Senin, 02 September 2013

Para Pujangga Dari Timur Indonesia


 dicopy-paste dari BERANDA IRMAWAR.
Berita ini juga dimuat di Koran Tempo edisi Minggu 7 Juli 2013


Sejumlah komunitas sastra tumbuh di banyak kota di Indonesia bagian timur. Dari kantong-kantong sastra inilah lahir para pujangga baru memperkaya khazanah sastra Indonesia. Bahasa lokal, kondisi alam, serta lingkungan masyarakat ikut mempengaruhi karya-karya mereka.


Muhary Wahyu Nurba sedang membacakan sajak-sajaknya di ajang MIWF 2013. Foto/Irmawar
Muhary Wahyu Nurba sedang membacakan sajak-sajaknya di ajang MIWF 2013. Foto/Irmawar

tiba di taman kota, kutidurkan kau
dengan sebaris sajak cinta yang kau suka
tapi angin segera melepas serbuk-serbuk kata yang biru
membuka pagi karena terbakar cemburu
–Variasi Atas Sebuah Lagu Cinta, Muhary Wahyu Nurba

Muhary Wahyu Nurba masih ingat betul apa yang terjadi hampir empat dasawarsa lalu, saat ia pulang dari sekolah, menuju rumahnya di Pasar Terong, Makassar. Di pasar itu, di salah satu meja, terserak berbagai macam senjata tajam, lalu ada secarik kertas yang memberitahukan bahwa sebentar malam akan ada pertarungan penghabisan antara dua kelompok yang sudah lama bermusuhan. Pukul empat sore, ibunya dan juga semua orang di Pasar Terong menutup rumah rapat-rapat. Tak lama kemudian, mereka mendengar pertempuran dan jerit orang-orang terluka.

“Saya tak ingin kekerasan seperti itu dialami juga oleh mereka yang terlahir setelah saya,” kata Muhary, di Fort Roterdam, Makassar, akhir bulan lalu. Jejak sebagai anak pasar itu terlihat pada dirinya saat ini. Badannya tegap, matanya awas, jambang dan kumis dibiarkan tumbuh memenuhi wajahnya. Jika dia bicara, suaranya berat. Suara yang bertenaga saat ia membacakan puisi-puisinya.
Dalam salah satu acara Makassar International Writers Festival 2013 itu, Muhary menceritakan apa yang dia lakukan agar hal tersebut tak terulang. Dia pergi dari satu kampus ke kampus lain untuk membentuk komunitas-komunitas sastra. Muhary percaya, sastra dapat membuat orang lebih berbudi dan memiliki perasaan yang halus. Perjuangannya bersama sastrawan lain seperti Aslan Abidin dan Hendragunawan membuahkan hasil. Kini di Makassar tumbuh kantong-kantong sastra yang mulai menggeliat. Sejumlah penulis dari generasi di bawah mereka pun bermunculan.
Muhary Wahyu Nurba Foto/Irmawar
Muhary Wahyu Nurba Foto/Irmawar
Salah satu kelompok itu adalah Masyarakat Sastra Tamalanrea (MST). MST bermula dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Sastra di Universitas Hasanuddin, yang diketuai Aslan Abidin. MST yang terbentuk pada 1994 ini merupakan semacam kelompok diskusi kebudayaan dan kesenian yang dibentuk di kampus. “Saya saat itu sedang suka menulis, kemudian saya melihat di koran kampus ada nama-nama yang sering muncul seperti Sudirman AR, Hendragunawan, dan Muhary Wahyu Nurba. Mereka juga suka menulis,” kata Aslan.
