Kepada saya kak Olin bercerita, kenapa
Atambua bukan Kupang yang dipilih. Katanya, “Atambua kami pilih karena
merupakan daerah bekas konflik dan kini menjadi daerah perbatasan, tentu sangat
rentan terjadi berbagai kasus pelanggaran HAM dan masalah-masalah kesehatan
reproduksi. Kami juga melakukan hal yang sama di Aceh dan Ambon.”
Belakangan saya pun membaca di koran lokal
tentang Atambua atau Belu pada umumnya pasca kemerdekaan RDTL. Atambua kini
adalah kabupaten dengan angka HIV/AIDS yang paling tinggi di NTT, angka KDRT
dan human traffickingnya juga tinggi.
Selama 9 hari di Atambua, kak Olin, dkk dari
PWAG melakukan berbagai kegiatan diantaranya workshop dengan guru-guru di
Atambua untuk membahas kespro remaja, lalu memberi pelatihan kepada perwakilan
pelajar dari sekolah-sekolah se-Atambua. Mereka diberi pemahaman tentang
kesehatan reproduksi yang benar dan harapannya mereka akan menjadi duta/agen
perubahan di sekolahnya masing-masing. Mereka diharapkan mampu menyebarluaskan
informasi-informasi yang tepat tentang kesehatan reproduksi mereka sendiri
kepada teman-teman sebaya. Saya rasa ini penting dan tepat. Wawasan mereka
harus diperluas, sebab mereka bertanggung jawab atas tubuh mereka sendiri dan
juga bertanggungjawab untuk mengingatkan teman-teman mereka.
Saya diundang untuk ikut workshop guru dan
merupakan satu-satunya guru dari luar Atambua. Bagi saya ini pengalaman langka.
Sebagai seorang yang punya latar belakang pendidikan dan pekerjaan di bidang
psikologi khususnya konseling, pengalaman seperti ini menjadi sangat penting. Saya
rasa bukan saja Atambua yang memprihatikan, Kupang pun demikian. Perlu ada
pendidikan dan layanan informasi yang komprehensif tentang kespro remaja,
HIV/AIDS, human trafficking, kekerasan seksual, dll dari guru dan orang tua. Topik-topik
tersebut yang kadang masing dianggap ‘tabu’ untuk dibahas bersama anak remaja
kita. Saya rasa harus kita rubah sejak saat ini. Artinya sebelum mereka tahu
(banyak) yang salah dari orang lain, mending mereka diberi tahu dahulu yang
benar dan lengkap dari orang tua sendiri, kan?
Ketika selesai kegiatan workshop bagi
pelajar, kak Olin berbagi informasi kepada saya yang cukup mencengangkan.
Kebetulan mereka diinapkan selama beberapa hari di hotel sehingga mereka bisa
diperlakukan sedemikian rupa untuk keperluan menggali informasi. Ada yang
mengaku sudah melakukan hubungan seksual dengan teman sekolahnya sendiri, dan
mereka menyebut itu ‘biasa’ karena ada teman lain pun melakukan demikian. Nah,
lho! Bayangkan saja jika perilaku seks beresiko ini dilakukan di daerah yang
punya angka HIV/AIDS tinggi. Belum termasuk resiko terkena infeksi menular
seksual (IMS) lain seperti sifilis, herpes kelamin, ulcus, jengger ayam, dll.
Atau resiko kehamilan di usia yang belum siap secara mental, sosial dan fisik.
Ketika kembali ke Kupang saya berpikir, kita
sonde boleh tutup mata lai dengan kasus-kasus ini. Solusinya saya rasa lebih
tepat jika anak tidak dikekang saja supaya bebas dari resiko di atas, belum
tentu. Lebih tepat jika anak diibekali juga dengan informasi yang lengkap,
tidak bias tentang kespro dan hak-haknya sebagai remaja.
Harus dari sekarang. Sonde hanya di Atambua
saja.
Christian
Dicky Senda. Konselor di SMPK St. Theresia. Menulis puisi, cerpen dan terlibat
dalam berbagai gerakan anak muda di NTT: forum soe peduli, kupang bagarak,
komunitas blogger NTT dan komunitas sastra dusun flobamora. Komunikasi lebih
lanjut 082338037075, dickysenda@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...