Akhirnya
saya berkesempatan bertemu lagi dengan pak Ferdy Levi, guru terbaik saya semasa
SMA dulu di Syuradikara Ende. Yap, minggu lalu saya ke Ende sebab om saya,
Martinus Mari yang dulu menjadi wali saya telah meninggal dunia. Seperti yang
sudah saya sebutkan di blog ini bertahun-tahun lalu bahwa saya masih mempunyai
hubungan keluarga yang amat dekat dengan pak Levi sang komponis besar lagu-lagu
gerejawi di NTT itu. Beliau dalam tatanan adat kami di Paga, pangkatnya
‘Nenek’. (Di Lio Flores, Nenek itu tak bermakna feminim tetapi juga maskulin!).
Terakhir
kali bertemu pak Levi tahun 2006 saat saya kembali ke Syuradikara untuk
mengambil ijazah setelah setahun kuliah di Jogja. Beliau itu guru terbaik di
Syuradikara saat itu. Guru yang serba bisa. Saya pun hingga kini masih merasa
bangga pernah berlatih paduan suara bersamanya selama 3 tahun. Dari saya yang
buta not dan tak pandai menyanyi bisa juga mahir membaca not, mengolah vokal
dan pernapasan. Seluruh teknik dasar menyanyi kami pelajari bersama beliau.
Ketika
bertemu lagi di rumah duka, beliau memang sudah sangat berbeda. Hampir 3 tahun
belakangan ini memang beliau terserang stroke. Namun karena dirawat dengan
baik, saat ini sudah kembali berjalan meski tak 100% normal dan secekatan dulu.
Beliau memang tak lagi mengajar di SMAK Syuradikara, melainkan di PGSD univ.
Flores.
“Pak, saya
Dicky Senda, anggota koor inti Syuradikara tahun 2002-2005, masih ingat pak?”
sapa saya malam itu. Beliau masih berpikir agak lama. saya kemudian memberi
informasi tambahan, teman seangkatan saya Doddy Botha, bla bla.. akhirnya
beliau ingat juga. Syukurlah.
Dengan
bangga saya kemukakan kepada beliau dan istrinya, kenapa saya begitu mengingat
jasanya. Kenapa saya begitu menaruh hormat yang besar untuknya. Teknik olah
vokal yang ia ajarkan memang tak bisa saya lupakan begitu saja. Sederhana saja,
teknik pernafasan perut yang ia ajarkan, secara otomatis terbentuk hingga kini.
Disiplinnya, semua alumni Syuradikara yang mengenalnya pasti tahu. Hal
sederhana saja. Beliau surprise ketika saya mengungkapkan hal tadi.
Katanya
kemudian, “itu yang bagus. Saya sedih dengan anak-anak sekarang. Di TV cuma
bisa membeo (maksud beliau, menyanyi lipsinc).
Tak bisa baca not! Ini parah. Kemampuan membaca not penting. Teknik mengolah
vokal yang baik juga penting. Saya lihat anak sekarang banyak yang tidak bisa
baca not, nyanyinya jadi fals!”
Beliau
kemudian mengungkapkan alasannya mengapa ingin sekali mengajar di PGSD. “Ketika
saya keluar dari Syuradikara, Unflor langsung meminta saya menjadi dosen. Saya
bilang, saya mau tapi harus di PGSD! Meski latar pendidikan saya Sastra
Inggris. Kenapa PGSD? Mereka itulah yang bakal tamat dan menjadi guru SD. Guru
SD adalah dasar. Jika pengetahuan mereka baik, dasar anak-anak kita ke depan
juga akan baik.” Imbuhnya bersemangat.
Ingin
rasanya mengobrol lama dengan pak Levi. Namun beliau harus pulang duluan malam
itu. Next time semoga ketemu lagi.
****
Chrsistian Dicky Senda. Alumni SMAK
Syuradikara Ende angkatan 49. Kini bekerja sebagi konselor di SMPK St. Theresia
Kupang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...