Aslan mengungkapkan bahwa sebelumnya ia tak mengenal mereka, hanya mengenal tulisannya. Saat itu, Aslan berpikir bahwa alangkah bagusnya jika membentuk kelompok, aktif berdiskusi, bertukar buku, dan bertukar informasi. “Mungkin dengan cara itu kami berharap bisa meningkatkan kualitas tulisan,” kata dosen di Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar ini
Tapi kegiatan berkomunitas yang dilakukan tidak serta merta membuat mereka menjadi seragam. Masing-masing tetap muncul dengan cirinya. Wujud karyanya bisa dilihat dari terbitan media koridor milik MST. Selanjutnya, MST juga memproduksi buku-buku karya sastra. Beberapa buku karya Hendragunawan  yang diterbitkan oleh penerbit Masyarakat Sastra Tamalanrea yaitu Koridor (1995) dan  Nyanyian Alam, Nyanyian Adam, Nyanyian Malam (1996).
Diskusi bulanan Komunitas Masyarakat Sastra Tamalanrea (MST), di kediaman pasangan Ahyar Anwar dan Risma Niswaty di Kabuparen Gowa, Sulawesi Selatan, April 2013. Foto/Irmawar
Diskusi bulanan Komunitas Masyarakat Sastra Tamalanrea (MST), di kediaman pasangan Ahyar Anwar dan Risma Niswaty di Kabuparen Gowa, Sulawesi Selatan, April 2013. Foto/Irmawar
andai kau tahu tentang cemas
rasa lebih pedih dari jantung direnggut lepas
–Andai Kau Tahu Tentang Cemas, Aslan Abidin
Muhary kemudian mendirikan penerbitan buku Nala Cipta Litera pada 2006. Penerbitan ini berfokus pada penerbitan buku-buku sastra dan budaya. Alasannya, saat itu, Muhary tak menemukan karya yang bagus sekaligus enak dipegang. Salah satu buku yang diterbitkan baru-baru ini adalah Wasiat Cinta. Buku ini berisi antologi sajak-sajak penyair Makassar atau orang luar yang pernah berkegiatan di Makassar.
Selain penerbitan milik Muhary, Aan Mansyur—penyair dari generasi setelah Muhary dan Aslan—bersama teman-temannya di komunitas Biblioholic, menerbitkan jurnal sastra yang dikenal dengan nama Luar Kurung. Penerbitannya hanya menghasilkan 2-3 edisi, kemudian diputuskan untuk membuat penerbitan buku Inninawa. Penerbit ini menerbitkan karya-karya yang telah didiskusikan dan dinilai bagus.
Sementara itu, komunitas Biblioholic sendiri, kata Aan, dibangun karena dulu dia merasa tidak ada tempat bagi orang yang suka akan dunia sastra dan literasi. Nyaris tak ada tempat untuk membicarakannya sengan sangat santai. Sementara untuk datang ke perpustakaan, kesannya suram sekali. Karena itu, dirintislah kafe Biblioholic pada 2004, tempat nongkrong para pecandu buku. Tak sekadar nongkrong, ada pula diskusi dan kelas menulis.
Adapun tema yang didisdkusikan itu seputar karya sastra kawan-kawan komunitas, termasuk karya Aslan Abidin. Diskusi bisa dilakukan sampai akhirnya karya-karya itu dinilai layak untuk diterbitkan.
Sayang, secara fisik komunitas Biblioholic ini sedang vakum, hanya bertahan sekitar tujuh tahunan, yakni 2004-2011. Meski demikian, kata Aan, semangatnya tetap ada. Dan ada rencana untuk menghidupkannya kembali dengan format yang berbeda. Karena bagaimanapun, menurut dia, orang-orang yang suka menulis tetap butuh ruang untuk bertemu dan kemudian berdiskusi. “Saya percaya, hal-hal terbaik itu tidak terjadi online, tapi tetap offline. Artinya, hal-hal terbaik itu hadir melalui pertemuan-pertemuan seperti ini,” ujar dia.
