umbu wulang |
Acara
diskusi yang dipandu Romo Amandus Niny, PR a.k.a Amanche Frank Oe Ninu, diawali
dengan nonton bareng film dokumenter Payung Hitam yang diproduseri kak Oline
Monteiro. Setelah nobar, dilanjutkan perkenalan dan diskusi yang spesialnya
karena ditemani aneka panganan lokal yang disiapkan para frater, antara lain ubi
rebus, pisang rebus, jagung rebus, kopi dan teh. Kak Olin turut membawa
oleh-oleh aneka kue dan roti Borneo. Lengkap sudah diskusi malam itu.
Pada
kesempatan pertama, kak Olin ditemani dua orang aktivis dan peneliti dari
Jaringan Perempuan Perdamaian Dunia di Indonesia, Ninies dan Nia,
memperkenalkan diri sembari bercerita tentang sepak terjang mereka sebagai
aktivis juga penulis. Ada pemahaman baru tentang isu-isu kemanusiaan, HAM,
kesehatan reproduksi kaum muda hingga HIV/AIDS. Ini menjadi sharing yang
penting bagi pegiat sastra di Kupang khususnya juga bagi para frater yang
notabene calon imam. Kitalah masa depan Kupang atau NTT yang lebih baik. Dengan mengetahui aneka-aneka isu kemanusiaan
yang terjadi di realitas kita, membantu kita sebagai penulis atau teman-teman
frater/calon imam dalam tugas dan karya
pelayanan kita masing-masing. Umbu menambahkan bahwa penulis memang sebaiknya
dekat dan menyatu padu dengan realitas di sekelilingnya. Ia harus menulis apa yang
ada dan terjadi di sekelilingnya, tentang suka dua, keresahan atau keriangan
yang terjadi di lingkungan sosialnya. Sastra hendaknya memperkaya dan
memperbaiki kemanusiaan.
Pada
kesempatan berikutnya, Umbu dengan santainya maju dan duduk di tangga panggung
di depan hadirin, lalu membaca puisi dengan begitu bertenaga dan meyankinkan.
Puisi tentang perempuan-perempuan Sumba yang resah dan harus menanggung beban
hidup karena para suaminya yang terpaksa mencuri lantas ditangkap pencuri. Umbu
memotret fenomena tersebut dari sudut pandang perempuan, ibu. Menarik. Hal yang
sama pula diungkapkan penyair campuran Rote-Jawa Timur, Ragil Sukriwul. Penyair
gondrong ini membaca puisinya yang ada di buku Avontur, tentang kerinduan
perempuan penghibur di pesisir Bali yang dengan caranya mencoba merayu para lelaki
hidung belang yang belum juga mampir, yang mungkin sudah mati bunuh diri. Ragil
mengungapkan bahwa puisi tersebut ia tulis dengan memakai sudut pandang
perempuan sembari menguak kasus bunuh diri yang pada suatu periode waktu begitu
tinggi terjadi pada kaum pria di Bali.
umbu, rm.amanche, olin monteiro, nia dan nisa |
Pada
kesempatan terakhir, Om Gusti Brewon dan kak Dody Doohan, menyampaikan rasa
apresiasinya terhadap acara diskusi seperti ini yang menurut mereka penting dan
baik untuk dilakukan. Sastrawan atau penulis, patut peduli dengan isu-isu
kemanusiaan (HAM, HIV/AIDS, seksualitas, gender, kearifan lokal, lingkungan). Om
Gusti pun menyampaikan rasa terima kasihnya bahwa para pegiat sastra pun
akhirnya membicarakan isu HIV/AIDS secara komprehensif. “Saya akhirnya tidak
sendirian mengurus ini. Senang semakin banyak orang yang peduli dengan isu HIV/AIDS,”
imbuh Brewon. Secara khusus om Gusti menyampaikan keresahannya tentang
meningkatnya statistik pengidap HIV/AIDS, secara khusus anak-anak dan para ibu.
“Lelaki pengecut itu berani beli seks, tetapi tidak berani beli kondom!” ujar
om Gusti menutup diskusi malam itu. (Sen).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...