Senin, 02 September 2013

Sastra Untuk Kemanusiaan



umbu wulang
Rabu 21 Agustus 2013, Komunitas Sastra Dusun Flobamora Kupang bekerja sama dengan Komunitas Sastra St. Mikhael Kupang kembali menggelar acara diskusi sastra bertempat di aula seminari tinggi di Penfui. Acara dimulai tepat pukul 20.00 malam, setelah para frater selesai ibadat malam, maklum saja lokasi diskusi berada di seminari. Pada kesempatan ini hadir dua tamu penting, yang pertama kak Oline Monteiro, dkk dari Jakarta dan berikutnya Umbu Wulang dari Sumba Barat Daya. Kak Oline adalah seorang aktivis HAM, pegiat sastra dan produser film, sedangkan Umbu Wulang adalah putra dari Umbu Landu Paranggi, seorang penyair legendaris Indonesia. Pada kesempatan yang sama hadir pula beberapa pegiat sastra seperti to’o Ragil Sukriwul, Dody Doohan Kudji Lede, Christian Dicky Senda dan aktivis Gusti Brewon. Sedangkan dari tuan rumah sendiri, ada sekitar 35 orang frater yang terlibat, diantaranya ada Januario Gonzaga dan Saddam HP.

Acara diskusi yang dipandu Romo Amandus Niny, PR a.k.a Amanche Frank Oe Ninu, diawali dengan nonton bareng film dokumenter Payung Hitam yang diproduseri kak Oline Monteiro. Setelah nobar, dilanjutkan perkenalan dan diskusi yang spesialnya karena ditemani aneka panganan lokal yang disiapkan para frater, antara lain ubi rebus, pisang rebus, jagung rebus, kopi dan teh. Kak Olin turut membawa oleh-oleh aneka kue dan roti Borneo. Lengkap sudah diskusi malam itu.


Pada kesempatan pertama, kak Olin ditemani dua orang aktivis dan peneliti dari Jaringan Perempuan Perdamaian Dunia di Indonesia, Ninies dan Nia, memperkenalkan diri sembari bercerita tentang sepak terjang mereka sebagai aktivis juga penulis. Ada pemahaman baru tentang isu-isu kemanusiaan, HAM, kesehatan reproduksi kaum muda hingga HIV/AIDS. Ini menjadi sharing yang penting bagi pegiat sastra di Kupang khususnya juga bagi para frater yang notabene calon imam. Kitalah masa depan Kupang atau NTT yang lebih baik.  Dengan mengetahui aneka-aneka isu kemanusiaan yang terjadi di realitas kita, membantu kita sebagai penulis atau teman-teman frater/calon imam  dalam tugas dan karya pelayanan kita masing-masing. Umbu menambahkan bahwa penulis memang sebaiknya dekat dan menyatu padu dengan realitas di sekelilingnya. Ia harus menulis apa yang ada dan terjadi di sekelilingnya, tentang suka dua, keresahan atau keriangan yang terjadi di lingkungan sosialnya. Sastra hendaknya memperkaya dan memperbaiki kemanusiaan. 

Pada kesempatan berikutnya, Umbu dengan santainya maju dan duduk di tangga panggung di depan hadirin, lalu membaca puisi dengan begitu bertenaga dan meyankinkan. Puisi tentang perempuan-perempuan Sumba yang resah dan harus menanggung beban hidup karena para suaminya yang terpaksa mencuri lantas ditangkap pencuri. Umbu memotret fenomena tersebut dari sudut pandang perempuan, ibu. Menarik. Hal yang sama pula diungkapkan penyair campuran Rote-Jawa Timur, Ragil Sukriwul. Penyair gondrong ini membaca puisinya yang ada di buku Avontur, tentang kerinduan perempuan penghibur di pesisir Bali yang dengan caranya mencoba merayu para lelaki hidung belang yang belum juga mampir, yang mungkin sudah mati bunuh diri. Ragil mengungapkan bahwa puisi tersebut ia tulis dengan memakai sudut pandang perempuan sembari menguak kasus bunuh diri yang pada suatu periode waktu begitu tinggi terjadi pada kaum pria di Bali.

umbu, rm.amanche, olin monteiro, nia dan nisa
Pada kesempatan terakhir, Om Gusti Brewon dan kak Dody Doohan, menyampaikan rasa apresiasinya terhadap acara diskusi seperti ini yang menurut mereka penting dan baik untuk dilakukan. Sastrawan atau penulis, patut peduli dengan isu-isu kemanusiaan (HAM, HIV/AIDS, seksualitas, gender, kearifan lokal, lingkungan). Om Gusti pun menyampaikan rasa terima kasihnya bahwa para pegiat sastra pun akhirnya membicarakan isu HIV/AIDS secara komprehensif. “Saya akhirnya tidak sendirian mengurus ini. Senang semakin banyak orang yang peduli dengan isu HIV/AIDS,” imbuh Brewon. Secara khusus om Gusti menyampaikan keresahannya tentang meningkatnya statistik pengidap HIV/AIDS, secara khusus anak-anak dan para ibu. “Lelaki pengecut itu berani beli seks, tetapi tidak berani beli kondom!” ujar om Gusti menutup diskusi malam itu. (Sen).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...