Dari kiri ke kanan (M Aan Mansyur, Khrisna Pabichara, Anwar Jimpe Rahman, Muh Ridwan Alimuddin) Foto/Irmawar
Dari kiri ke kanan (M Aan Mansyur, Khrisna Pabichara, Anwar Jimpe Rahman, Muh Ridwan Alimuddin) Foto/Irmawar
“setiap hujan seperti ini, aku berkeringat teringat hangat tubuhmu. meski kukatup mata sepenuh tutup, sedikit pun tak ada terlupa. seluruh benar-jelas-selalu.”
–sajak saat hujan, M Aan Mansyur
Setelah 2005, kata Aan, penerbitan buku relatif semakin mudah. Kemudian semakin banyak komunitas-komunitas yang bahkan lebih terfokus. Misalnya, orang-orang yang suka menulis puisi dan sama-sama perempuan membentuk komunitas Lego-lego. Salah satu anggotanya adalah Mariati Atkah. Ia merupakan satu dari enam penulis dari Indonesia timur yang mendapat beasiswa untuk mengikuti MIWF 2013 lalu.
Menurut Shinta Febriany, lima tahun terakhir ini memang semakin banyak bermunculan nama-nama baru, terutama perempuan penulis. Kemudian mereka membentuk kelompok sastra sendiri, seperti Lego-lego. Lalu ada pula Mahila yang terdiri atas sembilan penulis perempuan.
Jika Muhary membentuk komunitas sastra karena ingin menolak kekerasan, maka Jamil Massa menggerakkan sastra di Gorontalo, Sulawesi Barat, karena merasa prihatin dengan kotanya yang makin centang perenenang. “Makin tidak ada ruang yang nyaman bagi penduduk kota. Kita berdiam di taman kota pun akan terusik oleh suara musik tak karuan yang disetel keras-keras dari bentor (becak motor),” kata penyair yang telah membukukan antologi puisiya, Pohon Ibu (2013), ini.
Maka ia pun membuat Komunitas Sastra Tanggomo. Tanggomo berarti menampung. Ini adalah salah satu bentuk seni tutur khas Gorontalo, yang sayangnya kini sudah mulai hilang. Tak seperti di Makassar yang memiliki banyak bibit kepenyairan, di Gorontalo, Jamil bisa dikatakan berjalan sendirian. Karena itu, ia pun membuat Komunitas Sastra Tanggomo terbuka. Diadakan di pelataran rumah anggotanya secara bergiliran, komunitas ini merangkul berbagai komunitas yang sudah ada. “Bahkan komunitas pencinta Sheila On 7 pun kami ajak,” kata dia.
Yang agak unik adalah Komunitas Dusun Flobamora yang dirintis oleh Amanche Francis Oe Ninu. “Itu nama pena saya,” kata pria berusia 30 tahun ini. Dia adalah seorang pastur dengan nama Romo Fransiscus Amandus Oe Ninu Pr. Awalnya dia membentuk komunitas sastra untuk murid-murid sekolah seminari. “Lalu berkembang untuk semua kalangan, termasuk teman-teman dari Muhammadiyah,” kata dia.
“Tubuhmu liuk-lekuk pasir yang senantiasa mengundang para nelayan menambatkan perahu. Kau mengikuti arah angin yang mencintai keterpisahan dan keluh kesahmu. Ombak dan buih berlalu dan membisikkan sabda paling biru ke balik telingamu. Engkaulah dermaga, padangbelantara sekaligus istirah yang menentramkan. “
–Onytha, 2, Mario F Lawi
Salah satu anggotanya adalah Mario F. Lawi. Mahasiswa Universitas Nusa Cendana ini merupakan salah satu penyair nasional yang tengah berada dalam sorotan. Puisi-puisinya tidak hanya tentang cinta, tapi juga sejumlah kritik terhadap agama. Salah satunya adalah Adventus yang dimuat Koran Tempo pada 9 Juni lalu. “Pada Tuhan yang tak kunjung mengirimkan/Bala bantuan, ia nyatakan permusuhan.”
