Senin, 16 September 2013

5900 Langkah

Oleh Kadek Megah Bintaranny


KAWAN, ingatkah kau hari itu ketika berbincang basa-basi di padang rumput dekat kapela sekolah? Kita bercerita tentang banyak hal, tentang cita-cita kita nanti atau sekedar berangan-angan dengan siapakah kita akan mengikat janji setia sehidup semati di kapela itu. Saat itu kita masih begitu muda dan berbahaya, yang dengan segala kepolosan kita, ingin mengenggam dunia.

Kita hampir sering dikejar-kejar oleh salah satu guru paling galak di sekolah kita itu karena padang rerumputan itu sudah ditandai dengan tulisan ‘Dilarang Menginjak Rumput’. Kita bukannya tidak bisa membacanya, tetapi kita tahu bahwa peraturan itu ada untuk dilanggar. Lalu salah siapa?

Ingatkah kau bagaimana kita merencanakan untuk segera meninggalkan jejak kaki kita dari sekolah itu karena para pria tampannya sudah habis digoda oleh adik-adik kelas kita? Bahkan kita belum sempat membalas dendam kepada mereka karena Ujian Nasional itu sudah merenggut kepolosan kita dengan mencari bocoran jawaban yang tidak pernah kita temukan karena keangkuhan kita sendiri. Bahhh! Kita belum siap masuk koran lokal waktu itu, bukan?
SYURADIKARA. (copyright: Wilfried Parera)

Setelah itu berencana bolos lewat jalan rahasia yang bukan rahasia lagi, tetapi kita memergoki guru kita yang lain sedang sibuk merayu salah satu petugas kantin dan dia menyogok kita dengan nasi goreng seharga 5000 rupiah. Setidaknya kita tidak jadi membolos karena niat baik orang lain atau mungkin itu menandakan bahwa kesetiaan kita tidak lebih dari 5000 rupiah perorang! Menyedihkan.
Kawan, kita sering tertawa bersama di bawah naungan teduh itu, hanya sekedar melepas penat dari kekosongan jiwa kita sendiri. Dan disaat yang bersamaan kita pun menangis—menatap kelas di ujung koridor yang sama karena kita tahu bahwa pujaan hati kita takkan pernah menerima surat cinta pertama kita untuknya. Kita bisa saja berarti pemalu atau dungu.
Kau tahu, kawan? Sering aku menatapmu dan mengenggam tanganmu erat karena kutahu suatu saat genggaman itu akan menjadi kenangan lama untuk kita. Kita akan pergi jauh dan terpisah lalu menemukan kehidupan yang baru, teman-teman baru, serta cerita yang berbeda. Namun kau tahu, kawan? Tatapanku padamu akan tetap sama ketika kita bertemu nanti. Aku berjanji.
Kawan, aku ingin mengatakan bahwa kini pun aku begitu merindukanmu. Merindukan ketika kau mencemoohku karena nilaiku tidak lebih baik daripada nilaimu. Bahwa peringkat kelas adalah satu-satunya cara menunjukkan keberadaan kita di sekolah itu. Bahwa seringkali kita tidak memberikan surat penerimaan raport pada orang tua kita karena kita tahu bahwa keberuntungan bisa saja berarti ketidaktahuan. Akal yang cerdas.
Kita pernah pula menari di bawah hujan deras selepas lonceng pulang sekolah sambil menyanyikan lagu kebangsaan sekolah kita. Darah kita dialiri putih-kuning. Kau harus camkan itu, kita adalah putih kuning! Kau bukan lagi cina dan aku bukan lagi pribumi. Kita adalah kromosom XX dan XY, dan membawa setengah dari kualitas itu untuk anak cucu kita nanti. Kita adalah kebanggaan-kebanggaan besar dunia.
Kawan, letih aku berlari disini dan aku ingin istirahat sejenak lagi seperti dulu saat tugas-tugas begitu banyak menjelang akhir liburan panjang. Kantin adalah sebuah tempat pelarian untuk kita dan perpustakaan adalah tempat tidur terdamai disaat kita tidak ingin ditemukan oleh inspektur sekolah. Kita tertidur di bawah tumpukan buku-buku yang bahasanya pun tidak pernah kita pahami sampai sekarang. Yang aku ingat hanyalah sebuah kata dari sebuah buku “Freiheit”.
Kawan, masihkah kau ingat Jalan Kenangan, jalan yang sering kita lewati bersama sambil bergandengan tangan. Jalan itu masih ada dan tetap begitulah namanya dari tiap generasi yang berbeda. Jalan dimana ada perkelahian antara wanita-wanita yang berebutan pacar, jalan yang selalu ada untuk para olahragawan berbakat, dan jalan yang tidak pernah peduli seberapa banyak kita meludahinya dan buang kotoran disana. Aku ingin kembali melewati jalan itu dan mencium setiap udara yang terbakar dari aspalnya hanya untuk mengatakan bahwa aku tidak pernah melupakannya sedetik pun. Aku ingin menorehkan kembali sejarah besar saat melewati jalan itu sekali lagi.
Kawan, saat ini aku berada tepat 5900 langkah dari tempat itu. Tempat yang tidak pernah kita sebut dengan sekolah. Tempat yang selalu kita katakan sebagai rumah kedua kita. Aku pergi ke sana bukan untuk sebuah kenangan tetapi untuk memastikan bahwa jiwaku dan jiwanya masih berada pada jalur yang sama.
Mungkinkah kita bertemu disana kembali hanya untuk sebuah pelukan sebentar dan kita pun akan berkeliling ke setiap sudut ruangan untuk menanyakan kabar kepada setiap dinding yang tak bernama? Aku rindu mencoret namaku kembali di sana.


Langit hari ini begitu biru walau udara sedikit panas. Namun aku tahu 5900 langkah itu tidak akan sia-sia. Rumah, aku pulang!

Yogyakarta, 22 April 2012

*Tulisan ini terdapat di buku Antologi Cerita Alumni Syuradikara: 5900 Langkah terbit Oktober 2012 lalu saat ulang tahun ke-59 SMAK Syuradikara Ende. Proyek ini digagas oleh Gerald Louis Fori, Doddy Botha, Christian Dicky Senda, Voltaire Tallo, Maria Pankratia Seda dan Fransiska Eka, dengan sistem crowd-funding dari alumni untuk membantu proses percetakan dan keuntungan dari buku tersebut sudah disumbangkan ke Teater Evergrande dan pengadaan ratusan judul buku sastra untuk Perpustakaan Syuradikara; guna menumbuhkan minat sastra pada pelajar Syuradikara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Beta tunggu lu pung komentar di sini, danke...