para pemimpi
ulung biasanya ia datang menghampiri. Menawarkan kabut yang bergerak sunyi,
seperti segerombolan malaikat bisu yang diam-diam punya daya untuk mencengkeram
dirimu. Ah, apakah aku terlalu sering menelan dongeng suguhan ayah dan ibu di
meja makan? Entahlah.
“Terakhir beta liat (namaku) kayaknya ada baomong
deng satu orang, ma beta sonde tau itu orang siapa. Tapi beta sonde peduli lai karena ada sibuk cari kayu api,” Hanstoni sedang menjawab pertanyaan dua orang polisi.
“Beta ju sempat liat dia sepintas, tapi karena tiba-tiba kabut tebal turun, katong sudah sonde baliat lai,” seloroh
Goris.
“Trus,
kapan bosong mulai sadar kalau (namaku) hilang atau tersesat?” tanya
seorang polisi yang punya perut agak buncit.
“Katong su
sepakat kalau sekitar satu jam lai, semua su harus bakumpul di kali untuk cek siapa yang menang. Tunggu
setengah jam begini, (namaku)
sonde datang, katong basepakat ko pi
cari dia
su ma...,” jelas Goris.
“Taputar lama sonde ketemu, akhirnya katong sepakat pulang
untuk lapor dia pung Bapak,” Hanstoni menambahkan dengan suara lantang.
Para tetangga semakin ramai berdatangan ke rumah Pak Benjamin
(ayahku) yang sedang tertunduk lesu di samping patung Maria. Istrinya (ibuku)
masih pingsan di kamar.
***
Setiap perjalanan punya lorong waktunya sendiri lengkap
dengan cerita yang terpampang di setiap sisi lorong tersebut. Jika pada umumnya
lorong waktu pejalan adalah menuju masa depan, maka berbeda bagi para pemimpi
ulung. Kepada pemimpi ulung, dipersiapkan berbagai jenis lorong waktu yang
bebas dilampaui sesuka hati, menuju masa depan atau masa silam. Tapi bagi
pemegang kuasa sepertiku, perjalanan perdana ini sungguh
mendebarkan.
Aku harus ke mana? Aku berdehem sekali dan berpikir dengan keras. Tiba-tiba aku ingat bapak
dan ibu. Kini aku telah melihat isi ruang dapurku. Tak ada
siapa-siapa di sana. Ibu tak memasak, mungkin sedang sakit. Bapak mungkin
sedang menemani ibu di tempat tidur, berbagi cerita. Sumpah, kupikir mereka adalah keturunan para Mafefa1.
Mereka itu pendongeng-penyihir. Menyihir dengan dongengan, maksudku.
Aku ingin
mendengar sejarah yang keluar dari mulut mereka. Kini kulihat bapak sedang mengurut punggung ibu, sambil mendongeng.... Dan aku ingin turut mendengarnya.
***
―Sea
A Ging
Kau adalah si mata sipit yang rela berlayar
berbulan-bulan lamanya dari Tiongkok untuk sampai ke tanah tempat madu dan
cendana dilimpahkan penguasa langit dan bumi. Bukan! Cendana adalah wujud dari
tubuh putri raja Oenam yang rela mati untuk sebuah keharuman tulang-belulang.
Waktu, dengan
cepat atau lambat pada akhirnya melabuhkan hatimu di kota kecil nan permai ini.
Tempat di mana sang raja menerimamu dengan hormat, sebab kau abener2 sejati.
Kau mampu berdagang madu dan cendana sekaligus
menciptakan istana-istana indah dari semen dan bebatuan yang melimpah di lembah
Mollo. Tentu hal ini menyenangkan hati Raja. Oleh sebab itu cendana-cendana
terbaik (yang berasal dari tubuh putri raja yang rela mati) disediakan untukmu
dan kau diharuskan membangun istana, sekolah untuk rakyat, pasanggerahan,
kantor untuk para klerek dan polisi serta perkampungan orang-orang Cina (para
sahabat Raja).