Mario merupakan pemimpin redaksi buletin sastra Santarang yang diterbitkan komunitas itu. “Santarang itu kependekan dari sabana, lontar, dan karang. Tiga hal yang menjadi ciri dari Nusa Tenggara,” kata Romo Amanche. Sang pastur meyakini ada banyak bibit sastrawan di provinsi yang selama ini lebih dikenal dengan para intelektual dan ahli bahasa tersebut. Menurut dia, ada penerus Gerson Poyk yang akan semakin moncer kalau terikat dalam komunitas.
*****
Dari kiri ke kanan (Andika Mappasomba, Khrisna Pabichara, M Aan Mansyur, Muhary Wahyu Nurba, Asdar Muis RMS, Aslan Abidin)
Dari kiri ke kanan (Andika Mappasomba, Khrisna Pabichara, M Aan Mansyur, Muhary Wahyu Nurba, Asdar Muis RMS, Aslan Abidin)
Hal menarik dari perkembangan sastra di Indonesia timur adalah adanya keberagaman cara bertutur dan tema yang diangkat. Cara mereka membentuk kalimat dan pemilihan kata kerap berbeda dengan sastrawan Sumatera yang memiliki akar Melayu atau sastrawan Jawa. “Kesegaran itu pada akhirnya nanti akan menoleh ke timur,” kata Aan Mansyur.
Aan mengatakan bahasa ibu di masing-masing daerah turut memperkaya bahasa Indonesia, dari memainkan bunyi sampai metafora. Kekayaan bahasa ibu ini juga memunculkan kesegaran-kesegaran. Aan menambahkan, sebenarnya penutur bahasa Indonesia yang bagus itu ada di timur, baik secara intonasi maupun tata bahasa. Dengan begitu, peluang untuk menulis sastra Indonesia yang bagus sangat besar. “Memiliki kebeningan bahasa Indonesia yang sederhana,” kata dia.
Alam dan lingkungan turut pula mempengaruhi karya mereka. Felix Nesi yang berasal dari Komunitas Dusun Flobomora, misalnya, tidak menulis tentang hutan dan gunung yang hijau. Ia lebih akrab dengan kemarau dan padang sabana. “Oma,/Kemarau mengirimmu pada tiada/Dinginkan di sana?/Kirimkan serumpun hujan/dan beberapa pelukan./Sebab jantung masih mendetakkan namamu. (Irmawati, Qaris Tajudin, Topik Koran Tempo Minggu, 7 Juli 2013)
Agar Jejak Tak Hilang
Catatan mengenai para pujangga dari timur Indonesia sangat sedikit. Hal itulah di antaranya yang membuat ada banyak missing link dalam dunia sastra di sana.
Pencarian Aslan Abidin terhadap jejak-jejak Dg Myala--angkatan Pujangga Baru dari Makassar--di Makassar. Foto/Irmawar
Pencarian Aslan Abidin terhadap jejak-jejak Dg Myala–angkatan Pujangga Baru dari Makassar–di Makassar. Foto/Irmawar
PERTENGAHAN Juni lalu, Aslan Abidin, koordinator tim kurator Makassar International Writers Festival (MIWF) 2013, berkunjung ke ruang dokumentasi milik penulis M. Anis Kaba untuk mencari jejak A.M. Dg Myala alias A.M. Thahir. Dia adalah salah seorang penyair angkatan Pujangga Baru (1933-1942). Tak menemukan jejak, Aslan melanjutkan penelusurannya ke Perpustakaan Provinsi Sulawesi Selatan di Jalan Sultan Alauddin, Makassar. Kemudian ke perpustakaan kampus Universitas Hasanuddin dan Universitas Negeri Makassar. Tapi, di kedua tempat itu, jejak Myala juga tak tertapak.