Kampung Cina sebelumnya dikenal angker sebab dekat dengan
penjara bawah tanah milik tentara Belanda (oleh para tetua kami disebut O’besi
atau kandang besi). Di tepi kandang besi itu mengalirlah sungai Oebobe yang
kerap mengalirkan darah para tahanan yang telah dipenggal kepalanya dan darah
itu akan bermuara di Kapan Tunan—lembah seberang yang sama misterinya dan abadi. Sedangkan
tubuh dan kepala entah berpisah ke mana. Mungkin dibawa anjing-anjing lapar
menuju Nefolete.
Kau sulap Kampung Cina menjadi perkampungan paling
mentereng di kota kecil ini. Lengkap dengan lampion-lampion merah yang
bergelantungan di teras-teras rumah. Kau dan komunitasmu bahkan menyediakan
pertunjukan barongsai gratis dan pesta semalam suntuk bagi warga kota ketika
tahun baru Cina datang. Lengkap dengan mi bercampur daging babi yang nikmatnya
tiada tara, hasil kerajinan tangan aci-aci amoi...
(Lalu apa yang kulihat ini berganti-ganti scene).
Aku melihat kalian berdansa dalam cahaya-cahaya merah
yang merasuk jiwa. Segerombolan wanita dewasa berkumpul di sudut ruangan sambil
bermain mahjong. Tangan cekatan,
berbicara dengan angkuh dan penuh curiga. (Seperti adegan penyamaran Wang
Jiazie dalam film Lust, Caution3). Asap rokok mengepul-ngepul lalu pecah pada sorot mata
lampu gas yang benderang. Seorang tamu besar pastilah sedang dihadirkan dalam
pesta ini. Sepasang bendera menempel di tembok yang telah dilapisi layar biru,
agak miring dan mengapit tulisan dari potongan kertas manila merah, “selamat
datang Pak (nama sang dubes beserta negara asalnya).” Bendera merah putih menemani bendera berwarna merah
menyala dengan bintang berpenjuru lima yang besar.
Ada yang mulai kelihatan mabuk. Bapak menghampiriku,
mengajak pergi. Ibu membuntuti kami dari belakang, melewati pekatnya malam kota
ini. Aku menoleh ke belakang, ke arah ibu yang kini menutup kepalanya dengan
selendang ungu.
“Ayo pergi! Cepaaaat!” Ibu memerintah dengan suara keras.
Bapak sepenuhnya telah berlari sambil meremas kuat
lenganku. Di belakang sana, di rumah Sea A Ging yang mentereng itu, lampion-lampion
pecah dengan gerakan lambat (seperti salah satu adegan dalam film Inception4). Terdengar suara tembakan beberapa kali disertai suara
ratapan yang menggelegar. Rumah itu pecah sudah oleh tangisan dan darah.
Seseroang berteriak, “Mati kalian PKI!” dan secara
tiba-tiba, ibu mendorong tubuh bapak dan tubuhku, terjatuh dengan sangat pelan dan
menimbulkan bunyi bum yang lembut. Semua sepeti kembali ke alur dongeng.
Giliran aku dan bapak yang tertidur dengan kepala bertumpu di atas meja makan,
dan ibu sedang mengelus-elus kening kami, sambil berbisik
parau, “Ada
yang menuduhmu PKI, Benjamin... meskipun kau seorang polisi. Hati-hatilah.”
Aku seperti kembali sadar dan menarik napas dalam-dalam. Ya, aku kehilangan jejak Sea A Ging lagi... batinku.
Aku mengimpikan kabut dan dongeng ibu lagi di atas meja
makan ini.
***
―AFK
Oematan
Tak ada harta berharga yang ia bawa pulang dari tanah
rantau selain istri yang jauh lebih tangguh darinya, namun sangat menghormatinya sebagai kepala keluarga. Empat
orang anak dan sebuah patung Maria menggendong bayi Yesus, ia bawa pulang sebagai harta paling berharga,
kembali ke kampung halaman.
Aku melihat ada binar sukacita dari mata mereka. Dan
patung Maria dan Yesus yang tiba-tiba tersenyum ke arahku. Aku mengucak-ngucak
mata, berharap ini hanya ilusi. Tapi patung itu malah menertawaiku. Sungguh.