Pencarian dilanjutkan ke rumah Fahmi Myala, anak almarhum Dg Myala, di Hertasning, Makassar. “Tapi kami tak menemukan gambar atau foto Myala,” kata Arfan Sabran, sutradara yang bersama Aslan membuat dokumentasi tentang Myala. Tak hanya kehilangan jejak karya, Myala juga menjadi sosok tanpa wajah.
Aslan kemudian dibantu Khrisna Pabichara—penulis sejumlah buku, termasuk Sepatu Dahlan–melanjutkan pencarian di tanah Jawa. Beberapa tempat yang disambangi di antaranya perpustakaan Indonesia Buku di Yogyakarta. Tapi karena pengarsipan di sana didasarkan pada media yang memuat karya, bukan siapa penulis artikel di dalamnya, sulit menemukan karya Myala.
Pencarian Khrisna Pabichara terhadap jejak-jejak Dg Myala--angkatan Pujangga Baru dari Makassar--di PDS H.B Jassin. Foto/Irmawar
Pencarian Khrisna Pabichara terhadap jejak-jejak Dg Myala–angkatan Pujangga Baru dari Makassar–di PDS H.B Jassin. Foto/Irmawar
Khrisna melanjutkan pencarian ke Pusat Dokumentasi Sastra Hans Bague Jassin di Jakarta. Di tempat itu pun jejak Myala tak langsung ditemukan. Khrisna harus membuka satu per satu majalah kebudayaan Indonesia yang terbit pada 1950-an. Usaha Khrisna tak sia-sia. Akhirnya jejak-jejak Myala ditemukan dalam majalah edisi 1920-1950. “Karya-karyanya keren,” kata Khrisna. Sajak-sajaknya konsisten pada kaum buruh dan kemanusiaan. Kalaupun ada percintaan, warnanya pun berupa perlawanan. Tak hanya puisi, prosa, dan cerpen, bahkan roman yang berjudul Leburnya Keraton Aceh juga tercatat sebagai karya Dg Myala. Tapi lagi-lagi di tempat ini pun tak ditemukan wajah Dg Myala.
Perjalanan pencarian Aslan dan Khrisna ini kemudian direkam menjadi sebuah film dokumenter yang disutradarai Arfan Sabran dan Yandy Lauren. Film dokumenter  berdurasi sekitar 15 menit ini kemudian ditayangkan saat pembukaan MIWF 2013 di Fort Rotterdam Makassar, akhir bulan lalu.
Direktur MIWF, Lily Yulianti Farid, mengatakan sosok Dg Myala diangkat sebagai bentuk penghargaan intelektual Bugis-Makassar. Pencarian jejak dan dokumentasi ini penting, apalagi sosok Dg Myala tak banyak dikenal. Penghargaan serupa juga pernah diberikan kepada almarhum Muhammad Salim, penerjemah naskah klasik I La Galigo pada MIWF 2011. Tahun lalu bahkan almarhum Prof Mattulada dinobatkan sebagai tokoh sastra Sulawesi.
Meski pendidikan pria kelahiran Ujung Pandang, 2 Januari 1909, itu hanya sampai pada sekolah rendah kelas II, Dg Myala kemudian belajar secara otodidaktik. Sampai akhirnya ia bisa menghasilkan sejumlah karya puisi yang kemudian dimuat pada buku Puisi Baru (bunga rampai) Sutan Takdir Alisjahbana, 1946. Lalu dalam Tonggak IV (bunga rampai) Linus Suryadi A.G., 1987.  Puisinya yang cukup terkenal di antaranya Buruh dan O, Manusia.