Kota kecil ini tak banyak berubah, pikirnya. Dinginnya
masih menggigit kulit dan masyarakat masih memberi makan buah apel yang
berlimpah kepada babi-babi peliharaan.
Keluarga ini diberi rumah dinas di dekat pasar (kini
telah menjadi perkampungan orang-orang Bugis). Sehari-hari ia bekerja sebagai
klerek di kantor pemerintah, sorenya ia pakai untuk mengajari anak-anaknya
membaca Alkitab dan menyanyikan lagu-lagu Gereja berbahasa Latin. Iseng-iseng
ia gubah lagu-lagu tersebut ke dalam bahasa lokal, bahasa Dawan.
Sebulan berada di kota kecil ini, ia mulai bertanya-tanya
dalam hati adakah warga lainnya yang beragama Katolik? Setiap hari Minggu, ia
memimpin ibadat bagi keluarga kecilnya. Ia gembira sebab anak-anaknya bisa
menyanyikan lagu-lagu gereja dengan sukaria. Ia semakin bersemangat dan
mengulang-ulang lagu tersebut, tanpa sadar bahwa sudah limabelas menit ada
seseorang yang mengamatinya dari balik
dinding bebak5 rumahnya.
Ia berhenti menyanyi dengan seketika, lalu berteriak
lantang, “Siapa itu?”
Terdengar bunyi kaleng-kaleng berserakan di samping
dapur. Seseorang baru saja mengintai peribadatan mereka. Diam-diam ia menyimpan
gelisah hatinya. Apakah orang barusan adalah mata-mata dari kelompok Protestan?
Ah, tidak mungkin. Keluargaku banyak Protestan. Ia tercenung dengan Alkitab
masih terbuka lebar di pangkuannya.
Sorenya, ketika sedang istirahat, terdengar ketukan di
pintu depan. Anak gadis sulungnya berbedar membukakan pintu. Nampaklah
sekeluarga yang wajahnya begitu asing sedang kompak memamerkan senyum gigi
merah sirih kepada sang empunya rumah.
“Salam damai Kristus,” kata pria paruh baya kepala rombongan yang tingginya
menjulang.
“Sa..salam damai Kristus,” sahut sang tuan rumah dengan nada ragu.
“Beta punya anak yang tadi pagi datang maloi. Dia
lari pulang kasih tahu kami, katanya, ‘Bapak di pasar ada yang menyanyi lagu sama seperti kita
punya lagu, berdoa sama seperti cara kita punya cara berdoa.’”
“Ah, mari masuk dulu. Kita cerita di dalam saja,” ajak sang tuan rumah.
Keluarga itu bergegas masuk, dan pria tinggi itu
melanjutkan ceritanya, “Beta langsung bilang, Mama, mereka itu Katolik sama
dengan kita. Syukur kepada Tuhan! Siap telur ayam dan pisang sebentar sore kita
langsung pergi ke mereka punya rumah.” Setelah lelaki tinggi itu selesai bercerita,
perempuan di sampingnya (kukira itu istrinya) langsung menempatkan telur-telur dan
pisang yang ditata dalam keranjang bambu ke atas meja. Perempuan itu menaruh
oleh-oleh dengan sangat sopan. Aku melihatnya.
“Saya punya beberapa buku doa dan nyanyian yang saya bawa
dari Maumere. Di sana, gereja Katolik bertumbuh dengan sangat baik, tidak
seperti di sini.”
“Ah, tidak juga. Bapak sudah bawa terang ke sini. Pasti terangnya akan
jadi besar.”
Mereka tersenyum dan berpelukan. Para isteri sudah
berceloteh di dapur. Sebentar lagi mereka akan memadahkan puji-pujian di sana.
Tak terasa, mataku sudah berkaca-kaca.
Kabar gembira ini sampai juga ke kota tetangga yang sudah
terlayani seorang pastor dari Serikat Sabda Allah, Pater Erik Bruning, SVD asli Jerman. Dengan berkuda, Pater Erik datang dan
membabtis lebih banyak orang. Kapela dan sekolah dasar dibangun, persis di
bawah pohon beringin yang kakinya ditahtakan patung Maria.