*****
Dari kiri ke kanan Moch Hasymi Ibrahim (Moderator), Yandy Lauren (Sutradara), Khrisna Pabichara (Penulis), Aslan Abidin (Penulis dan Dosen), di ajang MIWF 2013. Foto/Irmawar
Dari kiri ke kanan Moch Hasymi Ibrahim (Moderator), Yandy Lauren (Sutradara), Khrisna Pabichara (Penulis), Aslan Abidin (Penulis dan Dosen), di ajang MIWF 2013. Foto/Irmawar
ALASAN itu jugalah yang membuat komunitas Masyarakat Sastra Tamalanrea (MST) mulai menggodok sebuah antologi sastra Makassar atau Indonesia timur. “Intinya kami ingin membangun dan mengumpulkan jejak-jejak sastra kami sendiri,” kata Hendragunawan S. Thayf, salah seorang anggota MST, Rabu lalu.
Selain Myala, ada banyak sastrawan dari timur, seperti  L.K. Bohang. Esai pria kelahiran Sangir-Talaud, Sulawesi Utara, 1913 itu pernah dimuat di Panji Pustaka dan Pujangga Baru.  Bahkan esainya mengenai Amir Hamzah dipilih H.B. Jassin untuk antologi Pujangga Baru: Prosa dan Puisi (1968).  Lalu ada J.E. Tatengkeng yang menulis puisi esai, telaah, prosa, dan kritik sastra. Tatengkeng aktif menulis di berbagai majalah, seperti Pujangga Baru, Zenith, Indonesia, “Gelanggang” dalam Siasat, dan Konfrontasi. Dia pernah memimpin majalah kebudayaan Sulawesi (1958) dan menjadi pendiri serta pengajar Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Makassar.
Generasi selanjutnya ada Andi Rio Daeng Riolo Muhammad Ichsan saleh, yang mulai menulis pada 1957. Salah satu puisinya berjudul Orang Makassar Tentang Pelaut, Laut dan Darat. Dia juga pernah terjun di panggung teater. Lalu ada Aspar yang menulis puisi, cerita, artikel, dan lakon. Doktor Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin ini  memiliki beberapa terbitan buku, di antaranya Sajak-Sajak dari Makassar (1974), Sukma Laut (1985), dan Arus—novel ini terbit pada 1976. Selanjutnya ada Mochtar Pabottingi yang, sama-sama Aspar, berasal dari Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
Jejak-jejak karya yang dikumpulkan adalah awal kita ber-Indonesia pada 1920-an.  Menurut Hendragunawan, kegiatan ini dilakukan MST karena kesadaran masih ada kekurangan dokumentasi tradisi bersastra. Keberadaan orang-orang penting untuk melihat geliat sastra di timur, sekaligus  untuk mengetahui sejauh mana topik yang sudah disentuh penyair pendahulunya, bagaimana kontribusi gaya ungkap mereka, kemudian sudut pandang apa yang mereka ambil terhadap isu tertentu.
Menurut Hendragunawan,  hal itu penting agar kita tidak mengulang-ulang apa yang sudah ditulis dengan cara yang sama, dengan perspektif yang sama pula.  (Irmawati, Topik Koran Tempo Minggu, 7 Juli 2013)
Para Penggerak
Kemunculan sejumlah komunitas sastra di beberapa kota di timur Indonesia tak lepas dari para penggeraknya. Merekalah motor yang membuat orang lain tertular virus sastra. Tak ada imbalan yang mereka dapatkan selain kepuasan melihat kecintaan pada bahasa tumbuh di kotanya.
M. Aan Mansyur
Ia lahir di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, 14 Januari 1982. Aan sehari-hari bekerja sebagai relawan di Kafe Baca Biblioholic dan Komunitas Ininnawa. Bukunya yang telah terbit adalah Hujan Rintih-rintih (2005), Perempuan, Rumah Kenangan (2007), Aku Hendak Pindah Rumah (2008), Cinta yang Marah (2009), dan Tokoh-tokoh yang Melawan Kita dalam Satu Cerita (2012) serta Kukila (2012).
M Aan Manyur
M Aan Manyur
Sejak kecil, Aan memang sudah bercita-cita menjadi penulis. Alasannya sederhana, karena dulu, setiap kali ia membaca karya sastra di media, ia tak pernah menemukan penulis dari Makassar. Menjadi penulis membutuhkan proses yang panjang. Awalnya, ia banyak meniru gaya penulis-penulis yang lebih dulu, tapi pada 2008 ia akhirnya menemukan dirinya, gaya menulisnya sendiri, bisa dilihat dalam buku Aku Hendak Pindah Rumah.
***
Aslan Abidin
Aslan Abidin
Aslan Abidin
Ia lahir di Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan, 31 Mei 1972. Ketua Masyarakat Sastra Tamalanrea (MST) Makassar ini juga adalah dosen Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Negeri Makassar. Sajak-sajaknya dibukukan dalam Poetry and Sincerity (2006), Tongue in Your Ear (2007), dan Whats Poetry? (2012). Lalu buku sajak tunggalnya adalah Bahaya Laten Malam Pengantin (2008).
***
Hendragunawan S. Thayf
Hendragunawan S. Thayf
Hendragunawan
Hendragunawan
Pria kelahiran Makassar, 31 Mei 1973, ini sudah menulis sejak 1990-an bersama Masyarakat Sastra Tamalanrea (MST). Kumpulan puisi tunggalnya adalah Nyanyian Adam Nyanyian Alam Nyanyian Malam (1996) dan Binrolle (1997). Sajak-sajaknya juga terbit dalam antologi bersama Tak Ada yang Mencintaimu Setulus Kematian (2004) dan Wasiat Cinta (2013).
***
Muhary Wahyu Nurba
Muhary Wahyu Nurba
Muhary Wahyu Nurba
Ia lahir di Makassar, 5 Juni 1972. Buku puisinya adalah Meditasi (1996), Jadilah Aku Angin Jadilah Aku Kabut (1997), dan Sekuntum Cahaya (1999). Juga termuat dalam Antologi Puisi Indonesia (1997), Sastra Kepulauan (1999), Resonansi Indonesia (2000), Graffiti Gratitute (2002), Tak Ada yang Mencintaimu Setulus Kematian (2004), Equator: Antologi Puisi Indonesia Modern (2011), The Voice of Archipelago (2012), dan Spring Fiesta: Antologi Puisi 8 Negara (2013).
***
Shinta Febriany
Shinta Febriany
Shinta Febriany
Sejak kecil ia suka menulis, dimulai dengan menulis catatan harian. Dengan banyak membaca, bahasanya berkembang ke arah yang lebih sastrais. Perempuan penyair ini telah menerbitkan beberapa buku puisi, misalnya Aku Bukan Masa Depan (2003). Beberapa karyanya juga ikut dalam antologi Living Together (2005), Selendang Pelangi (2006), dan Wasiat Cinta (2013).
***
Erni Aladjai
Erni Aladjai
Erni Aladjai
Ia lahir di Pulau Lipulalongo, 7 Juni 1985, sebuah pulau terpencil di Banggai Laut, Sulawesi Tengah. Beberapa karyanya ikut dibukukan dalam antologi puisi 9 Pengakuan (2012). Pada 2011, ia terpilih menjadi penulis muda partisipasi dalam MIWF. Pada tahun yang sama, cerita pendeknya, “Sampo Soie Soe, Si Juru Masak”, menjadi pemenang ketiga dalam Jakarta International Literary Festival (JILfest) 2012. Sedangkan noveletnya, Rumah Perahu dan Sebelum Hujan di Sesea, menjadi pemenang kedua dan ketiga dalam sayembara Cerber Femina 2011. Lalu pada 2012, novelnya, Kei, menjadi pemenang unggulan dalam sayembara menulis novel yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta.
Perempuan pendiri Dapur Seni Salanggar di Banggai Kepulauan ini karya-karyanya sangat kental dengan unsur lokal. Ia ingin memperkenalkan kekayaan alam dan budaya timur Indonesia melalui tulisan-tulisannya. (Irmawati, Topik Koran Tempo Minggu, 7 Juli 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...