(Aku mengenal pohon itu. Pohon bertangan sembilan yang
pernah berbagi mimpi denganku).
Perjalananku terhenti. Aku merasa seperti tergantung di
atas dahannya.
***
Dari pohon sejenis, aku mengetahui banyak hal termasuk
kebijakan dan kebajikan hidup. Dari pohon sejenis, segala mimpi dan kemampuan menembus waktu ditanamkan
kepada sang pemimpi ulung—aku. Kemudian aku akan dijemput kabut yang mampu bergerak sunyi seumpama
segerombolan malaikat bisu yang punya sejuta daya cengkeram, (sebab itu adalah
jejari nenek moyang kita), lalu aku akan pergi menembus aneka lorong waktu. Setiap lorong punya
cerita masing-masing, tentang kebaijkan dan kebijakan hidup. Maka aku akan
mengambilnya dan membagikannya padamu. Dari sejenis pohon, aku akan kembali dan
bergelantungan. Seperti kala aku tersesat pertama kali....
Bapak tak hentinya berdoa rosario. Ibu telah sadar, lalu
mengingatku dan jatuh pingsan lagi.
“(Namaku) sudah ditemukan!” teriak para pemuda yang langsung
membuyarkan konsentrasi bapak.
“Ya, (namaku) ditemukan tergantung di atas pohon beringin
yang di kakinya ada patung Maria,” jelas pemuda lainnya.
Sayup-sayup aku mendengar suara bapak memanggil namaku dengar suara gementar. Ah, orang
tua ini. Bukannya barusan ketemu? Aku membatin lagi. Teringat puisi pertamaku,
yang jejaknya cuma judulnya saja. Kabut
Kota Ini. (Tentunya abadi).
“Bapak, mana Ibu?” Aku membuka mata dan merasakan kepalaku
sudah berada di pangkuan bapak.
“Beta mau dengar cerita tentang Sea A Ging dan AFK
Oematan lagi...”
Ibu rupanya juga sudah bangkit dari pingsangnya. Kabut
kota ini telah turun lagi dan mencengkeram setiap rumah-rumah tempat segala
dongeng dipelihara di atas meja makan.
Pasir
Panjang, 14 Juni 2013
Keterangan:
*Dalam novel Kalatidha (1:2007)
karya Seno Gumira Ajidarma.
1. Mafefa:
juru bicara/penutur dalam struktur adat suku Dawan, sebab orang Dawan tidak
mengenal tradisi menulis. Mereka mendapat tempat khusus dari Raja untuk
menyiarkan berita dan berbagai kisah dalam bahasa adat.
2. Abener:
sebutan untuk orang yang mampu membangun sebuah rumah atau gedung.
3. Film
Lust, Caution karya Ang Lee berkisah tentang penyamaran
perempuan Cina, Wang, untuk membunuh pejuang Kuomintang (yang ingin mendirikan
negara Taiwan). Triknya, ia bergaya seperti perempuan kaya yang sehari-hari
bermain mahjong dengan istri pejuang Kuomintang. Sampai ia sendiri terlibat
cinta lokasi dengan sang tuan rumah. Pada akhirnya ia tertangkap dan dibunuh.
4. Inception adalah
film karya Christopher Nolan yang secara unik menggambarkan tentang rupa dan
struktur sebuah mimpi yang dipakai seorang agen sebagai jalan untuk mencuri
informasi atau menanam sebuah ide baru dalam alam bawah sadar musuh. Dan jika
sebuah misi gagal, maka alam mimpi tersebut akan hancur lebur dalam sebuah
gerakan lambat dan si agen akan sadar kembali.
5. Bebak:
pelepah lontar yang dijadikan dinding rumah.
FYI: cerpen ini termuat dalam buku kumpulan cerpen saya Kanuku Leon (IBC 2013). Saya memuatnya di blog ini dengar harapan karya saya bisa dibaca secara luas. Terima kasih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...